Aku mengantar Mas Rizki sampai meninggalkan halaman rumah kontrakan. Dia membuka jendela mobil dan masih melambaikan tangan kepadaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepadanya. Setelah mobilnya meninggalkan halaman rumah segera kembali ke dalam dan membersihkan perlengkapan yang baru saja aku gunakan untuk terapi Mas Rizki.Sedikit gemetar ketika aku menimang amplop dari Mas Rizki. Agak beda dengan sebelumnya sepertinya agak tebal. Memang selama ini aku memberikan terapi tidak mematok harga atau meminta kepada para pasien yang datang. Mereka memberikan sendiri dengan sukarela. Mataku terbelalak dan sangat bahagia ketika melihat 5 lembar uang 100 -an di dalam amplop itu. Alhamdulillah ya Allah rezekimu hari ini. Buru-buru aku menyimpan amplop itu ke dalam dompet kemudian memanggil Mbak Siti yang sedang momong anakku. “Mbak Siti, Zaki tolong bawa ke sini aku mau berikan ASI padanya!” teriakku pada Mbak Siti yang sedang menggendong Zaki. “Iya Mbak Minah,” sahut Mbak Siti kemudian me
“Dani, kamu tidak mau menyusul Minah dan Zaki? Apa kamu tidak kasihan dengan istrimu itu?” tanya Mbak Desi ketika mereka sedang duduk berdua di teras rumah. Sedangkan Arsyad sedang bermain dengan teman-temannya. “Ngapain nyusul Minah, Mbak? Dia kan pergi dari rumah sendiri atas kemauannya sendiri nanti kalau aku nyusul dia seolah-olah aku tuh yang cinta mati sama dia. Justru dia kan yang cinta mati sama aku. Pasti juga dia balik lagi ke sini. Apalagi Arsyad sama ak,” kata Dani. “Tapi sepertinya Minah beneran marah sama kamu dan dia pergi bahkan ketika kamu ambil Arsyad dia juga tidak datang untuk menjenguknya,” ujar Mbak Desi dengan gundah. “ Biarkan saja Mbak. Nanti juga pulang.” “Aku menyesal sudah menyuruh dia macam-macam di rumah ini. Tidak ada wanita yang seperti dia yang mau menjadi istri keduamu. Padahal dia tahu kalau kamu sudah punya istri tapi masih tetap saja nurut sama kamu. Apalagi kamu itu kan jarang kerja, tukang mabuk juga suka royal perempuan, tapi dia tet
“Siang Mbak Minah,” sapa Bu Intan yang gegas masuk ke dalam teras rumah kontrakan. Dia seperti agak terburu-buru. “Siang Bu Intan. Ada apa ya?” tanyaku merasa sedikit grogi. Apalagi setelah kepergian Mas Handoko dari rumah. Aduh bu Intan lihat suaminya barusan datang ke sini nggak ya? Takut dia curiga atau salah paham kalau suaminya datang ke sini. “Kok wajahnya seperti gembira kayak begitu Mbak. Habis dapat apaan?” tanya Bu Intan curiga. “ Oh saya dapat amplop dari tamu Bu. Lumayan dia ngasih rezeki yang banyak terus dia ngajak jalan-jalan bersama anakku.” “ Oh siapa itu tamu itu Mbak? Kok baik banget?” tanya Bu Intan lagi. “Maaf Bu Intan, itu rahasia saya karena saya tidak mungkin memberitahu siapa-siapa tamu saya pada Bu Intan. Toh tidak ada urusan dengan Bu Intan,” jawabku sedikit tidak suka dengan pertanyaannya. “Oh begitu ya Mbak Minah. Maaf kalau saya lancang. Oh ya nanti sore bisa nggak datang ke rumah untuk terapi aku lagi?” pinta Bu Intan. “Aduh Bu maa
Mbak Siti sudah setuju kalau mau ikut jalan-jalan denganku dan Mas Rizki. Dua anaknya diajak. Dia juga siap menggendong Zaki saat nanti di play ground. Kami sudah bersiap dan memakai baju yang paling bagus, sudah berada di depan teras kontrakan. Tiba-tiba Mbak Lusi datang dengan wajah yang kurang suka serta rambut yang dibiarkan tergerai."Kalian mau ke mana pagi-pagi sekali kok sudah berkema?"tanya Mbak Lusi."Kami mau jalan-jalan Mbak Lusi, ini pasiennya Mbak Minah itu orang kaya jadi mengajak kami jalan-jalan beserta anak-anak. Aku kan belum pernah jalan-jalan rasanya senang apalagi naik mobil mewah," kata Mbak Siti dengan mata berbinar."Aku juga belum pernah naik mobil mewah Mbak," sahutku sambil tersenyum."Kenapa kalian gak ngajak aku sih?" pertanyaan Mbak Lusi yang membuat aku hanya ternganga."Maaf Mbak. Aku gak berani ngajak orang lian. Mbak Siti aku ajak karena dia sudah momong anaku," ujarku dengan rasa yang tidak enak."Wah emang pelet apa yang kamu gunakan Mbak Minah, hi
“Mbak, aku mau ke rumahnya Tini,” pamit Dani kepada Mbak Desi. “Loh apa dia pulang lagi nggak jadi kerja?” tanya Mbak Desi. “Iya, majikannya sudah punya pembantu yang baru jadi Tini harus pulang tapi majikannya baik kok memberikan dia pesangon. Soalnya dia kerja kan udah lama.” “ Wah Tini uangnya banyak dong Dani?” tanya Mbak Desi dengan mata yang berbeda. “Ya mungkin saja Mbak makanya aku mau balik lagi ke sana.” “Apa dia mau sama kamu dan kamu kan sudah selingkuh dengan Minah sampai punya anak dua?” “Dari dulu kan dia juga sudah tahu Mbak. Dia nggak apa-apa nggak masalah. Dia tuh masih cinta denganku. Sama lah kayak Minah yang sudah tergila-gila denganku,” ungkap Dani. “Oh ya sudah kalau begitu. Lalu bagaimana dengan Arsyad?” tanya Mbak Desi lagi. Wanita yang berbadan gembul itu kemudian duduk di teras rumah. “Arsyad nanti ikut denganku tinggal di sana. Tini juga mau menerima Arsyad di rumahnya” “Bagaimana dengan sekolahnya di sana?” “Dia justru senang kala
Aku dan Mbak Siti ikut dengan Mas Rizki menuju ke mall di salah satu kota Semarang. Sepertinya anak-anak Mbak Siti sangat senang karena baru pertama kali ini mereka diajak naik mobil. Aku teringat dengan Arsyad dia memang paling suka kalau naik mobil selama ini belum pernah dia jalan-jalan dengan membawa mobil yang bagus sehingga aku seolah sangat emrindukan dia. Mas Rizki sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan. “Mbak Minah, kok melamun terus? Mikirin siapa? Suaminya?” tanya Mas Rizki kepadaku. “Oh ndak Mas. Aku sedang mikirin anakku,” kataku membela diri.Untuk apa kau memikirkan pria yang tidak bertanggung jawab kepada anak-anaknya bahkan di saat aku sangat kekurangan dan dibawa numpang kepada kakak iparku malah dia kembali kepada istri pertamanya. Siapa wanita yang tidak sakit hati. Memang posisiku sebagai istri kedua. Tapi bukankah dulu dia menipuku hingga aku mempunyai anak dua. Aku mempertahankan rumah tangga ini demi mereka. Aku tidak mau anak-anak mengala
Seharian aku dan Mbak Siti diajak jalan-jalan Mas Rizki ke salah satu mall besar di Semarang. Zaki sangat senang sekali terkadang ikut dengan Mbak Siti. Kami main game dan naik segala macam permainan. Tapi saat itu hatiku tidak bahagia karena tidak mengajak Arsyad. Andaikan anak itu bersamaku pasti sangat senang sekali. Namun, saat ini dia ikut dengan ayahnya. Ketika makan siang di sebuah restoran, Mas Rizky melihat kegundahan di wajahku .Mbak Siti dan anak-anaknya makan dengan lahap karena selama hidupnya belum pernah makan di restoran mahal seperti itu. Sambil mengunyah Mbak Siti menatapku dan Mas Rizki secara bergantian. “Mbak Minah. Terima kasih ya karena menjadi tetanggamu dan momong Zaki akhirnya aku dan kedua anakku kecipratan rezeki dari Bos Rizki.”“Terima kasih ya Bos, sudah mentraktir aku dan kedua anakku. Kami main di mall ini dengan sangat bahagia. Beneran saya belum pernah main ke mall bagus ini apalagi makan seperti ini.” “Iya Mbak sama-sama,” ucap Mas Ri
Setelah kepergian Mas Handoko aku kembali membereskan rumah. Aku tidak mau ambil pusing dengan sikap Mas Handoko seperti itu. Biarkan saja itu rumah tangga Bu Intan dan Mas Handoko. Aku tidak mau ikut campur dengan urusan mereka. Setelah selesai bebenah rumah aku membuka ponsel. Sengaja mempromosikan usaha di status ponsel dan di beberapa media sosial. Aku menghitung uang tabungan agar aku bisa mencukupi semua kebutuhan ku. Mendadak Mbak Lusi datang dan ingin memberi tahu tentang sesuatu. “Mbak Minah,” panggil Mbak Lusi sambil mengetuk pintu. “Masuk saja Mbak,” ujarku. “Aku cuma mau bilang kalau pacarku kenal dengan suamimu,” ujar Mbak Lusi ketika sudah duduk di karpet ruang tamuku. “Emang Mbak Lusi kenal dengan suamiku dari mana” tanyaku penuh curiga. “Dulu teman Mbak Minah pernah cerita kalau suamimu ngambil Arsyad dari sekolah. Namanya Dani kan. Dia kadang nongkrong di pangkalan,” katanya. “Pacarku bilang istrinya pulang dari Arab Saudi. Dia di belikan sepe
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar
Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma
Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek