Home / Romansa / Ta'aruf Before Married / Ta'aruf Before Married #2

Share

Ta'aruf Before Married #2

Author: Kaarey
last update Last Updated: 2022-03-07 07:18:52

Aku sangat menyukai Jepang. Ayahku merupakan lulusan S1 dari Jepang, dan ketika aku masih kecil, beliau sering menceritakan padaku betapa menakjubkannya negeri bunga sakura itu. 

Bukan berarti aku tidak suka Indonesia, ya! Suasana Bromo yang menyejukkan, ramainya Malioboro dan indahnya pulau Pahawang pun punya tempat tersendiri di hati. Tapi jika aku menemukan lampu ajaib yang bisa membawaku ke tiga negara lain untuk berlibur, sudah pasti Jepang berada di nomor urut satu dua dan tiga.

Lucunya, saat aku SMA malah tak pernah sama sekali aku menonton anime ataupun membaca manga. Walaupun sebenarnya sahabatku di sekolah adalah dua orang pendiri eskul Jepang ilegal, tapi mereka tidak pernah berhasil menjadikanku bagian dari sekte mereka. Jadinya, ketika kuliah mereka tahu aku suka hal-hal berbau Jepang, mereka menyebut itu dengan "Kutukan yang tertunda". Tapi, serius! Semua yang ada di Jepang itu lucu dan unik.

Aku juga belajar bahasa Jepang. Kalau mengikuti standar Negara Jepang, mungkin aku masih di tingkat N5 Japanese Language Proficiency Test, atau yang disingkat JLPT. Mungkin belum setara dengan penduduk asli disana, tapi setidaknya aku tidak melulu mengucapkan “Arigatou” ketika suatu saat pergi ke Jepang. Berbicara santai dengan Nobita asli jepang adalah salah satu dari keinginanku bila lulus beasiswa nanti.

Aku sangat berharap untuk lulus dari beasiswa ini. Saking inginnya, aku sampai mencari dosen yang mau membimbingku langsung. Dipertemukanlah aku dengan Pak Tirta, dosen mata kuliah Psikolinguistik. Beliau memang agak galak, apalagi saat aku berulang kali melakukan kesalahan yang sama. Tapi arahan dan penjelasan beliau benar-benar jelas. Beliau juga kritis dan mengerti dengan keinginan mahasiswanya. Saat aku bercerita ingin mengikuti beasiswa ini pun, ia tidak segan-segan ikut belajar tentang Jepang, mencari tahu identitas kampus yang mengadakan, dan segala aspek yang melingkupi penelitianku.

Tapi kali ini, beliau benar-benar akan marah padaku. Sangat marah. Itu semua karena kejadian dua hari lalu membuat kepalaku nge-blank. Seorang ustadzah kondang dengan akun I* centang biru menghubungiku lewat Enstigram. Beliau bertanya, “Apakah aku siap menikah?”

Dua hari berlalu, dan aku belum memberi jawaban apapun kepada Ustadzah Fisha. Terakhir aku hanya menjawab, “Aduh, Ustadzah, maaf. Sinyalnya gangguan. Nanti saya kabarin lagi, yaa.” Ia lantas menjawab dengan pertanyaan, “Kan ini pesan, Dek, bukan telpon.” Setelah itu, tak ada lagi jawaban dariku untuk beliau.

Aku bingung. Sangat bingung. Kenapa beliau menanyakan hal itu padaku. Reina berpendapat jika saat itu aku bilang iya, maka Ustadzah Fisha akan mengenalkanku kepada seorang pria. Tapi aku ragu untuk menjawab. Untuk menikah saja aku belum tahu apa aku sudah siap. Hal ini pun belum kuceritakan ke ayah dan ibu. Pasti mereka akan lebih kaget anak semata wayangnya dilamar orang.

“Tenanglah, Kira! Kalau memang kamu belum siap, kamu tinggal tolak aja, kan?” ujar Reina.

“Tapi kalau ternyata bener ini penjodohan dan aku dijodohin sama Hafidz Qur’an, atau pangeran yang Sholeh, gimana?” Jawabku.

“Yaudah kalau gitu terima,”

“Tapi emang aku udah bisa jadi istri-able, apa?” Reina mengernyitkan dahinya, lalu melempar bantal ke arahku seraya berkata, “Duh, dasar jones ribet!”

Setelah kejadian itu, aku tambah amalan-amalan dan doa-doa untuk meminta petunjuk, tentang langkah apa yang harus kuambil. Kutambah rakaat tahajud dan dhuha-ku. Kutambah sedekah pagiku meskipun hanya 500 perak. Semua demi jawaban terbaik yang bisa kupilih. Karena pernikahan bagiku bukan hanya sekedar menjalin hubungan dengan orang lain. Ada banyak aspek, seperti: sunnah, keluarga besar, tujuan dan masih banyak lagi. Karena berumah tangga berarti membangun kehidupan baru dengan menggabungkan dua keluarga besar. Aku harus benar-benar siap!

“Hmm, ke kafe Radit aja, yok! Mikirin ginian di kamar malah bikin kamu gila sendiri,” saran Reina. Mungkin Reina benar, aku butuh sedikit udara segar dan segelas jus alpukat. Aku juga harus kembali mengerjakan penelitianku yang tenggat waktunya akhir bulan depan. Kuambil tas dan laptop, berdua kami berangkat ke tempat biasa kami mendapat makanan gratis, Kafenya Radit.

 --------------------------------------------------------

Hidangan telah tiba, diantarkan langsung oleh pemiliknya. Satu pempek selam jumbo dengan ice lemon tea milik Reina, sedangkan ayam geprek dan jus alpukat untukku.

Aneh memang. Aku lebih sering pesan ayam gepreknya dibanding pempek. Kalo kata ayah, “Orang Indonesia itu belum makan kalo nggak pake nasi!” serunya berapi-api.

“Nggak ada gratisannya, nih?” sahut Reina.

“Minta gratis mulu!”

“Eh, kan gue udah jadi pencicip rasa bersertifikat kafe ini. Inget ya, Dit, sekali gue kasih lu review jelek, ancur bisnis lu,” ancam Reina, yang lebih terdengar seperti kutukan.

“Iya aja, deh…” Radit beranjak dari tempatnya duduk ke arah kasir, mengambil sepiring penuh pempek beserta cukanya. Mata Reina berbinar-binar seketika melihat piring penuh itu. Aku heran, dengan nafsu makan yang besar itu, kemana semua larinya. Tapi aku tidak berani  bertanya. Takut perang dunia ke-3 terjadi. Bisa gawat.

“Jadi, kenapa tiba-tiba kesini,” tanya Radit, mengambil kursi dan duduk di tengah-tengah kami.

“Oh, ini, si jomblo mau kawin katanya,”

“Reina, kenapa kamu bilang-bilang, sih?” kataku, sambil sedikit mencubit lengan Reina.

“Ya, nggak papa, sih, Kira. Eh, saat-saat kayak gini, ada baiknya lu cari pendapat ke orang-orang biar dapet sudut pandang lain. Kali aja nemu solusi.”

“Emang mau kawin kapan?” tanya Radit polos.

“Bukan kawin, Dit, belum!” jawabku.

“Berarti mau, kan, haha!” sahut Reina, yang kemudian kucubit dia di daerah pinggangnya seraya berbisik, “kucubit ginjalmu!” Dengan suara lirih ia menjawab, “Ampun, Bu.”

“Hmm, kalo kamu nggak keberatan cerita, Kira, mungkin aku bisa bantu kasih saran,” ucap Radit.

“Apaan, nih, tiba-tiba ‘Aku-Kamuan’?” tanya Reina.

“Diem, lu!” dibalas Radit ketus.

Entah apa yang merasukiku, tanpa kusadari, aku menceritakan apa yang terjadi padaku ke Radit. Dalam pikiranku mungkin memang menginginkan jawaban yang tegas dan solutif. Karena kalau ke Reina, yang ada dia bakal terus menjahiliku.

“Kalo begitu, apa salahnya kamu kasih tahu ini ke orangtuamu dulu,” saran Radit. “Ibarat kata, mereka yang paling paham kamu dan yang paling tahu yang terbaik untukmu. Selain itu, masa-masa seperti ini bukankah mereka pernah lewati sebelumnya?”

“Jika mendengar dari cerita kamu dulu waktu kita lomba drama, orangtuamu juga bertemu lewat jalur Ta’aruf, ‘kan?”

Tunggu, pantas saja perasaan ini seperti Déjà vu. Aku yang tanpa sadar bercerita seperti ini ke Radit adalah aku yang dulu pernah melakukan hal yang sama di saat kami satu tim di lomba drama. Waktu itu, tanpa sadar aku bercerita bagaimana kedua orangtuaku dipersatukan lewat cara ta’aruf. Arghh, aku benar-benar merasa malu saat ini. Mungkin sosoknya yang bisa diandalkan itulah yang membuatku seolah percaya apabila bercerita padanya.

“Coba saja diskusikan dulu, aku yakin mereka akan merespon dengan baik.”

Sebuah jawaban yang menenangkan, seolah membuat perasaan takut dan raguku sebelumnya mengalir keluar dari hati ini.

“Yaudah, gue balik dulu, ya, bye!

Aku berterima kasih pada Radit atas sarannya. Setelah pulang, aku pun mengirim pesan WadApp kepada ibu. Aku bilang, “Bu, malem ini aku Video call, ya.” Pesanku pun dibalas dengan kata, “Oke”. Sembari menunggu matahari berganti bulan, aku lanjut menulis penelitian beasiswaku.

Related chapters

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #3

    “Selamat malam, Pak. Boleh saya minta waktu Bapak sebentar besok terkait konsultasi penelitian saya, Pak? Terima kasih.” Begitulah isi pesanku ke Pak Tirta, selaku dosen pembimbing penelitianku. Kalian tahu jawaban beliau apa? “G” balasnya singkat. “Mati aku,” pikirku. Meskipun tenggat waktu pengumpulan masih lama, tapi aku sangat butuh konsultasi dengan beliau. Ini semua karena pertanyaan Ustadzah Fisha waktu itu. Ya, walaupun aku juga tidak tahu arah pertanyaannya, sih. Huft, padahal belum tentu juga aku akan dijodohkan, tapi aku malah kabur dari Ustadzah Fisha dan membuat masalah ke Pak Tirta. Payahnya aku! Aku menjatuhkan badanku ke kasur, dengan kaki masih menggantung di lantai. Suara ponsel berbunyi dengan nama kontak “Ibu” di layar. “Oh, udah jam 8, ya?” Aku merapikan dudukku, lalu mengangkat video call dari seseorang malaikat cantik yang kupanggil dengan sebutan “Ibu”. “Assalam mualaikum, Ibu!” sapaku dengan senyum.

    Last Updated : 2022-03-07
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #4

    Alarm ponselku berdering menunjuk pukul 4 pagi. Waktu sholat subuh sebentar lagi tiba. Aku membangunkan Reina yang sudah tak karuan posisi tidurnya. “Rei, bangun, subuh,” ucapku. “Bentar lagi, Mbok. Masih ngantuk,” Apa? Mbok? Bahkan saat tidur saja dia masih sempat mengejekku. Kuambil air di dalam gayung, lalu kucipratkan ke wajahnya. Tapi apa daya, orang bilang cukup sulit membangunkan kerbau yang sudah tertidur pulas. Aku pun beranjak dari kamar dan pergi mengambil wudhu. Sambil menunggu adzan, aku membuka Al Qur’an dan mengulang hafalanku. Saat ini, aku sudah hafal lima juz. Masya Allah, ‘kan! Adzan berkumandang. Aku mengambil dua rakaat sunnah, yang diikuti dengan dua rakaat subuh. Setelah selesai, aku mengangkat kedua tanganku seraya berdoa meminta semua yang kusemogakan terwujud. “Aamiinn,” Kulepas mukenaku, lalu kuambil ponsel yang dari semalam kutinggal cas. Aku melihat satu notifikasi balasan dari Ustadzah Fisha yang

    Last Updated : 2022-03-08
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #5

    Akhir pekan ini, gerimis mengetuk langit-langit rumah. Reina masuk ke kamar membawa semangkuk mie rebus yang masih panas. “Ohayou, Kira!” teriaknya, mengucapkan selamat pagi menggunakan satu-satunya kata dalam bahasa Jepang yang ia tahu. “Ohayou ohayou, aja, lu!” jawabku sinis, meski tetap mengambil mie kuah yang ia berikan. “Hmm, hujan-hujan ini enaknya ngapain lagi, ya?” tanya Reina menatap keluar jendela. “Kamu nanya gitu paling bentar lagi nonton India, ‘kan?” “Hehe, ngegosip aja kali, ya. Gimana Ustadzah Fisha, jadi kamu bales?” Sebuah pertanyaan yang paling ingin kuhindari keluar dari mulut Reina. Teringat kembali pesan ibu saat aku video call dengan beliau beberapa waktu lalu. “Kenapa aku harus merahasiakan ini ke Reina juga, Bu? Dia kan sahabatku, aku percaya dengannya,” tanyaku pada Ibu waktu itu. “Ibu paham bahwa Reina adalah sahabat kamu, tapi kita nggak bisa menebak apa yang akan

    Last Updated : 2022-03-09
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #6

    “Bu, aku terima ajakan ta’aruf Radit,” tulisku di dalam pesan singkat yang kukirim ke Ibu. “Bismillah, ya, Nak. Semoga diberi keberkahan. Jangan lupa kabarin kami tentang prosesnya. Kamu juga boleh meminta syarat-syarat lain jika dirasa perlu,” balas Ibu. Setelah kukirim jawabanku kepada Ustadzah Fisha, beliau mengirimkanku semacam roadmap akan seperti apa ta’aruf ini nantinya berjalan. Kami pun berdiskusi selama 3 hari. Ustadzah Fisha menjelaskan langkah-langkah yang harus dilewati semasa ta’aruf ini, juga hal-hal yang dilarang di dalamnya, termasuk berbicara secara langsung atau lewat pesan tanpa perantara. Oleh karena itu, beliau sekaligus menjadi perantara Radit untuk berkomunikasi mengenai proses yang ada. Aku sempat memberi saran bagaimana jika kita membuat grup berisi kami bertiga, tapi Radit menolak dengan alasan lebih nyaman seperti ini. Setelah berdiskusi, kami pun sepakat akan melalui proses-proses yang telah kami setujui.

    Last Updated : 2022-03-10
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #7

    Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin

    Last Updated : 2022-03-11
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #8

    “Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku

    Last Updated : 2022-03-12
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #9

    Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta

    Last Updated : 2022-03-13
  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #10

    POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men

    Last Updated : 2022-03-14

Latest chapter

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #15

    Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #14

    POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #13

    POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #12

    POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #11

    “Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan. “Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.” “Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.” “Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti. “Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.” “Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.” Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #10

    POV: Radit Saat orang-orang berkata hidupku enak dan penuh dengan privilege, mereka hanya tidak tahu seberapa seringnya aku menangis. Namaku Radit, mahasiswa jurusan Sastra Inggris di salah satu universitas di Malang. Ini adalah tahun pertamaku masuk kuliah, setelah tahun lalu menghadapi gapyear. Aku lahir dari keluarga yang biasa-biasa aja, di tengah keluarga besar yang serba mewah. Ini karena ayahku adalah seseorang yang berpegang teguh dengan prinsipnya. Ia ingin kaya dari bisnis yang ia buat sendiri. Bukan prinsip yang buruk memang, tapi sikapnya terlalu mengedepankan mimpinya ternyata menelantarkan kami keluarganya. Ayah merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya bekerja di dalam struktur pemerintahan, sedangkan hanya dia yang memilih jalan menjadi pebisnis. Orangtua beliau kerap kali memperingatkan tentang risiko berbisnis, namun ia enggan mendengarkan. Pilihannya tersebut ternyata bukan hanya men

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #9

    Tiga hari sudah aku meninggalkan kota Malang. Bertemu teman-teman SMA, jalan-jalan ke toko buku, hingga pergi ke pantai bersama ayah dan ibu. Rasanya aku benar-benar telah melepas semua pikiran yang membebaniku kemarin. Bahkan sampai lupa kalau besok, Radit akan tiba di Bekasi. Ustadzah Fisha bilang bahwa Radit harus menyelesaikan beberapa urusan terlebih dahulu di Bandung, sebelum esoknya pergi ke Bekasi. Katanya ada peresmian cabang baru, menjadikan Bandung kota yang mempunyai cabang Pempek Curhat terbanyak di Indonesia setelah Malang. Ada 7 kafe katanya. Aku mengirim foto minuman boba yang ada di tanganku pada Reina. Baru saja ditinggal tiga hari, namun rasa rindu pada sahabatku itu sudah muncul. Setelah sampai di rumah sepulang membeli boba, kulihat ibu berada di dapur dengan banyak sekali bahan makanan. Pikirku, ini kan baru lamaran, kenapa sudah kayak hajatan. Ibu yang melihatku langsung memanggilku untuk membantu. Aku diminta

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #8

    “Kamu bohong, Kira!” Hari itu, andai saja aku tak pernah merahasiakan apapun pada Reina. Andai aku berkata jujur, mungkin persahabatan ini tidak akan pernah hancur. _________________________________________________________________ Sore hari ini, aku akan berangkat ke Bekasi. Satu ransel kuisi dengan pakaian dan beberapa buku. Tidak terlalu penuh karena di rumah masih banyak pakaianku yang lain. “Harus hari ini banget, ya, perginya?” kata Reina. “Padahal kan kita bisa pergi bareng ke Jakarta pas libur semester,” lanjutnya. “Yaa, mau gimana Rei, ibu pengen langsung denger ceritaku dan udah kangen pengen ketemu,” jawabku beralasan. “Ibu juga pasti kangen aku, ‘kan? Bisalah ikut….” “No….” Mana mungkin aku membiarkan Reina ikut. Alasan sebenarnya aku pergi saja aku rahasiakan padanya. “Yasudah kalau gitu, ke tempat Radit dulu, yok! Sambil nunggu jam 4,” ajaknya. “Nggak, Rei, yang ada nanti aku

  • Ta'aruf Before Married   Ta'aruf Before Married #7

    Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin

DMCA.com Protection Status