Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati.
“Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran.
Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti.
Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin sedikit meringankan tanggung jawab mereka dengan mendapat beasiswa pendidikan.
“Hei, Kira, gimana kalau kita jalan-jalan?” tanya Reina.
“Jalan-jalan?”
“Iya! Ke Jatim Park atau sekadar keliling-liling Batu, atau mau lebih niat lagi kita bisa ke Bromo!” lanjut Reina penuh semangat.
“Kayaknya aku yang bertarung, tapi kamu yang seneng-seneng, yaa,” ucapku.
“Hehe, menikmati masa muda. Oh iya, gimana kalau kita ajak Radit juga! Ku telpon dulu, ya.” Saat Reina hendak mengambil ponselnya, seketika tanganku dengan tanpa sadar meraih tangannya.
“Eh, bentar!” ucapku.
“Loh, kenapa Kira?” tanyanya.
“Aku pikir ada baiknya kita aja yang jalan-jalan. Nggak perlu sampe ngajak Radit.”
“Hmm, tapi apa serunya kalau cuma berdua.” Aku tak tahu harus mengelak apa.
“Tunggu dulu, Kira…,” Reina menatapku lamat-lamat.
“Kamu nggak lagi ngindarin Radit, ‘kan, Ra?” tanyanya.
“Ha, menghindari maksudnya? Nggak, kok, nggak menghindar.” Bodohnya aku. Jelas sekali tingkahku terlihat sangat gugup saat ini. Namun sepertinya keberuntungan berpihak padaku. Aku terselamatkan oleh mama yang tiba-tiba masuk ke kamar kami.
“Hee, kalian mau jalan-jalan? Kok nggak ajak-ajak Mama, sih?” Sepertinya beliau mendengar apa yang dari tadi kami bicarakan dari luar.
“Apa, sih, Ma. This is ladies night,” Ladies night padahal tadi dia mau ngajak Radit, pikirku.
“Ya, jangan gitu, dong. Sekali-sekali kita keluar bareng gitu. Udah lama banget! Terakhir pas lebaran kemaren, kan?” ucap Mama.
“Hmm, kalau gitu, Mama tambahin, yaa.” Reina sepertinya tidak mau melewatkan kesempatan untuk menguras dompet mamanya.
“Hee, itu mah pemerasan! Kapan kamu yang beliin Mama, Rei,”
“Tapi ada topi yang aku pengen beli, Ma!”
Malam itu, aku terselamatkan dari pertanyaan Reina. Tapi aku paham bahwa keberuntungan belum tentu datang dua kali. Aku hanya berharap ta’aruf ini bisa cepat selesai. Agar bisa dengan cepat aku mengambil keputusan. Jika ta’aruf kutolak, aku bisa dengan mudah menyembunyikan semua ini dari Reina. Tapi jika aku menerima? Sebaiknya yang ini nanti saja kupikirkan.
Setelah diputuskan, kami pun pergi ke pusat perbelanjaan dekat alun-alun kota Malang. Malam itu alun-alun terlihat begitu ramai dengan cahaya lampu menerangi sepenjuru taman. Terlihat semua orang sangat menikmati waktu-waktu mereka bersama orang-orang yang mereka sayang.
Di dalam pusat perbelanjaan, Reina dan Mama langsung berlomba-lomba melihat-lihat sekitar. Anak dan ibu memang tidak ada bedanya.
“Ini, Mah, topi yang kumau.” Reina menjulurkan topi merek terkenal yang ia sempat lihat di serial drama India yang tengah ia tonton saat ini.
“Topi apaan ini, Nak, 800 rebu! Kamu, loh, pake hijab ngapain beli topi!” seru Mama.
“Tapi, Mah, topinya tuh bagus. Kemaren pas nonton film India pemeran utamanya pake topi itu!”
“Nak, kita beli di pasar aja, yaa,”
“Nggak mauuuu!!!” Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka berdua sepanjang perjalanan. Seolah melihat seorang gadis berusia lima tahun merengek kepada ibunya meminta dibelikan boneka.
“Kira… sini, Nak!” panggil Mama.
“Ini kira-kira cukup tebal, nggak, ya?” Mama memperlihatkan sebuah mantel tebal padaku.
“Kok diem aja? Untuk ke Jepang ini, ke Jepang! Kamu bakal kesana pas musim dingin, ‘kan?” ujarnya.
“Tapi, Ma, kan belum pasti,” balasku.
“Kira, kamu harus optimis. Kamu sudah berjuang dengan sangat baik. Begadang, baca banyak buku, bahkan sampe pingsan. Jadi nggak boleh ada satu kata pesimis sedikit pun yang Mama mau dengar dari mulut kamu. Percaya, berdoalah. Tuhan paling tahu kerasnya kamu berusaha, Nak.”
“Makasih, Mah.” Betapa beruntungnya aku punya dua ibu yang sangat menyayangiku.
“Lagian, ini limited edition, lucu lagi. Kalo nggak beli sekarang nanti diambil orang. Coba gih, coba!” Aku mengambil mantel dari pegangan Mama dan mencobanya di ruang ganti.
“Uwaw,” ucap mereka berdua.
“Gimana?” tanyaku.
“Bukan kayak wibu. Mirip orang Jepang asli,” jawab Reina.
“Arigatou,” balasku sumringah.
Setelah selesai berbelanja, kami pun pergi makan malam. Makan malam yang hangat dengan penuh tawa dan senyuman dari orang-orang yang kusayang. Kami mengobrol panjang, obrolan-obrolan receh seputar kampus dan dosen killer.
Setelah perut penuh terisi, kami kembali ke mobil. Suaraku menutup pintu mobil diikuti dengan suara notifikasi ponselku. Sebuah pesan masuk yang kulihat dari Ustadzah Fisha.
“Maaf baru balas. Selamat karena telah menyelesaikan penelitianmu. Semoga mendapat hasil terbaik, ya,” balas Ustadzah Fisha. Karena aku duduk di belakang, aku jadi tidak perlu khawatir dengan Reina.
“Terimakasih, Ustadzah,” balasku.
Ustadzah Fisha tidak membahas apapun tentang kelanjutan ta’aruf-nya. Seperti tanggal atau kapan aku ingin mulai. Beliau benar-benar hanya memberikan selamat.
“Apakah beliau ingin aku yang inisiatif?” pikirku.
Aku membuka aplikasi travel, melihat harga tiket kereta pekan depan. Sepertinya cukup murah. Aku berencana mengambil libur untuk mata kuliah hari rabu hingga jumat. Hari senin juga libur karena tanggal merah. Aku rasa di tanggal-tanggal tersebut adalah waktu yang tepat untuk pulang. Aku bisa berangkat selasa sore dan sampai di Bekasi Rabu pagi. Pulang dan mungkin jalan-jalan sebentar, sekaligus menyiapkan segala hal yang perlu kusiapkan untuk tahap awal ta’aruf.
Aku mengirimi perencanaanku pada Ustadzah. Beliau jawab, “Oke” dan tinggal menunggu jadwal keberangkatan Radit.
“Sudah sampai,” ucap Mama, ketika mobil sudah terparkir di depan rumah.
“Tolong garasinya, ya!” Aku dan Reina keluar menggeser pagar garasi.
“Pakaiannya taro di mesin cuci dulu, yaa. Biar dicuci dulu,”
“Iya, Mah!” Setelah itu, kami langsung lompat ke kasur kami masing-masing. Hari yang melelahkan, tapi juga hari yang menyenangkan.
“Hei, Kira, nanti kalau udah di Jepang jangan lupa beliin sushi asli sana, yaa.”
“Yaelah, di Malang juga banyak!”
“Yaa, aku pengen tahu rasa yang asli gimana?”
“Waduh! Apakah Reina sudah mulai terjangkit virus jejepangan?” ejekku.
“Apaan, dah! Kalo gue nontonnya Narto, oke lu bilang gue gitu, haha,”
“Naruto, woy, Naruto.”
Malam yang panjang itu, berganti menjadi pagi. Rutinitas kuliah-pulang kuliah-pulang pun kurasakan kembali. Jujur, lega juga ketika penelitian itu selesai. Aku jadi tidak perlu begadang semalaman mengerjakan berlembar-lembar naskah. Tapi waktu-waktu yang kuhabiskan membuat proposal pun juga menyenangkan. Ribet, tapi menyenangkan. Yaa, semoga saja, kerja kerasku terbayarkan. Jepang! I will meet you soon!!!
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak
POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl
Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl
POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men
Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta
“Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin