“Pak, Minah mau melamar pekerjaan di kota sebelah,” ujarku meminta izin Bapak. “Ke mana Min?” tanya Bapak memandang tajam ke arahku. “Dengan siapa? Dengan Nak Dani?” tanya Bapak curiga. “Nggak Pak. Ini tempat teman memberitahu kalau ada lowongan pekerjaan di pabrik,” kataku mencoba berbohong. Baru kali ini aku membohongi bapak karena ingin pergi dengan Mas Dani. Cinta terhadap pria itu membutakan hatiku dan akal waras. “Ya sudah hati-hati. Tapi bapak nggak bisa nyangoni lo Nduk. Bapak belum panen,” kata bapak. “Ya udah nggak apa-apa Pak. Aku masih punya kok. Uangku masih ada.” “Hati-hati ya , Nduk. Ingat jaga diri di manapun kamu berada,” pesan bapak. Aku hanya membawa beberapa setel baju dan celana juga pakaian dalam dan alat kosmetik beserta buku-buku yang nanti aku digunakan untuk menulis. Dengan diantar tetanggaku sebagai tukang ojek, aku menuju ke jalan raya utama karena kalau mau ke desaku harus naik ojek lagi. Setelah membayar aku mengucapkan terima kasih karena dia tel
Setelah menyantap hidangan yang telah disediakan oleh Pak Ali dan Mbak Ernis, kami siap-siap menuju rumah kontrakan yang sempat dilihat oleh Mas Dani. Dia sudah membayar uang untuk 2 hari. Tidak ada rasa curiga atau prasangka buruk terhadap pacarku itu. Aku merasa dia adalah pria yang sudah dewasa dan mengerti akan batas-batas. Apalagi aku melihat dia rajin sekali mengerjakan ibadah jadi aku tambah sangat sayang kepadanya. Setelah makan dan memberesi piring kotor di dapur kami kemudian pamit pada Mbak Ernis. “Mbak, terima kasih banyak ya atas jamuannya,” kataku. “Iya Mbak Min sama-sama. Besok ya baru melamar pekerjaan itu?” tanya Mbak Ernis. “Ya, Mbak. Doakan ya agar lamaranku diterima,” kataku. “Iya Mbak Min, semoga lamarannya diterima,” ucap Mbak Ernis. Aku membawa tas kecil milik Mas Dani dan satu tas miliku. Tidak ada perlengkapan yang berharga, hanya sekedar baju ganti dan pakaian dalam untuk 2 hari ke depan. Aku juga tidak membawa apapun. Tiba di rumah kontrakan yang dimak
“Dek Minah…Dek Minah..!” teriak Mbak Desi dengan sangat kencang membuat kenanganku tentang masa lalu yang sangat menyakitkan hati hilang diterpa angin. Kenangan yang tidak pernah kulupakan karena pertama kali aku menikah dengan Mas Dani. Bahagia yang kuharapkan ternyata air mata setiap hari. Setelah menikah baru aku tahu sifat asli Mas Dani yang tukang main perempuan serta mabuk dan judi. Dia juga sangat malas untuk bekerja. Aku pikir dia mempunyai tabungan yang banyak dengan mengaku mempunyai deposito di mana-mana ternyata hanya bualan untuk menjebakku. Setiap hari aku hanya menangis. Namun penyesalan itu untuk apa. Memang Mas Dani adalah pria tampan yang banyak dikagumi oleh banyak wanita. Bahkan banyak wanita yang memberikan harta atau uang agar bisa berkencan dengan Mas Dani. Memang saat ini aku sangat mencintai Mas Dani. Dia paling bisa menyenangkan aku untuk urusan ranjang. Tapi sejak kelahiran Zaki, suamiku itu jarang pulang. Pikiranku pasti dia ke rumah istri pertamanya. Terp
Mbak Desi mulai mencurigaiku ketika ada Dimas di rumah. Dia jarang keluar untuk memenuhi panggilan pijat. Setiap hari kerjaanku tambah padat dari mencuci piring, mencuci pakaian mereka hingga memasak. Sedangkan Mbak Desi tidak pernah memberiku makanan atau buah yang diberikan dari tamu yang datang. Padahal aku melihat banyak sekali buah dan roti serta mie yang ada di dalam kamar Mbak Desi. Aku hanya menelan ludah melihat kenyataan ini apalagi sejak 4 hari yang lalu Mas Dani tidak pulang ke rumah. Entah dia pergi kemana. Tidak juga pamit padaku atau kepada Arsyad putranya. Sedangkan uang juga tidak punya. Melihat Arsyad yang merengek terus meminta jajan kuberanikan diri untuk meminjam kepada Mbah Sih yang uangnya banyak. Apalagi aku melihat perhiasannya banyak sekali hingga ke lengan dan kalungnya juga sangat panjang. Dia juga makan buah dan makanan yang serba enak. Sementara Arsyad hanya menangis melihat anak Mbak Sih yang makan di depan tteras rumah tanpa memberikan sedikit untuk an
Sesampainya di rumah, Mbak Desi sudah berkacak pinggang. Dia sepertinya ingin mengatakan sesuatu kepadaku dan melihat barang apa yang sedang aku beli. Zaki masih dalam gendonganku sementara Arsyad memegang buah kesukaannya. "Kamu memang punya uang Dek Minah kok belanja banyak segitu. Itu semua di dapur semua peralatan habis, kamu memasak bumbunya kok terlalu boros semua. Ada gula segala macam habis. Sini belanjaanmu Mbak Desi lihat,"kata Mbak Desi ingin merebut plastik yang aku bawa.Kesabaranku sepertinya sudah habis, aku tidak mau memberikan bingkisan itu kepada Mbak Desi. "Jangan Mbak Desi, ini aku beli dari uang yang kupinjam dari Mas Diki. Kenapa Mbak Desi meminta kan punya stok makanan banyak. Tuh di kamar Mbak Desi masih ada banyak juga tidak pernah memberikan kepadaku," kataku dengan sedikit tegas.Mendengar ucapanku yang agak kasar Mbak Desi sedikit kaget dia menatapku seolah tidak percaya."Lho, Dek Minah kok jadi berani kayak gitu. Kamu Kesambet dari mana Dek? Kamu itu num
Mas Dani tidak jadi makan justru melempar mangkok ke wajahku. Untung saja aku bisa menghindar sehingga mangkok itu tidak mengenai wajah. Dengan muka yang sangat garang dia melotot ke arahku. Belum pernah selama menjadi istrinya dia semarah itu.Apakah ucapanku salah jika aku menanyakan hasil dari kerja dia selama pergi dari rumah? Sementara keadaan aku tidak punya uang bahkan untuk jajan Arsyad dan makan mie aja harus ngutang dengan kakak iparku Mas Diki. Masih aja dicurigai oleh Mbak Sih, istrinya Mas Diki. Juga dituduh mencuri uang Mbak Desi. Kapan aku bisa menjadi mandiri bisa bekerja tidak tergantung pada suamiku ini. Aku hanya bisa menangis sambil menutupi wajahku. Tak pernah terbayang suamiku menjadi pemarah seperti ini. Padahal dulu dia adalah lelaki yang sangat romantis dan penyayang seolah ingin menjagaku kini kami mempunyai dua anak timbul sifat aslinya. Aku baru tahu kalau dia ternyata adalah penjudi dan minum alkohol serta tukang main perempuan tapi bagaimana lagi nasi sud
Dani pamit pada Minah untuk pergi bekerja. Namun nyatanya pria yang bertubuh tinggi besar dan kumis tipis itu tidak bekerja. Dia justru pulang ke tempat istri pertamanya. Padahal baru saja dia melepaskan hasratnya pada Minah. Istri pertama Dani memang satu kampung dengan dia. Cuma beda dukuh dengan rumahnya Mbak Desi. Jadi sebenarnya apapun yang akan dilakukan Dani dan Minah, Tini,istri pertama Dani mengetahuinya. Dia memang wanita yang sangat licik dan pandai. Bisa membayar orang untuk memantaui apa yang dilakukan oleh Dani dan Minah. Dani begitu semangat ketika ke tempatnya Tini. Wanita itu sudah dandan dengan make up yang sangat menor. Bibir merah dan perhiasan yang banyak. Rumahnya juga besar dan halamannya luas. Dulu Tini adalah seorang TKW yang bekerja di Arab Saudi hingga bertahun-tahun, sehingga dia bisa membangun rumah yang sangat besar. Dia juga membangunkan rumah untuk anak-anaknya. Biasanya Tini bekerja di luar negeri tapi untuk sementara dia cuti dulu untuk bebe
Dani mengajak Tini menuju ke kamar. Seperti lama tidak bertemu Tini merayu Deni suaminya. Dia membuka kaos dan celana Dani dengan tergesa. Seolah ingin mengetahui isi dibalik celana itu. Padahal Tini sudah tahu kalau Dani sudah punya istri lagi. Tapi gairah wanita itu tidak pernah padam ketika melihat suami gantengnya pulang.Kemudian dengan sangat beringas Tini memulai permainan. Dia mencium bibir dan leher Dani. Mereka bercinta di kamar pojok yang menjadi kamar Tini.Setelah melepaskan apa yang menjadi hasratnya Dani tertidur di pembaringan. Padahal baru saja setengah jam yang lalu dia telah melakukan hubungan badan dengan Minah. Memang libido pria itu sangat luar biasa."Makasih ya Sayang, kamu sudah memberikan apa yang kumau," bisik Tini di telinga Dani. Sementara Dani hanya mengangguk sambil menarik sarung untuk menutupi senjata andalannya. Tangan Tini masih memegang milik Dani berharap suaminya akan meminta lagi."Dek udah.Aku udah capek banget. Uang yang tadi aku pinjam
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar
Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma
Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek