Aku dan Mbak Sri mendaftar di klinik yang khusus menyediakan medikal untuk Tenaga Kerja Indonesia. Klinik itu berada di pusat kota Semarang. Halamannya luas dan tempat tunggunya juga nyaman. Banyak sekali TKI yang terdiri dari pria wanita antri di sana menunggu namanya dipanggil. Aku menunggu giliran sesuai dengan nomor urut yang diberikan oleh pihak administrasi. Setelah menunggu setengah jam lamanya kemudian namaku dipanggil. Dalam hati aku berdoa semoga medikal kali ini aku lolos. Urutan proses aku lakukan. Dari cek mata mengambil urine bahkan mengambil sampel darah. Kemudian aku memeriksa kondisi jantung apakah baik atau tidak. Setelah semuanya selesai kemudian aku meninggalkan tempat itu. Di depan klinik Mbak Sri mengajakku untuk makan di sebuah warung. Dia yang akan mentraktir semuanya. Bahkan dia juga memberikan uang saku. “Mbak, semoga medikal kali ini lolos ya,” kata Mbak Sri. “Iya Mbak,” jawabku. “Kamu mantapkan saja tidak usah memikirkan apa-apa. Pasti kalau
Dua hari kemudian hasil medikal dari klinik sudah keluar.Mbak Sri mengirimkan pesan itu lewat ponselku. Ada rasa gembira dan sedih yang bercampur jadi satu. Sedih karena harus meninggalkan kedua anaku dan meingggalkan orang-orang yang sangat aku sayang. Ah, siapa yang aku sayang. Punya saudara layaknya tidak punya saudara. Tidak mau yang mau menolongku. Aku hidup bagai seorang diri. Kini kenapa aku harus sedih meninggalkan mereka. Kelak aku juga sendiri. Sebuah panggilan telepon di ponselku yang terletak di atas meja.Sebagian besar semua barangku sudah aku kemas.Karena besok aku akan meninggakan kontrakan ini. "Iya halo Mas," ujarku ketika tahu siapa penelpon itu. Siapa lagi kalau bukan suamiku. Pasti dia sudah mendapatkan kabar dari Mbak Sri kalau medikalku lolos. Sehingga tentu aku akan mendapatkan uang saku seperti yang dijanjikan pihak penyalur kepadaku."Dek Minah, medikalmu kan sudah lolos. Jadi nanti kamu mendapatkan uang saku kan. Nah, aku harus kamu beri separo karena aku m
Menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya aku dan Mas Dani sampai juga d rumah emak yang ikut adikuku , Delia. Di sana adik dan iparku tidak berada di rumah karena memang mereka punya warung di pasar. Hanya ada emak yang sedang menjahit kerudungnya yang sobek."Asslamualaikum ,Mak," sapaku.Dani juga masuk dengan mencium punggung tangan emak. Terkadang Mas Dani tu seperti menanti idaman yang lain. Dia datang selalu membawa oleh-oleh atau hanya sekedar buah untuk emak. Naun entah dia bisa berubah menjadi apa saja. Jadi tidak nampak kalau dia itu sudah menyakiti hati orang lain. Bagi dia nampak seperti biasa saja."Wa alaikum salam Min," jawab Emak.Aku duduk sebentar karena sangat capekk menggendong Zaki yang tertidur dalam gendongan.Emak membuatkan kopi dan teh panas untukku. Lalu ikut duduk di kursi sebelahku."Bagaimana Min? Apa kamu jadi ke luar negeri. Pikiran emak kok gak karuan ya kalau kamu kerja di luar negeri. Takut terjadi sesuatu seperti yang emak lihat di televisi," u
Setelah aku pamit dengan Arsyad dan keluarga Mas Dicky, aku segera pulang ke kontrakan. Sebelumnya Mas Dani mengajakku untuk pergi pada orang pintar yang ada di dekat desa untuk mencari syarat agar aku mendapatkan majikan yang baik serta selamat sampai tujuan.Untuk semalaman aku menciumi anaku Zaki untuk terakhir kalinya. Karena besok aku harus menitipkan dia pada Bulek yang ada di kota R. Rasanya sakit sekali sih. Zaki yang tidak berdosa dan masih membutuhkan seorang ibu harus aku tinggal. Namun bagaimana lagi semua sudah diatur oleh Tuhan. Memang aku harus seperti ini.Zaki sudah tidur. Kupandangi anaku itu untuk yang terakhir kalinya. Besok dia sudah tidak lagi menyusu padaku dan harus digantikan dengan susu formula. Mungkin aku adalah ibu jahat yang ingin meninggalkan dia tapi hidupku tidak ada pilihan. Semua sudah aku putuskan. Akhirnya aku beresi semua baju Zaki dan semua mainannya. Ini semua demi kamu, Nak. Kelak jika kamu dewasa pasti kamu mengerti.Paginya, setelah aku meman
Tepat tengah hari aku sudah sampai lagi di Semarang. Langsung menuju ke penampunganku. Aku menghapus air mata yang terus mengalir. Untuk apa disesali toh semuanya sudah terjadi. Aku harus bangkit untuk menatap masa depan. Tidak mau membahas tentang dia lagi. Waktu sekolah memang aku selalu berkhayal dan meminmpikan hidup yang bahagia dengan sang pangeran yang setia. Namun kenyataan berkata lain. Aku mempunyai suami yang masih punya istri. Malas untuk bekerja dan menghabiskan uang. Rasa cinta di hatiku menutupi segala kenyataan yang ada.Setelah aku pindah bis menuju ke penampungan akhirnya aku tiba di rumah yang mempunyai lantai dua itu. Ponsel lama yang aku miliki masih aku pegang. Dalam perjalanan sejak tadi ponselku itu berbunyi. Sengaja aku tidak mengangkatnya. Ah, paling juga dari Mas Dani. Mana ada dia menanyakan tentang Zaki. Entah mengapa dia sangat membenci anak keduaku itu. Padahal dia adalah anak kandungnya. Dia tidak pernah menyentuh apalagi menggendongnya."Selamat datang
Rupanya Mas Dani sedikit marah denganku karena uang saku yang diberikan oleh PT tidak aku berikan kepadanya. Aku hanya memberikan beberapa lembar untuknya. Pria mana yang mau memeras keringat istrinya hanya dia saja. Mungkin pria lain tidak mau menerima uang dari istrinya. Ah dia memang lain. Tanpa menyentuhku dia langsung pulang. Bahkan dia bilang akan keluar bersama Mbak Sri. aku tidak peduli. Terserah dia mau ke mana. Toh aku tidak melihatnya yang penting tekadku sudah bulat untuk pergi ke Singapura.Apalagi Zaki sudah berada di tempat Bulek. Jadi tidak mungkin aku mengundurkan diri. Lina sangat baik denganku bahkan ketika malam waktunya makan bersama dia selalu denganku menunjukkan tempat dan mengambilkan makan. Dia juga mempunyai makanan selalu memberikan denganku."Mbak, kalau di sini jangan terlalu bercerita dengan banyak orang atau menceritakan rumah tangga kita kepada orang lain. Takutnya dia menceritakan lagi kepada orang lain dan akan memalukan Mbak Minah. Cukup disimpan sa
"Tolong, ambilkan nasi untuk aku!" teriak Rere salah satu calon TKW yang punya badan besar. Aku menunjuk pada diriku dan dia mengangguk. "Lho, kamu kan punya dua tangan. Kenapa nggak bisa ambil sendiri?" sahutku. "Apa? Kamu membantah perintahku? Semua yang berada di penampungan ini harus tunduk kepadaku. Karena aku orang lama di sini!" bentak Rere dengan berkacak pinggang. "Hah! Mbak ini mau bekerja ke luar negeri atau mau jadi jagoan di tempat ini. Kalau aku sih mau Mbak, malu lama di sini tapi nggak terbang-terbang. Ya mungkin karena Mbak itu sangat jahat sama teman-temannya, jadi nggak ada majikan yang ngambil," ledekku mulut yang mencibir. Sengaja aku ingin menjatuhkan mentalnya. Sementara Lina kemudian menyenggol pundakku. "Sudah Mbak Minah, jangan diladeni nanti malah berantem," bisik Lina. "Nggak papa, Lin. Orang seperti dia memang harus kita lawan. Kalau kita tidak berani maka dia akan terus menginjak-nginjak kita dan merendahkan kita," ujarku. Rere berjalan mendekatik
Aku hampir sebulan tinggal di penampungan.Setelah selesai mengurus paspor dan dokumen lainnya tinggal menunggu majikan yang akan mengambilku. Satu persatu teman-temanku yang ada di penampungan sudah mendapatkan majikan. Ketika mereka akan berangkat selalu memeluk dan berdoa agar kami semua segera berangkat ke sana. Penampungan yang kami tempati itu berada di cabang Semarang sementara cabang pusatnya adalah di Pulau Riau. Jadi berangkatnya kami dari Semarang ke kepulauan Riau baru berangkat ke Singapura menggunakan kapal ferry. Siang itu kembali akan ada interview majikan. Seorang majikan yang menggunakan bahasa Melayu sedang mencari asisten rumah tangga. Dia adalah seorang muslim. Kelihatannya baik. Ketika video call seluruh calon tenaga kerja suruh berbaris dan majikan itu ingin melihatnya. Begitu melihatku sepertinya dia sangat tertarik. Kemudian Pak Toyo memanggilku. "Mbak Minah coba ke sini!" titah Pak Toyo. "Iya Pak," ujarku. "Ini nyonya ingin bicara denganmu," kata Pak Toyo.
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar
Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma
Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek