Pagi itu, aku terbangun dengan tubuhku terbaring di tempat tidur klinik kampus. Reina, sahabatku itu bilang bahwa aku terjatuh saat menuju ke kelas siang mata kuliah profesi. Tubuhku panas karena demam yang kudapat saking sibuknya mengerjakan tenggat waktu seleksi penelitianku.
Namaku Adzkira Aulia, mahasiswi semester tujuh yang saat ini tengah sibuk mengikuti seleksi beasiswa penelitian. Yang membuatku bersemangat dengan beasiswa ini karena penelitian ini diselenggarakan langsung oleh salah satu universitas di Jepang. Bagi naskah yang diterima akan mendapat kesempatan untuk melakukan konfrensi di Jepang, melihat universitasnya, hingga liburan ke kota-kota besarnya seperti, Tokyo dan Shibuya. Kesempatan yang tidak mungkin dilewatkan oleh orang sepertiku tentunya.
"Ciye, Si Ambis udah bangun," sahut Reina padaku. Ia langsung berdiri mencari suster agar melihat keadaanku. Setelah diperiksa, suster menyatakan kalau aku sudah boleh pulang. Aku diberi beberapa resep obat untuk menurunkan panas demamku. Aku benar-benar telah merepotkan Reina kali ini.
"Makanya makan jangan telat!" ucapnya.
"Maaf," jawabku pelan.
"Kalo udah ngantuk, tidurlah bentar!"
"Maaf," jawabku agak keras.
"Dasar jomblo nggak jelas!"
"Kenapa malah jadinya ngejelekin, ya?"
Aku tahu bahwa yang Reina sampaikan adalah bentuk rasa pedulinya padaku. Meskipun kami baru akrab semester tiga lalu, banyak hal telah kita lalui bersama. Mulai dari diomelin dosen, tugas kelompok, hingga hal-hal seru seperti liburan dan lainnya. Aku bersyukur ada dia. Seperti punya kakak yang satu kelas rasanya.
Kami sampai di rumah Reina yang jaraknya tidak jauh dari kampus. Mama Reina menyambutku dengan khawatir saat mendengar kabarku pingsan tadi siang dari Reina. Aku memang tinggal dengan Reina semenjak semester empat. Saat itu, ia menawarkanku tinggal di rumahnya karena ada kamar kosong. Lumayan untuk menghemat uang bulanan.
Reina hanya tinggal berdua dengan Mamanya. Orang tua Reina telah lama bercerai dan papanya tidak tahu dimana sekarang. Untung saja Mama Reina adalah perempuan yang kuat. Lewat bisnis fashion-nya, beliau dapat membesarkan Reina seperti sekarang.
Jujur saja, aku dan Reina adalah dua orang dengan kepribadian dan ketertarikan yang sangat berbeda. Dia adalah seorang ekstrovert, sedangkan aku introvert banget. Aku suka hal-hal berbau Jepang, sedangkan dia menaruh hatinya pada India. Kalian pikir dia suka K-Pop, ya? Haha, kalian salah! Ia lebih memilih Shah Rukh Khan ketimbang Tae-hyung.
Hanya satu kesamaan dari kami berdua, ialah sama-sama anak tunggal. Itu membuat kami berdua memiliki semacam koneksi gaib yang mempersatukan kami. Yaitu perasaan sama-sama ingin memiliki saudara. Bahkan, saat pertama kali aku masuk ke rumah Reina, kami sibuk menentukan siapa yang jadi kakak dan siapa yang jadi adik. Sifat Reina yang selalu dapat diandalkan tentu membuatnya cocok menjadi seorang kakak, sedangkan sifat manjaku cocok sebagai seorang adik. Mama Reina pun ikut senang dengan tingkah kami kala itu. Aku juga diperbolehkan untuk memanggil beliau dengan sebutan "Mama".
Aku sendiri adalah mahasiswa rantau dari kota Bekasi. Menapaki diri belajar di kota Malang adalah sebuah petualangan baru bagiku. Meskipun seorang introvert sekalipun, aku tetap semangat saat harus menjalani hidup mandiri di kota orang. Bagaimana tanggapan orangtuaku? Mereka memberikan segenap kepercayaan padaku saat pertama kali berpamitan meminta restu untuk merantau. Yaa, meskipun Ayah sampai nangis, sih.
Aku benar-benar rindu rumah. Karena beasiswa Jepang ini, aku jadi belum bisa pulang. Namun orangtuaku tetap mendukungku dengan pilihanku dan terus menyemangatiku dari jauh.
Hari ini mama Reina memintaku untuk beristirahat penuh. Kata beliau untuk mengisi stamina sebelum akhirnya bertempur kembali dengan penelitian yang sudah setengah jadi. Itu semua demi tercapainya targetku, agar akhir bulan bisa kukumpulkan naskah penelitian ini. Dalam benakku terbesit, "What could possibly go wrong."
---------------------------------------------------------------------
Aku terbangun dari tidurku. Segelas air putih kulihat terletak di atas meja dengan kue mochi khas mama. Kunaikkan bantal, mencari tempat untuk bersandar. Ku-scroll ponsel sejenak, melihat pembaruan feed di akun Enstigramku. Dari banyaknya feed terlewat, satu yang menarik perhatianku.
"Bisnis Pempek Semakin Meluas Hingga ke 12 Kota di Indonesia, Ini Rahasia Radit Bangkit Dari Kekhawatiran Putus Kuliah!"
"Erai nee," gumamku dalam bahasa Jepang yang berarti "Hebat, ya," kepada Radit, teman satu jurusanku.
Radit adalah teman satu jurusanku. Aku mengenalnya karena kita pernah satu kelas dan dia adalah ketua kelasnya. Dia seseorang yang sangat bisa diandalkan. Anaknya aktif di kelas maupun organisasi. Hanya saja, sempat nasib buruk menimpa dirinya. Ia terpaksa cuti selama satu tahun. Kabar yang beredar bilang ia tidak dapat melanjutkan semester karena masalah biaya.
Namun sepertinya ia berhasil melewati masa-masa sulit itu. Buktinya sekarang nama dia ada di berbagai media kampus, siaran Podcast di berbagai kanal DoTube, hingga beberapa acara TV motivasi yang sering mengundang anak-anak muda inspiratif.
Kudengar 3 bulan pertama cutinya ia gunakan untuk ikut seminar bisnis, membangun relasi, hingga mengumpulkan modal. Banyak juga yang telah ia coba seperti berjualan baju, makanan ringan, belajar desain serta pekerjaan paruh waktu lainnya. Sampai akhirnya, ia mendapat ide dan membangun brand miliknya sendiri dengan nama, Pempek Curhat, sebuah kafe pempek kekinian.
Tidak disangka hanya butuh waktu 6 bulan bisnisnya melesat. Yang kubaca dalam salah satu artikel bilang, bahwa bisnisnya bulan ini mencapai omzet hingga 500 juta rupiah. Sungguh angka yang besar, yang apabila aku memilikinya bisa membuatku puas berjalan-jalan dan berbelanja di Jepang.
Aku sering makan pempek di kafenya. Tiap awal bulan wajib malah. Bukan karena aku punya banyak uang, tapi Reina kenal dekat dengan Radit. Reina sering dimintai ide terkait promosi apa yang harus dibuat tiap awal bulan, atau mencicipi rasa dari menu terbaru kafenya. Dan karena Reina adalah "kakakku", ya, aku ikut.
Aku jarang mengobrol dengan Radit. Terakhir kali bicara ketika kami sekelas dan ada lomba drama angkatan. Waktu itu dia menjadi sutradara dan aku penulis naskahnya. Di saat itulah aku benar-benar tahu seberapa hebatnya Radit berjuang. Tak heran bila ia sukses dari bisnis kafe pempeknya sekarang.
"Hei!" Reina masuk ke dalam kamar.
"How do you feel? Better?"
"Udah mendingan, kok," jawabku. Kami mengobrol sejenak, tertawa seperti biasanya.
---------------------------------------------------------------------
Alarm berbunyi menunjuk pukul setengah lima pagi. Aku mencuci muka, mengambil wudhu dan pergi melaksanakan Sholat Subuh. Setelahnya, selayaknya mahasiswi jaman now, aku langsung melihat ponselku. Kubuka Enstigram, scroll-scroll lagi selama beberapa menit, sampai sebuah notifikasi muncul di kolom Direct Message-ku. Sebuah pesan berawalan "Assalam mu'alaikum" dari akun centang biru.
"Masya Allah! Ini ustadzah itu?" Aku terkejut saat melihat nama Ustadzah Fisha di depan layar ponselku.
Ustadzah Fisha cukup terkenal dengan ceramah-ceramahnya di ranah pernikahan dan rumah tangga. Beliau juga sebulan lalu datang ke kampusku menjadi pembicara di seminar pra-nikah. Seminar ini kuikuti karena ibuku yang memintaku. Kupikir akan menjadi ceramah yang membosankan, namun ternyata pembawaan beliau yang akrab dan jelas membuatku menikmati seluruh rangkaian ceramah yang beliau berikan. Aku bahkan berkali-kali mengangkat tangan ingin bertanya, meskipun tidak kebagian kesempatan. Oleh karenanya, melihat beliau mengirimiku pesan membuatku sedikit gelagapan.
Berkali-kali kubuka dan kututup ponselku, meyakinkan diriku bahwa pesan itu memang dari beliau. “Ini serius beliau, kah? Tukang tipu kali. Tapi centang biru.” Aku menggumam tanpa henti, hingga akhirnya memberanikan diri membuka pesan tersebut. Pesan itu kurang lebih berisi seperti ini.
“Assalam mualaikum, Dek, maaf apabila ustadzah mengganggu waktumu. Benar dengan Dek Adzkira yang kuliah di Kampus Malang, ya? Kalau benar, boleh kenalan?”
“HEEEEEE!!!!” Teriakku, membangunkan Reina yang tidur di kasur yang berbeda denganku.
“Apaan, sih, berisik banget pagi-pagi,” gerutunya.
“Rei, aku di-chat ustadzah Fisha minta kenalan!” jawabku heboh. Reina pun ikut mendekat karena penasaran. Melihat bukti chat yang nyata itu, Reina ikut heboh. Pada akhirnya, Reina membantuku membalas chat dari Ustadzah Fisha.
Ternyata beliau orangnya baik dan asik. Kami mengobrol sampai pagi. Sambil dibantu Reina menjawab pesan Ustadzah Fisha, kami dikejutkan dengan satu pertanyaan dadakan, yang menurut perkiraan Reina merupakan inti dari niat awal Ustadzah Fisha mengkontakku.
“Dek Adzkira, maap nanya dikit, nih. Kira-kira apakah Dek Adzkira sudah siap menikah?”
“HEEEEEEEE!!” Teriak kami berdua, membuat Mama terkejut, lalu menghampiri kami dari dapur.
“Ada apa, Nak?”
“Mah, Adzkira dilamar,” seru Reina.
Pagi ini, seisi kamar dikejutkan dengan fakta bahwa aku, ditanya siap nikah oleh seorang ustadzah kondang.
Aku sangat menyukai Jepang. Ayahku merupakan lulusan S1 dari Jepang, dan ketika aku masih kecil, beliau sering menceritakan padaku betapa menakjubkannya negeri bunga sakura itu. Bukan berarti aku tidak suka Indonesia, ya! Suasana Bromo yang menyejukkan, ramainyaMalioboro dan indahnya pulau Pahawang pun punya tempat tersendiri di hati. Tapi jika aku menemukan lampu ajaib yang bisa membawaku ke tiga negara lain untuk berlibur, sudah pasti Jepang berada di nomor urut satu dua dan tiga. Lucunya, saat aku SMA malah tak pernah sama sekali aku menonton anime ataupun membacamanga. Walaupun sebenarnya sahabatku di sekolah adalah dua orang pendiri eskulJepang ilegal, tapi mereka tidak pernah berhasil menjadikanku bagian dari sekte mereka. Jadinya, ketika kuliah mereka tahu aku suka hal-hal berbau Jepang, mereka menyebut itu dengan "Kutukan yang tertunda". Tapi, serius! Semua yang ada di Jepang itu lucu dan unik. Aku ju
“Selamat malam, Pak. Boleh saya minta waktu Bapak sebentar besok terkait konsultasi penelitian saya, Pak? Terima kasih.” Begitulah isi pesanku ke Pak Tirta, selaku dosen pembimbing penelitianku. Kalian tahu jawaban beliau apa? “G” balasnya singkat. “Mati aku,” pikirku. Meskipun tenggat waktu pengumpulan masih lama, tapi aku sangat butuh konsultasi dengan beliau. Ini semua karena pertanyaan Ustadzah Fisha waktu itu. Ya, walaupun aku juga tidak tahu arah pertanyaannya, sih. Huft, padahal belum tentu juga aku akan dijodohkan, tapi aku malah kabur dari Ustadzah Fisha dan membuat masalah ke Pak Tirta. Payahnya aku! Aku menjatuhkan badanku ke kasur, dengan kaki masih menggantung di lantai. Suara ponsel berbunyi dengan nama kontak “Ibu” di layar. “Oh, udah jam 8, ya?” Aku merapikan dudukku, lalu mengangkat video call dari seseorang malaikat cantik yang kupanggil dengan sebutan “Ibu”. “Assalam mualaikum, Ibu!” sapaku dengan senyum.
Alarm ponselku berdering menunjuk pukul 4 pagi. Waktu sholat subuh sebentar lagi tiba. Aku membangunkan Reina yang sudah tak karuan posisi tidurnya. “Rei, bangun, subuh,” ucapku. “Bentar lagi, Mbok. Masih ngantuk,” Apa? Mbok? Bahkan saat tidur saja dia masih sempat mengejekku. Kuambil air di dalam gayung, lalu kucipratkan ke wajahnya. Tapi apa daya, orang bilang cukup sulit membangunkan kerbau yang sudah tertidur pulas. Aku pun beranjak dari kamar dan pergi mengambil wudhu. Sambil menunggu adzan, aku membuka Al Qur’an dan mengulang hafalanku. Saat ini, aku sudah hafal lima juz. Masya Allah, ‘kan! Adzan berkumandang. Aku mengambil dua rakaat sunnah, yang diikuti dengan dua rakaat subuh. Setelah selesai, aku mengangkat kedua tanganku seraya berdoa meminta semua yang kusemogakan terwujud. “Aamiinn,” Kulepas mukenaku, lalu kuambil ponsel yang dari semalam kutinggal cas. Aku melihat satu notifikasi balasan dari Ustadzah Fisha yang
Akhir pekan ini, gerimis mengetuk langit-langit rumah. Reina masuk ke kamar membawa semangkuk mie rebus yang masih panas. “Ohayou, Kira!” teriaknya, mengucapkan selamat pagi menggunakan satu-satunya kata dalam bahasa Jepang yang ia tahu. “Ohayou ohayou, aja, lu!” jawabku sinis, meski tetap mengambil mie kuah yang ia berikan. “Hmm, hujan-hujan ini enaknya ngapain lagi, ya?” tanya Reina menatap keluar jendela. “Kamu nanya gitu paling bentar lagi nonton India, ‘kan?” “Hehe, ngegosip aja kali, ya. Gimana Ustadzah Fisha, jadi kamu bales?” Sebuah pertanyaan yang paling ingin kuhindari keluar dari mulut Reina. Teringat kembali pesan ibu saat aku video call dengan beliau beberapa waktu lalu. “Kenapa aku harus merahasiakan ini ke Reina juga, Bu? Dia kan sahabatku, aku percaya dengannya,” tanyaku pada Ibu waktu itu. “Ibu paham bahwa Reina adalah sahabat kamu, tapi kita nggak bisa menebak apa yang akan
“Bu, aku terima ajakan ta’aruf Radit,” tulisku di dalam pesan singkat yang kukirim ke Ibu. “Bismillah, ya, Nak. Semoga diberi keberkahan. Jangan lupa kabarin kami tentang prosesnya. Kamu juga boleh meminta syarat-syarat lain jika dirasa perlu,” balas Ibu. Setelah kukirim jawabanku kepada Ustadzah Fisha, beliau mengirimkanku semacam roadmap akan seperti apa ta’aruf ini nantinya berjalan. Kami pun berdiskusi selama 3 hari. Ustadzah Fisha menjelaskan langkah-langkah yang harus dilewati semasa ta’aruf ini, juga hal-hal yang dilarang di dalamnya, termasuk berbicara secara langsung atau lewat pesan tanpa perantara. Oleh karena itu, beliau sekaligus menjadi perantara Radit untuk berkomunikasi mengenai proses yang ada. Aku sempat memberi saran bagaimana jika kita membuat grup berisi kami bertiga, tapi Radit menolak dengan alasan lebih nyaman seperti ini. Setelah berdiskusi, kami pun sepakat akan melalui proses-proses yang telah kami setujui.
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl
POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin