Esok harinya aku berpamitan dengan pasienku yang datang ke rumah. “Mbak, maafkan aku ya. Mulai besok aku akan menutup terapi ini,” ujarku. “Lho kenapa Mbak?” tanya pasienku. “ Aku mau merantau ke luar negeri, Mbak.” “Hah!Merantau? Mbak Mina punya anak kecil. Lalu bagaimana dengan anaknya. Kasihan sekali,” kata salah satu pasienku. “Iya Mbak aku butuh uang untuk membeli tanah dan rumah, kebetulan mumpung aku diterima di luar negeri makanya aku akan berangkat ke sana,” jelasku dengan wajah yang sedih. .“Ya, Mbak. Terus gimana nanti kalau aku mau terapi kakiku. Padahal aku sudah cocok loh dengan Mbak Minah. Aku sudah berobat ke tempat lain namun tidak ada yang cocok,” jawab pasienku. “Mudah-mudahan nanti ada yang bisa menolong. Oh ya kalau kamu mau bisa datang ke rumah kakak iparku, namanya Mbak Desi. Dia juga tukang terapi malah mungkin lebih enak dari aku karena sudah berpengalaman dan lama,”ujarku. “Oh ya di mana itu Mbak?” tanya pasienku. “Nanti aku kasih alamatn
"Assalamualaikum," sapa seorang wanita di depan pintu kontrakan."Waalaikumsalam," jawabku beranjak dari tempat tidur. Segera aku matikan ponsel."Siapa Nggih>" tanyaku pada seorang wanita berambut cepak dan badannya sedikit kekar."Oh aku Mbak Sri, penyalur tenaga kerja temannya Mas Dani.""Temennya Mas Dani ya?" tanyaku."Iya, sampeyan Mbak Minah?" tanya Mbak Sri balik."Iya Mbak. Ayo sekarang kita ngurus surat ke kelurahan tempat kampungnya Mbak Minah," ajak Mbak Sri."Ya mbak sebentar ya, aku pamit dengan Mbak Siti yang momong anaku dulu sama Arsyad," kataku."Ya Mbak.""Silakan duduk dulu Mbak," kataku mempersilakan Mbak Sri untuk duduk di teras rumah kontrakan.Mbak Sri duduk di kursi teras kemudian aku menuju ke kontrakan Mbak Siti di sana Zaki dan Arsyad sedang bermain dengan dua anak Mbak Siti. Mereka tampak bahagia sekali."Mbak aku nitip anak-anak ya, aku mau mengurus berkas-berkas," kataku."Ya Mbak," sahut Mbak Siti."Ini da uang sedikit buat jajan mereka berdua.""Pulang
Mas Dani menemui aku dan Mbak Sri di sebuah rumah warung mie ayam. Tapi nampaknya Mbak Sri begitu akrab dengan Mas Dani. Bahkan duduk di sebelah Mas Dani dan bercanda sementara aku yang istrinya hanya diam dan melirik Mas Dani. "Gimana Dek Minah sudah beres minta tanda tangannya di kelurahann desamu?" tanya Mas Dani."Sudah Mas," jawabku singkat. "Oh ya besok Medikal ya, Mbak Sri?" tanya Mas Dani sambil tersenyum pada wanita berambut cepak di sebelahnya. "Iya Mas. Doakan ya Mbak Minah kondisinya bagus sehingga nanti akan segera masuk penampungan," jawab Mbak Sri. "Oh ya dapat pesangon berapa kalau ke Singapura?" tanya Mas Dani. "Ya sekitar 4 jutaan Mas," ujar Mbak Sri. "Wah kalau begitu aku juga dapat dong dari sponsor?" tanya Mas Dani lagi. "Dapat Mas, nanti aku yang memberikan," kata Mbak Sri. "Dek Minah nanti uang pesangon yang dapat itu dikasih saya loh, karena saya kan yang ngurus anak-anak," kata Mas Dani. Mendengar ucapannya aku menatap tajam ke arah MAs Dani. "Kok en
Semalaman aku kepikiran dengan tawaran Mas Rizki yang akan membukakan tempat terapi untukku di Jakarta. Namun dengan membawa Zaki dan Arsyad. Memang aku tidak meninggalkan anak-anak dan masih terus bersama tapi bagaimana dengan Mas Dani? Belum pergi saja dia sudah merongrong aku dan selalu minta uang. Bagaimana kalau tahu aku sudah punya tempat usaha dan mempunyai uang sendiri. Pasti dia akan datang kepadaku dengan alasan anak-anak. Aku tidak mau itu terjadi mending sekalian aku pergi jauh dari Mas Dani. Memang mungkin aku ini ibu yang sangat egois karena saat ini aku masih menyusui Zaki. Tapi aku tega akan meninggalkannya semuanya. Ini demi kamu anak-anakku . Aku tidak bisa tidur sangat gelisah hingga Zaki malam ini juga merasakan apa yang ada dalam hatiku. Dia sedikit rewel hingga hampir semalaman tidak mau lepas dari ASI. Setelah Zaki tidur, aku memeluk Arsyad dan mencium putra sulungku itu. Maafkan ibu ya Nak. Kelak kamu dewasa dan bisa mencari pekerjaan yang laya
Aku dan Mbak Sri mendaftar di klinik yang khusus menyediakan medikal untuk Tenaga Kerja Indonesia. Klinik itu berada di pusat kota Semarang. Halamannya luas dan tempat tunggunya juga nyaman. Banyak sekali TKI yang terdiri dari pria wanita antri di sana menunggu namanya dipanggil. Aku menunggu giliran sesuai dengan nomor urut yang diberikan oleh pihak administrasi. Setelah menunggu setengah jam lamanya kemudian namaku dipanggil. Dalam hati aku berdoa semoga medikal kali ini aku lolos. Urutan proses aku lakukan. Dari cek mata mengambil urine bahkan mengambil sampel darah. Kemudian aku memeriksa kondisi jantung apakah baik atau tidak. Setelah semuanya selesai kemudian aku meninggalkan tempat itu. Di depan klinik Mbak Sri mengajakku untuk makan di sebuah warung. Dia yang akan mentraktir semuanya. Bahkan dia juga memberikan uang saku. “Mbak, semoga medikal kali ini lolos ya,” kata Mbak Sri. “Iya Mbak,” jawabku. “Kamu mantapkan saja tidak usah memikirkan apa-apa. Pasti kalau
Dua hari kemudian hasil medikal dari klinik sudah keluar.Mbak Sri mengirimkan pesan itu lewat ponselku. Ada rasa gembira dan sedih yang bercampur jadi satu. Sedih karena harus meninggalkan kedua anaku dan meingggalkan orang-orang yang sangat aku sayang. Ah, siapa yang aku sayang. Punya saudara layaknya tidak punya saudara. Tidak mau yang mau menolongku. Aku hidup bagai seorang diri. Kini kenapa aku harus sedih meninggalkan mereka. Kelak aku juga sendiri. Sebuah panggilan telepon di ponselku yang terletak di atas meja.Sebagian besar semua barangku sudah aku kemas.Karena besok aku akan meninggakan kontrakan ini. "Iya halo Mas," ujarku ketika tahu siapa penelpon itu. Siapa lagi kalau bukan suamiku. Pasti dia sudah mendapatkan kabar dari Mbak Sri kalau medikalku lolos. Sehingga tentu aku akan mendapatkan uang saku seperti yang dijanjikan pihak penyalur kepadaku."Dek Minah, medikalmu kan sudah lolos. Jadi nanti kamu mendapatkan uang saku kan. Nah, aku harus kamu beri separo karena aku m
Menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya aku dan Mas Dani sampai juga d rumah emak yang ikut adikuku , Delia. Di sana adik dan iparku tidak berada di rumah karena memang mereka punya warung di pasar. Hanya ada emak yang sedang menjahit kerudungnya yang sobek."Asslamualaikum ,Mak," sapaku.Dani juga masuk dengan mencium punggung tangan emak. Terkadang Mas Dani tu seperti menanti idaman yang lain. Dia datang selalu membawa oleh-oleh atau hanya sekedar buah untuk emak. Naun entah dia bisa berubah menjadi apa saja. Jadi tidak nampak kalau dia itu sudah menyakiti hati orang lain. Bagi dia nampak seperti biasa saja."Wa alaikum salam Min," jawab Emak.Aku duduk sebentar karena sangat capekk menggendong Zaki yang tertidur dalam gendongan.Emak membuatkan kopi dan teh panas untukku. Lalu ikut duduk di kursi sebelahku."Bagaimana Min? Apa kamu jadi ke luar negeri. Pikiran emak kok gak karuan ya kalau kamu kerja di luar negeri. Takut terjadi sesuatu seperti yang emak lihat di televisi," u
Setelah aku pamit dengan Arsyad dan keluarga Mas Dicky, aku segera pulang ke kontrakan. Sebelumnya Mas Dani mengajakku untuk pergi pada orang pintar yang ada di dekat desa untuk mencari syarat agar aku mendapatkan majikan yang baik serta selamat sampai tujuan.Untuk semalaman aku menciumi anaku Zaki untuk terakhir kalinya. Karena besok aku harus menitipkan dia pada Bulek yang ada di kota R. Rasanya sakit sekali sih. Zaki yang tidak berdosa dan masih membutuhkan seorang ibu harus aku tinggal. Namun bagaimana lagi semua sudah diatur oleh Tuhan. Memang aku harus seperti ini.Zaki sudah tidur. Kupandangi anaku itu untuk yang terakhir kalinya. Besok dia sudah tidak lagi menyusu padaku dan harus digantikan dengan susu formula. Mungkin aku adalah ibu jahat yang ingin meninggalkan dia tapi hidupku tidak ada pilihan. Semua sudah aku putuskan. Akhirnya aku beresi semua baju Zaki dan semua mainannya. Ini semua demi kamu, Nak. Kelak jika kamu dewasa pasti kamu mengerti.Paginya, setelah aku meman