Mas Handoko membukakan pintu mobil untukku lalu mempersilakan aku masuk. Sebenarnya aku sedikit ragu ketika memasuki mobil Mas Handoko. Takut ada yang melihatnya dan beranggapan yang tidak seharusnya."Ayo Minah aku antar pulang!" tawar Mas Handoko."Aku tidak enak nanti bu Intan melihat Mas Handoko bersama denganku. Beliau berpikiran yang tidak-tidak tentang aku, Mas," tolakku."Dia tidak seperti yang kamu pikirkan. Intan itu tidak pencemburu.""Tapi tetap saja saya tidak enak, Mas. Lebih baik saya naik becak saja. Aman.""Minah, kita kan sudah lama tidak bertemu. Kita ini sahabat sejak dulu sampai sekarang pun aku tetap masih sahabatmu. Saat kamu susah masa aku tega membiarkan kamu jalan sendirian naik becak sambil menggendong anakmu. aku tidak akan tega sedangkan aku melihat dan membawa mobil," kata Mas Handoko.Akhirnya aku mengalah kemudian aku naik mobil Mas Handoko.Di dalam mobil aku hanya diam. Tidak berani bertanya atau membuka pembicaraan. Handoko yang dulu menjadi idola kin
Paginya pria yang menghubungi aku lewat pesan itu datang. Rumahnya tidak jauh dari kontrakan yang aku tempati saat ini masih berada di perumahan cumaa beda lokasi. Aku memang membagikan alamat kepada pria itu. Tidak ada rasa curiga sedikitipun padanya jika berbuat jahat kepadaku. Aku sedikit merombak depan rumah dan teras agar terlihat rapi dan luas. Ada beberapa vas bunga untuk hiasan dan menambah segar suasana kontrakan yang sedikit gersang. Sengaja membeli beberapa kursi plastik untuk menunggu pasien yang akan datang ke tempatku. Sementara itu Mbak Siti pagi-pagi sudah datang dengan senyumnya yang merekah. Hilang sudah kejutekan wajahnya. Dia memang beda dengan Mbak Lusi yang juga janda namun bekerja sebagai pelayan restoran dekat terminal. “Pagi Mbak Minah,” sapa Mbak Siti. “Pagi Mbak Siti,” balasku dengan tersenyum manis. Merapikan jilbab yang aku pakai. celana gombrong dan kaos panjang sebagai pilihanku. Aku juga masih sibuk merapikan tempat karena akan ada tamu yang datan
Keahlianku untuk menolong orang yang keseleo atau sakit mulai terkenal di sekitar kontrakan. Banyak yang datang ke kontrakanku dari anak kecil orang tua dan bahkan ibu-ibu muda. Sengaja aku tidak melayani para pria untuk terapi di tempatku. Bukannya apa-apa tapi aku menghindari fitnah yang akan dilontarkan oleh tetangga kontrakan. Namanya orang pasti ada yang suka dan ada yang tidak suka. Apalagi aku tinggal di situ terbilang masih baru. Beberapa minggu mungkin hampir 1 bulan dan selama itu juga Arsyad diambil oleh ayahnya tidak pernah dibalikin lagi kepadaku. Aku mulai membeli perabotan rumah tangga seperti kulkas, televisi dan lain sebagainya dari hasil kerja kerasku dan jerih payah aku menolong orang. Terkadang ada yang datang dengan memberikan amplop yang isinya banyak ada juga yang memberikan hanya dua puluh ribu karena menolong anak kecil. Aku mengucapkan syukur alhamdulillah karena apa yang aku usahakan itu tidak mempunyai ilmu apa-apa hanya niat menolong orang. Rupanya kesuk
Mbak Lusi pamit kepadaku untuk pulang namun matanya selalu melirik ke arah Mas Rizki yang datang. Dia memang kali ini datang dengan berpenampilan yang sangat rapi dan tampan. Aku menerka usianya sekitar 30 tahun lebih muda dariku karena saat itu aku sudah berusia 35 tahun. Aku dulu menikah agak terlambat di usia 26 tahun bertemu dengan Mas Dani juga tidak sengaja. “Silakan masuk,Mas,” ucapku pada Mas Rizki dan sopirnya. “Sebentar saya tinggal ke dapur membuat teh dan cemilan ya,” ucapku ku dengan tersenyum malu. “Kamu tuh kok repot.” “Gak apa-apa cuma tes aja kok. Setiap pasien yang datang kesini juga aku selalu berikan teh dan cemilan karena mereka datang dengan anak agar tidak rewel. Tidak menunggu lama aku menyuguhkan teh dan cemilan untuk Mas Rizki. “Pak supir menunggu di sini ya takut terjadi fitnah. Antara aku dan Mas Rizki karena sebenarnya aku tidak membuka terapi untuk pria hanya Mas Riski saja,” kataku. “Oh ya sudah kalau begitu,” kata Mas Rizki. Sebenarnya d
Aku mengantar Mas Rizki sampai meninggalkan halaman rumah kontrakan. Dia membuka jendela mobil dan masih melambaikan tangan kepadaku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kepadanya. Setelah mobilnya meninggalkan halaman rumah segera kembali ke dalam dan membersihkan perlengkapan yang baru saja aku gunakan untuk terapi Mas Rizki.Sedikit gemetar ketika aku menimang amplop dari Mas Rizki. Agak beda dengan sebelumnya sepertinya agak tebal. Memang selama ini aku memberikan terapi tidak mematok harga atau meminta kepada para pasien yang datang. Mereka memberikan sendiri dengan sukarela. Mataku terbelalak dan sangat bahagia ketika melihat 5 lembar uang 100 -an di dalam amplop itu. Alhamdulillah ya Allah rezekimu hari ini. Buru-buru aku menyimpan amplop itu ke dalam dompet kemudian memanggil Mbak Siti yang sedang momong anakku. “Mbak Siti, Zaki tolong bawa ke sini aku mau berikan ASI padanya!” teriakku pada Mbak Siti yang sedang menggendong Zaki. “Iya Mbak Minah,” sahut Mbak Siti kemudian me
“Dani, kamu tidak mau menyusul Minah dan Zaki? Apa kamu tidak kasihan dengan istrimu itu?” tanya Mbak Desi ketika mereka sedang duduk berdua di teras rumah. Sedangkan Arsyad sedang bermain dengan teman-temannya. “Ngapain nyusul Minah, Mbak? Dia kan pergi dari rumah sendiri atas kemauannya sendiri nanti kalau aku nyusul dia seolah-olah aku tuh yang cinta mati sama dia. Justru dia kan yang cinta mati sama aku. Pasti juga dia balik lagi ke sini. Apalagi Arsyad sama ak,” kata Dani. “Tapi sepertinya Minah beneran marah sama kamu dan dia pergi bahkan ketika kamu ambil Arsyad dia juga tidak datang untuk menjenguknya,” ujar Mbak Desi dengan gundah. “ Biarkan saja Mbak. Nanti juga pulang.” “Aku menyesal sudah menyuruh dia macam-macam di rumah ini. Tidak ada wanita yang seperti dia yang mau menjadi istri keduamu. Padahal dia tahu kalau kamu sudah punya istri tapi masih tetap saja nurut sama kamu. Apalagi kamu itu kan jarang kerja, tukang mabuk juga suka royal perempuan, tapi dia tet
“Siang Mbak Minah,” sapa Bu Intan yang gegas masuk ke dalam teras rumah kontrakan. Dia seperti agak terburu-buru. “Siang Bu Intan. Ada apa ya?” tanyaku merasa sedikit grogi. Apalagi setelah kepergian Mas Handoko dari rumah. Aduh bu Intan lihat suaminya barusan datang ke sini nggak ya? Takut dia curiga atau salah paham kalau suaminya datang ke sini. “Kok wajahnya seperti gembira kayak begitu Mbak. Habis dapat apaan?” tanya Bu Intan curiga. “ Oh saya dapat amplop dari tamu Bu. Lumayan dia ngasih rezeki yang banyak terus dia ngajak jalan-jalan bersama anakku.” “ Oh siapa itu tamu itu Mbak? Kok baik banget?” tanya Bu Intan lagi. “Maaf Bu Intan, itu rahasia saya karena saya tidak mungkin memberitahu siapa-siapa tamu saya pada Bu Intan. Toh tidak ada urusan dengan Bu Intan,” jawabku sedikit tidak suka dengan pertanyaannya. “Oh begitu ya Mbak Minah. Maaf kalau saya lancang. Oh ya nanti sore bisa nggak datang ke rumah untuk terapi aku lagi?” pinta Bu Intan. “Aduh Bu maa
Mbak Siti sudah setuju kalau mau ikut jalan-jalan denganku dan Mas Rizki. Dua anaknya diajak. Dia juga siap menggendong Zaki saat nanti di play ground. Kami sudah bersiap dan memakai baju yang paling bagus, sudah berada di depan teras kontrakan. Tiba-tiba Mbak Lusi datang dengan wajah yang kurang suka serta rambut yang dibiarkan tergerai."Kalian mau ke mana pagi-pagi sekali kok sudah berkema?"tanya Mbak Lusi."Kami mau jalan-jalan Mbak Lusi, ini pasiennya Mbak Minah itu orang kaya jadi mengajak kami jalan-jalan beserta anak-anak. Aku kan belum pernah jalan-jalan rasanya senang apalagi naik mobil mewah," kata Mbak Siti dengan mata berbinar."Aku juga belum pernah naik mobil mewah Mbak," sahutku sambil tersenyum."Kenapa kalian gak ngajak aku sih?" pertanyaan Mbak Lusi yang membuat aku hanya ternganga."Maaf Mbak. Aku gak berani ngajak orang lian. Mbak Siti aku ajak karena dia sudah momong anaku," ujarku dengan rasa yang tidak enak."Wah emang pelet apa yang kamu gunakan Mbak Minah, hi