Dani mengajak Tini menuju ke kamar. Seperti lama tidak bertemu Tini merayu Deni suaminya. Dia membuka kaos dan celana Dani dengan tergesa. Seolah ingin mengetahui isi dibalik celana itu. Padahal Tini sudah tahu kalau Dani sudah punya istri lagi. Tapi gairah wanita itu tidak pernah padam ketika melihat suami gantengnya pulang.Kemudian dengan sangat beringas Tini memulai permainan. Dia mencium bibir dan leher Dani. Mereka bercinta di kamar pojok yang menjadi kamar Tini.Setelah melepaskan apa yang menjadi hasratnya Dani tertidur di pembaringan. Padahal baru saja setengah jam yang lalu dia telah melakukan hubungan badan dengan Minah. Memang libido pria itu sangat luar biasa."Makasih ya Sayang, kamu sudah memberikan apa yang kumau," bisik Tini di telinga Dani. Sementara Dani hanya mengangguk sambil menarik sarung untuk menutupi senjata andalannya. Tangan Tini masih memegang milik Dani berharap suaminya akan meminta lagi."Dek udah.Aku udah capek banget. Uang yang tadi aku pinjam
Dani seolah tidak mempunyai dosa dan tanggungan dia mengantarkan Tini ke pasar untuk membeli makanan dan mengambil uang yang dia maksut. Dani berusaha merayu Tini agar membelanjakan uangnya untuk keperluan dirinya sendiri. Dia tidak pernah memikirkan Minah dan kedua anaknya. Sementara itu Tini sangat bahagia bisa keluar dengan Dani kali ini pria itu berdandan sangat rapi. Dia memakai celana dan kaos dengan kerah bermerek. Dia juga memberikan baju dari luar negeri untuk suaminya membuat Dani tambah besar kepala.Hingga sampai di toko baju Dani memilih jaket dan celana yang mahal."Dek ini bagus tidak?" tanya Dani sambil mengambil jaket kulit berwarna coklat. Dia juga mengambil celana dengan model yang banyak kantongnya."Bagus itu Mas. Coba dipakai sama Mas Dani. Pas apa tidak?" tanya Tini sambil memakaikan pada suaminya.Wanita itu tersenyum sumringah ketika melihat suaminya tambah ganteng dan gagah ketika memakai jaket itu. Tubuhnya yang tinggi membuat Dani kelihatan seperti or
Sudah sore aku hanya mengasuh Zaki belum juga memasak. Aku tidak punya uang untuk belanja sementara Mbak Desi pulang membawa makanan yang sudah matang."Dek Minah tadi Deni pulang apa tidak?" tanya Mbak Desi kepadaku."Pulang Mbak, tapi cuma sebentar lalu pergi lagi katanya sih ngurusi kerjaan," kataku."Lho, kamu kok belum masak apa kamu gggak punya uang?" tanya Mbak Desi dengan pandangan yang kurang suka."Uang dari mana to,Mbak. Mas Dani itu seminggu baru pulang terus dia marah enggak punya uang, katanya uangnya masih dibawa oleh mandornya. Saya juga bingung mau makan pakai apa. Tadi ngutang dikasih uang sama Mas Diki 100 ribu sudah habis buat belanja. Buat beli susu sama jajan Arsyad. Dimas malah makan jatah mi Arsyad. Saya harus gimana Mbak?" tanyaku pasrah. Andaikan malam ini Mbak Desi tidak memberiku makan maka aku harus menahannya hingga pagi. "Kamu harus usaha dong,Dek Minah. Jangan diam saja," gerutu Mbak Desi. Mendengar ucapan Mbak Desi mataku langsung menatap
Aku sangat gelisah menunggu kedatangan Mas Dani pulang. Apa benar yang diucapkan anakku Arsyad bahwa Mas Dani pulang ke tempat istri pertamanya. Mendadak dadaku bergemuruh, kepalaku pusing. Rasa cemburu ini memenuhi rongga dadaku. Bagaimana mungkin dia bersenang-senang di sana sementara aku dan kedua anaknya sangat kelaparan dan harus ngutang di warung.Mungkin dia makan enak karena istri pertamanya banyak uang. Mereka bisa membeli apa yang mereka inginkan. Namun apakah dia tidak mengingatku dan kedua anaknya.Aku juga tidak bisa menghubungi suamiku karena dia tidak memberikan ponsel. Jangankan untuk membeli ponsel untuk makan sehari-hari cukup saja, aku sudah bersyukur. Sampai malam sekitar jam satu aku gelisah menunggu kedatangan Mas Dani tapi belum juga pulang. Hingga Dimas keluar dari dalam kamar dan melihat aku sedang menyusui Zaki. Tanpa sadar dia telah memperhatikan buah dadaku yang kuberikan pada Zaku dengan posisi yang miring. Aku terkejut ketika menyadari Dimas tela
Sampai pagi Mas Dani juga belum pulang perasaan campur aduk jadi satu. Sesuai janji Mbak Must padaku akan mengantarkan aku ke rumah Bu Tatik, orang kaya yang mencari tukang cuci gosok. Sengaja aku bangun pagi untuk mencuci piring dan menyelesaikan pekerjaan di rumah Mbak Desi. Semua itu kulakukan karena aku masih menumpang di rumah Mbak Desi. Terpaksa aku mencuci baju Mbak Desi dan Dimas.Setelah itu aku segera mandi dan memandikan Zaki."Dek Minah, hari ini kamu jadi kerja?" tanya Mbak Desi kepadaku."Ya Mbak. Mas Dani tidak pulang aku mau minta uang sama siapa kalau tidak bekerja," jawabku tanpa menoleh kepadanya."Zaki mau kamu titipkan siapa, Dek Minah?" tanya Mbak Desi."Aku sendiri banyak tamu jadi gak bisa menolongmu," ujar Mbak Desi. "Nggak papa Mbak. Aku bisa membawanya kok. Lagian Mbak Mus bilang kalau aku boleh bawa anak yang penting pekerjaanku selesai," ujarku tanpa melihat ke arah kakak iparku. "Oh ya sudah. Baguslah jadi tidak merepotkanku," kata Mbak Desi.Ak
Aku sangat terkejut ketika Pak Dedi menyentuh dan menarik tubuhku.Tanpa sengaja tangannya mendadak menyentuh bagian atas milikku kemudian aku menjerit "Pak!" teriakku segera mengibaskan tangannya. "Maaf tidak sengaja tadi, Minah. Aku hanya memegang tubuhku agar tidak jatuh," kata Pak Dedi memberikan alasan.Aku merasa tangannya mencengkram buah dadaku walau hanya hitungan menit."''Tolong bikin mi segera ya. Aku sangat lapar," kata Pak Dedi mengalihkan pembicaraan."Baik Pak," kataku dengan sedikit gugup. Aku merasa dia melakukannya dengan sengaja. Kulihat Zaki sebentar di lantai ruang tamu Bu Tati. Anakku itu masih tertidur dengan pulas. Segera aku membuatkan mie sesuai yang diminta Pak Dedi. Setelah siap kemudian aku meletakkannya di atas meja. Karena pekerjaanku sudah selesai mencuci, menjemur dan menggosok baju kemudian aku merapikan kembali tempat untuk menggosok. Aku pamit pada Pak Dedi yang duduk di meja makan. "Maaf Pak Dedi karena pekerjaanku sudah selesai Mina
Deni sangat bahagia berkumpul dengan keluarga Tini apalagi istri pertamanya itu baru pulang dari Saudi. Dia bahkan melupakan Minah dan kedua anaknya Arsyad dan Zaki. Padahal Minah menunggu kepulangannya karena sudah tidak mempunyai uang sama sekali."Mas, nanti anterin aku ke pasar ya," kata Tini menggelendot manja pada Dani."Iya,Dek. Kamu mau beli apa?" tanya Dani."Oh aku mau beli gelang lagi nih. Kayaknya kemarin ada gelang keluaran baru," sahut Tini."Terus aku dibeliin apa Dek?" tanya Dani."Ya nanti Mas Dani mau beli apa?" tanya Tini. "Aku beliin jam tangan dong Dek!" punya Dani. "Ya sudah nanti ambil ya Mas ," sahut TiniSetelah itu mereka bersiap untuk pergi ke pasar. Dani memakai celana dan jaket yang kemaren dibelinya. Dia juga memakai sandal merk ternama pemberian majikan Tini dari Arab Saudi.Waktu itu Minah sedang membeli makanan di toko pinggir jalan. Dia memakai kerudung warna hitam dan menundukkan wajahnya. Ketika sudah selesai belanja, Minah pulang dengan berj
Mbak Desi kemudian duduk dan mendekatiku. Aku sudah tidak peduli, sambil mengusap air mata yang terus berjatuhan kukemasi semua bajuku dan baju anak-anak."Dek Minah, apakah tidak dipikirkan lagi kalau mau pergi dari rumah ini? Dek Minah mau tinggal di mana?" tanya Mbak Desi mendadak sangat perhatian padaku."Nggak papa Mbak, aku nanti ngontrak. Aku mau pergi ke Jakarta saja," kataku."Pergi ke Jakarta dengan dua anak? Apakah kamu bisa,Dek?" tanya Mbak Desi memasang muka yang sedih."Insya Allah bisa Mbak. Daripada aku di sini bertemu dengan Mas Dani dan istri tuanya. Mas Dani bahkan melupakan kedua anaknya. Aku tuh gak punya apa-apa Mbak. Justru Mas Dani jalan-jalan dengan wanita itu," ujarku."Sebenarnya aku tuh tidak mau tinggal di sini. Adikku pengen belikan aku rumah tapi karena uangnya dibawa Mas Dani, terpaksa aku tinggal di sini.""Dek, Maafkan Mbak Desi ya. Aku kepengen kamu tetap di sinI. Dani ya begitu itu sifatnya. Sebentar lagi kan Tini pergi berangkat lagi ke luar
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar
Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma
Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek