***POV Hafsah"Berikan ini untuk Safina, Mas." Aku mengembalikan cincin yang semula melingkar di jari manis. Cincin solitaire bermata putih yang menjadi pilihan Mas Azka untuk mengikatku kala itu. "Aku tahu kamu mencintainya."Kuraih jemarinya yang kokoh. Pria di depanku itu gemetar saat kuselipkan cincin pilihannya dalam genggaman. Sekalipun aku tahu di hatinya hanya ada Safina, namun malam ini aku melihat air matanya menggenang ketika aku mencoba ikhlas melepasnya. Setelah mati-matian aku mempertahankan putra Bunda Delia, kini dengan kesadaran penuh aku melepasnya. Untuk apa menikah jika salah satu dari kita menyimpan nama orang lain di hatinya?"Ah, tidak ... harusnya Safina bisa mendapatkan cincin yang lebih indah dari ini," ucapku parau. Ingin sekali menangis agar sesak di dalam dada sedikit mengurai, tapi tidak ... aku tidak mau melepas Mas Azka dengan air mata.Bukankah titik tertinggi mencintai adalah merelakan dia yang kita cintai bahagia bersama pilihan hatinya?"Maaf kare
***"Aku memang bodoh, Bu."Ibu menggeleng sementara tangannya yang lembut mengusap pipiku secara perlahan. Wanita paruh baya berwajah teduh itu berulang kali mencoba tersenyum. Aku tau, sebab bibirnya membentuk garis tipis namun kentara menahan getar. "Harusnya aku merasa janggal saat Bunda Ranti tiba-tiba bilang akan membawaku pulang. Dulu, Bunda mengatakan betapa sulit mencari keberadaan Ayah dan Ibu, namun saat aku remaja, kenapa tiba-tiba semudah itu Bunda menemukan kalian? Harusnya aku curiga kan, Bu? Harusnya aku tidak begitu saja percaya pada apa yang Bunda katakan." Aku terisak lagi. Rasanya malam ini aku ingin membuang semua perasaan sedih sehingga esok hanya bahagia yang kudapati. "Aku terlalu senang karena pada akhirnya kita akan bertemu setelah berpuluh-puluh tahun terpisah. Namun perasaan itu hanya sebentar kurasakan sebab otakku sudah dicekoki banyak sekali kebencian pada Ayah dan Ibu, sehingga saat aku terharu pada pertemuan kita, saat itu pula aku merasa terluka. Bun
***Empat hari berlalu, namun pesan yang kukirim pada Safina belum lah mendapat balasan. Apakah wanita pujaan hati Mas Azka itu mengganti nomornya dengan yang baru?"Nduk, barang-barang kamu sudah dikemas semua?"Aku terperanjat mendengar pertanyaan Ibu. "A-- ah, iya, Bu. Sudah, ini memang sengaja aku tinggal, baju-baju tidak terpakai, untuk apa dibawa, ya kan?"Ibu mengangguk sambil memasuki kamar yang beberapa perabotannya sudah diangkut ke Jakarta. Menyisakan ranjang dan satu lemari yang berisi baju bekas yang sudah tidak muat di badan. "Tidak ada yang tertinggal kan?"Aku menggeleng, "Sepertinya tidak," jawabku seraya menyapu semua sudut kamar. "Hatimu berat meninggalkan Surabaya, Haf?"Pertanyaan Ibu kali ini membuatku terpaku. "Entahlah, Bu," jawabku asal. Kurasakan bibirku bergetar, bahkan untuk mengukir senyum pun rasanya teramat sulit. Aku ingin Ibu melihatku baik-baik saja, tapi ternyata itu tidaklah mudah. Bayangan wajah Mas Azka masih mengikuti kemana pun aku pergi. "Ak
***"Assalamualaikum, Bun."Annisa terpaku di depan pintu ketika melihat kedatangan Azka seorang diri."Waalaikumsalam, Le. Gak kerja?""Libur," jawab Azka singkat. Pria yang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Annisa dan Kang Dirman itu melirik ke dalam rumah, berharap Safina keluar setelah mendengar suaranya. Sadar jika perempuan yang dia cari tidak juga menampakkan batang hidungnya, Azka memilih mencium punggung tangan Annisa karena sejak setelah mengucap salam, putra Haikal itu belum salim takzim. "Teman kerja Safina bilang dia resign, Bun. Kenapa, sakit?"Wanita yang Azka panggil dengan sebutan Bunda itu tersenyum tipis, kemudian mempersilahkan putra Haikal tersebut masuk ke dalam rumah bernuansa ungu."Bunda buatkan minum, duduklah dulu!" pinta Annisa yang dibalas anggukan kepala oleh Azka. "Bun ...." Annisa menghentikan langkah. Wanita berkerudung jingga itu menoleh sambil menyahut, "Ya, Nak?""Dimana Safina?" cecar Azka yang mulai merasakan ada yang janggal di rumah Kang
***|Bismillah ....|Hatiku seperti dicubit setelah membaca status WhatsApp Mas Azka. Tidak ada yang berlebihan dari caption-nya, hanya saja foto yang dia unggah membuatku harus sejenak menahan napas. Cincin blue sapphire yang cantik. Aku terkekeh, bahkan harga cincin untuk Safina jauh lebih mahal dari cincin solitaire yang Mas Azka berikan padaku saat bertunangan dulu. Ah, kenapa rasanya tiba-tiba menyesakkan?|Indah sekali, Mas|Aku mengomentari status WhatsApp Mas Azka, tidak lupa pula aku bubuhi emoticon senyum agar dia tidak merasa bahwa aku tengah memendam dengki pada keberuntungan Safina. |Benarkah, Haf? Ini pilihan Ibu ....|Kukira Bunda Delia sangat menyayangiku, tapi nyatanya ada Safina yang posisinya jauh lebih tinggi dariku. Lihat, bahkan untuk cincin pertunangan saja beliau turun tangan. Sementara saat aku hendak bertunangan dengan Mas Azka dulu, beliau malah meminta kami berdua memilih sendiri cincin yang akan dipakai di malam acara pertunangan. Sekontras ini perbeda
***"Haf ...."Aku berjingkat kaget, "Y-- ya, Bu?""Melamun apa pagi-pagi begini, Nduk?" Ibu menyelidik. "Ibu dari tadi ngomong sendirian, kamu lagi mikir apa, Haf?"Aku meletakkan sisa roti di atas meja. Lidahku kelu, jantungku berdebar tidak biasa. Foto di akun sosial media Facebook milik Mas Azka barusan membuat nafasku terengah. Secepat itu mereka menikah?Apa Mas Azka tidak butuh waktu yang sedikit lebih lama untuk melupakan aku?Haruskah secepat itu?"Ada apa?" Ibu memegang jemariku lembut. "Bu ...." Aku menyodorkan ponsel ke arah Ibu. "Benarkah ini Mas Azka, Bu?"Ibu menatap layar ponselku cukup lama, kemudian mengusap pipiku yang tanpa sadar ternyata sudah basah. "Aku kira akan baik-baik saja setelah membatalkan rencana pernikahan bersama Mas Azka, apalagi ketika Ayah membawa kita pergi ke Jakarta, kukira hidupku akan berangsur membaik. Kukira bayang-bayang wajah Mas Azka perlahan bisa memudar dari ingatan. Tapi nyatanya tidak, Bu. Ini ... teramat sulit buatku."Aku menangi
***"Selamat pagi, Pak ....""Ya, selamat pagi. Ada apa, bukannya rapat masih dua jam lagi ya?" tanya Mas Biru pada perempuan cantik yang masih berdiri di ambang pintu. "Iya, Pak. Ini saya mau minta tanda tangan, ada beberapa berkas yang belum Pak Biru tanda tangani."Kulihat Mas Biru mengangguk sembari mempersilahkan perempuan berambut gelombang itu masuk ke dalam ruangannya. "I ... ni, siapa, Pak?"Aku dan Mas Biru menoleh bersamaan. "Maaf, saya tidak bermaksud ....""Staff baru," sela Mas Biru. "Nanti saya perkenalkan saat rapat dua jam lagi."Perempuan yang mengenakan rok pendek berwarna putih serta blazer berwarna pink itu mengangguk sembari menatap ke arahku. Entah mengapa, aku merasa tatapan matanya sangat tidak bersahabat. Ah, bukankah hal seperti ini memang seharusnya sudah aku antisipasi?"Teman dekat ya, Pak? Setahu saya belum ada yang lolos interview dari pihak HRD," celetuknya. "Masuk jalur orang dalam dong ya? Gak tanggung-tanggung lagi, langsung lewat CEO." Matanya me
***Di dalam lift, Mas Biru tidak berbicara sepatah katapun, bahkan kulihat pria yang memiliki rahang tegas itu sibuk dengan ponsel di tangannya. Aku mengusap-usap kepala yang masih menyisakan nyeri. Nina benar-benar ... astaghfirullah!Mataku kembali memanas ketika mengingat kejadian beberapa menit yang lalu di Kantin. Malu. Tapi mau bagaimana lagi, toh bukan aku yang mencari gara-gara.Andai aku punya nyali untuk mengeluarkan ponsel di dalam saku celana berbahan kain yang saat ia kukenakan, sudah pasti Ibulah orang pertama yang ingin aku hubungi. Aku ingin menangis dan menceritakan betapa bekerja di Perusahaan teramat menakutkan. "Sakit banget?"Aku berjingkat kaget ketika mendengar suara Mas Biru yang tiba-tiba. "Kamu memang terbiasa melamun ya, Haf?" Mas Biru bertanya sambil mengerutkan kening. "Setiap saya berbicara, kenapa selalu terkejut begitu sih?""Maaf, Pak," sahutku lirih. "Fokus, Hafsah! Jangan dibiasakan menimbun banyak pikiran karena urusan pribadi, sementara di Per