Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi.
Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya.
Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul.
Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu.
Aku diminta mengupas beberapa bahan, seperti bawang merah, bawang putih, kentang, memotong cabai, dan rempah-rempah lain. Selagi aku memotong, ibu mulai memasukkan beberapa bahan untuk di blender. Setelah halus, ibu menuangkan bahan tadi ke dalam panci lumayan besar berisi ayam yang sedang direbus. Aku rasa ibu akan membuat opor ayam kali ini.
“Kemampuan masak kamu udah nambah belum, Nak?” tanya Ibu, disela-sela kami memasak bersama.
“Yaa, di rumah selalu Mama, sih yang masak, hehe,” jawabku.
“Nah lo, nggak boleh gitu, Nak! Nantinya siapa yang bakal masakin Radit kalau kamu belum bisa masak? Terus kalau kamu punya anak gimana? Masa mau dikasih makanan dari restoran cepat saji. Nutrisi yang baik itu perlu, dan seorang Ibu harus jadi yang paling tahu bagaimana caranya memberikan nutrisi terbaik itu.”
“Yaa, tapi Bu, ini kan masih lamaran. Bisa jadi di tengah-tengah nanti akan batal, ‘kan?” Ibu menatapku setelah aku mengucapkan kalimat tersebut. Sebuah tatapan bingung dan kaku.
“Kenapa, Bu?” tanyaku.
“Hmm, nggak papa. Iya, ya, masih ta’aruf. Masih bisa batal.” Kami lanjut memasak, meskipun suasana dapur saat itu terasa begitu canggung.
Berbeda dengan ibu, nampaknya ayah jauh lebih santai. Saat ini beliau sedang mencuci mobil di teras rumah. Aku menghampiri beliau dengan membawa segelas kopi untuknya.
“Ini kopinya, Yah.” Ayah menghampiriku.
“Kamu grogi, nggak, Nak?” tanya Ayah, mengambil langkah ke kursi di sebelahku.
“Lumayan, sih, Yah. Ada rasa nggak nyangka juga. Kalo Ayah?”
“Grogi banget!” jawab Ayah terbahak.
“Itu sebabnya Ayah alihin semua pikiran Ayah ke cuci mobil. Biar nggak terlalu mikirin anaknya bakal dilamar orang besok. Tapi nampaknya, nggak mempan, haha!”
Emang mustahil jika Ayah tidak memikirkan hari esok. Beliau akan jadi orang yang paling panik jika ada hal besar terjadi padaku. Dahulu, waktu MOS SMA pun begitu. Beliau sampai menghadap kepala sekolah dan ketua OSIS agar tidak ada perpeloncoan padaku. Jujur agak malu juga saat itu. Padahal sudah kuberitahu kalau sudah dua tahun ini, sekolah sudah melarang MOS yang mengarah pada perpeloncoan. Tapi beliau kekeh ingin memintanya langsung pada pihak sekolah.
Ya, mau bagaimana lagi? Aku adalah anak semata wayangnya. Cewek pula. Sudah pasti penjagaan ketat akan beliau kerahkan untukku. Meskipun terkadang agak berlebihan dan membuatku sedikit malu, tapi semua itu karena beliau menyayangiku.
Ayah Ibuku juga taat mengajariku tentang agama. Bagaimana aku sholat dan beribadah, menyayangi sesama, bahkan melarangku berpacaran.
“Semua lelaki itu jahat, kecuali Ayah. Cuman Ayah yang baik hati dan keren!” begitu doktrinnya.
Saat kecil, aku sering diajari tentang Al-Qur’an. Sejak SD pun sudah mulai menghafal. Walaupun masih jus 30, tapi lumayan, ‘kan? Sampai sekarang pun aku masih mencoba memperbanyak hafalanku, hingga akhirnya aku dapat menjadi seorang hafidzah di masa depan. Selain agar lebih dekat dengan Allah dan Rasul, ini semua demi memberikan mahkota surga terbaik untuk orangtuaku.
“Jadi, dia datang kapan?” tanya Ayah.
“Kata Ustadzah kemungkinan agak sorean. Nanti dia datang sama Ustadzah,” jawabku.
“Tapi Ayah masih tidak menyangka kalau dia hampir putus kuliah. Di usia dimana remaja-remaja seperti kalian masih suka have fun, nongkrong-nongkrong di kafe nggak jelas, ia malah menghabiskan waktunya untuk belajar bisnis, mengintropeksi diri, bahkan bersedia mendengar saran ayahnya yang ia tahu telah gagal. Sungguh dia anak yang bijak dan dewasa.” Aku senang mendengar semua komentar itu dari Ayah.
“Tapi ingat, Nak. Jangan dulu pasang perasaanmu untuknya, ya! Biarkan Ayahmu yang kece ini menghadapinya terlebih dahulu. Biar kalau ternyata dia ketahuan cuma buaya darat yang lewat, Ayah yang akan menghajarnya terlebih dahulu untuk melindungi kamu. Paham, ‘kan?” Aku tersenyum mengangguk mendengar pernyataan Ayah.
Malamnya, Ayah dan Ibu memanggilku, dengan maksud menanyai kesiapan ku terhadap pernikahan. Mereka ingin tahu apa visi misiku, alasanku kenapa akhirnya menerima dan hal-hal lainnya. Ini semua karena mereka ingin melihat keteguhan dalam pilihanku. Karena pernikahan bukan sekadar hubungan, melainkan sebuah janji suci yang akan menyempurnakan separuh dari agama seseorang.
------------------------------------------------------------------------------
Esok hari telah tiba, Ibu menyiapkan sajian yang ada. Padahal sudah kubilang ini bukan hajatan, tapi beliau benar-benar sudah memasak banyak jenis makanan. Beliau bilang jika tidak habis, bisa jadi santapan berbuka puasa sunnah di masjid.
“Assalam mualaikum.” Ustadzah Fisha memasuki rumah kami, diikuti Radit di belakang beliau.
Kami semua duduk di ruang tamu. Aku, Ibu dan Ayah, serta Ustadzah Fisha dan Radit di hadapan kami.
“Senang rasanya dengan kedatangan ananda Radit hari ini. Apa kabar, Nak?” tanya Ibu memulai pembicaraan.
“Alhamdulillah, baik Tante, Om. Oh, iya, saya bawa oleh-oleh.” Bukan martabak, Radit membawa beberapa jajanan khas Bandung.
“Kemaren saya habis dari Bandung dan saya bingung harus beli apa. Kemaren ngelewatin toko oleh-oleh jadi sekalian aja bawa ini.”
“Oh, makasih ya, Nak. Jadi ngerepotin.” Ibu mengambil kantong berisi oleh-oleh tersebut, lalu membawanya ke dapur.
“Sekali lagi makasih atas kedatangannya, ya. Mungkin sebelum kita mulai acara hari ini, kita makan ke dalem dulu aja, ya. Biar nggak tegang-tegang banget, gitu, haha.” Padahal Ayah yang saat ini terlihat sangat tegang.
Kami pun pergi ke meja makan. Di depan kami sudah banyak hidangan-hidangan enak dari Ibu siap untuk dicicipi.
Kami banyak berbasa-basi di meja makan. Ayah menanyakan bagaimana kuliah Radit sekarang. Karena ia cuti setahun, artinya, dia satu tahun di bawahku sekarang. Aku akan duluan lulus daripada dia. Tapi sepertinya, itu bukan masalah besar.
Selesai makan, Ayah memintaku membantu Ibu merapikan meja dan mencuci piring. Kemudian, Ayah mengajak Radit dan Ustadzah kembali ke ruang tamu. Saat ini aku penasaran dengan apa yang akan ayah tanyakan pada Radit. Namun di dapur, Ibu menghentikanku.
“Biar sampai sini Ayah dulu yang urus, ya. Kamu sama Ibu dulu.”
Ibu bilang ada baiknya saat lamaran, si wanita tidak usah ikut mendengarkan. Takutnya si wanita termanipulasi dengan kata-kata sang pria, sehingga membuat syaitan ikut berperan. Tentunya masuk akal mengingat perempuan dominan melibatkan perasaannya. Hanya dengan kata-kata manis saja memungkinkan si wanita untuk terjebak dengan akal bulus si pria. Meski aku pikir Radit tidak seperti itu, tapi kata Ibu ada baiknya untuk tetap waspada.
Aku tidak tahu pasti, tapi kudengar Radit melantunkan beberapa ayat suci Al-Qur’an. Aku mengambil kesimpulan bahwa Ayah sedang menguji hafalannya. Karena biarpun ayahku mudah menangis, beliau tetap seorang hafidz. Ujian baca dan hafal Qur’an tidak mungkin terlewat.
Selang beberapa waktu, terlihat dari kejauhan Radit seperti sedang menceritakan sesuatu. Aku tahu ayah sangat tertarik dengan cerita masa lalunya. Aku seperti bisa menebak pertanyaan beliau saat ini.
“Saya ingin tahu apa pengalaman yang paling membuatmu terpuruk, dan bagaimana caramu menanggapinya?” Kurang lebih mungkin seperti itu.
Cerita panjang Radit pun dimulai. Cerita yang akan menentukan apakah Ayah akan menerima lamarannya, atau malah ta’aruf ini dibatalkan.
.
.
.
.
Halo semuanya, semoga temen-temen readers suka sama cerita ini, ya. Sekedar informasi, kalau mulai dari bab-bab berikutnya akan ada berbagai macam POV, mulai dari sudut pandang Kira, Radit dan Reina. Jadi harap perhatikan kata POV pada setiap awal bab biar nggak pada bingung, yaa...
Happy reading!
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak
POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl
Pagi itu, aku terbangun dengan tubuhku terbaring di tempat tidur klinik kampus. Reina, sahabatku itu bilang bahwa aku terjatuh saat menuju ke kelas siang mata kuliah profesi. Tubuhku panas karena demam yang kudapat saking sibuknya mengerjakan tenggat waktu seleksi penelitianku. Namaku Adzkira Aulia, mahasiswi semester tujuh yang saat ini tengah sibuk mengikuti seleksi beasiswa penelitian. Yang membuatku bersemangat dengan beasiswa ini karena penelitian ini diselenggarakan langsung oleh salah satu universitas di Jepang. Bagi naskah yang diterima akan mendapat kesempatan untuk melakukan konfrensi di Jepang, melihat universitasnya, hingga liburan ke kota-kota besarnya seperti, Tokyo dan Shibuya. Kesempatan yang tidak mungkin dilewatkan oleh orang sepertiku tentunya. "Ciye, Si Ambis udah bangun," sahut Reina padaku. Ia langsung berdiri mencari suster agar melihat keadaanku. Setelah diperiksa, suster menyatakan kalau aku sudah boleh pulang. Aku diberi beberapa re
Aku sangat menyukai Jepang. Ayahku merupakan lulusan S1 dari Jepang, dan ketika aku masih kecil, beliau sering menceritakan padaku betapa menakjubkannya negeri bunga sakura itu. Bukan berarti aku tidak suka Indonesia, ya! Suasana Bromo yang menyejukkan, ramainyaMalioboro dan indahnya pulau Pahawang pun punya tempat tersendiri di hati. Tapi jika aku menemukan lampu ajaib yang bisa membawaku ke tiga negara lain untuk berlibur, sudah pasti Jepang berada di nomor urut satu dua dan tiga. Lucunya, saat aku SMA malah tak pernah sama sekali aku menonton anime ataupun membacamanga. Walaupun sebenarnya sahabatku di sekolah adalah dua orang pendiri eskulJepang ilegal, tapi mereka tidak pernah berhasil menjadikanku bagian dari sekte mereka. Jadinya, ketika kuliah mereka tahu aku suka hal-hal berbau Jepang, mereka menyebut itu dengan "Kutukan yang tertunda". Tapi, serius! Semua yang ada di Jepang itu lucu dan unik. Aku ju
Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl
POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin