“Mbak sudah sampai kota tempatmu,” kata kondektur menyenggol pundakku. Aku sedikit tergagap kemudian melihat gapura desa tanda masuk ke kotaku.“Oh ya ya Mas. Tolong barang bawaan saya dong di bagasi,” i kataku. Aku membetulkan selendang untuk menggendong Zaki kemudian membangunkan Arsyad. “Nak, ayo bangun sudah sampai,” kataku menowel pipi Arsyad. Agak sedikit mengantuk dia membuka matanya dan berjalan di depanku. Aku menggunakan tangan kanan untuk menggandeng Arsyad. Dengan perlahan turun. “Hati-hati ya Mbak!” pesan salah satu penumpang. “ Iya Mas,” kataku. Kernet bis segera menurunkan kardus yang berisi makanan yang diberikan oleh bulek Solekhah. Setelah aku turun dan anak-anak serta barang bawaanku. Akhirnya bis meninggalkan jalan raya. Aku menarik nafas sebentar seolah beban ini dada biar segera lenyap. Aku memanggil tukang ojek yang sedang mangkal di tempat itu dan menanyakan alamat temanku Indah yang berada dekat situ. Rencananya untuk sementara aku tingg
Aku sangat senang ketika menempati kontrakan yang baru itu. Tidak peduli besok aku harus bagaimana. Arsyad pulang dan meminta uang jajan kepadaku. “Bu, minta uang jajannya dong beli es krim,” ujar Arsyad. “Iya Nak sebentar ya.” Aku mengambil dompet kemudian memberikannya uang jajan sedikit. Kardus yang aku bawa dari bulek baru sempat aku buka. Ternyata memang banyak beras dan ikan asin serta ada juga sayuran dan roti yang siap makan. Aku sangat kelaparan apalagi menyusui Zaki kemudian aku mengambil roti untuk sekedar mengisi perutku yang kosong. Baru saja menyandarkan punggung di dinding kontrakan seorang ibu datang dan menyapaku. Aku berdiri dan menyalaminya. “Wah ada tetangga baru ya?” tanya ibu itu. “Iya Bu, aku baru,” jawabku. “ Wah anaknya masih kecil-kecil dimana suaminya?” tanya ibu itu. “Aku nggak ada suami,” kataku mencoba berbohong. “Oh gitu. Emang mau kerja apa kalau punya anak kecil kayak begini?” “Saya kerja apa aja bisa kok dari nyuci masak atau ngurut
Deni pulang ke rumah kakaknya Desi dalam keadaan mabuk. Dari mulutnya tercium bau alkohol yang sangat menyengat. Sejak ujung jalan rumah Desi dia terus meracau memanggil nama Minah istrinya. “Minah! Di mana kamu? Di mana anak-anak?” teriak Dani. Dicky kakak Dani keluar dari rumah. “Ada apa sih Dani?Kok masih mabuk saja. Kenapa gak sadar sih. Begitu terus kelakuanmu. Emang kamu nggak tahu istrimu pergi ke Jakarta membawa dua anaknya,” ujar Dicky. “Apa?” Mata Dani mendadak mendelik. Dia kemudian mencengkram kerah kaos kakaknya dengan kedua tangan. Tidak terima diperlakukan seperti itu oleh adiknya Dicky kemudian menampar pipi Dani sangat keras. Sehingga pria yang berkumis itu tersungkur. “Rasain kamu sekarang dia sudah pergi terlambat bagimu,” ujar Dicky sambil meludah ke lantai. Aku sudah muak dengan semua tingkahmu Dani. Sekarang buat apa kamu pulang dalam keadaan mabuk. Minah juga sudah tidak ada di sini. Dia sudah pergi,” kata Dicky menatap Dani dengan sorot mata
Dani bersama Kardi menuju ke sekolahan yang baru Arsyad. Sekolahan itu berada di pusat kota karena memang Minah ngontrak di salah satu perumahan yang ada di pusat kota."Wah kurang ajar sekali si Minah. Dia kan masih istriku. Kenapa dia minggat dari rumah pokoknya aku tidak rela kalau dia harus pergi dari rumah. Bisa nggak bisa dia harus balik mungkin melalui anaknya Arsyad dia bisa kembali balik kepadaku," kata Dani pada Kardi"Memang kenapa Bos? Istrinya kok pergi? Ini istri yang mana istri yang baru datang dari luar negeri atau yang muda?" tanya Kardi."Ini istriku yang muda. Mungkin dia cemburu karena Tini pulang dari Saudi dan aku lama di sana hampir 2 minggu," jawab Dani."Oh lagian bos juga aneh. Kenapa dua istri ditaruh di dalam satu kampung?""Ya gimana Kardi. Aku sudah tidak punya tempat lagi. Sebenarnya waktu itu aku punya uang dari Minah. Rencananya mau buat beli rumah tapi sudah habis di meja judi.""'Terpaksa aku bawa ke sini. Tini juga gak marah.Eh malah seka
Aku selesai memijat pasien tetangga rumah dan setelah itu memandikan putraku Zaki. Setelah bebenah rumah aku rehat sebentar dengan memangku putraku yang paling kecil itu. Dari arah depan ibu Ina tergopoh-gopoh menghampiriku. Dia membawa anaknya Aldo sambil memanggilku. “Mbak Minah!” panggil Bu Ina dengan suara yang cemas. Perasaanku tidak enak melihat Bu Ina seperti ketakutan menghampiriku. “Ada apa Bu? Kok kelihatannya seperti penting memang sudah pulang ya? Aku belum jemput,” kataku sedikit panik. “Iya Bu, kali ini pulang cepat. Apa Arsyd tidak memberitahu Mbak Minah?” tanya Bu Ina.“Arsyad enggak bilang apa-apa tuh Bu,” kataku. “Mbak Minah, Arsyad tuh pulang sama ayahnya. Tadi ada dua orang pria datang ke sekolah terus katanya dia ayahnya Arsyad. Anaknya Mbak Minah juga bilang dia mengenal orang itu. Ya sudah aku lewat saja. Mungkin dia benar-benar ayahnya,” kata Bu Ina. “ Ya Allah. Benarkah Bu? Kurang ajar sekali laki-laki itu,” geramku. “ Emang kenapa Bu
Setelah membereskan rumah, aku kemudian menggendong Zaki menuju ke rumah rumah Bu Intan. Tidak terlalu jauh mungkin beda 5 rumah dari kontrakanku. Memang Bu Intan setelah aku pijit, dia sudah terbiasa denganku. Bahkan tipsnya juga banyak. Bu Intan juga memberikan aku dan anak-anak buah atau sembako. Aku melupakan sejenak Arsyad yang sudah diambil oleh Mas Dani. Biarlah kalau memang Mas Dani ingin merawat Arsyad aku tidak boleh egois dengan membawa dua anak bersamaku. Dia sengaja membawa Arsyad agar aku kembali kepadanya. Tapi taktik itu tidak akan mempan kepadaku. Aku tiba di rumah yang ditunjukkan oleh Bu Intan. Rumah yang bercat biru muda, halamannya sangat luas dan mempunyai pohon jambu dan mangga yang ada di depan rumah. Bangunan yang bertembok dan banyak sekali tanaman hias di depannya. Sangat indah dan tertata rapi. Pintu rumah Bu Intan t terbuka tapi aku tidak berani masuk. Aku menghela nafas sebentar lalu mengucapkan salam.“ Assalamualaikum,” ucapku dengan mata yang celinguk
Aku pulang ke rumah masih kepikiran dengan Handoko itu. Memang wajahnya mirip dengan teman sekolah SMA aku. Tapi dia sedikit berubah sedikit lebih tampan dan berwibawa. Hampir 10 tahun aku tidak pernah berkomunikasi dengan teman-teman SMAku. Bukan karena apa tapi aku tidak mempunyai ponsel atau sarana untuk berkomunikasi dengan teman-teman. Entah di mana mereka semua aku juga tidak tahu. Sewaktu sekolah aku sangat familiar di kalangan teman-teman karena aku selalu mendapatkan rengking 1. Bahkan seluruh sekolah sangat mengenalku. Siapa sih yang gak kenal Suminah. Gadis pintar yang baik hati dan selalu memberikan perhatian kepada teman-temannya.Sesampainya di rumah aku meletakkan Zaki di tempat tidur. Anakku itu sudah mulai bisa memandang dan menatapku. Aku berusaha berkomunikasi dengan anak kecilku. “Zaki, sekarang ganti pampers dulu ya terus kita mandi nanti jalan-jalan. Kita beli mainan dan baju baru buat Zaki. Oh iya Kak Arsyad sekarang lagi pergi, lagi main jadi Zaki tidak usah me
“Yuk, kita beli Hp sama mainan dan makanan!” ajaku pada putra keduaku. Aku mendandani Zaki dengan kaos pendek seragam satu setel yang bergambar kartun. Dia sudah pandai mengoceh yang membuat aku bahagia. Hanya dia saat ini sebagai pelipur laraku. Melupakan setiap kesedihan yang menimpaku. Dulu waktu sekolah selalu membaca novel menginginkan hidup seperti putri raja yang bertemu dengan pangeran yang akan membahagiakannya. Namun entah apa yang terjadi denganku sehingga ombak mempermainkan aku sampai ke tengah samudra yang sangat dalam. Mana ada pangeran yang mau meminang seorang putri emban yang sangat buruk rupa. Setelah Ashar gegas aku menuju ke kota dengan naik becak dari kontrakan ke terminal di kotaku. Sekitar 15 menit sampai di toko ponsel dekat terminal. Aku membayar becak itu ada kelebihan 5000, aku tidak mau menerimanya. “Buat bapak saja,” kataku melihat pria yang sudah tua tapi masih bekerja menarik becak. Aku kasihan melihatnya teringat akan almarhum bapak yang seorang pe