“Bu, aku terima ajakan ta’aruf Radit,” tulisku di dalam pesan singkat yang kukirim ke Ibu.
“Bismillah, ya, Nak. Semoga diberi keberkahan. Jangan lupa kabarin kami tentang prosesnya. Kamu juga boleh meminta syarat-syarat lain jika dirasa perlu,” balas Ibu. Setelah kukirim jawabanku kepada Ustadzah Fisha, beliau mengirimkanku semacam roadmap akan seperti apa ta’aruf ini nantinya berjalan.
Kami pun berdiskusi selama 3 hari. Ustadzah Fisha menjelaskan langkah-langkah yang harus dilewati semasa ta’aruf ini, juga hal-hal yang dilarang di dalamnya, termasuk berbicara secara langsung atau lewat pesan tanpa perantara. Oleh karena itu, beliau sekaligus menjadi perantara Radit untuk berkomunikasi mengenai proses yang ada.
Aku sempat memberi saran bagaimana jika kita membuat grup berisi kami bertiga, tapi Radit menolak dengan alasan lebih nyaman seperti ini. Setelah berdiskusi, kami pun sepakat akan melalui proses-proses yang telah kami setujui.
Pertama, Radit akan pergi ke rumahku untuk lamaran. Tentunya, kami tidak pergi bersama. Aku berencana untuk pergi duluan setelah mengumpulkan naskah penelitianku. Radit akan menyusul beberapa hari kemudian.
Pertemuan ini untuk memperkenalkan Radit pada keluargaku. Sebagaimana lamaran seperti biasa, Ayah sebagai waliku juga akan memberikan beberapa pertanyaan pada Radit. Pertanyaan yang ditujukan sebagai tolak ukur pantaskah Radit bersanding denganku. Mungkin dia akan membawa martabak sebagai senjata rahasia. Ituloh, yang kata orang, “Kalau belum bisa jadi laki-laki yang bermartabat, jadilah laki-laki yang bermartabak.” Aku pun menyarankan rasa keju, karena itu kesukaan ayah.
Jika ayah telah mengizinkan Radit untuk melanjutkan proses ta’arufnya, maka giliranku yang akan bertemu orangtuanya. Namun berbeda dengan Radit yang datang sendirian, ayah Radit meminta ayah dan ibuku juga datang. Katanya untuk silaturahmi sekalian. Setelah keluarga kami mengenal satu sama lain, begitu pula dengan kami, proses ta’aruf bisa berlanjut ke tahap ke tiga.
Tahap terakhir ini akan menjadi saat yang tepat untuk aku dan Radit mengenal satu sama lain, dan bertanya tujuan pernikahan jika kami memutuskan untuk menikah. Tentunya akan ditemani Ustadzah Fisha sebagai perantara kami. Kami akan duduk berhadap-hadapan atau saling membelakangi, lalu melempar pertanyaan satu sama lain. Masing-masing menjawab dan menilai setiap jawaban berdasar logika, dan bukan hanya perasaan.
Setelah dari rangkaian pertemuan itu mendapat sebuah kesepakatan, jika kami sama-sama memutuskan untuk melanjutkan, maka akad nikah sudah di depan mata. Namun apabila kami merasa tidak sesuai setelah menjalani proses yang ada, ta’aruf pun dapat dibatalkan. Begitulah proses yang akan terjadi dalam masa ta’aruf yang akan kami tempuh. Aku menerimanya dengan syarat aku ingin menyelesaikan penelitianku terlebih dahulu.
Larangan-larangan yang ada tentu saja berhubungan dengan komunikasi secara langsung ataupun lewat pesan tanpa perantara. Ini demi menghalangi kami berbuat hal-hal yang dapat menarik perhatian dan simpatik satu sama lain, seperti ngingetin shalat atau gombalan-gombalan bermodus “Syari’ah”, yang membuat nafsu kami ikut bermain di dalamnya.
------------------------------------------------------------------------
Akhir bulan menjadi tenggat waktu pengumpulan penelitianku. Aku ingin mengikuti saran ibu, jadi aku harus menyelesaikannya minimal pertengahan bulan. Tak ada lagi pesan dari Ustadzah Fisha setelah diskusi hari itu. Perasaanku juga jadi lebih ringan karena semua kegelisahan yang kurasakan kemarin sudah terjawab. Kecuali, fakta bahwa aku masih merahasiakan ta’aruf ini dari Reina. Tapi selama Reina tidak pernah mengungkitnya lagi, kurasa semuanya aman.
“Waduh, banyak banget merahnya,” kataku, saat melihat ke arah kertas revisianku.
“Otsukaresamadeshita,” ucap Reina, sambil membawakan secangkir teh hangat.
“Nambah lagi kosa katamu,” seruku.
“Iya dong, Reina!”
Sebagai informasi, Otsukaresama adalah sebuah ungkapan dalam bahasa Jepang yang digunakan untuk mengungkapkan apresiasi atas kerja keras yang dilakukan oleh teman atau rekan kerjamu. Sedangkan Deshita membuatnya terasa lebih formal. Kalau di beberapa anime yang pernah kutonton, artinya bisa seperti “Terimakasih atas kerja kerasnya” dan sejenisnya.
Keunikan bahasa inilah yang membuatku tertarik pada linguistik. Pada dasarnya setiap bahasa mempunyai cara mereka untuk menyampaikan rasa, makna, dan juga kekuatan. Meskipun aku belajarnya di Sastra Inggris, tapi secara konsep, linguistik bisa diterapkan di mana saja. Yaa, meskipun banyak cabangnya, sih. Apa lagi grammar. Susah!
Penelitianku pun demikian. Aku meneliti bagaimana kata-kata dalam sebuah berita bohong atau hoax mempengaruhi manusia melakukan tindakan. Saking kuatnya kekuatan bahasa, aku rasa, bahkan dari bahasa dapat menciptakan perdamaian. Tapi dari bahasa, juga bisa menciptakan pertikaian. Dari situlah keinginanku mengulik tema ini. Agar suatu saat semua orang dapat menyadari bahwa menelaah setiap kalimat dengan baik, dan membandingkan setiap bukti dengan kebenaran adalah hal yang penting. Sangat penting sehingga kita dapat terhindar dari salah satunya propaganda, apalagi propaganda yang diciptakan oleh media hoax.
“Masih banyak, kah, Ra?” tanya Reina.
“Lumayan, Rei. Ada beberapa yang aku tahu konsepnya, tapi bingung nulisnya gimana.”
“Ohh, gitu…,” jawab Reina, sambil mengangguk dan sesekali tersenyum.
“Hwee… kenape lu? Cengengesan bae,” tanyaku.
“Gakpapa… cuma ngeliat kamu yang sekarang, aku ngerasa kamu udah banyak berubah, ya. Kayak beda aja gitu dari waktu pertama kita ketemu.”
Aku memandang Reina lamat-lamat, kemudian setengah menutup laptopku. Aku pun memeluk sahabatku yang paling kesayangi ini.
“Ini semua juga berkat kamu, Rei! Karena kamu orangnya hebat, makanya aku ketularan, deh!”
“Haha, iya juga, yaa. Aku kan emang hebat!”
Malam ini, mungkin, menjadi malam yang paling hangat yang pernah kami berdua rasakan. Jauh lebih hangat dari malam malam sebelumnya.
---------------------------------------------------------------------
Aku bergegas lari ke perpustakaan, tempat aku akan menemui Pak Tirta untuk memberikan revisi penelitianku. Setelah bertemu, beliau tak berkomentar apapun mengenai revisiku. Yang ia katakan hanya “Ini sudah bagus. Semoga kamu beruntung!” Aku keluar dari perpustakaan menemui Reina yang menungguku di luar.
“Yattaaaa!!!” kataku padanya. Kami langsung berpelukan dan Reina mengucapkan selamat.
“Akhirnya selesai, ya! Semoga cita-cita sahabat gue untuk ketemu Doraemon tercapai,” ucap Reina.
“Hehe, makasih,”
“Bagaimana kalau kita merayakannya dengan makan pempek beranak di kafe Radit!” ajak Reina.
Tak kusangka sampai detik dimana aku sudah menerima ta’aruf Radit, aku belum bercerita apapun lagi pada Reina. Perasaanku menjadi aneh tiap kali memikirkannya. Apalagi kalau memikirkan risiko yang mungkin saja terjadi.
“Jika nanti Reina mengetahui kalau aku akan menikah dengan Radit, apa dia akan mendukungku?” begitu pikirku.
“Rei, aku mau ngomong sesuatu,” ucapku. Aku merasa, mungkin tidak masalah jika sekarang aku mengatakannya.
“Anu…,” saat aku ingin mengatakan semuanya, tiba-tiba, aku melihat mata Reina tak henti menatap ke arah lapangan basket. Dan jika aku tidak salah lihat, pandangannya, tidak lepas dari memandangi Radit yang sedang bermain basket di sana.
Ini pertama kalinya aku melihat Reina memandang seseorang sedalam itu. Dan baru kusadari bahwa selama ini pandangannya itu menuju ke Radit. Mengapa aku tidak menyadarinya? Reina yang dekat dengan Radit. Reina yang kalau ada apa-apa, selalu lari ke kafe Radit. Bukankah itu pertanda, bahwa mungkin, Reina memiliki perasaan pada Radit?
“Eh, maaf, jadi ngelamun. Mau ngomong apa tadi, Ra?” tanyanya sekali lagi.
“Ah, nggak, itu. Aku pikir bosan kalau tiap kali ngerayain sesuatu harus ke tempat Radit. Aku lagi pengen makan steak. Gimana kalau aku yang traktir?” tanyaku, yang akhirnya memutuskan untuk tetap merahasiakan semuanya.
“Hmm, pas kamu ngomong itu, aku jadi pengen. Ada kata traktirnya lagi. Jadi tambah pengen. Yaudah, yok!” Aku naik ke motor Reina. Kami berdua pun pergi ke kafe steak dekat kota. Di perjalanan, sambil terus mengingat tatapan Reina tadi, aku terus berpikir apakah pilihan yang kupilih ini merupakan pilihan yang tepat.
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak
POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl
POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin