Malam bergulir larut, aku bisa mendengar dari lantai bawah bahwa kini suamiku dan istrinya sudah bersiap-siap untuk pergi. Dia sempat datang ke kamar dan mengetuk pintu tapi aku tidak membukanya jadi Mas Tama hanya berpamitan dari luar saja."Sayang, aku pulang ya?"Dia mengatakan itu, sementara aku memejamkan mata meresapi kalimat yang dia katakan dengan penuh kelembutan tapi seperti belati yang menusuk hatiku. Tadi dia bilang sayang pada istrinya kini dia bilang sayang padaku. Tapi aku yakin tidak mungkin dalam hatinya ada dua cinta yang sama besarnya. Pasti ada yang lebih dominan di mana Mas Tama condong kepadanya.Ini aku sudah melihat buktinya, aku melihat bagaimana suamiku begitu khawatir tentang keadaan istrinya yang pingsan dia merawatnya dengan penuh kehati-hatian dan perhatian, ia membujuknya, mengecup pipinya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Melihatnya saja hatiku nyeri, ditambah aku harus mengalami masalah demi masalah yang menghimpit hati.*Kedengar mesin mobil
Karena aku merasa putus asa dengan kepergian Mas Tama maka tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrag dengan keadaan dan bangkit untuk menghadapi apa saja yang menungguku di depan mata.Kukenakan sepatu, pergi kerja dengan hati yang aku kuat kuatkan. Kukendarai motorku dengan cepat agar aku tidak perlu terjebak macet dan cepat sampai di tujuan. Sekitar lima belas menit kemudian, Aku sudah sampai di pelataran rumah sakit. Kutaruh helmku ke atas motor lalu langkah menyusuri lokasi parkir menuju lobi utama. Ku sapa security yang sedang berjaga dia membalas menyapa dan menyunggingkan senyum.Saat aku masuk ke ruang daftar dan informasi ada beberapa orang yang kebetulan ada di sana, aku tersenyum dan melambai kecil pada mereka sambil menyapa, tapi Mereka terlihat menatapku dengan aneh dan seakan-akan menyembunyikan sesuatu dari senyum yang mereka paksakan untukku."Ada apa?" tanyaku heran."Hmm, tidak ada," balasnya."Baiklah, saya ke ruang KIA dulu," jawabku.Saat mulai menyalakan komp
"Iya Pak Saya akan berusaha menyelesaikan masalah ini dengan baik, jangan khawatir," jawabku sambil bangkit dan undur .diri dari hadapannya. Pria itu hanya memberi isyarat dengan tangannya agar aku segera menjauh darinya.Melihat gestur atasanku yang sangat menyakitkan hatiku menjadi perih dan ingin menangis saja. Namun aku menahan rasa sakit itu karena tidak ingin sampai menjatuhkan air mata di hadapannya. Kususuri lorong rumah sakit dengan perasaan remuk redam di setiap ruangan yang kulewati semua orang memperhatikan dengan tatapan sejuta makna. Aku tahu mereka menghakimiku, aku sangat terluka dengan apa yang kuhadapi saat ini.“Bagaimana?” tanya mira saat aku kembali dari ruang direktur.“Hmmm, begitulah, aku dimarahi,” jawabku sambil menahan tetesan air mata yang mengaburkan pandanganku.“Aku benar benar prihatin, tak kusangka bahwa pernikahan yang berlangsung dengan megah itu akan menjadi tragis begini, bahkan parahnya aku adalah bridesmaid saat itu, hmm, menyesal terlibat dala
Kata teman-temanku hidupku sudah terlalu indah dengan berbagai cerita dan makna, sangat tidak berarti jika harus dirusak oleh sesuatu yang dibuat oleh Mas Tama. Karena perbuatannya hidup dan reputasiku menjadi hancur itu sama sekali tidak worth it dengan apa yang sudah aku korbankan untuknya.Lantas, Aku harus bagaimana untuk menghadapi hari depannya?Mungkin keputusan untuk berpisah itu adalah hal terbaik meski kedua orang tua kami keberatan. Rencananya besok aku akan pergi menemui mertua dan mengatakan apa yang sebenarnya aku inginkan."Ya, aku harus kuat," gumamku pelan.*Keesokan hari setelah menemui Bunda dan minta izin pada teman kerja aku memutuskan untuk pergi ke rumah ibu mertua untuk memberitahu tentang keputusanku yang sudah bulat untuk berpisah dengan anak mereka. Kupikir tidak ada artinya mempertahankan hubungan yang sudah di bangun dengan pondasi kebohongan. Bukannya rumah tangga adalah jalinan sakral yang dibangun atas kejujuran dan komitmen bersama serta rasa cinta da
"Iya Bu, ada yang bisa saya bantu....""Uhm, anu, sa-saya ingin mengajukan gugatan," ucapku pelan. Tanganku dingin, berkeringat oleh rasa gugup."Iya, saya tahu Ibu ingin menggugat, tapi apa alasannya?"Aku hanya diam, bola mataku membayang, aku meremang dan ingin menangis. Aku mengajukan gugatan tapi tiba tiba kehilangan pikiran dan ide tentang apa hal yang akan aku jelaskan."Kalau begitu, tolong boleh lihat identitas dan buku nikah Ibu," pinta pria berkacamata itu."Baik," jawabku sambil menyodorkan buku nikah merah dan hijau. Air mataku tumpah begitu menyadari bahwa buku itu akan dikembalikan ke tempat asal."Pernikahan ibu belum sebulan ya?" tanya pria itu mengernyit, "apa yang membuat ibu ingin cerai.""Saya ... anu. ... uhm...."Aku khawatir tentang harapan apa yang harus aku berikan kepada petugas pencatat gugatan."Kenapa Bu." Pria itu masih menunggu jawaban dariku.Kalau aku jawab karena dia punya istri, tentu pria yang ada di depanku ini akan bertanya tentang izin poligami d
Oke, sekarang di sinilah aku berdiri di depan sebuah bangunan tinggi yang bertuliskan apotek sumber sehat. Rencananya aku ingin membeli alat tes kehamilan dan memastikan apa yang dikatakan Mas Tama bukanlah perkataan yang benar.Sebenarnya aku adalah seorang bidan yang bekerja di rumah sakit di mana melakukan tes tidak harus membayar, aku juga bisa dapatkan USG gratis dari teman dokter atau vitamin dari tempat kerjaku namun aku tidak berani dengan kenyataan itu, jadi, putuskan untuk membeli saja di tempat ini."Permisi Bu Ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas apotek dengan senyum ramah."Hmm, begini, Saya ingin beli tespek," jawabku."Yang seperti apa Bu, yang sensitif atau onemed?""Yang mana saja yang lebih baik.""Baiklah, harganya tiga puluh ya Bu.""Ya, mbak."Aku serahkan uangnya dan segera ku bawa pulang benda yang akan memberiku jawaban jelas tentang kelangsungan Rumah tanggaku dan mas tama. Emang selama ini aku bener mengalami gejala-gejala yang seperti ciri-ciri kehamilan
Kuputuskan untuk tidak memberitahu Mas Tama yang sebenarnya, biarlah takdir sendiri yang akan membawa dia untuk tahu, aku tak perlu terlalu banyak mengambil aksi untuk merumitkan keadaan. Karena jika Mas Tama tahu aku hamil maka dia tidak akan dengan mudah mengizikan diri ini untuk lepas darinya. aku agak gentar untuk jadwal mediasi minggu depan, namun aku berharap semoga da tidak usah datang agar prosesnya berjalan cepat.“assalamualaikum,” ucapku pada rekan kerja dan dokter yang ada di ruangan USG. Mereka agak terkejut dan heran melihatku datang tanpa membawa pasien atau laporan."Ada apa, bidan raisa?'“Saya ingin periksa kehamilan,” jawabku dengan tenggorokan sedikit tercekat, aku tahu bahwa kabar tentang diriku yang menikahi suami orang sudah tersebar hampir ke seluruh rumah sakit sehingga secara tidak langsung aku tahu mereka mengghibahi diri ini.“Jadi kau hamil?” tanya salah seorang bidan yag mendampingi dokter.“Ya.”"Astaga, kami dengar rumor tentang dirimudan kami turut pri
"Beraninya kau!"Dia langsung berdiri dan mengambil tasnya."Lihatlah betapa kau tidak mampu mengendalikan dirimu, Mbak. Dulu ibuku juga korban poligami dari suaminya bahkan dia dimadu tanpa alasan dan ketika seorang suami membawa pulang pengantin baru ibuku tidak bersikap arogan sepertimu. Dia berusaha menerima wanita itu dan sabar atas semua tindakannya, Bunda adalah sosok wanita pemaaf yang ingin aku teladani. Kau ... pantas saja Mas Tama meninggalkanmu!""Beraninya kau ada di antara pernikahan dan rumah tangga kami!" Untungnya saat itu suasana cafe sedang lengang karena pengunjungnya hanya ada aku dan dia saja. Yang sedang mengelap-ngelap meja dan berdiri di depan mesin kasir melihat kami, tapi mereka tidak begitu terlalu peduli."Ini mungkin sudah takdir Tuhan. Tuhan mempertemukan dan penjodohkan kami itu artinya mungkin diri ini adalah jawaban dari doa-doa Mas Tama agar dia mendapatkan pasangan terbaik dalam hidupnya!" "Tetap saja aku adalah istri pertama dan yang pertama pasti