Aku dan Mbak Siti ikut dengan Mas Rizki menuju ke mall di salah satu kota Semarang. Sepertinya anak-anak Mbak Siti sangat senang karena baru pertama kali ini mereka diajak naik mobil. Aku teringat dengan Arsyad dia memang paling suka kalau naik mobil selama ini belum pernah dia jalan-jalan dengan membawa mobil yang bagus sehingga aku seolah sangat emrindukan dia. Mas Rizki sepertinya tahu apa yang sedang aku pikirkan. “Mbak Minah, kok melamun terus? Mikirin siapa? Suaminya?” tanya Mas Rizki kepadaku. “Oh ndak Mas. Aku sedang mikirin anakku,” kataku membela diri.Untuk apa kau memikirkan pria yang tidak bertanggung jawab kepada anak-anaknya bahkan di saat aku sangat kekurangan dan dibawa numpang kepada kakak iparku malah dia kembali kepada istri pertamanya. Siapa wanita yang tidak sakit hati. Memang posisiku sebagai istri kedua. Tapi bukankah dulu dia menipuku hingga aku mempunyai anak dua. Aku mempertahankan rumah tangga ini demi mereka. Aku tidak mau anak-anak mengala
Seharian aku dan Mbak Siti diajak jalan-jalan Mas Rizki ke salah satu mall besar di Semarang. Zaki sangat senang sekali terkadang ikut dengan Mbak Siti. Kami main game dan naik segala macam permainan. Tapi saat itu hatiku tidak bahagia karena tidak mengajak Arsyad. Andaikan anak itu bersamaku pasti sangat senang sekali. Namun, saat ini dia ikut dengan ayahnya. Ketika makan siang di sebuah restoran, Mas Rizky melihat kegundahan di wajahku .Mbak Siti dan anak-anaknya makan dengan lahap karena selama hidupnya belum pernah makan di restoran mahal seperti itu. Sambil mengunyah Mbak Siti menatapku dan Mas Rizki secara bergantian. “Mbak Minah. Terima kasih ya karena menjadi tetanggamu dan momong Zaki akhirnya aku dan kedua anakku kecipratan rezeki dari Bos Rizki.”“Terima kasih ya Bos, sudah mentraktir aku dan kedua anakku. Kami main di mall ini dengan sangat bahagia. Beneran saya belum pernah main ke mall bagus ini apalagi makan seperti ini.” “Iya Mbak sama-sama,” ucap Mas Ri
Setelah kepergian Mas Handoko aku kembali membereskan rumah. Aku tidak mau ambil pusing dengan sikap Mas Handoko seperti itu. Biarkan saja itu rumah tangga Bu Intan dan Mas Handoko. Aku tidak mau ikut campur dengan urusan mereka. Setelah selesai bebenah rumah aku membuka ponsel. Sengaja mempromosikan usaha di status ponsel dan di beberapa media sosial. Aku menghitung uang tabungan agar aku bisa mencukupi semua kebutuhan ku. Mendadak Mbak Lusi datang dan ingin memberi tahu tentang sesuatu. “Mbak Minah,” panggil Mbak Lusi sambil mengetuk pintu. “Masuk saja Mbak,” ujarku. “Aku cuma mau bilang kalau pacarku kenal dengan suamimu,” ujar Mbak Lusi ketika sudah duduk di karpet ruang tamuku. “Emang Mbak Lusi kenal dengan suamiku dari mana” tanyaku penuh curiga. “Dulu teman Mbak Minah pernah cerita kalau suamimu ngambil Arsyad dari sekolah. Namanya Dani kan. Dia kadang nongkrong di pangkalan,” katanya. “Pacarku bilang istrinya pulang dari Arab Saudi. Dia di belikan sepe
Aku mematikan ponsel agar tidak terganggu dengan pesan Mas Handoko yang beruntun. Entah apa maksudnya dengan ucapannya ingin menceraikan bu Intan. Padahal lelaki tidak boleh sembarangan berucap seperti. Aku tidak mau bahagia di atas penderitaan bu Intan. Cukup Sekali saja aku menjadi istri kedua dan merusak rumah tangga orang lain. Walaupun sebenarnya dulu karena kesalahanku tidak menyelidiki terlebih dahulu. Apa latar belakang dan keluarga Mas Dani. Sebenarnya dulu aku sudah pernah diajak ke rumah Mas Dani tapi tidak ada yang mengatakan kalau Mas Dani sudah punya istri. Baru sekarang aku menyesal apalagi janji Mas Dani ingin menceraikan istri pertama. Dia bilang sudah tidak mencintai Tini lagi. Nyatanya semua itu hanya untuk membohongi dan mengelabui diriku. Aku terlalu buta cinta sehingga tidak melihat dan tidak perdulikan keadaan Mas Dani yang sudah punya keluarga. Kenapa Mas Handoko juga mengatakan hal sama. Apa mungkin aku harus pindah dari tempat ini. Aku tidak mu
“Maaf Mas, aku tidak sengaja,” ujarku sambil memunguti barang-barang yang jatuh dari pria yang aku tak tabrak. Tanpa melihat siapa yang ada di depanku. Dia hanya tertawa dan tidak beranjak bahkan marah kepadaku. Sementara Arsyad ikut jongkok dekatku dan membantuku mengambil barang-barang pria yang aku tabrak. “Mbak Minah,” panggil pria itu. Sontak aku menengadahkan wajah dan melihat siapa pria yang ada di depanku. “Ya Allah. Dunia kok sempit amat ya. Ternyata Mas Rizki yang sudah berdiri di depanku. Aku sekarang berdiri dan menunduk hormat meminta maaf. “Maaf mas aku tidak sengaja,” ujarku. “Nggak apa-apa Mbak Minah. Oh ya ini siapa?” tanya Mas Rizki ketika melihat Arsyad menggandeng tanganku. “Oh ini putra pertamaku yang dulu pernah aku ceritakan pada Masa Rizki,” ucapku. “Halo kenalkan aku Om Rizki,” ujar Mas Rizki dengan mengulurkan tangan. Dengan sopan Arsyad mencium punggung tangan pria itu. “Waduh anak sopan. Kamu beli apa?” tanya Mas Rizki padaku
Mas Rizki mengantarku dan Arsyad sampai ke rumah kontrakan. Tepat tengah hari yang sangat panas. Dia juga menurunkan barang-barang belanjaan yang baru aku beli dari salah satu mall terbesar di kota Semarang. Ada banyak mainan untuk anak-anak, baju untuk Arsyad dan Zaki serta kebutuhan untuk stok makananku di dapur dan kedua anakku. Tidak lupa aku juga membeli sedikit makanan untuk Mbak Siti yang telah merawat Zaki. Tanpa malu-malu Mas Rizki menurunkan semua barang belanjaanku dan menaruh di teras rumah kontrakan. Di sana sudah ada Mbak Lusi memakai rok pendek dan rambut yang tergerai. Dandanannya juga menor. Dia berdiri terus menatap Mas Rizki. “Wah habis borong ya Mbak Minah?” sindir Mbak Lusi. “Iya mbak ini. Jemput Arsyad dari sekolah kemudian aku ajak jalan-jalan dia ke supermarket,” jawabku. “Apa kalian janjian ya? Kok bisa diantar dengan Mas Ganteng ini,” ujar Mbak Lusi dengan menyedekapkan tangan. Matanya melirik jalang ke arah pria ganteng yang menolongku. M
Aku sudah bahagia berkumpul dengan dua anakku Zaki dan Arsyad. Tidak mungkin terus selama tinggal di sini. Aku harus segera meninggalkan kota ini dan mencari tempat lain semua ini sudah tidak aman bagiku. Apalagi Mas Handoko yang selalu datang menggangguku. Dengan segera harus meninggalkan kota ini mencari tempat agar aku terhindar dari suamiku dan Mas Hnadoko. Lalu bagaimana dengan Mas Rizki? Apakah pria itu punya sedikit rasa denganku? Kenapa Mas Handoko selalu menyalahkanku. Pertemuan setelah sekian lama berpisah aku pikir akan menjadi sebuah keluarga nyatanya justru berawal hancurnya rumah tangga Mas Handoko. Perpisahannya dengan bu Intan katanya gara-gara saya.Belum lagi sepertinya Mas Dani akan mengambil lagi Arsyad. Aku harus pergi dari kota ini secepatnya. “Bu, emang kita mau ke mana lagi? Aku capek kalau harus pindah-pindah sekolah terus,” kata Arsyad putraku. Aku memandang anak pertamaku itu dengan tatapan yang tajam. Sebenarnya aku sangat kasihan ketika melihat du
Aku tidak jadi mengemasi baju dan semua peralatanku. Mungkin terlalu cepat aku mengambil keputusan jangan sampai apa yang telah aku lakukan ini salah dan tidak memakai pertimbangan. Baru sehari Arsyad tinggal bersamaku lalu kemudian aku akan mengajaknya pergi. Tercenung sejenak dengan mendinginkan suasana hati.Sore harinya rumah kontrakanku didatangi oleh para pasien yang pakai mobil sangat bagus. Mereka adalah keluarga dari pejabat tinggi kota. Seorang ibu yang memakai jilbab dan dua orang anaknya membawa satu kantong plastik buah yang diberikan kepadaku. Segera aku memanggil Mbak Siti untuk merawat Zaki dan Arsyad agar aku bisa bekerja. Piikiranku saat ini sedang kacau sehingga aku tidak konsentrasi menangani pasien. Bersyukur semuanya bisa aku atasi dan mendapatkan rejeki yang lumayan.Setelah semua pasienku pergi dan malam sudah sedikit larut. Aku butuh seseorang untuk menceritakan semua rasa yang ada dalam hati. Ingin bercerita dan mengungkapkan apa yang aku rasa. Aku melih