Mas Rizki mengantarku dan Arsyad sampai ke rumah kontrakan. Tepat tengah hari yang sangat panas. Dia juga menurunkan barang-barang belanjaan yang baru aku beli dari salah satu mall terbesar di kota Semarang. Ada banyak mainan untuk anak-anak, baju untuk Arsyad dan Zaki serta kebutuhan untuk stok makananku di dapur dan kedua anakku. Tidak lupa aku juga membeli sedikit makanan untuk Mbak Siti yang telah merawat Zaki. Tanpa malu-malu Mas Rizki menurunkan semua barang belanjaanku dan menaruh di teras rumah kontrakan. Di sana sudah ada Mbak Lusi memakai rok pendek dan rambut yang tergerai. Dandanannya juga menor. Dia berdiri terus menatap Mas Rizki. “Wah habis borong ya Mbak Minah?” sindir Mbak Lusi. “Iya mbak ini. Jemput Arsyad dari sekolah kemudian aku ajak jalan-jalan dia ke supermarket,” jawabku. “Apa kalian janjian ya? Kok bisa diantar dengan Mas Ganteng ini,” ujar Mbak Lusi dengan menyedekapkan tangan. Matanya melirik jalang ke arah pria ganteng yang menolongku. M
Aku sudah bahagia berkumpul dengan dua anakku Zaki dan Arsyad. Tidak mungkin terus selama tinggal di sini. Aku harus segera meninggalkan kota ini dan mencari tempat lain semua ini sudah tidak aman bagiku. Apalagi Mas Handoko yang selalu datang menggangguku. Dengan segera harus meninggalkan kota ini mencari tempat agar aku terhindar dari suamiku dan Mas Hnadoko. Lalu bagaimana dengan Mas Rizki? Apakah pria itu punya sedikit rasa denganku? Kenapa Mas Handoko selalu menyalahkanku. Pertemuan setelah sekian lama berpisah aku pikir akan menjadi sebuah keluarga nyatanya justru berawal hancurnya rumah tangga Mas Handoko. Perpisahannya dengan bu Intan katanya gara-gara saya.Belum lagi sepertinya Mas Dani akan mengambil lagi Arsyad. Aku harus pergi dari kota ini secepatnya. “Bu, emang kita mau ke mana lagi? Aku capek kalau harus pindah-pindah sekolah terus,” kata Arsyad putraku. Aku memandang anak pertamaku itu dengan tatapan yang tajam. Sebenarnya aku sangat kasihan ketika melihat du
Aku tidak jadi mengemasi baju dan semua peralatanku. Mungkin terlalu cepat aku mengambil keputusan jangan sampai apa yang telah aku lakukan ini salah dan tidak memakai pertimbangan. Baru sehari Arsyad tinggal bersamaku lalu kemudian aku akan mengajaknya pergi. Tercenung sejenak dengan mendinginkan suasana hati.Sore harinya rumah kontrakanku didatangi oleh para pasien yang pakai mobil sangat bagus. Mereka adalah keluarga dari pejabat tinggi kota. Seorang ibu yang memakai jilbab dan dua orang anaknya membawa satu kantong plastik buah yang diberikan kepadaku. Segera aku memanggil Mbak Siti untuk merawat Zaki dan Arsyad agar aku bisa bekerja. Piikiranku saat ini sedang kacau sehingga aku tidak konsentrasi menangani pasien. Bersyukur semuanya bisa aku atasi dan mendapatkan rejeki yang lumayan.Setelah semua pasienku pergi dan malam sudah sedikit larut. Aku butuh seseorang untuk menceritakan semua rasa yang ada dalam hati. Ingin bercerita dan mengungkapkan apa yang aku rasa. Aku melih
Setelah mendengar saran dan usul dari Mas Rizki perasaanku sedikit tenang. Memang kemarin aku meninggalkan rumah dengan perasaan terbakar cemburu, marah, sakit hati dan tidak dihargai. Itulah yang aku rasakan. Beruntung aku bertemu dengan orang-orang yang baik yang menolongku mencarikan tempat kontrakan seperti teman dekatku Indah dan aku mendapatkan pekerjaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Yaitu menjadi terapis. Mungkin hal yang tidak pernah aku lakukan tapi karena kebutuhan yang mendesak akhirnya aku menerima pekerjaan itu. Dengan pekerjaan itu aku bisa mempunyai sedikit tabungan membeli ponsel dan mencukupi kebutuhanku.Melihat keadaan Arsyad pikiranku menjadi goyah. Aku tidak ingin membawa dia kemana-mana bersamaku. Biarlah aku saja yang pergi merantau. Anak-anak jangan sampai tahu prahara yang menimpa kedua orang tuanya.Arsyad dan Zaki tetap disini. Dengan alasan bekerja aku bisa menghindari Mas Dani untuk sementara waktu. Aku juga bisa mengumpulkan uang untuk membe
Malam itu aku menginap di rumahnya Delia. Emak kikut dengan adikku. Dari depan datang Wawan dengan membawakan satu karung beras untuk emak. Dia terkejut ketika melihat aku dan dua anakku di sana."Mbak, kapan datang?" tanya Wawan dengan wajah yang kurang begitu suka."Baru saja, Wan," jawabku sambil menyusui Zaki."Mas Dani ke mana tidak ikut? Pulang sendiri apa diantar sama suamimu itu?" tanya Wawan menghempaskan tubuhnya di kursi kayu."Mas Dani masih kerja Wan, jadi dia tidak bisa mengantarku," jawabku untuk menutupi kenyataan yang ada."Kerja atau gimana? Apa Kalian sedang ada masalah?" tanya Wawan menyelidik."Oh ndak ada, aku ndak ada masalah," ucapku sedikit gugup untuk menutupi kebohongan dan prahara yang terjadi dalam rumah tanggaku.Wawan memang tidak suka dengan Mas Dani apalagi ketika dia mengambil uang sisa warisan dari penjualan rumah. Sebenarnya Wawan ingin mencarikan tanah dan rumah kecil untuk tempat aku tinggal sehingga dekat dengan keluarga namun dengan angkuh Mas D
Mendadak Mas Dani menyusul aku ke kampung Emak. Dia menggunakan sepeda motor dan bertemu denganku di rumah Delia. Lama tidak bertemu membuat sedikit gugup. Melihat ayahnya datang Arsyad langsung berteriak dan menghambur kepelukan pria berkumis tipis itu. Dia masih ganteng berkumis tipis seperti dulu waktu aku mengenalnya. Tapi entah mengapa saat ini rasa cinta yang kumiliki kepadanya musnah dihembus angin tidak bersisa. Namun aku masih istrinya. Bagaimana menghindari jika dia meminta apa yang inginkan.Emak menyambut Mas Dani dengan baik. Dia mempersilakan suamiku untuk duduk."Eh Dani kapan datang?" tanya Emak."Barusan Mak," sahut Mas Dani sambil mencium punggung tanga pria itu."Kamu bekerja di mana?" tanya Emak lagi."Sekarang aku mencari pasir kalau malam sedikit sibuk," jawab Mas Dani."Oh ya Mak ini sedikit buah untuk emak," ujar Mas Dani."Tadi aku lewat dan melihat ada toko buah. Ya sudah aku beli buah kesukaan emak buah pir," kata Deni memberikan bungkusan agak besar pada Em
Baru saja asik ngobrol dan membicarakan tentang rencana keberangkatan ke luar negeri, kami dikejutkan dengan suara klakson sebuah mobil yang masuk ke halaman rumah kontrakan. Wajah Mas Dani yang tadinya ceria mendadak menjadi berkerut. Tatapan matanya penuh selidik kepadaku."Siapa Dek?" tanya Mas Dani dengan suara yang agak keras."Oh mungkin pasienku Mas, sebentar ya aku tengok dulu."Aku melihat dari pintu rumah kontrakan. "Ya memang benar Mas Rizki yang datang dengan membawa bingkisan. Pria gagah dan ganteng itu tersenyum ketika melihatku aku jadi serba salah . Memang sebelumnya tidak memberitahu pada Mas Rizki kalau suamiku akan datang. Sepertinya sangat kebetulan. Entah mengapa aku menjadi sedikit tegang melihat pria itu datang ke rumah kontrakanku. "Assalamualaikum Mbak Minah," sapa Mas Rizki dengan ramah."Waalaikumsalam. Eh Mas Rizki," jawabku sedikit kikuk. "Ada apa Mbak Minah kok wajahmu seperti pucat?" tanya Mas Rizki.Belum selesai bicara Mas Dani keluar dari rumah k
Esok harinya aku berpamitan dengan pasienku yang datang ke rumah. “Mbak, maafkan aku ya. Mulai besok aku akan menutup terapi ini,” ujarku. “Lho kenapa Mbak?” tanya pasienku. “ Aku mau merantau ke luar negeri, Mbak.” “Hah!Merantau? Mbak Mina punya anak kecil. Lalu bagaimana dengan anaknya. Kasihan sekali,” kata salah satu pasienku. “Iya Mbak aku butuh uang untuk membeli tanah dan rumah, kebetulan mumpung aku diterima di luar negeri makanya aku akan berangkat ke sana,” jelasku dengan wajah yang sedih. .“Ya, Mbak. Terus gimana nanti kalau aku mau terapi kakiku. Padahal aku sudah cocok loh dengan Mbak Minah. Aku sudah berobat ke tempat lain namun tidak ada yang cocok,” jawab pasienku. “Mudah-mudahan nanti ada yang bisa menolong. Oh ya kalau kamu mau bisa datang ke rumah kakak iparku, namanya Mbak Desi. Dia juga tukang terapi malah mungkin lebih enak dari aku karena sudah berpengalaman dan lama,”ujarku. “Oh ya di mana itu Mbak?” tanya pasienku. “Nanti aku kasih alamatn
Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega
Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal
Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t
Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar
Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma
Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus
Semua barang dan pakaianku sudah datang. Diangkut dengan mobil pick up milik Dimas yang dibawa oleh dua pria yang mempunyai tubuh kekar. Aku segera menata semua pakaianku dan merapikan barang milikku. Untuk sementara tidak menghubungi semua saudaraku untuk menghilangkan jejak sampai surat ceraiku benar-benar sudah keluar dari pengadilan agama. Sekarang aku sedikit tenang karena ada Dimas yang selalu melindungiku. Walaupun kakinya sakit dan tidak bisa berjalan tapi dia punya otak dan pikiran yang waras. Paling ibu-ibu yang tinggal di sebelah rumahku akan bertanya kenapa aku harus pindah dari kontrakan itu. Apalagi Mpok Ros yang selama ini sudah aku anggap saudara ternyata malah menyebar fitnah. Mendadak aku pindah. Pasti Mpok Ros juga akan cerita kalau anaku diambil oleh mantan suamiku. Memang bibirnya tidak bisa menjaga rahasia. Sekarang aku sudah sedikit tenang karena jauh dari orang-orang yang membuat hatiku sakit. Bahkan Mbak Ningsih juga malah membocorkan rahasiaku. Paling dia d
Aku menuju alamat yang diberikan Dimas mengenai keberadaan Zaki dan Mas Dani. Memang belum terlalu jauh dari komplek perumahan yang aku tempati. Mengapa Dimas bisa bertindak sangat cepat. Sebenarnya siapa dia? Sampai di sebuah gang yang dimaksud, aku minta berhenti dan membayar ojek. Dengan perasaan tidak menentu aku menuju rumah berwarna kuning gading yang ditunjuk Dimas. Sampai depan sana aku mengirimkan pesan pada Dimas kalau sudah sampai di rumah itu. (Dimas, aku sudah sampai.) tulisku dalam sebuah pesan. Tidak menunggu lama kemudian dia menelponku. "Halo Minah, sekarang posisimu di mana?" tanya Dimas. "Aku hampir mendekati rumah yang berwarna kuning seperti petunjukmu," jawabku. "Okay kalau begitu, aku akan menghubungi anak buahku dan mereka akan menjemputmu. Kamu tinggal bilang pria itu mau diapakan. Maka aku tinggal perintah dengan anak buahku," ujar Dimas di ujung telpon. "Tidak usah Dim. Yang penting anaku selamat. Terserah dia mau kelaparan atau apa tidak peduli," sa
Pikiranku langsung tertuju kepada Dimas. Mungkin dia mempunyai solusi atas masalah yang sedang menimpaku."Ngapain Mpok masih di situ?" tanya aku dengan suara lirih."Apa Mpok mau menyebarkan isu yang tidak jelas lagi kepada para ibu-ibu di komplek ini?" tanyaku tanpa memandang dia."Apa maksudmu Mbak Minah?" tanya Mpok Ros pura-pura tidak tahu."Kamu sudah cerita kepada ibu-ibu yang ada di komplek ini. Katanya aku melakukan terapi plus-plus sehingga aku mempunyai uang yang banyak dan bisa membeli perhiasan dan aneka perlengkapan rumah."Mungkin ketika mendengar ucapanku, wajah dia memerah dan mulutnya mengerucut tapi memang aku benar-benar marah dengannya. Padahal selama ini dia hanya minta tolong kepadaku bahkan yang seratus ribu yang dipinjam dariku belum juga dikembalikan. Tapi mengapa dia tega memitnah aku dan menuduh aku melakukan terapi plus-plus di kota."Tapi Mbak. Aku…" ucapnya dengan terputus."Tidak usah mengelak, Mpok. Ibu-ibu kompleks sudah cerita kepadaku dan merek