“Kamu kan punya anak bayi. Kenapa kamu mau kerja. Waktu itu aku menawari kamu untuk bekerja di luar negeri tapi kamu menolak sekarang kamu menginginkan kerja di luar negeri, apa sebenarnya yang kamu mau?” tanya Mas Dani dengan mata yang mendelik.“Ya, aku tidak mau seperti ini Mas. Aku pengen punya rumah sendiri, pengen punya sesuatu. Lagian kamu juga jarang bekerja,” sahutku membela diri. “Terus anak kamu siapa yang akan merawatnya. Kamu itu masih menjadi istriku loh. Kamu harus nurut sama aku. Aku masih sanggup untuk memberi makan kamu Dek,” tegas Mas Dani. “Buktinya ini aku memberikan kamu uang 500 ribu.” “ Tapi ini uang tidak halal kan Mas?” “Apa maksudmu dengan uang tidak halal. Ini aku bekerja,” jawab Mas Dani dengan melotot. “Iya kamu bekerja tapi kamu nginep di rumah istri pertamamu. Kata kamu sudah tidak cinta dengan Tini tapi nyatanya kamu tidur di sana. Makan dan sebagainya pasti ini uang pemberian dari wanita itu kan? Kata kamu memilihku mengapa kamu masih bal
Mas Dani pergi lagi setelah memberikan uang kepadaku 5 lembar uang 100an. Itu pun aku sudah membelanjakan untuk belanja di dapur dan jajan. Mbak Desi yang tadinya minta maaf kepadaku sudah lupa dengan apa yang dibicarakan. Bahkan dia sengaja tidak belanja agar aku belanja kebutuhan dapur serta sabun dan peralatan kamar mandi lainnya. Bahkan Dimas juga tambah menunjukkan sikap memerintah kepadaku. Dia mengambil makanan untuk Arsyad. Ancaman Mas Dani agar aku tidak bekerja tempatnya Bu Tati aku laksanakan. Pada saat itu aku sudah tidak bekerja lagi di tempatnya Bu Tati. Aku juga takut dengan suaminya yang akan berbuat tidak senonoh kepadaku. Sambil menyusui Zaki duduk di teras rumah Mbak Desi, aku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa keluar dari rumah ini. Kalau menurut ego dan emosiku aku pergi tanpa sebab pasti Mas Dani akan marah dan akan mencariku. Aku harus mencari akal atau cara agar aku bisa kerja tempat lain. Aku ingin mempunyai rumah sendiri dan tidak numpang
Niatku untuk pergi ke Jakarta aku urungkan. Benar saja omongan dari Mbak Mus bahwa kalau aku bekerja ke Jakarta membawa dua anak pasti repot. apalagi Zaki masih kecil lalu bagaimana kalau aku bekerja. Zaki sedikit rewel di dalam bus besar menuju kota R. Pikiranku sedikit galau tapi kalau aku terus bertahan di rumah Mbak Desi aku tidak enak setiap hari dianggap sebagai pembantu apalagi dibilang tetangga yang menganggap aku ini sebagai pelakor dan perebut suami orang. Sudah lama aku tidak ke tempat saudara Ibu yang ada di daerah itu. Beberapa saudara ibuku di sana. Niatnya aku ingin menitipkan kedua anakku di sana. Aku mengharapkan adiknya ibu mau merawat anakku dan aku berangkat bekerja. Dalam perjalanan Arsyad mabuk kendaraan. Dia muntah-muntah di dalam bis. Sedikit kewalahan dengan menjaga dua anak kecil. sementara Zaki tidur lelap dalam gendonganku. Arsyad kemudian tidur sebelahku. Kondektur mencolek lenganku dan menyuruhku untuk membayar biaya ongkos menuju kota R. Aku menyodorka
Bulek tidak bisa memberikan keputusan mau merawat kedua anakku. Setelah makan aku merebahkan tubuh penatku di atas dipan kayu yang hanya beralaskan kain kemudian menyusui Zaki sambil tiduran. Aku memikirkan mau pergi ke man? Kerja ke mana. Apakah mampu aku membawa kedua anakku ke Jakarta. Kalau aku titipkan dengan siapa? Seandainya Bulek Sholekah tidak mau merawat kedua anakku. Aku berjanji mulai saat ini tidak akan merepotkan keluargaku lagi. Apapun yang terjadi terhadapku. Mendingan aku bayar orang untuk menjaganya daripada seperti ini. Setelah pergi dari rumah Mbak Desi aku tidak mungkin balik lagi ke tempat itu. Seperti menjilat ludah yang aku buang sendiri. Mending aku kelaparan di luar sana kalau harus menanggung malu. “Itu suamiku sudah datang,Minah. Nanti aku tanyakan kepada dia. Apa aku boleh merawat anak-anakmu. Soalnya masih kecil, Minah. Aku juga banyak kerjaan. Kalau merawat anakmu pasti waktuku habis terus aku sudah tidak bisa bekerja di sawah lagi dan b
Malam itu aku menginap untuk sehari di rumah Bu Lek Solehah. Sepertinya Arsyad dan Zaki tidak kerasan. . Aku juga bingung harus melanjutkan bekerja atau balik ke rumah Mbak Desi. Tidak mungkin aku ke rumah itu lagi setelah aku meninggalkan dan berpamit dengan kakak iparku. Walau sebenarnya apa yang terjadi denganku karena keras kepala dan egoisku membuat semua rencanaku gagal. Aku memang masih istri Mas Dani karena dia belum menceraikan aku. Entah mengapa perasaan berdosa dan bersalah tiba-tiba menghinggap apalagi memisahkan kedua anakku dengan ayahnya. “Bu, besok kita pulang kan?” tanya Arsyad padaku. “Besuk kita balik ke Semarang Nak,” kataku sambil membelai rambut anak sulungku. “Balik ke rumah Bude ya?” tanya Arsyad lagi. “Nggak Nak. Ibu mau ngontrak sendiri. Ibu mau kerja.” “Kenapa mau ngontrak sendiri Bu. Arsyad kangen dengan ayah,” kata Arsyad.“Yah, ibu tidak mau numpang terus tempatnya Bude, Nak. Lebih baik kita ngontrak sendiri,” kataku untuk menghibu
“Mbak sudah sampai kota tempatmu,” kata kondektur menyenggol pundakku. Aku sedikit tergagap kemudian melihat gapura desa tanda masuk ke kotaku.“Oh ya ya Mas. Tolong barang bawaan saya dong di bagasi,” i kataku. Aku membetulkan selendang untuk menggendong Zaki kemudian membangunkan Arsyad. “Nak, ayo bangun sudah sampai,” kataku menowel pipi Arsyad. Agak sedikit mengantuk dia membuka matanya dan berjalan di depanku. Aku menggunakan tangan kanan untuk menggandeng Arsyad. Dengan perlahan turun. “Hati-hati ya Mbak!” pesan salah satu penumpang. “ Iya Mas,” kataku. Kernet bis segera menurunkan kardus yang berisi makanan yang diberikan oleh bulek Solekhah. Setelah aku turun dan anak-anak serta barang bawaanku. Akhirnya bis meninggalkan jalan raya. Aku menarik nafas sebentar seolah beban ini dada biar segera lenyap. Aku memanggil tukang ojek yang sedang mangkal di tempat itu dan menanyakan alamat temanku Indah yang berada dekat situ. Rencananya untuk sementara aku tingg
Aku sangat senang ketika menempati kontrakan yang baru itu. Tidak peduli besok aku harus bagaimana. Arsyad pulang dan meminta uang jajan kepadaku. “Bu, minta uang jajannya dong beli es krim,” ujar Arsyad. “Iya Nak sebentar ya.” Aku mengambil dompet kemudian memberikannya uang jajan sedikit. Kardus yang aku bawa dari bulek baru sempat aku buka. Ternyata memang banyak beras dan ikan asin serta ada juga sayuran dan roti yang siap makan. Aku sangat kelaparan apalagi menyusui Zaki kemudian aku mengambil roti untuk sekedar mengisi perutku yang kosong. Baru saja menyandarkan punggung di dinding kontrakan seorang ibu datang dan menyapaku. Aku berdiri dan menyalaminya. “Wah ada tetangga baru ya?” tanya ibu itu. “Iya Bu, aku baru,” jawabku. “ Wah anaknya masih kecil-kecil dimana suaminya?” tanya ibu itu. “Aku nggak ada suami,” kataku mencoba berbohong. “Oh gitu. Emang mau kerja apa kalau punya anak kecil kayak begini?” “Saya kerja apa aja bisa kok dari nyuci masak atau ngurut
Deni pulang ke rumah kakaknya Desi dalam keadaan mabuk. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang sangat menyengat. Sejak ujung jalan rumah Desi dia terus meracau memanggil nama Minah istrinya. “Minah! Di mana kamu? Di mana anak-anak?” teriak Dani. Dicky kakak Dani keluar dari rumah. “Ada apa sih Dani?Kok masih mabuk saja. Kenapa gak sadar sih. Begitu terus kelakuanmu. Emang kamu nggak tahu istrimu pergi ke Jakarta membawa dua anaknya,” ujar Dicky. “Apa?” Mata Dani mendadak mendelik. Dia kemudian mencengkram kerah kaos kakaknya dengan kedua tangan. Tidak terima diperlakukan seperti itu oleh adiknya Dicky kemudian menampar pipi Dani sangat keras. Sehingga pria yang berkumis itu tersungkur. “Rasain kamu sekarang dia sudah pergi terlambat bagimu,” ujar Dicky sambil meludah ke lantai. Aku sudah muak dengan semua tingkahmu Dani. Sekarang buat apa kamu pulang dalam keadaan mabuk. Minah juga sudah tidak ada di sini. Dia sudah pergi,” kata Dicky menatap Dani dengan sorot mata
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar
Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma
Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek