Home / Romansa / Ta'aruf Before Married / Ta'aruf Before Married #8

Share

Ta'aruf Before Married #8

Author: Kaarey
last update Last Updated: 2022-03-12 20:00:29

“Kamu bohong, Kira!”

Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur.

_________________________________________________________________

Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain.

“Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya.

“Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan.

“Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….”

No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya.

“Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya.

“Nggak, Rei, yang ada nanti aku telat kalau keasikan ngobrol,” jawabku menolak.

“Kira…,” Reina memanggilku.

“Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu, ‘kan?” Jika aku bisa umpamakan kejadian saat ini dengan suatu drama, aku bisa merasakan saat ini mungkin, mungkin…, Reina sedang mencium adanya bau kebohongan.

“Nyembunyiin apa, Rei,” jawabku, sambil membalik badanku. “Aku cuma nggak mau telat. Itu aja. Can you believe me with that?” Reina mengangguk.

“Yaudah aku mau mandi dulu, ya,” ucapku, untuk menghindari pertanyaan Reina yang lain.

Aku terus berpikir, apakah Reina merasakan kebohonganku? Atau ia sudah tahu semuanya? Tapi, apa sebenarnya yang membuatku terus berbohong pada sahabatku? Apakah karena permintaan ibu, atau aku takut mengetahui fakta bahwa mungkin Reina menyukai Radit. Aku membasuh kepalaku dengan air yang lumayan dingin. Menyegarkan pikiranku yang berkeliaran kemana-mana.

---------------------------------------------------------------------

“Aku pergi dulu, ya, Rei, Mah. Assalam mualaikum!” Aku melambaikan tanganku pada Mama dan Reina yang melepasku di stasiun.

Keretaku, kereta ekonomi gerbong C dengan nomor kursi 10. Aku duduk di dekat peron sambil sesekali melihat orang berlalu lalang di stasiun. “Akhirnya pulang lagi,” gumamku. Aku juga membawa apel malang dan kue-kue lain sebagai oleh-oleh untuk orangtuaku. Aku sangat merindukan mereka.

Saat tiba di dalam kereta, aku mengabari ibu. Aku telpon beliau sekadar mengabari bahwa aku telah berada di dalam kereta. Namun, akhirnya kami malah mengobrol lama.

Aku juga berfoto untuk Mama dan Reina agar mereka tahu bahwa aku sudah di dalam. Mereka berdua sama-sama bilang hati-hati di jalan. Bahkan titik koma hingga tulisan typo-nya pun sama. Aku sampai terkekeh membacanya. Aku juga menghubungi Ustadzah Fisha. Beliau turut mendoakan. Sejauh ini, semua berjalan lancar sesuai yang dijadwalkan.

Tidak bisa dipungkiri, hatiku rasanya gugup. Jika mengingat bahwa saat ini aku dalam proses ta’aruf, rasanya, aku bingung mau berekspresi apa. Senang? Entahlah. Takut? Mungkin. Kereta perjalanan Malang-Jakarta menempuh waktu sekitar 14 jam. Waktu yang lumayan panjang itu menjadi semakin lama rasanya saat sedang memikirkan sesuatu sendirian.

“Bismillah,” ucapku, yang mencoba tidur, namun tak mampu.

Malam yang panjang pun berganti menjadi pagi. Kereta rute Malang-Jakarta telah sampai di stasiun pasar senen. Dan saat ini, aku mengantuk. Aku tidak tidur sama sekali di dalam kereta saking gugupnya.

Kring!!! Kring!!!

Ponselku bordering, dan ternyata dari ibu. Aku mencari mushola terlebih dahulu untuk mengangkat video call sebelum akhirnya berlanjut dengan KRL.

Assalam mualaikum, Bu. Aku udah sampai Pasar Senen, nih,”

W* alaikum salam. Alhamdulillah, kalo gitu, Nak.”

“Iya, Bu,” jawabku kelimpungan.

“Kamu kenapa, Nak?” tanya Ibu.

“Nggak papa. Cuma ngantuk aja kok.” Aku salah bersikap. Harusnya aku cuci muka dulu tadi sebelum mengangkat telepon. Alhasil, Ibu mengomeliku panjang karena tidak berhati-hati dalam menjaga tidurku selama perjalanan. Tapi itu tidak sepenuhnya salahku, ‘kan? Namanya orang grogi mau dilamar, yaa, mau bagaimana lagi!

“Yaudah kalau gitu, kamu cari KRL bekasi dulu sana. Dan awas, jangan tidur di KRL. Pastikan semua barang-barang kayak HP, dompet semua di tempat yang aman,” ucap Ibu.

“Oke, Bu….”

Selang beberapa waktu, aku tiba di stasiun Bekasi. Tidak jauh dari stasiun, aku melihat ayahku melambaikan tangannya.

“Kira!!!” teriak Ayah. Aku pun menghampirinya, mencium telapak tangan dan memeluknya. Rindu sekali rasanya. Ayah tidak berubah. Masih buncit, namun sangat mencintai anaknya.

“Yok, kita pulang. Ibu udah masak rendang kesukaan kamu.” Mendengar Ibu memasak rendang membuat kantukku yang sedari tadi kurasa hilang seketika. Seolah rasa rendang sudah menerjang indra pengecapku, mencabikku hingga tersadar.

Aku sampai di rumah, mengucap salam, lalu memeluk Ibuku erat. “Selamat datang di rumah,” ucapnya. Aku berjalan ke arah kamar, meletakkan tasku di atas kasur yang masih kupakai sejak kelas enam SD.

“Ayok, Kira makan dulu. Ada rendang, nih!” panggil Ibu.

“Siap!” Sebelum ke bawah, sekali lagi aku memotret diriku yang saat ini di kamar, lalu kukirim ke Reina. “Aku sudah sampai,” begitu tulisku, yang dijawab dengan alhamdulillah. Setelah mengirimi Reina pesan, akupun bergegas ke meja makan. Aku sudah sangat lapar dan rindu dengan masakan Ibu.

“Uwah, rendangnya banyak!” ucapku, saat melihat segunung daging sapi khas padang itu di hadapanku.

“Awas salah ambil. Saking kelaparannya nanti malah keambil lengkuas lagi,” kata Ibu.

Mendengar peringatan itu, akupun berhati-hati. Aku tidak ingin gigitan pertamaku menjadi gigitan kekecewaan. Dengan seksama, kupencet satu-satu tumpukan daging itu, mencari yang mana yang paling lembut. Setelah kudapat, langsung kutaruh lima daging ke atas piringku.

“Haduh, anakku kelaperan, toh,” kata Ibu, diikuti dengan tawa Ayah.

“Kasiannya anak Ayah. Perbaikan gizi ya, Nak, haha.”

Kami pun makan bersama. Kurasakan lagi obrolan di atas meja makan yang biasa kami lakukan. Ibu bertanya tentang kuliahku seperti apa, Ayah juga menceritakan keseharian beliau di kantor bagaimana. Suasana yang sudah sangat lama tidak aku rasakan.

Setelah makan, aku kembali ke kamarku. Melempar badanku ke atas kasur empuk kesukaanku. Ibu dan ayah belum menanyaiku tentang ta’aruf ataupun Radit. Sepertinya mereka ingin aku untuk istirahat terlebih dahulu. Kupejamkan mataku setelah satu malam penuh terjaga karena gugup.

Waktu subuh telah tiba, suara ayam ayah berkokok membangunkanku. Aku segera mengambil wudhu ke kamar mandi. Setelah berwudhu, Ibu memanggilku dengan masih mengenakan mukena miliknya.

“Kira… Sholat bareng, yok!” Ibu mengajakku untuk sholat subuh berjamaah.

Aku ingat sekali didikan ibu saat aku masih di sekolah dasar. Mau aku menangis sekencang apapun saat subuh, tapi beliau selalu saja membangunkanku, lalu membantuku mengambil wudhu. Air dingin memang menghilangkan kantukku kala itu. Setelahnya, kami pun sholat subuh bersama.

Ibu mendidikku dengan sangat baik. Mulai dari intelektual hingga ke rohani. Ayahku juga sama hebatnya. Berkat kerja keras dan kejujuran beliau, aku bisa tumbuh menjadi seperti sekarang ini. Mereka adalah dua orang yang paling aku cintai. Suatu saat nanti, meski kutahu bahwa aku takkan mampu membalas kebaikan mereka, aku harap bisa selalu membuat ayah dan ibu bahagia, bahkan hingga di surga kelak.

Related chapters

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #9

    Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta

    Last Updated : 2022-03-13
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #10

    POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men

    Last Updated : 2022-03-14
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #11

    “Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men

    Last Updated : 2022-03-23
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #12

    POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r

    Last Updated : 2022-03-24
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #13

    POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak

    Last Updated : 2022-03-27
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #14

    POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah

    Last Updated : 2022-03-28
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #15

    Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl

    Last Updated : 2022-03-29
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #1

    Pagi itu, aku terbangun dengan tubuhku terbaring di tempat tidur klinik kampus. Reina, sahabatku itu bilang bahwa aku terjatuh saat menuju ke kelas siang mata kuliah profesi. Tubuhku panas karena demam yang kudapat saking sibuknya mengerjakan tenggat waktu seleksi penelitianku. Namaku Adzkira Aulia, mahasiswi semester tujuh yang saat ini tengah sibuk mengikuti seleksi beasiswa penelitian. Yang membuatku bersemangat dengan beasiswa ini karena penelitian ini diselenggarakan langsung oleh salah satu universitas di Jepang. Bagi naskah yang diterima akan mendapat kesempatan untuk melakukan konfrensi di Jepang, melihat universitasnya, hingga liburan ke kota-kota besarnya seperti, Tokyo dan Shibuya. Kesempatan yang tidak mungkin dilewatkan oleh orang sepertiku tentunya. "Ciye, Si Ambis udah bangun," sahut Reina padaku. Ia langsung berdiri mencari suster agar melihat keadaanku. Setelah diperiksa, suster menyatakan kalau aku sudah boleh pulang. Aku diberi beberapa re

    Last Updated : 2022-03-06

Latest chapter

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #15

    Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #14

    POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #13

    POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #12

    POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #11

    “Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #10

    POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #9

    Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #8

    “Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #7

    Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin

DMCA.com Protection Status