Setelah mendengar saran dan usul dari Mas Rizki perasaanku sedikit tenang. Memang kemarin aku meninggalkan rumah dengan perasaan terbakar cemburu, marah, sakit hati dan tidak dihargai. Itulah yang aku rasakan. Beruntung aku bertemu dengan orang-orang yang baik yang menolongku mencarikan tempat kontrakan seperti teman dekatku Indah dan aku mendapatkan pekerjaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Yaitu menjadi terapis. Mungkin hal yang tidak pernah aku lakukan tapi karena kebutuhan yang mendesak akhirnya aku menerima pekerjaan itu. Dengan pekerjaan itu aku bisa mempunyai sedikit tabungan membeli ponsel dan mencukupi kebutuhanku.Melihat keadaan Arsyad pikiranku menjadi goyah. Aku tidak ingin membawa dia kemana-mana bersamaku. Biarlah aku saja yang pergi merantau. Anak-anak jangan sampai tahu prahara yang menimpa kedua orang tuanya.Arsyad dan Zaki tetap disini. Dengan alasan bekerja aku bisa menghindari Mas Dani untuk sementara waktu. Aku juga bisa mengumpulkan uang untuk membe
Malam itu aku menginap di rumahnya Delia. Emak kikut dengan adikku. Dari depan datang Wawan dengan membawakan satu karung beras untuk emak. Dia terkejut ketika melihat aku dan dua anakku di sana."Mbak, kapan datang?" tanya Wawan dengan wajah yang kurang begitu suka."Baru saja, Wan," jawabku sambil menyusui Zaki."Mas Dani ke mana tidak ikut? Pulang sendiri apa diantar sama suamimu itu?" tanya Wawan menghempaskan tubuhnya di kursi kayu."Mas Dani masih kerja Wan, jadi dia tidak bisa mengantarku," jawabku untuk menutupi kenyataan yang ada."Kerja atau gimana? Apa Kalian sedang ada masalah?" tanya Wawan menyelidik."Oh ndak ada, aku ndak ada masalah," ucapku sedikit gugup untuk menutupi kebohongan dan prahara yang terjadi dalam rumah tanggaku.Wawan memang tidak suka dengan Mas Dani apalagi ketika dia mengambil uang sisa warisan dari penjualan rumah. Sebenarnya Wawan ingin mencarikan tanah dan rumah kecil untuk tempat aku tinggal sehingga dekat dengan keluarga namun dengan angkuh Mas D
Mendadak Mas Dani menyusul aku ke kampung Emak. Dia menggunakan sepeda motor dan bertemu denganku di rumah Delia. Lama tidak bertemu membuat sedikit gugup. Melihat ayahnya datang Arsyad langsung berteriak dan menghambur kepelukan pria berkumis tipis itu. Dia masih ganteng berkumis tipis seperti dulu waktu aku mengenalnya. Tapi entah mengapa saat ini rasa cinta yang kumiliki kepadanya musnah dihembus angin tidak bersisa. Namun aku masih istrinya. Bagaimana menghindari jika dia meminta apa yang inginkan.Emak menyambut Mas Dani dengan baik. Dia mempersilakan suamiku untuk duduk."Eh Dani kapan datang?" tanya Emak."Barusan Mak," sahut Mas Dani sambil mencium punggung tanga pria itu."Kamu bekerja di mana?" tanya Emak lagi."Sekarang aku mencari pasir kalau malam sedikit sibuk," jawab Mas Dani."Oh ya Mak ini sedikit buah untuk emak," ujar Mas Dani."Tadi aku lewat dan melihat ada toko buah. Ya sudah aku beli buah kesukaan emak buah pir," kata Deni memberikan bungkusan agak besar pada Em
Baru saja asik ngobrol dan membicarakan tentang rencana keberangkatan ke luar negeri, kami dikejutkan dengan suara klakson sebuah mobil yang masuk ke halaman rumah kontrakan. Wajah Mas Dani yang tadinya ceria mendadak menjadi berkerut. Tatapan matanya penuh selidik kepadaku."Siapa Dek?" tanya Mas Dani dengan suara yang agak keras."Oh mungkin pasienku Mas, sebentar ya aku tengok dulu."Aku melihat dari pintu rumah kontrakan. "Ya memang benar Mas Rizki yang datang dengan membawa bingkisan. Pria gagah dan ganteng itu tersenyum ketika melihatku aku jadi serba salah . Memang sebelumnya tidak memberitahu pada Mas Rizki kalau suamiku akan datang. Sepertinya sangat kebetulan. Entah mengapa aku menjadi sedikit tegang melihat pria itu datang ke rumah kontrakanku. "Assalamualaikum Mbak Minah," sapa Mas Rizki dengan ramah."Waalaikumsalam. Eh Mas Rizki," jawabku sedikit kikuk. "Ada apa Mbak Minah kok wajahmu seperti pucat?" tanya Mas Rizki.Belum selesai bicara Mas Dani keluar dari rumah k
Esok harinya aku berpamitan dengan pasienku yang datang ke rumah. “Mbak, maafkan aku ya. Mulai besok aku akan menutup terapi ini,” ujarku. “Lho kenapa Mbak?” tanya pasienku. “ Aku mau merantau ke luar negeri, Mbak.” “Hah!Merantau? Mbak Mina punya anak kecil. Lalu bagaimana dengan anaknya. Kasihan sekali,” kata salah satu pasienku. “Iya Mbak aku butuh uang untuk membeli tanah dan rumah, kebetulan mumpung aku diterima di luar negeri makanya aku akan berangkat ke sana,” jelasku dengan wajah yang sedih. .“Ya, Mbak. Terus gimana nanti kalau aku mau terapi kakiku. Padahal aku sudah cocok loh dengan Mbak Minah. Aku sudah berobat ke tempat lain namun tidak ada yang cocok,” jawab pasienku. “Mudah-mudahan nanti ada yang bisa menolong. Oh ya kalau kamu mau bisa datang ke rumah kakak iparku, namanya Mbak Desi. Dia juga tukang terapi malah mungkin lebih enak dari aku karena sudah berpengalaman dan lama,”ujarku. “Oh ya di mana itu Mbak?” tanya pasienku. “Nanti aku kasih alamatn
"Assalamualaikum," sapa seorang wanita di depan pintu kontrakan."Waalaikumsalam," jawabku beranjak dari tempat tidur. Segera aku matikan ponsel."Siapa Nggih>" tanyaku pada seorang wanita berambut cepak dan badannya sedikit kekar."Oh aku Mbak Sri, penyalur tenaga kerja temannya Mas Dani.""Temennya Mas Dani ya?" tanyaku."Iya, sampeyan Mbak Minah?" tanya Mbak Sri balik."Iya Mbak. Ayo sekarang kita ngurus surat ke kelurahan tempat kampungnya Mbak Minah," ajak Mbak Sri."Ya mbak sebentar ya, aku pamit dengan Mbak Siti yang momong anaku dulu sama Arsyad," kataku."Ya Mbak.""Silakan duduk dulu Mbak," kataku mempersilakan Mbak Sri untuk duduk di teras rumah kontrakan.Mbak Sri duduk di kursi teras kemudian aku menuju ke kontrakan Mbak Siti di sana Zaki dan Arsyad sedang bermain dengan dua anak Mbak Siti. Mereka tampak bahagia sekali."Mbak aku nitip anak-anak ya, aku mau mengurus berkas-berkas," kataku."Ya Mbak," sahut Mbak Siti."Ini da uang sedikit buat jajan mereka berdua.""Pulang
Mas Dani menemui aku dan Mbak Sri di sebuah rumah warung mie ayam. Tapi nampaknya Mbak Sri begitu akrab dengan Mas Dani. Bahkan duduk di sebelah Mas Dani dan bercanda sementara aku yang istrinya hanya diam dan melirik Mas Dani. "Gimana Dek Minah sudah beres minta tanda tangannya di kelurahann desamu?" tanya Mas Dani."Sudah Mas," jawabku singkat. "Oh ya besok Medikal ya, Mbak Sri?" tanya Mas Dani sambil tersenyum pada wanita berambut cepak di sebelahnya. "Iya Mas. Doakan ya Mbak Minah kondisinya bagus sehingga nanti akan segera masuk penampungan," jawab Mbak Sri. "Oh ya dapat pesangon berapa kalau ke Singapura?" tanya Mas Dani. "Ya sekitar 4 jutaan Mas," ujar Mbak Sri. "Wah kalau begitu aku juga dapat dong dari sponsor?" tanya Mas Dani lagi. "Dapat Mas, nanti aku yang memberikan," kata Mbak Sri. "Dek Minah nanti uang pesangon yang dapat itu dikasih saya loh, karena saya kan yang ngurus anak-anak," kata Mas Dani. Mendengar ucapannya aku menatap tajam ke arah MAs Dani. "Kok en
Semalaman aku kepikiran dengan tawaran Mas Rizki yang akan membukakan tempat terapi untukku di Jakarta. Namun dengan membawa Zaki dan Arsyad. Memang aku tidak meninggalkan anak-anak dan masih terus bersama tapi bagaimana dengan Mas Dani? Belum pergi saja dia sudah merongrong aku dan selalu minta uang. Bagaimana kalau tahu aku sudah punya tempat usaha dan mempunyai uang sendiri. Pasti dia akan datang kepadaku dengan alasan anak-anak. Aku tidak mau itu terjadi mending sekalian aku pergi jauh dari Mas Dani. Memang mungkin aku ini ibu yang sangat egois karena saat ini aku masih menyusui Zaki. Tapi aku tega akan meninggalkannya semuanya. Ini demi kamu anak-anakku . Aku tidak bisa tidur sangat gelisah hingga Zaki malam ini juga merasakan apa yang ada dalam hatiku. Dia sedikit rewel hingga hampir semalaman tidak mau lepas dari ASI. Setelah Zaki tidur, aku memeluk Arsyad dan mencium putra sulungku itu. Maafkan ibu ya Nak. Kelak kamu dewasa dan bisa mencari pekerjaan yang laya