***"Kukira kita begitu dekat, Haf, ternyata ada banyak hal tentangmu yang tidak aku tahu." Azka berbicara ketika hendak memasuki mobil. "Tentang Bunda Ranti, kamu berhutang banyak penjelasan padaku, Haf.""Kamu mempermasalahkan adanya Bunda Ranti, Mas?" Hafsah bertanya dengan suara rendah. "Dia bundaku. Aku sudah katakan kalau Bunda yang mengurusku sejak bayi.""Bukan tentang siapa yang mengurus kamu sejak bayi, Hafsah. Aku hanya kecewa karena kamu menyembunyikan fakta tentang Bunda Ranti. Sudah bertahun-tahun kita menjalin hubungan, tapi aku baru tau jika Bunda Ranti memiliki andil dalam kehidupan kamu. Kenapa tidak pernah cerita?" cecar Azka. "Aku tidak mempermasalahkan siapa Bunda Ranti di hidup kamu, hanya saja ... aku merasa kita tidak sedekat itu, Haf."Hafsah mencekal lengan Azka sambil menggeleng, "Itu bukan mauku," sahutnya tanpa dusta. "Sejak kita memutuskan bertunangan, Bunda Ranti menolak aku perkenalkan pada kalian. Bunda Ranti belum siap bertemu kamu dan kedua orang tua
***"Bunda Ranti, siapa dia, Le?" cecar Delia. "Kamu tahu ciri-cirinya bagaimana? Pakai jilbab? Kulitnya putih?"Azka menatap wajah Delia yang mulai memucat. "Bu, kenapa?"Delia menggeleng sambil menarik napas dalam-dalam. Rasa gelisah yang sempat menguasai jiwanya perlahan dia tepis. Delia menghembuskan napasnya perlahan-lahan berharap jantungnya kembali berdetak dengan tenang. "Siapa Bunda Ranti, Azka?""Hafsah pernah hilang, Bu." Azka mulai bercerita. "Lebih tepatnya dibuang." Delia menoleh dan mendelik, "Dibuang?""Ya. Neneknya membuang Hafsah karena tidak mau memiliki cucu perempuan. Hafsah dibuang di depan TPU sampai akhirnya ada Bunda Ranti yang memungutnya.""Astaghfirullah," ucap Delia seraya geleng-geleng. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang-orang yang lebih mementingkan ego daripada keselamatan cucunya sendiri. "Jadi Bunda Ranti adalah Ibu Asuh Hafsah?""Bisa dibilang seperti itu, Bu," jawab Azka. "Tapi ada yang aneh dari sikap Hafsah. Dia terlihat begitu manja d
***"Kamu harus mempertahankan Azka bagaimanapun caranya, Haf."Hafsah yang sedang duduk berhadapan dengan Ranti sontak saja mengangguk patuh. "Tentu saja, Bun," jawab Hafsah mantap. "Sebisa mungkin aku akan berusaha agar Mas Azka tidak jatuh dalam pelukan Safina. Perempuan jalang itu tidak boleh bahagia di atas luka yang aku terima."Ranti menarik ujung bibirnya sinis. "Tetap saja kamu harus waspada, Sayang. Perempuan murahan seperti Safina bisa saja menarik perhatian Azka, apalagi mereka sudah lama berteman. Jangan sampai dia berhasil merebut Azka darimu," sahut Ranti mengompori."Itu tidak akan terjadi, Bun. Aku pastikan Mas Azka tetap menikahiku." Hafsah tersenyum puas. "Dendam Bunda akan aku balaskan sebentar lagi ....""Dendam apa, Nduk?"Hafsah terperanjat mendengar suara Bu Rania yang tiba-tiba datang. Ranti mengedipkan mata seakan memberi isyarat agar Hafsah tetap tenang, namun tetap saja, wajah Hafsah yang tegang tidak bisa disembunyikan dari pandangan Bu Rania. "Apa sih,
***"Tapi aku mencintai Safina, Bu."Delia melengos. Wanita yang mengenakan gamis berwarna kunyit itu kecewa dengan keputusan Azka yang semakin ambigu. "Ternyata sikap tegas Ayah tidak menurun padamu, Azka."Azka menunduk dalam ketika mendengar nada bicara Delia yang ketus. "Ketika kamu memutuskan untuk menikahi Hafsah, maka lupakan Safina," ucap Delia lagi. "Tapi jika hatimu lebih condong pada Safina, batalkan rencana pernikahanmu secepatnya. Jangan menyakiti Hafsah lebih dalam lagi!""Ngomong-ngomong, seperti apa ciri-ciri Bunda Ranti, Az?" cecar Delia.Azka menatap wajah Ibunya lamat-lamat, "Cantik. Tinggi, kulitnya putih. Tapi, Bu ... aku merasa seperti Bunda Ranti terlalu mendominasi. Bahkan beliau tidak perduli dengan apa yang Bu Rania ucapkan. Dan anehnya, Hafsah terlihat sangat menghormati Bunda Ranti daripada Ibunya sendiri. Apa hal seperti itu wajar, Bu?"Keringat Delia mulai bercucuran. Sejak Azka mengatakan Bundanya Hafsah adalah wanita yang cantik, tinggi dan putih, pik
***Aku merasakan kedua kelopak mata memanas. Melihat Bunda Ranti yang merengek agar aku menghancurkan hidup Mas Azka tetiba membuat dadaku terasa sesak. Aku baru menyadari betapa mengerikannya Bunda Ranti. Lalu, apa benar yang Ibu katakan kalau dulu beliau mencariku?Itu artinya Bunda Ranti berbohong?Setega itukah Bunda padaku?"Bun, aku menyadari satu hal ...."Bunda mengusap air matanya dan menatapku lekat, "Apa itu, Sayang?""Sepertinya janji yang tadi aku katakan tidak bisa aku tepati," ucapku takut. "Aku mencintai Mas Azka, Bunda."Kedua tangan Bunda yang semula memegang bahuku kini merosot. Matanya yang sendu seperti tengah memohon kini mendelik lebar seakan-akan ucapanku barusan adalah kabar yang paling mengejutkan baginya. Aku salah. Ya, aku akui itu.Aku menjanjikan sesuatu yang aku sendiri bahkan tidak tau duduk permasalahan antara Bunda dan kedua orang tua Mas Azka.Bunda hanya meminta agar aku menuruti inginnya. Bunda berharap agar aku membalaskan dendamnya melalui Mas
***"Bun, jangan berbicara seperti itu," ucapku sedih. "Bagiku Bunda adalah Ibuku, sama seperti Ibu Rania."Bunda Ranti menggeleng. Perlahan, beliau melepas pelukan dan membingkai kedua pipiku menggunakan tangannya yang lembut. "Bunda sadar diri, Haf. Bunda hanyalah wanita asing yang tanpa sengaja diberi ijin Allah untuk merawat kamu. Bunda bukan siapa-siapa ....""Bun, cukup!" Aku menyela ucapan Bunda sambil terisak. "Bunda sangat berjasa di hidupku. Jangan seperti ini, Bun, aku tidak suka.""Suka atau tidak, Bunda memang hanya orang asing bagimu, Nak. Wajar saja kamu menolak membantu Bunda, ya ... kamu memang punya hak untuk tidak ikut campur pada luka yang Bunda terima. Tidak apa-apa, Bunda minta maaf ....""Bun ....""Kamu harus bahagia, Hafsah. Tapi satu hal yang harus kamu ingat ... mereka tidak sebaik yang kamu kira. Mereka adalah orang-orang licik. Bunda tidak yakin kamu akan bahagia, Nak."Keningku mengkerut. "Sejahat apa mereka, Bun?""Bunda sudah katakan kalau Abah dan Umi
***pov SafinaMas Azka berulang kali mengirim pesan, namun aku berusaha abai karena tidak mau dianggap sebagai perempuan perebut lelaki orang. Sekalipun belum menikah, namun Mbak Hafsah adalah orang pertama yang ada di hati Mas Azka. Jika dibandingkan dengan aku, apalah aku ini ... hanya teman masa kecil yang tidak tau diri. Sudah dianggap sebagai adik sendiri malah berani-beraninya menaruh hati. "Kamu yakin, Sayang?"Bunda menatapku dengan mata berkaca-kaca. Perlahan aku mengangguk membuat satu per satu cairan bening di kelopak mata Bunda luruh membasahi pipinya yang kemerah-merahan."Jika perasaan Mas Azka memang benar adanya, bukankah aku akan menjadi perempuan yang paling kejam, Bun?"Bunda menggeleng. Namun bulir bening semakin deras menghujani wajahnya yang ayu. "Fin, kenapa kamu harus membuat semuanya menjadi rumit, Nak? Azka membatalkan rencana pernikahannya bukan karena kamu, tapi karena dia menyadari perasaannya yang sesungguhnya kepadamu, Nduk," ucap Bunda serak. "Sekali
***"Ibu kenal Bunda Ranti?" Azka bertanya seraya mengerutkan kening. "Beliau yang aku ceritakan tadi sore, Bu. Jadi benar kalau Bunda Ranti adalah orang yang sudah mencelakai Ibu di masa lalu?"Hafsah menunduk dalam. "Benarkah yang Mas Azka katakan, Bun?"Ranti menggeleng samar. Tas berisi pakaian ia genggam semakin erat sementara satu tangan yang lain mencengkeram handel pintu dapur. "Bunda berbohong padaku?" Hafsah menitikkan air mata. "Bunda bilang Om Haikal dan Bunda Delia adalah dalang di balik kematian Umi dan Abah. Tapi kenapa Mas Azka mengatakan hal lain, Bun?"Ranti menggigit bibir bawahnya gusar. Niat hati ingin menyembunyikan jati diri sampai Hafsah dan Azka menikah, namun apalah daya, Tuhan lagi-lagi berpihak pada Haikal dan Delia. Rencana yang sudah ia susun sejak berpuluh-puluh tahun lamanya ternyata dihancurkan oleh Hafsah, wayangnya sendiri. "Percuma Bunda membela diri, kamu pasti menolak mempercayai semua ucapan Bunda." Suara Ranti bergetar. Tangannya mengepal erat
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te