Alarm ponselku berdering menunjuk pukul 4 pagi. Waktu sholat subuh sebentar lagi tiba. Aku membangunkan Reina yang sudah tak karuan posisi tidurnya.
“Rei, bangun, subuh,” ucapku.
“Bentar lagi, Mbok. Masih ngantuk,” Apa? Mbok? Bahkan saat tidur saja dia masih sempat mengejekku. Kuambil air di dalam gayung, lalu kucipratkan ke wajahnya. Tapi apa daya, orang bilang cukup sulit membangunkan kerbau yang sudah tertidur pulas. Aku pun beranjak dari kamar dan pergi mengambil wudhu.
Sambil menunggu adzan, aku membuka Al Qur’an dan mengulang hafalanku. Saat ini, aku sudah hafal lima juz. Masya Allah, ‘kan!
Adzan berkumandang. Aku mengambil dua rakaat sunnah, yang diikuti dengan dua rakaat subuh. Setelah selesai, aku mengangkat kedua tanganku seraya berdoa meminta semua yang kusemogakan terwujud.
“Aamiinn,”
Kulepas mukenaku, lalu kuambil ponsel yang dari semalam kutinggal cas. Aku melihat satu notifikasi balasan dari Ustadzah Fisha yang semalam belum kubuka.
Semalam kami kembali mengobrol lewat Enstigram, setelah aku selesai video call dengan ayah dan ibu. Aku buka obrolan dengan ucapan salam seperti biasa. Setelah itu, yang kita bahas semalaman hanyalah tentang pertanyaan pernikahan.
Aku bilang pada beliau, bahwa saat ini, fokusku adalah kuliah dan beasiswa yang saat ini sedang kukerjakan. Aku berpikir bahwa untuk menikah belum pernah menjadi rencanaku dalam waktu dekat. Beliau merespon dengan baik keputusanku saat itu.
“Ustadzah paham, Kira. Insya Allah akan Ustadzah sampaikan apa yang menjadi keputusan kamu ke orang yang meminta saya menghubungi kamu,” balas beliau ketika selesai mendengar keputusanku.
“Tapi, Ustadzah…,” balasku cepat sebelum beliau mengakhir diskusi ini dengan salam.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa, saya merasa mendapat kesempatan ta’aruf yang langsung diwakilkan oleh Ustadzah merupakan sesuatu yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Saya pikir meskipun lelaki ini meminta kepada Ustadzah untuk dikenalkan kepada saya, tidak mungkin Ustadzah menerima penawaran itu kalau lelaki ini memiliki citra yang buruk. Saya yakin Ustadzah punya pandangan bahwa lelaki ini layak untuk dijodohkan. Yaa, meskipun aku juga nggak tahu apakah aku layak buat dia juga, sih, hehe.” Aku mengirim pesan ini, setelah lima kali kuhapus tulis.
Malam itu, beliau tidak langsung menjawab. Mungkin sudah tertidur. Dan pagi ini, aku melihat notifikasi balasan dari beliau.
“KIRA!!! Kok nggak bangunin aku!!!” teriak Reina melihat jam sudah menunjuk pukul setengah enam pagi. Dia pun mengendap-endap ke toilet dapur mengambil air wudhu karena takut dimarah oleh mama karena baru bangun jam segini.
Aku yang masih kesal dengan kata “Mbok” tadi pun kepikiran untuk membalasnya. Aku pun sedikit keluar dari kamar, lalu berteriak, “Ma, Reina belum sholat Subuh. Dia kesiangan.”
“Astaghfirullah, Reina Nur Fitriyaniiiii!!! Ngapain aja kamu semalam baru bangun jam segini?” Mama berteriak, membawa sapu lidi dan bersiap di depan pintu kamar mandi. Agar nanti ketika Reina keluar, satu dua pukulan lidi dapat mengenainya.
“Ampuuuunn, Mam….” Aku tertawa tanpa rasa bersalah mendengar Reina berteriak minta ampun.
---------------------------------------------------------------------
“Dah, Kira!” Reina meninggalkanku.
Meski kami satu kelas, kami akan berpisah jika itu kelas perminatan. Di sastra Inggris ada dua bidang perminatan, yaitu linguistik dan sastra. Fokus perminatanku saat ini adalah linguistik. Itu sebabnya isi penelitianku tentang psikolinguistik. Sedangkan Reina, dia mengambil perminatan sastra. Bukan karena ia suka berpuisi atau membaca cerpen, tapi karena dosen sastra enak-enak, berbeda dengan linguistik yang terkenal killer-killer.
Aku menengok kembali layar inbox-ku dengan Ustadzah Fisha. Terakhir beliau membalas, “Mau coba lihat profil prianya?” yang kujawab dengan, “Boleh, Ustadzah.” Namun, sampai siang ini, beliau belum mengirimkan apapun.
Kelas perminatan telah usai. Setelah membujuk dan meminta maaf pada Pak Tirta, syukurlah beliau mau mengadakan konsultasi terkait penelitianku. Kami janjian di perpustakaan kampus jam 3 sore. Aku berpisah dengan Reina yang hendak pulang duluan. Katanya, mau melanjutkan drama India yang semalam ia tonton.
“Hmm… bagaimana, Pak?” tanyaku kepada Pak Tirta yang saat ini sedang membaca penelitianku.
“Kalau Bapak lihat, masih belum ada unsur spesifik yang dapat menguatkan argumen kamu. ‘Kenapa judul berita bisa menjadi pengaruh buruk kepada masyarakat?’ atau ‘Bagaimana kemudian hoax bisa menjadi alasan masyarakat tidak lagi harus percaya pada pemerintahan?’ pertanyaan seperti ini harus kamu jawab dengan argumen yang kuat sehingga tidak memunculkan makna yang terkesan ambigu.” Seperti biasa, beliau begitu kritis dengan penilaiannya.
“Penarikan kesimpulanmu sebenarnya sudah cukup bagus, hanya saja butuh lebih banyak referensi dari jurnal-jurnal lain. Paham?”
Konsultasi selesai dengan penuh ketegangan dalam hatiku. Terutama saat beliau mengungkit tentang aku yang seperti kabur ketika waktu konsultasi harusnya dilakukan.
“Bapak sebenarnya nggak peduli kamu ada urusan keluarga, kek, atau sakit, kek. Tapi dengan tidak memberikan alasan yang jelas ke orang yang kamu ambil waktunya adalah kesalahan yang fatal.”
“Maaf, Pak, nggak mungkin saat itu aku bilang ke bapak kalau aku lagi galau,” ucapku dalam hati.
“Yang perlu kamu ketahui adalah bahwa yang kamu pegang saat ini itu kepercayaan saya yang kamu minta untuk membimbing kamu. Jangan sampai karena kamunikasi yang kurang baik, kamu kehilangan semua kepercayaan itu Kira. Cita-cita kamu ini besar, dan Bapak bangga kamu pilih sebagai pembimbingmu. Tapi kalau hal ini terjadi lagi, sepertinya kamu harus mengoreksi dan bertanya lagi ke diri kamu, sebenarnya apa mimpi kamu.” Kalimatnya tajam menyayat hatiku yang kecil dan mungil ini.
Ping!
Notifikasi ponselku berbunyi. Sebuah dokumen P*F dikirim Ustadzah Fisha.
“Ini, ya, CV si doi. Harusnya kamu sudah kenal sedikit tentang dia. Tapi dari CV ini, mungkin kamu akan mengetahui lebih detail tentang dirinya. Bukanya jangan lupa Basmalah, yaa.” Isi pesan dari Ustadzah Fisha.
“Bismillah…,” gumamku mengikuti saran dari Ustadzah.
Kubuka dokumen dengan judul “CV Lamaran” itu. Ia tak menyisipkan namanya di judul. Bahkan di halaman depan pun isinya latar belakang, tujuan, dan hal-hal pendukung lainnya. Jumlahnya 10 halaman. Daripada menyebut ini sebuah CV, malah terkesan seperti proposal perlombaan bagiku.
Aku baca dari halaman pertama (Karena di halaman awal mintanya begitu). Ia menuliskannya dengan lengkap dan detail.
Aku dibuat penasaran dengan kata-kata Ustadzah yang bilang kalau aku sudah mengenal dia sebelumnya. Padahal, aku belum pernah mendengar cerita di dalam CV ini dimana pun.
Dia berasal dari Malang dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Keluarganya broken home dua tahun lalu karena masalah ekonomi dan ibunya ketahuan selingkuh. Perselingkuhan itu terjadi karena bisnis yang ayahnya kelola bangkrut dan berhutang ratusan juta. Itu bahkan membuat dia terancam putus kuliah.
Dia punya adik perempuan yang saat ini sekolah di Australia dengan beasiswa. Di perjalanan pulang setelah pengumuman beasiswa si adik, terlihat sebuah mobil mewah berwarna hitam yang tak mereka kenali terparkir di depan rumah. Saat mereka masuk ke rumah, di sana, kedua orangtua mereka sedang bertengkar hebat.
Saat orangtua mereka menyadari kehadiran mereka, sang ibu bergegas pergi meninggalkan rumah menuju mobil mewah yang mereka lihat di depan. Bahkan tertulis sang ibu sekalipun tidak melirik ke arah mereka. Adiknya menangis begitu kuat. Adiknya pikir, beasiswa yang didapatnya dapat meringankan beban keluarga mereka. Tapi ternyata, beasiswa itu hanya sebuah kesia-siaan (Itu yang dipikirkannya waktu itu).
Ayah mereka menghampiri dua bersaudara itu. Memeluk mereka erat dan meminta maaf. Maaf kalau ayah belum bisa memberikan hangatnya keluarga terbaik untuk mereka. Satu malam itu dipenuhi tangisan. Begitu pula aku, saat selesai membaca tulisan tersebut.
Aku tak bisa membayangkan perasaan mereka. Aku pikir, bahwa hanya laki-laki saja yang bisa sejahat itu. Ternyata aku salah. Semua manusia berpotensi menjadi jahat ketika nafsu dan ego yang mereka kedepankan. “Astaghfirullah,” ucapku dalam hati. Semoga aku senantiasa terlindungi dari sifat-sifat buruk yang menjerumuskan.
Setelah mengusap air mata, aku lanjut membaca halaman-halaman lain. Dari profilnya ternyata dia sudah hafal sepuluh jus. “Masya Allah,” pikirku. Dia pun memiliki bisnis yang Ia kelola sendiri. Dibimbing langsung oleh ayahnya yang pernah gagal, sampai akhirnya bisnisnya berkembang. Ia pun berhasil lepas dari potensi putus kuliah.
Setelah kupikir-pikir, cerita ia membangun bisnis mirip dengan cerita Radit. Yaa, mungkin memang banyak orang di dunia ini yang berhasil merubah takdirnya. Meskipun prosesnya panjang dan melelahkan, tidak mustahil untuk mereka yang mau berusaha dan percaya kepada Yang Maha Pencipta.
Aku masih belum menyadari kejanggalan yang ada. Sampai akhirnya, aku menyentuh halaman terakhir, halaman CV.
“Namanya Raditya? Hmm, kayak pernah denger, deh. Tapi nama Radit juga pasaran, si—, eh? Eh! EH!!!” Suaraku cukup keras, membuat beberapa orang yang sedang berjalan menatapku.
“Ini bukan Radit yang Radit, kan?” pikirku panik.
Aku makin panik ketika melihat sebuah foto tertempel di CV tersebut.
“Astaghfirullah…!” Aku kehabisan kata saat melihat foto Radit, Founder Pempek Curhat, teman satu jurusanku, adalah orang yang melamarku.
Akhir pekan ini, gerimis mengetuk langit-langit rumah. Reina masuk ke kamar membawa semangkuk mie rebus yang masih panas. “Ohayou, Kira!” teriaknya, mengucapkan selamat pagi menggunakan satu-satunya kata dalam bahasa Jepang yang ia tahu. “Ohayou ohayou, aja, lu!” jawabku sinis, meski tetap mengambil mie kuah yang ia berikan. “Hmm, hujan-hujan ini enaknya ngapain lagi, ya?” tanya Reina menatap keluar jendela. “Kamu nanya gitu paling bentar lagi nonton India, ‘kan?” “Hehe, ngegosip aja kali, ya. Gimana Ustadzah Fisha, jadi kamu bales?” Sebuah pertanyaan yang paling ingin kuhindari keluar dari mulut Reina. Teringat kembali pesan ibu saat aku video call dengan beliau beberapa waktu lalu. “Kenapa aku harus merahasiakan ini ke Reina juga, Bu? Dia kan sahabatku, aku percaya dengannya,” tanyaku pada Ibu waktu itu. “Ibu paham bahwa Reina adalah sahabat kamu, tapi kita nggak bisa menebak apa yang akan
“Bu, aku terima ajakan ta’aruf Radit,” tulisku di dalam pesan singkat yang kukirim ke Ibu. “Bismillah, ya, Nak. Semoga diberi keberkahan. Jangan lupa kabarin kami tentang prosesnya. Kamu juga boleh meminta syarat-syarat lain jika dirasa perlu,” balas Ibu. Setelah kukirim jawabanku kepada Ustadzah Fisha, beliau mengirimkanku semacam roadmap akan seperti apa ta’aruf ini nantinya berjalan. Kami pun berdiskusi selama 3 hari. Ustadzah Fisha menjelaskan langkah-langkah yang harus dilewati semasa ta’aruf ini, juga hal-hal yang dilarang di dalamnya, termasuk berbicara secara langsung atau lewat pesan tanpa perantara. Oleh karena itu, beliau sekaligus menjadi perantara Radit untuk berkomunikasi mengenai proses yang ada. Aku sempat memberi saran bagaimana jika kita membuat grup berisi kami bertiga, tapi Radit menolak dengan alasan lebih nyaman seperti ini. Setelah berdiskusi, kami pun sepakat akan melalui proses-proses yang telah kami setujui.
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl
POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin