***Empat hari berlalu, namun pesan yang kukirim pada Safina belum lah mendapat balasan. Apakah wanita pujaan hati Mas Azka itu mengganti nomornya dengan yang baru?"Nduk, barang-barang kamu sudah dikemas semua?"Aku terperanjat mendengar pertanyaan Ibu. "A-- ah, iya, Bu. Sudah, ini memang sengaja aku tinggal, baju-baju tidak terpakai, untuk apa dibawa, ya kan?"Ibu mengangguk sambil memasuki kamar yang beberapa perabotannya sudah diangkut ke Jakarta. Menyisakan ranjang dan satu lemari yang berisi baju bekas yang sudah tidak muat di badan. "Tidak ada yang tertinggal kan?"Aku menggeleng, "Sepertinya tidak," jawabku seraya menyapu semua sudut kamar. "Hatimu berat meninggalkan Surabaya, Haf?"Pertanyaan Ibu kali ini membuatku terpaku. "Entahlah, Bu," jawabku asal. Kurasakan bibirku bergetar, bahkan untuk mengukir senyum pun rasanya teramat sulit. Aku ingin Ibu melihatku baik-baik saja, tapi ternyata itu tidaklah mudah. Bayangan wajah Mas Azka masih mengikuti kemana pun aku pergi. "Ak
***"Assalamualaikum, Bun."Annisa terpaku di depan pintu ketika melihat kedatangan Azka seorang diri."Waalaikumsalam, Le. Gak kerja?""Libur," jawab Azka singkat. Pria yang sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Annisa dan Kang Dirman itu melirik ke dalam rumah, berharap Safina keluar setelah mendengar suaranya. Sadar jika perempuan yang dia cari tidak juga menampakkan batang hidungnya, Azka memilih mencium punggung tangan Annisa karena sejak setelah mengucap salam, putra Haikal itu belum salim takzim. "Teman kerja Safina bilang dia resign, Bun. Kenapa, sakit?"Wanita yang Azka panggil dengan sebutan Bunda itu tersenyum tipis, kemudian mempersilahkan putra Haikal tersebut masuk ke dalam rumah bernuansa ungu."Bunda buatkan minum, duduklah dulu!" pinta Annisa yang dibalas anggukan kepala oleh Azka. "Bun ...." Annisa menghentikan langkah. Wanita berkerudung jingga itu menoleh sambil menyahut, "Ya, Nak?""Dimana Safina?" cecar Azka yang mulai merasakan ada yang janggal di rumah Kang
***|Bismillah ....|Hatiku seperti dicubit setelah membaca status WhatsApp Mas Azka. Tidak ada yang berlebihan dari caption-nya, hanya saja foto yang dia unggah membuatku harus sejenak menahan napas. Cincin blue sapphire yang cantik. Aku terkekeh, bahkan harga cincin untuk Safina jauh lebih mahal dari cincin solitaire yang Mas Azka berikan padaku saat bertunangan dulu. Ah, kenapa rasanya tiba-tiba menyesakkan?|Indah sekali, Mas|Aku mengomentari status WhatsApp Mas Azka, tidak lupa pula aku bubuhi emoticon senyum agar dia tidak merasa bahwa aku tengah memendam dengki pada keberuntungan Safina. |Benarkah, Haf? Ini pilihan Ibu ....|Kukira Bunda Delia sangat menyayangiku, tapi nyatanya ada Safina yang posisinya jauh lebih tinggi dariku. Lihat, bahkan untuk cincin pertunangan saja beliau turun tangan. Sementara saat aku hendak bertunangan dengan Mas Azka dulu, beliau malah meminta kami berdua memilih sendiri cincin yang akan dipakai di malam acara pertunangan. Sekontras ini perbeda
***"Haf ...."Aku berjingkat kaget, "Y-- ya, Bu?""Melamun apa pagi-pagi begini, Nduk?" Ibu menyelidik. "Ibu dari tadi ngomong sendirian, kamu lagi mikir apa, Haf?"Aku meletakkan sisa roti di atas meja. Lidahku kelu, jantungku berdebar tidak biasa. Foto di akun sosial media Facebook milik Mas Azka barusan membuat nafasku terengah. Secepat itu mereka menikah?Apa Mas Azka tidak butuh waktu yang sedikit lebih lama untuk melupakan aku?Haruskah secepat itu?"Ada apa?" Ibu memegang jemariku lembut. "Bu ...." Aku menyodorkan ponsel ke arah Ibu. "Benarkah ini Mas Azka, Bu?"Ibu menatap layar ponselku cukup lama, kemudian mengusap pipiku yang tanpa sadar ternyata sudah basah. "Aku kira akan baik-baik saja setelah membatalkan rencana pernikahan bersama Mas Azka, apalagi ketika Ayah membawa kita pergi ke Jakarta, kukira hidupku akan berangsur membaik. Kukira bayang-bayang wajah Mas Azka perlahan bisa memudar dari ingatan. Tapi nyatanya tidak, Bu. Ini ... teramat sulit buatku."Aku menangi
***"Selamat pagi, Pak ....""Ya, selamat pagi. Ada apa, bukannya rapat masih dua jam lagi ya?" tanya Mas Biru pada perempuan cantik yang masih berdiri di ambang pintu. "Iya, Pak. Ini saya mau minta tanda tangan, ada beberapa berkas yang belum Pak Biru tanda tangani."Kulihat Mas Biru mengangguk sembari mempersilahkan perempuan berambut gelombang itu masuk ke dalam ruangannya. "I ... ni, siapa, Pak?"Aku dan Mas Biru menoleh bersamaan. "Maaf, saya tidak bermaksud ....""Staff baru," sela Mas Biru. "Nanti saya perkenalkan saat rapat dua jam lagi."Perempuan yang mengenakan rok pendek berwarna putih serta blazer berwarna pink itu mengangguk sembari menatap ke arahku. Entah mengapa, aku merasa tatapan matanya sangat tidak bersahabat. Ah, bukankah hal seperti ini memang seharusnya sudah aku antisipasi?"Teman dekat ya, Pak? Setahu saya belum ada yang lolos interview dari pihak HRD," celetuknya. "Masuk jalur orang dalam dong ya? Gak tanggung-tanggung lagi, langsung lewat CEO." Matanya me
***Di dalam lift, Mas Biru tidak berbicara sepatah katapun, bahkan kulihat pria yang memiliki rahang tegas itu sibuk dengan ponsel di tangannya. Aku mengusap-usap kepala yang masih menyisakan nyeri. Nina benar-benar ... astaghfirullah!Mataku kembali memanas ketika mengingat kejadian beberapa menit yang lalu di Kantin. Malu. Tapi mau bagaimana lagi, toh bukan aku yang mencari gara-gara.Andai aku punya nyali untuk mengeluarkan ponsel di dalam saku celana berbahan kain yang saat ia kukenakan, sudah pasti Ibulah orang pertama yang ingin aku hubungi. Aku ingin menangis dan menceritakan betapa bekerja di Perusahaan teramat menakutkan. "Sakit banget?"Aku berjingkat kaget ketika mendengar suara Mas Biru yang tiba-tiba. "Kamu memang terbiasa melamun ya, Haf?" Mas Biru bertanya sambil mengerutkan kening. "Setiap saya berbicara, kenapa selalu terkejut begitu sih?""Maaf, Pak," sahutku lirih. "Fokus, Hafsah! Jangan dibiasakan menimbun banyak pikiran karena urusan pribadi, sementara di Per
***"Terima kasih ya, Pak." Aku menyerahkan helm milik bapak ojol yang baru saja mengantarku pulang. "Sama-sama, Mbak."Beruntung jaman sudah canggih sehingga aku tidak kesulitan mencari ojek di dekat Kantor. Jika tidak, maka bisa kupastikan saat ini aku masih berdiri di pinggir jalan menunggu tukang ojek lewat. "Assalamualaikum ...."Kulihat Ayah duduk bersantai di teras sementara Ibu sedang menyiram tanaman di halaman. "Waalaikumsalam," jawab keduanya kompak. "Kok pakai ojek, Nduk?""Iya, Pak. Mas Biru ada urusan. Lagian gak enak kalau berangkat minta jemput, pulang minta antar, jadi mulai besok aku berangkat sendiri saja," jawabku jujur. "Jarak dari Kantor ke rumah juga tidak terlalu jauh," imbuhku.Ayah manggut-manggut mengerti, begitu pula dengan Ibu, mereka memang orang tua yang tidak pernah banyak berkomentar juga tidak terlalu dalam mencampuri keputusanku. "Duduk sini!" Tangan ayah menepuk kursi sebelahnya yang kosong. ."Kok disuruh duduk sih, Yah? Anaknya capek mau istir
***Aku memberanikan diri keluar dari dalam mobil. Dengan gerakan perlahan, aku sangat berharap Mas Biru atau kekasihnya tidak melihatku. Kepalaku menunduk. Rasanya tidak sanggup melihat dua manusia yang sedang dimabuk asmara bercumbu mesra di depan mata. Allahu ... Apa Mas Biru tidak takut ada yang melihat adegannya barusan selain aku? Secara ini adalah tempat parkir para staf. Bagaimana jika ada yang melihat? Atau ini bukan hal yang tabu bagi pasangan kekasih di Kota Metropolitan?"Hafsah!" Aku terperanjat. Langkah kakiku terhenti sementara untuk menoleh ke belakang aku tidak memiliki nyali. "Berangkat sama siapa kamu?" tanya Mas Biru setengah berteriak. "Bawa mobil, Pak," jawabku berusaha tenang. Terpaksa, aku berbalik karena tidak mau dianggap sebagai staf yang kurang ajar. Cantik.Kekasih Mas Biru sangat cantik. Lihatlah, sekarang perempuan yang memakai dress berwarna merah dengan panjang selutut itu sibuk mengusap bibirnya. Astaghfirullah, bisa-bisanya aku memperhatikan sed
ENDING***"Itu bukannya mantan pacar kamu, Sayang?"Hafsah mengikuti arah telunjuk Biru. Benar saja, di meja makan yang terletak di sudut, Azka duduk berhadapan dengan Safina. "Iya. Lagi kencan kali, Mas, sama seperti kita," sahut Hafsah tak acuh."Mau gabung?" tawar Biru dan dibalas gelengan kepala oleh Hafsah. "Tidak perlu memaksakan diri, Mas Biru.""Ya gapapa, Sayang, kita harus menjalin hubungan yang baik dengan mantan. Yuk!"Biru menggandeng tangan Hafsah dan berjalan mendekati meja yang hanya diisi oleh Azka dan Safina. "Hai ...."Azka dan Safina cukup terkejut melihat Hafsah datang bersama seorang lelaki. "Mbak Hafsah," ucap Safina sumringah. "Kapan datang ke Surabaya, kok gak kabar-kabar sih?"Respon Safina yang welcome membuat rasa takut yang sempat Hafsah rasakan memudar perlahan."Tadi niatnya gak mau ganggu acara kencan kamu sama Mas Azka, eh Mas Biru malah ngajakin gabung," ujar Hafsah jujur. "Eh, btw ini Mas Biru. Suamiku."Safina dan Azka saling pandang, "Kok Mbak
***Dua bulan berlalu setelah pesta pernikahan yang digelar secara mewah, hari ini Biru dan Hafsah sedang menikmati liburan di Kota Surabaya. Bukan luar negeri yang Hafsah mau, melainkan kota dimana banyak tercipta kenangan indah bersama Ranti dan kedua orang tuanya. Sengaja Biru menyetir mobil sendiri karena tidak mau liburannya yang ditunggu sejak dua bulan yang lalu diganggu oleh orang lain. Perjalanan yang melelahkan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan keduanya tidak henti-hentinya melempar candaan. Hafsah membuka snack yang ada di kursi belakang. Sambil terus bercerita tentang masa kecilnya, sesekali tangan Hafsah menyuapi Biru dengan makanan ringan yang ada di tangan. "Mau cari makan dulu gak, Sayang?" Biru bertanya tanpa menoleh. "Nanti sampai hotel biar bisa langsung tidur. Capek sekali, Yang," keluh Biru. "Boleh," jawab Hafsah antusias. "Ini bentar lagi juga nyampe Hotel, Mas. Cari makan yang dekat-dekat sini saja ya."Biru mengangguk patuh. Matanya menatap satu pe
***"Jadi dia berhasil menggoda kamu, Mas?"Nisya berada jajaran para staf yang hendak memberi selamat. Di belakangnya, Anina justru tersenyum sinis seraya menatap Hafsah yang hari ini terlihat sangat menawan. Gaunnya mewah, perhiasan yang ia kenakan pun tidak berlebihan namun memberi kesan mahal. "Kamu keluar sendiri, atau aku meminta security menyeret tubuhmu keluar dari gedung ini?"Nisya tertawa sumbang. Di atas pelaminan, beberapa staf berdiri agak jauh sementara tepat di depan Biru dan Hafsah, Nisya bersungut-sungut marah karena tidak terima dengan pernikahan diantara keduanya. "Kamu bilang sulit mencari penggantiku, Mas," tutur Nisya sembari tersenyum sinis. "Tapi ternyata tidak lama setelah kamu memutuskan hubungan kita, pernikahan ini malah digelar."Rahang Biru mengeras. "Aku tidak akan melepaskan kamu jika acara pernikahan ini sampai ricuh, Nisya!"Nisya bertepuk tangan, "Wow. Secinta itukah kamu pada wanita ini? Apa yang sudah dia berikan sebelum kalian menikah? Keperawa
***"Apa?" tanya Biru tanpa berniat menjauhkan bibirnya dari bibir Hafsah. "Mas, ih!" Hafsah mendorong tubuh Biru dengan kesal. "Aku mau mandi, gerah!""Sayang!" Panggil Biru membuat langkah kaki Hafsah terhenti. "Apa?" tanya Hafsah ketus. "Bareng," ucap Biru merengek manja. Hafsah mencebik sebelum akhirnya berlari memasuki kamar mandi sampai-sampai lupa membawa baju ganti. Biru yang menyadari itu seketika tersenyum licik. Bisa dipastikan setelah ini Hafsah keluar hanya mengenakan bathrobe dan membayangkan hal itu saja sudah membuat kepalanya pusing. "Mas!" teriak Hafsah dari dalam kamar mandi. Biru berdiri di depan pintu, kemudian menyahut, "Kenapa, Sayang?""Mas, aku lupa bawa baju ganti ....""Aku tidur dulu ya, lelah sekali," sela Biru berdusta. "Ah, begitu ya. Ya sudah, nanti aku ambil sendiri, Mas tidur saja yang lelap."Biru tidak menjawab, pria itu justru menyandarkan tubuhnya di atas ranjang sambil memeriksa laporan kerja dari laptop yang sengaja ia bawa. Pintu kamar m
***Biru menuntun bahu Hafsah dan membawanya lebih dekat pada gundukan tanah yang masih basah. "Hapus air matamu jika tidak ingin Bunda sedih di dalam sana, Haf."Wajah Biru menegang, namun ketika Hafsah menggamit jemarinya, CEO muda itu perlahan menghela napas panjang. "Dia Mas Azka, Mas," ucap Hafsah memperkenalkan. Biru hanya mengangguk seraya tersenyum, kemudian kembali menuntun Hafsah mendekati makam yang baru saja memiliki penghuni itu. Para pelayat beberapa di antaranya memilih pulang setelah jenazah Ranti dikebumikan, namun beberapa yang lain masih berada di sana, sedikit banyak membantu merapikan makam yang baru saja ditabur bunga beraroma wangi. "Aku pamit ya, Haf. Semoga Bunda khusnul khatimah.""Aamiin, terima kasih banyak, Mas," sahut Azka. Azka mengangguk ragu, kemudian berkata, "Mari, Mas!"Biru tidak menjawab namun kepalanya mengangguk di depan Azka. "Semoga semua amal ibadah Bunda diterima Allah," ucap Hafsah nyaris tidak bersuara. "Doakan yang baik-baik untuk a
***"Bunda ...." Hafsah berteriak histeris sementara Biru segera menekan tombol yang ada di samping ranjang Ranti. "Bangun, Bun!" Hafsah mengguncang tubuh Ranti berharap wanita yang sudah ia anggap sebagai Ibu kedua itu mau membuka mata. "Tidak, Bun. Ini gak lucu!" teriak Hafsah. Biru menarik tubuh Hafsah dan memberi kesempatan para tenaga medis untuk memeriksa keadaan wanita paruh baya di atas ranjang itu. "Buka mata Bunda. Bunda berjanji mau lihat aku menikah dengan Pak Biru. Bangun, Bunda Ranti. Bangun!" Hafsah berteriak tanpa perduli apakah akan ada yang terganggu dengan suaranya. "Haf, tenang ....""Tidak, Mas. Bunda udah gak napas, aku tidak merasakan hangat napasnya. Bunda ... Bunda bohong padaku! Bunda pembohong!" Suara Hafsah terdengar pilu. "Bunda masih hidup kan, Sus? Aku yang bodoh ini pasti salah mengira ....""Innalilahi wa inna ilaihi raji'un ...."Dua orang suster mengucap kalimat istirja membuat dunia Hafsah yang baru saja berwarna kembali kelabu. Tidak lama, seora
***pov RantiHatiku terenyuh melihat Hafsah datang bersama calon suaminya. Ya, meskipun Hafsah belum mengatakan tentang lamaran yang dia terima, tapi aku yakin Hafsah sudah memantapkan diri untuk memulai kehidupan yang baru dengan pria bernama Biru itu. Aku lega, setidaknya setelah luka yang aku tanam di hatinya, gadis cantik itu pada akhirnya bisa bangkit lagi. Tidak mudah memang melupakan Azka, pesona anak dan Bapak itu memang teramat kuat, bahkan sampai detik ini Hafsah tidak tau jika nama Mas Haikal masih menjadi penghuni di hatiku. Bohong jika aku tidak bahagia dengan kehadiran Hafsah. Gadis cantik yang dulu sering tidur dalam pangkuanku itu ternyata masih menghormati aku sebagai Ibu asuhnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika aku adalah dalang dari pisahnya dia dengan kedua orang tuanya. Aku bersyukur karena Hafsah tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku bahagia. Terharu dengan ketulusan Hafsah padaku.Tolong tunggu sebentar, Bah, aku sudah berjanji akan menemaninya sampai ia m
***Dokter memeriksa keadaan Ranti yang sudah mulai membaik. Tidak ada penyakit serius, hanya saja wanita yang hidup sebatang kara itu diharuskan istirahat total karena tubuhnya yang kehilangan banyak cairan. "Setelah infusnya habis, pasien sudah boleh pulang.""Terima kasih, Dokter."Hafsah menghela napas lega, setidaknya Ranti tidak harus menginap lebih lama di Rumah Sakit. Dokter yang baru saja memeriksa Ranti keluar dari ruangan. Biru meminta ruangan VIP untuk Bunda dari calon istrinya. Hanya sehari semalam, namun Hafsah tahu seberapa besar tarif biaya di Rumah Sakit Unair. Cukup mahal memang. Ranti mengusap pipi Hafsah seperti seorang Ibu yang sudah lama tidak bertemu dengan putrinya. Kini Ranti mengerti bagaimana perasaan Bu Rania ketika Hafsah ia culik, dulu. Tidak salah jika banyak orang mengatakan jika Bu Rania hampir gila, karena sehancur itu memang kehilangan orang yang dicintai. "Dia siapa?" tanya Ranti sambil menunjuk Biru yang masih terlelap di atas sofa. "Mas Biru,
***Biru segera berlari karena teriakan Hafsah dari dalam makam. Bukan hanya itu, pengemudi yang semula dijanjikan akan dibayar sesuai kemauannya pun ikut turun dan melihat seorang wanita paruh baya tergeletak di atas tanah."Mas, Bunda ...." Hafsah menangis histeris. Wajah Ranti sangat pucat, tubuhnya yang semula mengeluarkan keringat dingin kini berubah panas. Dia demam. "Biar aku gendong, tolong buka pintu mobilnya," pintu Biru yang dibalas anggukan kepala oleh Hafsah. Belum sempat Hafsah berlari, pengemudi Gr*b lebih dulu melaksanakan perintah Biru untuk membuka pintu mobil dan bersiap duduk di belakang kemudi. Biru setengah berlari sembari membopong tubuh Ranti yang tidak terasa berat sama sekali. Ranti kehilangan banyak berat badannya, apalagi sejak Hafsah memutuskan pindah ke Jakarta, tubuhnya kian mengurus. Hafsah menangis, namun kali ini tidak bersuara, dia khawatir semakin membuat Biru panik apalagi ketika melihat prianya itu sedikit ngos-ngosan untuk menuju mobil yang te