Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Setelah ayahku meninggal, semua harta ayah sudah habis untuk biaya pengobatan. Hanya sisa sedikit. Aku mendapatkan uang dari Emak sisa penjualan tanah dan rumah. Aku hanya menurut ketika uang itu diminta oleh suamiku. Hingga adikku Wawan sangat tidak suka dengan sikap suamiku. Sebagai saudara laki-laki dia tidak terima ketika Mas Dani memperlakukan aku seperti itu. "Mas, uang segitu kasih saya aja. Nanti aku belikan rumah di sini. Tanahnya bisa numpang saya dulu," saran Wawan pada suamiku."Gak usah. Dia kan istriku jadi ya harus nurut sama aku," tegas Mas Dani suamiku."Kamu nurut sama aku to, Dek?" tanya Mas Dani dengan memandang tajam ke arahku."Iya Mas. aku nurut saja," jawabku."Tuh Wan. Dia nurut denganku," sahut Mas Dani dengan bangga."Tapi Mas. Di sini Mbak Minah kan bisa dekat dengan Emak dan saudara yang lain," bantah Wawan adik laki-lakiku."Sudahlah Wan. Kamu jangan ikut campur. Dia itu istriku jadi aku berhak sepenuhnya atas istriku," sahut Mas Dani."Kamu harus ikut ak
Mendapat pukulan dari Mas Dani, aku langsung keluar dari dalam bilik. Bagaimanapun aku harus menyembunyikan kesedihan ini di depan Emak. Dia tidak boleh tahu kalau aku dan Mas Dani sedang bertengkar gara-gara uang sisa penjualan rumah.Semua bajuku dan anak-anak sudah masuk ke dalam tas besar. Tinggal membereskan perabotan dapur yang kupunya. Aku melihat Emak juga bersedih di dapur. Sepintas aku melihat mata tuanya berembun. Mungkin Emak juga bersedih karena aku harus meninggalkan kampung dan ikut dengan suami.Aku ikut membantu emak masak dan mempersiapkan makan untuk Arsyad dan Mas Dani kalau bangun nanti. Hanya menu sederhana yaitu sayur bayam dan tempe. Tidak ada yang istimewa untuk makan sore.Mas Dani keluar bilik dengan muka yang sangat kusut."Dek, aku lapar," ujar Mas Dani langsung duduk di kursi meja makan."Iya ini sudah aku persiapkan," jawabku dengan cepat mengambilkan piring dan menyendokkan nasi untuknya."Gimana kamu sudah siap, Dek?" tanya Mas Dani."Iya, Mas. Aku suda
Aku tidur di ruang tamu dengan kedua anakku, Zaki dan Arsyad. Mbak Desi cuma punya dua kamar. Yang satu untuk kamar Mbak Desi sementara yang satunya untuk anaknya Dimas. Setelah aku memasakkan mi untuk Mbak Desi kemudian aku rebahan menyusui Zaki yang masih rewel. Sementara Mas Dani tidak pulang ke rumah. Entah kemana suamiku itu. Dia menitipkan aku pada kakaknya namun dia tidak memberikan sepeser uang untuk belanja. Bagaimana dengan jajan anak-anak. Sambil menyusui pikiranku tidak tenang. Paling enak memang hidup di lingkungan keluargaku sendiri jadi aku tidak merasa segan dengan orang lain. Apalgi Mas Dani kan masih punya istri. Dia bilang sudah tidak menyintai istrinya itu tapi mana ada yang tahu. Bisa jadi dia nginep di rumah istri pertama karena di tempat kakaknya tidak punya kamar. Duh, kenapa pikiranku curiga dengan suamiku itu. Hingga aku kelelahan dan akhirnya aku tertidur di lantai dengan alas tikar tanpa kasur.Prangg...prangAku terperanjat ketika terdengar suara panci ya
Mbak Desi sering keluar bergaul dengan tetangga sebelah atau untuk pengajian. Namanya mulut kalau tidak dikontrol suka membicarakan orang lain walaupn itu adalah adik ipar sendiri. Bahkan Mbak Desi bisa memutar balikkan fakta."Mbak, aku dengar di rumahmu ada istri Dani yang dari desa Suko Harjo ya?" tanya Titik salah satu tetangga Mbak Desi.Sore itu mereka sedang duduk di teras menunggu tukang jajan yang biasa lewat di kampung mereka."Iya Tik. Dia datang hampur seminggu," sahut Mbak Desi."Lo emang Mas Dani dengan Tini itu sudah cerai ya? Kok bisa meikah lagi," ujar Titik."Aku juga gak tahu dimana Dani kenal dengan wanita itu. Namanya Minah. Padahal orangnya cantik juga enggak. Miskin pula. Heran aku mengapa Dani sampai terpikat dengan wanita itu," ujar Mbak Desi dengan mulut seperti ikan lohan. Maju mundur tidak jelas."Wah jadi dia itu pelakor gitu ya. Udah tahu kalau Mas Dani udah punya istri kok mau-maunya dia jadi istrinya lagi' sahut Titik."Yah. Adiku kan ganteng to. Tapi ak
Sudah sebulan ini aku ikut dengan Mbak Desi. Arsyad juga sudah mulai sekolah di kampung suamiku. Seperti biasa aku yang memegang pekerjaan di rumah seperti bersih-bersih, cuci piring, mencuci baju Mbak Desi sudah menjadi tugas sehari-hari. Sebenarnya perasaanku jengkel, marah, benci tapi tidak berdaya karena aku masih punya anak kecil sementara Mas Dani masih sibuk dengan dunianya. Dia jarang pulang bahkan seminggu sekali dia pulang tanpa membawa hasil. Perlahan perhiasan yang aku pakai satu persatu harus aku jual untuk menutup kebutuhan makan sehari-hari. Bahkan mulut Mbak Desi juga sering terdengar pedas di telinga sementara Mbak Sih selalu memamerkan makanan dan buah yang enak untuk anakku. Selama tinggal bersama Mbak Desi aku hanya menelan ludah dan menyimpan kekecewaan ini. Dia selalu menyimpan makanan enak di kamar tanpa membagi. Hingga suatu siang pada saat pulang dari sekolah dengan badan yang penuh dengan tanah anakku pulang sambil menangis. Sepertinya dia habis berkelahi de
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar
Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma
Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek