Aku selesai memijat pasien tetangga rumah dan setelah itu memandikan putraku Zaki. Setelah bebenah rumah aku rehat sebentar dengan memangku putraku yang paling kecil itu. Dari arah depan ibu Ina tergopoh-gopoh menghampiriku. Dia membawa anaknya Aldo sambil memanggilku. “Mbak Minah!” panggil Bu Ina dengan suara yang cemas. Perasaanku tidak enak melihat Bu Ina seperti ketakutan menghampiriku. “Ada apa Bu? Kok kelihatannya seperti penting memang sudah pulang ya? Aku belum jemput,” kataku sedikit panik. “Iya Bu, kali ini pulang cepat. Apa Arsyd tidak memberitahu Mbak Minah?” tanya Bu Ina.“Arsyad enggak bilang apa-apa tuh Bu,” kataku. “Mbak Minah, Arsyad tuh pulang sama ayahnya. Tadi ada dua orang pria datang ke sekolah terus katanya dia ayahnya Arsyad. Anaknya Mbak Minah juga bilang dia mengenal orang itu. Ya sudah aku lewat saja. Mungkin dia benar-benar ayahnya,” kata Bu Ina. “ Ya Allah. Benarkah Bu? Kurang ajar sekali laki-laki itu,” geramku. “ Emang kenapa Bu
Setelah membereskan rumah, aku kemudian menggendong Zaki menuju ke rumah rumah Bu Intan. Tidak terlalu jauh mungkin beda 5 rumah dari kontrakanku. Memang Bu Intan setelah aku pijit, dia sudah terbiasa denganku. Bahkan tipsnya juga banyak. Bu Intan juga memberikan aku dan anak-anak buah atau sembako. Aku melupakan sejenak Arsyad yang sudah diambil oleh Mas Dani. Biarlah kalau memang Mas Dani ingin merawat Arsyad aku tidak boleh egois dengan membawa dua anak bersamaku. Dia sengaja membawa Arsyad agar aku kembali kepadanya. Tapi taktik itu tidak akan mempan kepadaku. Aku tiba di rumah yang ditunjukkan oleh Bu Intan. Rumah yang bercat biru muda, halamannya sangat luas dan mempunyai pohon jambu dan mangga yang ada di depan rumah. Bangunan yang bertembok dan banyak sekali tanaman hias di depannya. Sangat indah dan tertata rapi. Pintu rumah Bu Intan t terbuka tapi aku tidak berani masuk. Aku menghela nafas sebentar lalu mengucapkan salam.“ Assalamualaikum,” ucapku dengan mata yang celinguk
Aku pulang ke rumah masih kepikiran dengan Handoko itu. Memang wajahnya mirip dengan teman sekolah SMA aku. Tapi dia sedikit berubah sedikit lebih tampan dan berwibawa. Hampir 10 tahun aku tidak pernah berkomunikasi dengan teman-teman SMAku. Bukan karena apa tapi aku tidak mempunyai ponsel atau sarana untuk berkomunikasi dengan teman-teman. Entah di mana mereka semua aku juga tidak tahu. Sewaktu sekolah aku sangat familiar di kalangan teman-teman karena aku selalu mendapatkan rengking 1. Bahkan seluruh sekolah sangat mengenalku. Siapa sih yang gak kenal Suminah. Gadis pintar yang baik hati dan selalu memberikan perhatian kepada teman-temannya.Sesampainya di rumah aku meletakkan Zaki di tempat tidur. Anakku itu sudah mulai bisa memandang dan menatapku. Aku berusaha berkomunikasi dengan anak kecilku. “Zaki, sekarang ganti pampers dulu ya terus kita mandi nanti jalan-jalan. Kita beli mainan dan baju baru buat Zaki. Oh iya Kak Arsyad sekarang lagi pergi, lagi main jadi Zaki tidak usah me
“Yuk, kita beli Hp sama mainan dan makanan!” ajaku pada putra keduaku. Aku mendandani Zaki dengan kaos pendek seragam satu setel yang bergambar kartun. Dia sudah pandai mengoceh yang membuat aku bahagia. Hanya dia saat ini sebagai pelipur laraku. Melupakan setiap kesedihan yang menimpaku. Dulu waktu sekolah selalu membaca novel menginginkan hidup seperti putri raja yang bertemu dengan pangeran yang akan membahagiakannya. Namun entah apa yang terjadi denganku sehingga ombak mempermainkan aku sampai ke tengah samudra yang sangat dalam. Mana ada pangeran yang mau meminang seorang putri emban yang sangat buruk rupa. Setelah Ashar gegas aku menuju ke kota dengan naik becak dari kontrakan ke terminal di kotaku. Sekitar 15 menit sampai di toko ponsel dekat terminal. Aku membayar becak itu ada kelebihan 5000, aku tidak mau menerimanya. “Buat bapak saja,” kataku melihat pria yang sudah tua tapi masih bekerja menarik becak. Aku kasihan melihatnya teringat akan almarhum bapak yang seorang pe
Mas Handoko membukakan pintu mobil untukku lalu mempersilakan aku masuk. Sebenarnya aku sedikit ragu ketika memasuki mobil Mas Handoko. Takut ada yang melihatnya dan beranggapan yang tidak seharusnya."Ayo Minah aku antar pulang!" tawar Mas Handoko."Aku tidak enak nanti bu Intan melihat Mas Handoko bersama denganku. Beliau berpikiran yang tidak-tidak tentang aku, Mas," tolakku."Dia tidak seperti yang kamu pikirkan. Intan itu tidak pencemburu.""Tapi tetap saja saya tidak enak, Mas. Lebih baik saya naik becak saja. Aman.""Minah, kita kan sudah lama tidak bertemu. Kita ini sahabat sejak dulu sampai sekarang pun aku tetap masih sahabatmu. Saat kamu susah masa aku tega membiarkan kamu jalan sendirian naik becak sambil menggendong anakmu. aku tidak akan tega sedangkan aku melihat dan membawa mobil," kata Mas Handoko.Akhirnya aku mengalah kemudian aku naik mobil Mas Handoko.Di dalam mobil aku hanya diam. Tidak berani bertanya atau membuka pembicaraan. Handoko yang dulu menjadi idola kin
Paginya pria yang menghubungi aku lewat pesan itu datang. Rumahnya tidak jauh dari kontrakan yang aku tempati saat ini masih berada di perumahan cumaa beda lokasi. Aku memang membagikan alamat kepada pria itu. Tidak ada rasa curiga sedikitipun padanya jika berbuat jahat kepadaku. Aku sedikit merombak depan rumah dan teras agar terlihat rapi dan luas. Ada beberapa vas bunga untuk hiasan dan menambah segar suasana kontrakan yang sedikit gersang. Sengaja membeli beberapa kursi plastik untuk menunggu pasien yang akan datang ke tempatku. Sementara itu Mbak Siti pagi-pagi sudah datang dengan senyumnya yang merekah. Hilang sudah kejutekan wajahnya. Dia memang beda dengan Mbak Lusi yang juga janda namun bekerja sebagai pelayan restoran dekat terminal. “Pagi Mbak Minah,” sapa Mbak Siti. “Pagi Mbak Siti,” balasku dengan tersenyum manis. Merapikan jilbab yang aku pakai. celana gombrong dan kaos panjang sebagai pilihanku. Aku juga masih sibuk merapikan tempat karena akan ada tamu yang datan
Keahlianku untuk menolong orang yang keseleo atau sakit mulai terkenal di sekitar kontrakan. Banyak yang datang ke kontrakanku dari anak kecil orang tua dan bahkan ibu-ibu muda. Sengaja aku tidak melayani para pria untuk terapi di tempatku. Bukannya apa-apa tapi aku menghindari fitnah yang akan dilontarkan oleh tetangga kontrakan. Namanya orang pasti ada yang suka dan ada yang tidak suka. Apalagi aku tinggal di situ terbilang masih baru. Beberapa minggu mungkin hampir 1 bulan dan selama itu juga Arsyad diambil oleh ayahnya tidak pernah dibalikin lagi kepadaku. Aku mulai membeli perabotan rumah tangga seperti kulkas, televisi dan lain sebagainya dari hasil kerja kerasku dan jerih payah aku menolong orang. Terkadang ada yang datang dengan memberikan amplop yang isinya banyak ada juga yang memberikan hanya dua puluh ribu karena menolong anak kecil. Aku mengucapkan syukur alhamdulillah karena apa yang aku usahakan itu tidak mempunyai ilmu apa-apa hanya niat menolong orang. Rupanya kesuk
Mbak Lusi pamit kepadaku untuk pulang namun matanya selalu melirik ke arah Mas Rizki yang datang. Dia memang kali ini datang dengan berpenampilan yang sangat rapi dan tampan. Aku menerka usianya sekitar 30 tahun lebih muda dariku karena saat itu aku sudah berusia 35 tahun. Aku dulu menikah agak terlambat di usia 26 tahun bertemu dengan Mas Dani juga tidak sengaja. “Silakan masuk,Mas,” ucapku pada Mas Rizki dan sopirnya. “Sebentar saya tinggal ke dapur membuat teh dan cemilan ya,” ucapku ku dengan tersenyum malu. “Kamu tuh kok repot.” “Gak apa-apa cuma tes aja kok. Setiap pasien yang datang kesini juga aku selalu berikan teh dan cemilan karena mereka datang dengan anak agar tidak rewel. Tidak menunggu lama aku menyuguhkan teh dan cemilan untuk Mas Rizki. “Pak supir menunggu di sini ya takut terjadi fitnah. Antara aku dan Mas Rizki karena sebenarnya aku tidak membuka terapi untuk pria hanya Mas Riski saja,” kataku. “Oh ya sudah kalau begitu,” kata Mas Rizki. Sebenarnya d
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar
Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma
Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek