Bulek tidak bisa memberikan keputusan mau merawat kedua anakku. Setelah makan aku merebahkan tubuh penatku di atas dipan kayu yang hanya beralaskan kain kemudian menyusui Zaki sambil tiduran. Aku memikirkan mau pergi ke man? Kerja ke mana. Apakah mampu aku membawa kedua anakku ke Jakarta. Kalau aku titipkan dengan siapa? Seandainya Bulek Sholekah tidak mau merawat kedua anakku. Aku berjanji mulai saat ini tidak akan merepotkan keluargaku lagi. Apapun yang terjadi terhadapku. Mendingan aku bayar orang untuk menjaganya daripada seperti ini. Setelah pergi dari rumah Mbak Desi aku tidak mungkin balik lagi ke tempat itu. Seperti menjilat ludah yang aku buang sendiri. Mending aku kelaparan di luar sana kalau harus menanggung malu. “Itu suamiku sudah datang,Minah. Nanti aku tanyakan kepada dia. Apa aku boleh merawat anak-anakmu. Soalnya masih kecil, Minah. Aku juga banyak kerjaan. Kalau merawat anakmu pasti waktuku habis terus aku sudah tidak bisa bekerja di sawah lagi dan b
Malam itu aku menginap untuk sehari di rumah Bu Lek Solehah. Sepertinya Arsyad dan Zaki tidak kerasan. . Aku juga bingung harus melanjutkan bekerja atau balik ke rumah Mbak Desi. Tidak mungkin aku ke rumah itu lagi setelah aku meninggalkan dan berpamit dengan kakak iparku. Walau sebenarnya apa yang terjadi denganku karena keras kepala dan egoisku membuat semua rencanaku gagal. Aku memang masih istri Mas Dani karena dia belum menceraikan aku. Entah mengapa perasaan berdosa dan bersalah tiba-tiba menghinggap apalagi memisahkan kedua anakku dengan ayahnya. “Bu, besok kita pulang kan?” tanya Arsyad padaku. “Besuk kita balik ke Semarang Nak,” kataku sambil membelai rambut anak sulungku. “Balik ke rumah Bude ya?” tanya Arsyad lagi. “Nggak Nak. Ibu mau ngontrak sendiri. Ibu mau kerja.” “Kenapa mau ngontrak sendiri Bu. Arsyad kangen dengan ayah,” kata Arsyad.“Yah, ibu tidak mau numpang terus tempatnya Bude, Nak. Lebih baik kita ngontrak sendiri,” kataku untuk menghibu
“Mbak sudah sampai kota tempatmu,” kata kondektur menyenggol pundakku. Aku sedikit tergagap kemudian melihat gapura desa tanda masuk ke kotaku.“Oh ya ya Mas. Tolong barang bawaan saya dong di bagasi,” i kataku. Aku membetulkan selendang untuk menggendong Zaki kemudian membangunkan Arsyad. “Nak, ayo bangun sudah sampai,” kataku menowel pipi Arsyad. Agak sedikit mengantuk dia membuka matanya dan berjalan di depanku. Aku menggunakan tangan kanan untuk menggandeng Arsyad. Dengan perlahan turun. “Hati-hati ya Mbak!” pesan salah satu penumpang. “ Iya Mas,” kataku. Kernet bis segera menurunkan kardus yang berisi makanan yang diberikan oleh bulek Solekhah. Setelah aku turun dan anak-anak serta barang bawaanku. Akhirnya bis meninggalkan jalan raya. Aku menarik nafas sebentar seolah beban ini dada biar segera lenyap. Aku memanggil tukang ojek yang sedang mangkal di tempat itu dan menanyakan alamat temanku Indah yang berada dekat situ. Rencananya untuk sementara aku tingg
Aku sangat senang ketika menempati kontrakan yang baru itu. Tidak peduli besok aku harus bagaimana. Arsyad pulang dan meminta uang jajan kepadaku. “Bu, minta uang jajannya dong beli es krim,” ujar Arsyad. “Iya Nak sebentar ya.” Aku mengambil dompet kemudian memberikannya uang jajan sedikit. Kardus yang aku bawa dari bulek baru sempat aku buka. Ternyata memang banyak beras dan ikan asin serta ada juga sayuran dan roti yang siap makan. Aku sangat kelaparan apalagi menyusui Zaki kemudian aku mengambil roti untuk sekedar mengisi perutku yang kosong. Baru saja menyandarkan punggung di dinding kontrakan seorang ibu datang dan menyapaku. Aku berdiri dan menyalaminya. “Wah ada tetangga baru ya?” tanya ibu itu. “Iya Bu, aku baru,” jawabku. “ Wah anaknya masih kecil-kecil dimana suaminya?” tanya ibu itu. “Aku nggak ada suami,” kataku mencoba berbohong. “Oh gitu. Emang mau kerja apa kalau punya anak kecil kayak begini?” “Saya kerja apa aja bisa kok dari nyuci masak atau ngurut
Deni pulang ke rumah kakaknya Desi dalam keadaan mabuk. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang sangat menyengat. Sejak ujung jalan rumah Desi dia terus meracau memanggil nama Minah istrinya. “Minah! Di mana kamu? Di mana anak-anak?” teriak Dani. Dicky kakak Dani keluar dari rumah. “Ada apa sih Dani?Kok masih mabuk saja. Kenapa gak sadar sih. Begitu terus kelakuanmu. Emang kamu nggak tahu istrimu pergi ke Jakarta membawa dua anaknya,” ujar Dicky. “Apa?” Mata Dani mendadak mendelik. Dia kemudian mencengkram kerah kaos kakaknya dengan kedua tangan. Tidak terima diperlakukan seperti itu oleh adiknya Dicky kemudian menampar pipi Dani sangat keras. Sehingga pria yang berkumis itu tersungkur. “Rasain kamu sekarang dia sudah pergi terlambat bagimu,” ujar Dicky sambil meludah ke lantai. Aku sudah muak dengan semua tingkahmu Dani. Sekarang buat apa kamu pulang dalam keadaan mabuk. Minah juga sudah tidak ada di sini. Dia sudah pergi,” kata Dicky menatap Dani dengan sorot mata
Dani bersama Kardi menuju ke sekolahan yang baru Arsyad. Sekolahan itu berada di pusat kota karena memang Minah ngontrak di salah satu perumahan yang ada di pusat kota."Wah kurang ajar sekali si Minah. Dia kan masih istriku. Kenapa dia minggat dari rumah pokoknya aku tidak rela kalau dia harus pergi dari rumah. Bisa nggak bisa dia harus balik mungkin melalui anaknya Arsyad dia bisa kembali balik kepadaku," kata Dani pada Kardi"Memang kenapa Bos? Istrinya kok pergi? Ini istri yang mana istri yang baru datang dari luar negeri atau yang muda?" tanya Kardi."Ini istriku yang muda. Mungkin dia cemburu karena Tini pulang dari Saudi dan aku lama di sana hampir 2 minggu," jawab Dani."Oh lagian bos juga aneh. Kenapa dua istri ditaruh di dalam satu kampung?""Ya gimana Kardi. Aku sudah tidak punya tempat lagi. Sebenarnya waktu itu aku punya uang dari Minah. Rencananya mau buat beli rumah tapi sudah habis di meja judi.""'Terpaksa aku bawa ke sini. Tini juga gak marah.Eh malah seka
Aku selesai memijat pasien tetangga rumah dan setelah itu memandikan putraku Zaki. Setelah bebenah rumah aku rehat sebentar dengan memangku putraku yang paling kecil itu. Dari arah depan ibu Ina tergopoh-gopoh menghampiriku. Dia membawa anaknya Aldo sambil memanggilku. “Mbak Minah!” panggil Bu Ina dengan suara yang cemas. Perasaanku tidak enak melihat Bu Ina seperti ketakutan menghampiriku. “Ada apa Bu? Kok kelihatannya seperti penting memang sudah pulang ya? Aku belum jemput,” kataku sedikit panik. “Iya Bu, kali ini pulang cepat. Apa Arsyd tidak memberitahu Mbak Minah?” tanya Bu Ina.“Arsyad enggak bilang apa-apa tuh Bu,” kataku. “Mbak Minah, Arsyad tuh pulang sama ayahnya. Tadi ada dua orang pria datang ke sekolah terus katanya dia ayahnya Arsyad. Anaknya Mbak Minah juga bilang dia mengenal orang itu. Ya sudah aku lewat saja. Mungkin dia benar-benar ayahnya,” kata Bu Ina. “ Ya Allah. Benarkah Bu? Kurang ajar sekali laki-laki itu,” geramku. “ Emang kenapa Bu
Setelah membereskan rumah, aku kemudian menggendong Zaki menuju ke rumah rumah Bu Intan. Tidak terlalu jauh mungkin beda 5 rumah dari kontrakanku. Memang Bu Intan setelah aku pijit, dia sudah terbiasa denganku. Bahkan tipsnya juga banyak. Bu Intan juga memberikan aku dan anak-anak buah atau sembako. Aku melupakan sejenak Arsyad yang sudah diambil oleh Mas Dani. Biarlah kalau memang Mas Dani ingin merawat Arsyad aku tidak boleh egois dengan membawa dua anak bersamaku. Dia sengaja membawa Arsyad agar aku kembali kepadanya. Tapi taktik itu tidak akan mempan kepadaku. Aku tiba di rumah yang ditunjukkan oleh Bu Intan. Rumah yang bercat biru muda, halamannya sangat luas dan mempunyai pohon jambu dan mangga yang ada di depan rumah. Bangunan yang bertembok dan banyak sekali tanaman hias di depannya. Sangat indah dan tertata rapi. Pintu rumah Bu Intan t terbuka tapi aku tidak berani masuk. Aku menghela nafas sebentar lalu mengucapkan salam.“ Assalamualaikum,” ucapku dengan mata yang celinguk