Share

Bab 3 Kayak Babu

Penulis: Mini Yuet
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku tidur di ruang tamu dengan kedua anakku, Zaki dan Arsyad. Mbak Desi cuma punya dua kamar. Yang satu untuk kamar Mbak Desi sementara yang satunya untuk anaknya Dimas. Setelah aku memasakkan mi untuk Mbak Desi kemudian aku rebahan menyusui Zaki yang masih rewel. Sementara Mas Dani tidak pulang ke rumah. Entah kemana suamiku itu. Dia menitipkan aku pada kakaknya namun dia tidak memberikan sepeser uang untuk belanja.

Bagaimana dengan jajan anak-anak. Sambil menyusui pikiranku tidak tenang.

Paling enak memang hidup di lingkungan keluargaku sendiri jadi aku tidak merasa segan dengan orang lain. Apalgi Mas Dani kan masih punya istri. Dia bilang sudah tidak menyintai istrinya itu tapi mana ada yang tahu. Bisa jadi dia nginep di rumah istri pertama karena di tempat kakaknya tidak punya kamar. Duh, kenapa pikiranku curiga dengan suamiku itu. Hingga aku kelelahan dan akhirnya aku tertidur di lantai dengan alas tikar tanpa kasur.

Prangg...prang

Aku terperanjat ketika terdengar suara panci yang jatuh di dapur. Aku mengucek mataku. Masih jam setengah 4 pagi. Kenapa Mbak Desi sudah berisik kayak begitu.

Gegas aku pergi ke toilet untuk membersihkan muka dan buang air kecil.Di dapur sudah ada Mbak Desi dengan wajah yang cemberut. Aku merasa tidak enak karena numpang di tempatnya Mbak Desi.

"Dek, kok gak ada piring dan gelas yang bersih ya?" tanya Mbak Desi.

"Iya Mbak. Semalam kecapean jadi belum sempat cuci piring," sahutku segera menuju kamar mandi. Di sana sudah ada satu ember piring kotor dan baju Mbak Desi yang belum dicuci.

Aku segera mengambil tempat duduk dan mencuci piring serta perabot yang kotor. Setelah selesai aku kemudian mengambil celana Zaki dan Arsyad untuk kucuci.

"Dek Minah. Sekalian bajuku yang di ember dicuci ya. Badan Mbak Desi sakit semua nih. Masuk angin," perintah Mbak Desi

Sambil duduk aku menelan ludah.

Glek..

Mbak Desi menyuruhku mencuci pakaian? Apa dia merasa aku ini pembantunya. Seenaknya saja dia nyuruh aku mencuci pakaian dan piring.

Aku hanya diam tidak menjawab.

"Dek, sekalian ya bajuku dicuci," ujar Mbak Desi sekali lagi.

"Iya Mbak," sahutku lirih. Aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyangkupi perintahnya.

Aku mencuci semua baju kotor milik Mbak Desi dan Dimas anaknya. Dengan perasaan dongkol dan kesal. Kalau tau begini lebih baik aku tidak mau diajak pindah ke sini.

Hampir jam setengah enam aku selesai mengerjakan pekerjaan di dapur Mbak Desi. Perutku teras sakit dan melilit. Mencuci piring dan pakaian menguras semua tenagaku. Aku ingin masak nasi namun tidak tahu Mbak Ira menaruh beras di mana.

Aku mengintip kamar Mbak Desi yang letaknya dekat dengan dapur. Di sana ada satu karung beras dan mi yang ada di plastik serta roti kering di atas lemari baju.

Wah, kenapa Mbak Desi bilang tidak punya mi,padahal di dalam kamarnya banyak sekali mi instan yang tergantung dalam plastik. Iseng aku ingin menanyakan beras untuk memasak nasi. Mungkin anaku lapar karena semalam cuma makan sedikit.

Aku menghampiri Mbak Desi yang duduk di teras rumahnya. Dia sepertinya sedang makan nasi pecel dan mendoan. Dia sangat rakus makan gorengan. Ketika aku mendekatinya tidak sedikitpun dia ingin memberiku makanan itu. Aku hanya menelan ludah.

"Mbak, berasnya di mana? Aku ingin masak nasi?" tanyaku pada Mbak Desi..

"Ya beli to Dek Minah. Aku udah beli nasi pecel kok. Satu bungkus lagi buat Dimas. Jadi kamu masak sendiri aja buat kamu dan anakmu," ujar Mbak Desi.

"Aku gak punya uang Mbak. Emang Mbak Desi gak punya beras dan mi. Untuk sementara aku pakai dulu," ujarku.

"Gak punya Dek Minah. Nanti nunggu Dani aja. Dia belum pulang," sahutnya dengan nyantai.

Menunggu Mas Dani? Kapan? Aku juga tidak tahu di mana dia sekarang. Mungkin dia tidur di tempat istri pertamanya atau di mana aku juga tidak tahu.

"Ya sudah Mbak," sahutku lemah. Terpaksa aku beli beras dengan uang simpananku sendiri. Uang yang kuperoleh dari teman dan saudara yang memberiku saat aku melahirkan Zaki. Aku tidak pernah bilang dengan Mas Dani.

Baru saja akan keluar terdengar Zaki menangis. Sambil menggendong Zaki aku menuju ke warung untuk membeli beras.Mbak Desi seperti tidak perduli dan agak cuek dengan keadaanku dan kelelahanku.

"Mbak, beli beras sekilo," ujarku pada Mbak Must penjual sembako dekat rumah.

"Lo, kamu sekarang tinggal dimana Mbak?" tanya Mbak Must.

"Tinggal dengan Mbak Desi ," jawabku singkat.

"Oh, dia kan punya banyak beras to Mbak. Pasiennya kan banyak. Yang datang pasti ada yang bawa beras. Masak kamu tinggal dengannya tapi harus beli beras sendiri," ujar Mbak MUst.

"Ya gak tahu Mbak. Tapi dia bilang gak punya beras jadi ya aku harus beli beras sendiri. Aku gak mau anaku kelaparan karena gak makan," ujarku.

"Yah apa enaknya tinggal satu rumah dengan Kakakmu itu. Satu kampung juga sudah tahu semua sifatnya,"kata Mbak Must lagi.

"Ya sudah kalau gitu Mbak," ujarku dengan memberikan uang untuk membayar beras dan telur untuk makan anakku.

Sampai di rumah Mbak Desi . Sepertinya ada tamu yang datang. Mereka adalah pasien Mbak Desi yang meminta urut dengannya. Aku langsung masuk ke dalam dapur. Untuk sementara aku meletakkan Zaki di kamar untuk salat.Karena kalau sambil menggendong aku pasti kewalahan. Baru saja aku ingin mencuci beras, wanita itu sudah berteriak dari ruang tamu.

"Dek Minah, tolong buatkan teh untuk tamu ya!" perintah Mbak Desi.

"Iya Mbak," sahutku.

Aku segera memasak air panas untuk membuat teh. Sepintas aku melihat buah mangga dan semangka di dalam kamar Mbak Desi. Mendadak air liurku bangkit. Ingin sekali aku makan mangga yang seperti itu. Ah tunggu aja pasti Mbak Desi akan memberiku sebagian dengan anak-anakku.

Aku membawa nampan berisi teh dan cemilan untuk tamu Mbak Desi. Wanita yang bertubuh gembul itu memperkenalkan aku dengan tamunya. Sementara aku hanya tersenyum lalu berlalu dari hadapan mereka. Aku segera masak nasi dan membuat telur dadar untuk Arsyad. Setelah semua siap aku makan sedikit untuk mengganjal perutku yang lapar.

Sekitar setengah jam, tamu Mbak Desi sudah pulang. Dia masuk ke dalam dapur. Melihat aku makan dengan telur dadar dia lalu mengambi piring.

"Wah, kayaknya kamu sudah masak ya Dek. Perutku lapar nih habis ngurut. Ini telurnya aku makan ya?" tanya Mbak Desi mengambil telur yang ada di piring.

Bagaimana aku akan melarangnya, dia sudah mengambil piring dan telur. Lalu dengan rakus dia makan di ruang tamu. Nasi yang aku masak bahkan tinggal sedikit.

Aku hanya diam. Ada sesak di hatiku. Bahkan kakak iparku menganggap aku ini sebagai pembantu di rumah ini.

Habis makan Mbak Desi hanya menaruh piring kotornya tanpa mau mencuci. Kemudian dia masuk ke dalam kamar. Terdengar dia makan sesuatu. Aku pikir dia akan memberiku sedikit mangga atau semangka. Nyatanya tidak. Dia hanya makan sendiri.

Ya Tuhan manusia macam apa orang itu. Sudah tidak mau mengeluarkan uang kok mau makan juga. Pelitnya gak ketulungan.

Aku minum air putih dan mencuci piring kotor. Hanya sisa telur sedikit untuk Arsyad. Dia masih bermain dengan anak tetangga.

Suamiku mempunyai dua saudara. Rumahnya berjejer. Kakak iparku yang satunya adalah pedagang nasi goreng keliling. Omsetnya sangat banyak hingga kehidupannya sangat mapan. Istrinya saja memakai perhiasan dan kalung yang banyak. Iseng aku main ke rumah Mbak Sih, kakak iparku yang paling tua. Mereka sepertinya sedang makan sate ayam. Arsyad menangis ingin meminta sate itu tapi Mbak Sih tidak memberikannya.

"Buk, aku pengen itu," rengek Arsyad dengan menunjuk sate yang dimakan oleh putranya Mbak sih.

"Sttt,satenya sudah habis. Nanti nunggu ayahmu saja ya," bujukku sambil menggandeng tangan Arsyad untuk masuk ke dalam rumah.

Betapa mengenaskan hidupku, rumah tidak punya, Harus numpang dengan kakak ipar. Dia juga memperlakukan aku sebagai pembantu. Satu lagi pelitnya gak ketulungan.

Sampai malam saumiku baru pulang. Kusambut dengan gembira wajah suamiku itu. Dia nampak ada masalah. Hingga pulang dengan wajah yang kusut.

"Mas, sudah makan apa belum?' tanyaku pada dia.

"Sudah Dek. Kamu sudah makan apa belum?" tanyanya dengan merangkul pundakku dan mengecup lembut keningku. Perlakuan Mas Dani seperti ini yang membuatku luluh dan tidak jadi marah dengannya. Walaupun sebelumnya amarah sudah memuncak tapi ketika dia merangkulku semua amarah hilang.

"Sudah Mas. Aku bikin mi ya buat Mas Dani," ujarku padanya.

"Gak usah Dek," sahutnya. Dia kemudian merebahkan tubuhnya di atas tikar.

Aku tidak berani mengganggunya. Baru saja kami bercengkerama seorang anak laki-laki datang mencarinya.

"Mbak, Bapak ada?" tanya anak itu sambil matanya mencari Mas Dani.

"Ada," jawabku dengan dahi mengernyit.

Apakah dia anak Mas Dani dari istri pertamnya.

Mas Dani langsung bangun dan menghampiri anak itu. Agak kasar dia menarik anak remaja itu. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Tanpa izin padaku Mas Dani lalu pergi dengan anak remaja itu. Siapa sebenarnya dia?

&&&&

Sudah seminggu aku tinggal dengan kaka iparku. Aku harus menahan perasaan ketika dia menganggapku sebagai pembantu. Bahkan aku harus mengurut dada ketika dia tidak pernah memberikan sesuatu padaku. Aku juga harus menyimpan dongkol ketika semua makanan memakai uangku. Hingga aku dikejutkan dengan kedatangan orang tua yang mengaku mertua Mas Dani,

"Nenek siapa?' tanyaku tidak mengerti. Aku duduk di kursi kayu yang ada di teras rumah Mbak Ira.

Sambil memangku Zaki yang sedang menyusu.

"Oh ini istri kedua Dani itu. Padahal gak cantik kok mau jadi istrinya Dani. Pelet apa yang kamu gunakan hingga Dani bisa kecantol denganmu?" gertak Nenek itu.

Langsung saja hatiku terluka mendengar gertakan dari nenek itu. Tapi apa salahku? Aku tidak pernah tahu kalau Mas Dani itu sudah punya istri. Dia mengaku belum pernah menikah. Jadi apa salahnya? Aku hanya diam dan tertunduk. Saat ini aku masih punya anak kecil jadi aku tidak bisa kemana-mana. Keluargaku pun tidak ada yang mendukung. Jadi aku harus sabar menerima setiap hinaan dari keluarga suamiku ataupun dari istri pertamanya. Yang penting Mas Dani masih mencintaiku. Ah aku tidak tahu mungkin aku terlalu cinta dengan pria ganteng itu sehingga membutakan mata untuk melihat kenyataan yang ada.

"Dasar Lo*n*e. . Udah tahu sudah punya istri dan anak.Kenapa masih mau dinikahi dengan Dani. Pasti kamu yang nyosor dengan Dani. Anaku lebih cantik dibanding kamu," umpatnya sambil meludah di lantai.

Kemudian Nenek itu berlalu begitu saja. Jadi dia datang hanya untuk menghinaku.

Ya Tuhan, andaikan aku tidak berdaya seperti ini pasti aku tidak mau dibawa ke kampung ini. Di sini aku harus menebalkan wajah dan menyumpal telingaku dari suara miring yang aku dengar.

Hingga Mas Dani pulang aku segera menemuinya.

"Mas, mertuamu datang. Dia memakiku dengan ucapan kotor. Aku gak sanggup untuk mendengarnya, Mas,' ujarku.

"Sudahlah .Biarin aja. Ngapain ngurusin orang. Yang penting kita jalanin saja," sahut Mas Dani.

Mengapa dia sangat tenang menghadapi ini semua. Apakah aku ini memang pelak*r.

Mbak Desi datang dengan membawa dua bungkus bakso. Dia menyuruhku untuk mengambil mangkok kosong untuk tempat bakso.

"Dek Minah, tolong ambilkan mangkok untuk bakso,'' titahnya padaku.

"Baik Mbak," ujarku. Aku meletakkan Zaki di tikar. Mas Dani tidak mau memegang bayi itu. Dia lebih asyik duduk di teras dengan menyulut rokok.

Kupikir Mbak Desi akan memberikan satu bungkus untukku dan Arsyad nyatanya tidak. Dia memberiku sedikit saja. Sambil menelan ludah aku tidak jadi makan bakso itu. Aku berikan anaku yang terus rewel meminta jajan dan buah seperti punya anak Mbak Sih kakak iparku.

Dasar kalau sudah pelit ya tetap saja seperti itu. Aku bersumpah kalau aku sudah punya uang pasti aku akan beli bakso seperti itu dan memberikan jajan yang banyak untuk anaku.

Hingga Mas Dani menarikku ke dalam kamar Dimas keponakannya. Dia sepertinya tidak sabar ingin melakukan hal itu karena aku sudah lama bersih dari nifas.

"Mas, ini siang hari lo," tegurku agar menunggu hingga malam.

"Gak apa-apa, Dek, mumpung Arsyad main ke tempat tetangga. Zaki juga tidur," paksa Mas Dani.

Dia langsung mendorongku ke atas kasur itu. Padahal bilik tidak ada pintunya hanya tertutup dengan kain korden. Sepertinya Mas Dani sudah tidak bisa mengendalikan nafsu.

"Mas, aku belum suntik KB. Tahan dirimu," ujarku dengan mendorong tubuh kekarnya.

"Dek Minaaaaaah!" teriak Mbak Desi menggagalkan rencana Mas Dani untuk menindih tubuhku. Aku memang belum siap untuk melayaninya. Aku juga belum suntik KB. Bagaimana kalau aku nanti hamil dengan keadaan yang seperti ini.

Dengan membetulkan rambut dan daster yang aku pakai. Gegas aku keluar bilik untuk menemui Mbak Desi.

"Kalian itu gimana sih. Ini lo masih siang. Kalian mau ngapain? Dek Minah juga belum nyuci piring ama lipat baju," ujar Mbak Desi dengan tatapan sinis.

Dia sepertinya akan pergi dengan membawa satu kantong plastik makanan. Sepertinya semangka dan mangga pemberian tamu Mbak Desi.

"Mau kemana, Mbak?" tanyaku ketika wanita itu akan pergi.

"Aku mau ke rumah Dino. Tolong dapur dibereskan ya Dek Minah!" titah Mbak Desi.

"Ya Tuhan, kapan aku bisa lepas dari orang seperti ini," batinku.

Mas Dani juga seperti sedang marah. Dia mengganti bajunya dengan kaos yang agak bagus. Aku mendekati berusaha untuk mencegahnya.

"Mas, aku sudah tidak punya uang. Aku ingin minta uang untuk belanja Mas. Lagian Arsyad juga butuh untuk beli susu. Lihat badannya kurus gitu," ujarku.

"Uangku yang dari emak dulu masih ada kan Mas?" tanyaku lagi.

"Uang yang mana Dek. Kan aku sudah bilang kalau uang itu sudah habis. Mengapa kamu menanyakan lagi. Sudahlah aku pergi dulu!' bentak Mas Dani sambil mendorongku.Hingga aku hilang keseimbangan dan jatuh ke lantai. Untung saja saat itu aku tidak menggendong Zaki.

Dengan kasar Mas Dani lalu pergi dari rumah Mbak Desi. Aku hanya bisa menangis merutuki nasibku kenapa aku punya suami seperti itu.

Setelah aku mengusap air mata, pikiranku mengembara. Aku harus bisa mendapatkan uang untuk biaya hidupku dan anak-anak.

"Oh ya aku akan mencoba pinjam uang pada Mbak Sih. Siapa tahu tabungannya banyak.Perhiasannya kan banyak batinku. Aku segera memakai jilbab yang ditarik Mas Dani. Aku beranikan diri untuk datang ke rumah Mbak Sih kakak iparku untuk meminjam uang.

Baru saja aku masuk rumah , sudah disambut dengan wajah yang tidak bersahabat. Muka Mbak Sih cemberut apalagi Anik, putrinya yang sombong itu. Dia menatapku dengan pandangan yang tidak suka.

"Ada apa Dek Minah?" tanya Mbak Sih dengan nada yang tinggi.

"Eh anu Mbak. Aku mau pinjam uang sedikit untuk beli makanan.Mas Dani belum kerja nanti kalau sudah bekerja aku kembalikan," ujarku dengan suara yang memelas.

"Apa kamu mau pinjam uang Dek.? Maaf saja. Aku gak punya uang. Semua sudah aku belikan gelang dan perhiasan," ujar Mbak Sih dengan memperlihatkan gelang yang dipakainya.

"Lima pulu ribu saja Mbak,. Buat jajan Arsyad. Kasihan dia merengek terus minta jajan,'' ujarku sambil memelas.

"Gak ada Dek. Lagian kamu kan tahu Dani itu pemalas. Kok kamu mau ama dia. Lagian dia juga sudah punya istri. Kok kamu mau jadi istrinya!" teriak Mbak Sih seolah menyalahkanku.

Kali ini aku tidak bisa diam. Banyak sekali tuduhan yang diberikan padaku.

"Mbak, kalau gak mau kasih pinjam uang juga gak papa. Tapi kenapa harus ngatain aku seperti itu. Toh aku dulu tidak tahu kala Mas Dani sudah punya istri. Kalau aku tahu sebelumnya pasti aku gak mau," belaku.

"Halah. Bilang saja kamu yang nyosor dengan Dani. Dia kan ganteng. Sementara dapat kamu yang seperti ini. Udah jelek miskin pula," hina Mbak Sih.

"Ya sudah Mbak. Kalau gak boleh aku permisi," jawabku.

Dengan perasan sakit hati aku keluar dari rumah Mbak Sih.

"Aku pasti jadi orang kaya," gumamku.

Sambil lipat baju aku berpikir apa yang harus aku jual untuk mendapatkan uang agar anakku masih bisa jajan. Katanya ikut suami lebih enak dibanding dengan ikut saudara tapi tidak berlaku untuku.

Suamiku malah jarang di rumah. Belum anggapan kalau aku ini adalah perebut suami orang. Kedua iparku yang pelitnya minta ampun. Lalu pada siapa aku akan minta pertolongan. Kalau tidak punya bayi mungkin aku akan pergi entah kemana.

Apa aku harus nyari kerjaan ya? Bagaimana dengan kedua anaku?Tapi aku butuh makan. Tidak mungkin ngandalin Mas Dani yang kerjanya tidak menentu.

Bab terkait

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 4. Mulut Pedas

    Mbak Desi sering keluar bergaul dengan tetangga sebelah atau untuk pengajian. Namanya mulut kalau tidak dikontrol suka membicarakan orang lain walaupn itu adalah adik ipar sendiri. Bahkan Mbak Desi bisa memutar balikkan fakta."Mbak, aku dengar di rumahmu ada istri Dani yang dari desa Suko Harjo ya?" tanya Titik salah satu tetangga Mbak Desi.Sore itu mereka sedang duduk di teras menunggu tukang jajan yang biasa lewat di kampung mereka."Iya Tik. Dia datang hampur seminggu," sahut Mbak Desi."Lo emang Mas Dani dengan Tini itu sudah cerai ya? Kok bisa meikah lagi," ujar Titik."Aku juga gak tahu dimana Dani kenal dengan wanita itu. Namanya Minah. Padahal orangnya cantik juga enggak. Miskin pula. Heran aku mengapa Dani sampai terpikat dengan wanita itu," ujar Mbak Desi dengan mulut seperti ikan lohan. Maju mundur tidak jelas."Wah jadi dia itu pelakor gitu ya. Udah tahu kalau Mas Dani udah punya istri kok mau-maunya dia jadi istrinya lagi' sahut Titik."Yah. Adiku kan ganteng to. Tapi ak

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 5. Tuduhan Keji

    Sudah sebulan ini aku ikut dengan Mbak Desi. Arsyad juga sudah mulai sekolah di kampung suamiku. Seperti biasa aku yang memegang pekerjaan di rumah seperti bersih-bersih, cuci piring, mencuci baju Mbak Desi sudah menjadi tugas sehari-hari. Sebenarnya perasaanku jengkel, marah, benci tapi tidak berdaya karena aku masih punya anak kecil sementara Mas Dani masih sibuk dengan dunianya. Dia jarang pulang bahkan seminggu sekali dia pulang tanpa membawa hasil. Perlahan perhiasan yang aku pakai satu persatu harus aku jual untuk menutup kebutuhan makan sehari-hari. Bahkan mulut Mbak Desi juga sering terdengar pedas di telinga sementara Mbak Sih selalu memamerkan makanan dan buah yang enak untuk anakku. Selama tinggal bersama Mbak Desi aku hanya menelan ludah dan menyimpan kekecewaan ini. Dia selalu menyimpan makanan enak di kamar tanpa membagi. Hingga suatu siang pada saat pulang dari sekolah dengan badan yang penuh dengan tanah anakku pulang sambil menangis. Sepertinya dia habis berkelahi de

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 6. Awal Bertemu

    Tubuhku terkapar di atas lantai. Rasa sakit hati yang kurasa semakin bertambah. Apakah aku ini memang wanita yang terlalu b*do* hingga tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Aku tumpahkan semua kekesalanku dalam tangis yang panjang. Mumpung tidak ada orang. Namun tidak ada yang peduli siapa yang akan mengasihaniku.Wanita yang dianggap perebut suami orang. wanita yang dianggap telah merusak rumah tangga orang. Padahal mereka tidak pernah tahu apa yang kurasakan. Sungguh sakit sekali ketika mengenang waktu pertama kali Mas Dani mendapatkan diriku. Peristiwa yang sangat menyakitkan yang pernah kurasa. Aku mencoba melupakan namun kenangan itu bagai bayangan yang selalu mengikuti.Seandainya aku tahu dari semula bahwa Mas Dani sudah punya istri dan tiga anak tidak mungkin aku mau menikah dengannya. Apalagi aku adalah wanita yang punya prestasi dan sangat aktif di organisasi. Kala itu aku mengajar di sebuah lembaga pendidikan yang memberikan les privat untuk anak-anak

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 7. Semakin Dekat

    Sejak peristiwa perkenalan itu Mas Dani sering main ke rumah. Dia punya alasan untuk membawaku keluar rumah. Entah dengan alasan melamar pekerjaan atau mengajak ke tempat hiburan. Dengan senang hati aku selalu ikut dengannya. Entah mengapa aku percaya dengan dia padahal baru saja mengenal. Sebelumnya aku memiliki kekasih atau teman dekat yang bekerja di Kalimantan di pertambangan batubara. Tapi sejak mengenal Mas Deni aku merasakan sesuatu yang lain. Dia pria yang sangat perhatian dan banyak bicara. Bahkan dia mengajak aku jajan ke tempat mahal memakai uangnya. Aku yakin sekali kalau Mas Dani ini adalah orang yang mampu dan terpandang. Bapak mulai curiga ketika aku sering pergi dengan Mas Dani hingga larut malam. Bapak sudah merasa curiga dengan kehadiran Mas Dani yang seolah-olah akan menjerumuskan hal-hal yang tidak bagus. Suatu malam Mas Dani mengajak ke tempat yang sangat tempat wisata. Kami duduk berdua di salah satu bangku dekat pantai. Dia memberiku setangkai merah.

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 8. Ciuman Pertama

    Mas Dani selalu punya alasan untuk mengajakku pergi. Kali ini aku dandan sangat cantik memakai celana jeans dan kaos pendek serta mengikat rambutku yang panjang. Aku memakai bedak tipis beserta warna bibir yang natural. Aku lihat sebentar di cermin kamar ternyata aku tidak jelek amat. Mengapa Mas Dani mau denganku? Selama ini tidak ada pria yang terus terang mengatakan cinta padaku dan datang ke rumah seperti Mas Dani. Perhatian dan sikap dia seringkali membuat aku tidak berdaya. Senyumannya sangat manis dan sempat membuat jantungku berhenti berdetak. Sangat manis sekali. “Selamat pagi Mas. Aduh kok sudah sampai di sini,” sapaku pada pria yang sudah menjadi pacarku itu. “Wah pagi ini kamu cantik sekali,” puji Mas Dani. “Ah biasa aja Mas,” kataku dengan pipi yang memerah. “Yuk kita pergi!”“Kemana?” “Katanya mau ngelamar pekerjaan. Aku antar kamu kemana saja yang kamu inginkan,” kata Mas Dani. “Emang Mas Dani tidak kerja kok pagi-pagi sudah sampai di sini. Aku takut mengganggu pe

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 9. Sudah Tidak Tahan

    Mas Dani sangat kesal kepadaku karena tidak memberikan apa yang dia minta. Dia mengajak pulang ke rumah sementara Wahid hanya tersenyum melihat muka Mas Dani sangat kusut. “Wahid, aku pulang dulu ya. Kabari kalau ada berita bagus,” kata Mas Dani dengan muka yang kusut. “Nggak jadi nginep?” tanya Wahid lagi.“Nggak jadi ah. Itu si Minah mau minta pulang,” kata Mas Dani sepertinya sudah paham betul tabiat Mas Dani sehingga mereka saling memberikan kode. Aku juga belum begitu paham pria yang sudah menjadi pacarku ini. Dalam perjalanan kami hanya diam. Aku juga tidak berani membuka pembicaraan hanya pelukan di pinggang. Tanpa banyak bicara dia mengantar sampai ke rumah. “Aku pulang dulu ya Dek. Nanti kalau aku sudah ambil uang aku ganti uang untuk makan bakso tadi,” kata Mas Dani. “Iya Mas tenang aja.” “Salam buat Bapak dan Emak ya,” kata Mas Dani. “Iya Mas nanti aku sampaikan.” Ketika sampai rumah Emak dan Bapak masih di sawah sehingga tidak ada orang. Tanpa masuk ke dalam Mas Da

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 10 Pergi ke Luar Kota

    “Pak, Minah mau melamar pekerjaan di kota sebelah,” ujarku meminta izin Bapak. “Ke mana Min?” tanya Bapak memandang tajam ke arahku. “Dengan siapa? Dengan Nak Dani?” tanya Bapak curiga. “Nggak Pak. Ini tempat teman memberitahu kalau ada lowongan pekerjaan di pabrik,” kataku mencoba berbohong. Baru kali ini aku membohongi bapak karena ingin pergi dengan Mas Dani. Cinta terhadap pria itu membutakan hatiku dan akal waras. “Ya sudah hati-hati. Tapi bapak nggak bisa nyangoni lo Nduk. Bapak belum panen,” kata bapak. “Ya udah nggak apa-apa Pak. Aku masih punya kok. Uangku masih ada.” “Hati-hati ya , Nduk. Ingat jaga diri di manapun kamu berada,” pesan bapak. Aku hanya membawa beberapa setel baju dan celana juga pakaian dalam dan alat kosmetik beserta buku-buku yang nanti aku digunakan untuk menulis. Dengan diantar tetanggaku sebagai tukang ojek, aku menuju ke jalan raya utama karena kalau mau ke desaku harus naik ojek lagi. Setelah membayar aku mengucapkan terima kasih karena dia tel

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 11. Akal Licik

    Setelah menyantap hidangan yang telah disediakan oleh Pak Ali dan Mbak Ernis, kami siap-siap menuju rumah kontrakan yang sempat dilihat oleh Mas Dani. Dia sudah membayar uang untuk 2 hari. Tidak ada rasa curiga atau prasangka buruk terhadap pacarku itu. Aku merasa dia adalah pria yang sudah dewasa dan mengerti akan batas-batas. Apalagi aku melihat dia rajin sekali mengerjakan ibadah jadi aku tambah sangat sayang kepadanya. Setelah makan dan memberesi piring kotor di dapur kami kemudian pamit pada Mbak Ernis. “Mbak, terima kasih banyak ya atas jamuannya,” kataku. “Iya Mbak Min sama-sama. Besok ya baru melamar pekerjaan itu?” tanya Mbak Ernis. “Ya, Mbak. Doakan ya agar lamaranku diterima,” kataku. “Iya Mbak Min, semoga lamarannya diterima,” ucap Mbak Ernis. Aku membawa tas kecil milik Mas Dani dan satu tas miliku. Tidak ada perlengkapan yang berharga, hanya sekedar baju ganti dan pakaian dalam untuk 2 hari ke depan. Aku juga tidak membawa apapun. Tiba di rumah kontrakan yang dimak

Bab terbaru

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 121. Akhir Sebuah Perjalanan( Tamat)

    Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab. 120.Menikmati Malam Pertama

    Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 119. Akhirnya Sah

    Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 118. Persiapan

    Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 117. Menunggu Hari Itu

    Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 116. Melupakan Masa Lalu

    Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 115. Syukuran

    Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 114. Heroku

    Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 113. Kabar Tentang Zaki

    Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek

DMCA.com Protection Status