***"Tapi aku mencintai Safina, Bu."Delia melengos. Wanita yang mengenakan gamis berwarna kunyit itu kecewa dengan keputusan Azka yang semakin ambigu. "Ternyata sikap tegas Ayah tidak menurun padamu, Azka."Azka menunduk dalam ketika mendengar nada bicara Delia yang ketus. "Ketika kamu memutuskan untuk menikahi Hafsah, maka lupakan Safina," ucap Delia lagi. "Tapi jika hatimu lebih condong pada Safina, batalkan rencana pernikahanmu secepatnya. Jangan menyakiti Hafsah lebih dalam lagi!""Ngomong-ngomong, seperti apa ciri-ciri Bunda Ranti, Az?" cecar Delia.Azka menatap wajah Ibunya lamat-lamat, "Cantik. Tinggi, kulitnya putih. Tapi, Bu ... aku merasa seperti Bunda Ranti terlalu mendominasi. Bahkan beliau tidak perduli dengan apa yang Bu Rania ucapkan. Dan anehnya, Hafsah terlihat sangat menghormati Bunda Ranti daripada Ibunya sendiri. Apa hal seperti itu wajar, Bu?"Keringat Delia mulai bercucuran. Sejak Azka mengatakan Bundanya Hafsah adalah wanita yang cantik, tinggi dan putih, pik
***Aku merasakan kedua kelopak mata memanas. Melihat Bunda Ranti yang merengek agar aku menghancurkan hidup Mas Azka tetiba membuat dadaku terasa sesak. Aku baru menyadari betapa mengerikannya Bunda Ranti. Lalu, apa benar yang Ibu katakan kalau dulu beliau mencariku?Itu artinya Bunda Ranti berbohong?Setega itukah Bunda padaku?"Bun, aku menyadari satu hal ...."Bunda mengusap air matanya dan menatapku lekat, "Apa itu, Sayang?""Sepertinya janji yang tadi aku katakan tidak bisa aku tepati," ucapku takut. "Aku mencintai Mas Azka, Bunda."Kedua tangan Bunda yang semula memegang bahuku kini merosot. Matanya yang sendu seperti tengah memohon kini mendelik lebar seakan-akan ucapanku barusan adalah kabar yang paling mengejutkan baginya. Aku salah. Ya, aku akui itu.Aku menjanjikan sesuatu yang aku sendiri bahkan tidak tau duduk permasalahan antara Bunda dan kedua orang tua Mas Azka.Bunda hanya meminta agar aku menuruti inginnya. Bunda berharap agar aku membalaskan dendamnya melalui Mas
***"Bun, jangan berbicara seperti itu," ucapku sedih. "Bagiku Bunda adalah Ibuku, sama seperti Ibu Rania."Bunda Ranti menggeleng. Perlahan, beliau melepas pelukan dan membingkai kedua pipiku menggunakan tangannya yang lembut. "Bunda sadar diri, Haf. Bunda hanyalah wanita asing yang tanpa sengaja diberi ijin Allah untuk merawat kamu. Bunda bukan siapa-siapa ....""Bun, cukup!" Aku menyela ucapan Bunda sambil terisak. "Bunda sangat berjasa di hidupku. Jangan seperti ini, Bun, aku tidak suka.""Suka atau tidak, Bunda memang hanya orang asing bagimu, Nak. Wajar saja kamu menolak membantu Bunda, ya ... kamu memang punya hak untuk tidak ikut campur pada luka yang Bunda terima. Tidak apa-apa, Bunda minta maaf ....""Bun ....""Kamu harus bahagia, Hafsah. Tapi satu hal yang harus kamu ingat ... mereka tidak sebaik yang kamu kira. Mereka adalah orang-orang licik. Bunda tidak yakin kamu akan bahagia, Nak."Keningku mengkerut. "Sejahat apa mereka, Bun?""Bunda sudah katakan kalau Abah dan Umi
***pov SafinaMas Azka berulang kali mengirim pesan, namun aku berusaha abai karena tidak mau dianggap sebagai perempuan perebut lelaki orang. Sekalipun belum menikah, namun Mbak Hafsah adalah orang pertama yang ada di hati Mas Azka. Jika dibandingkan dengan aku, apalah aku ini ... hanya teman masa kecil yang tidak tau diri. Sudah dianggap sebagai adik sendiri malah berani-beraninya menaruh hati. "Kamu yakin, Sayang?"Bunda menatapku dengan mata berkaca-kaca. Perlahan aku mengangguk membuat satu per satu cairan bening di kelopak mata Bunda luruh membasahi pipinya yang kemerah-merahan."Jika perasaan Mas Azka memang benar adanya, bukankah aku akan menjadi perempuan yang paling kejam, Bun?"Bunda menggeleng. Namun bulir bening semakin deras menghujani wajahnya yang ayu. "Fin, kenapa kamu harus membuat semuanya menjadi rumit, Nak? Azka membatalkan rencana pernikahannya bukan karena kamu, tapi karena dia menyadari perasaannya yang sesungguhnya kepadamu, Nduk," ucap Bunda serak. "Sekali
***"Ibu kenal Bunda Ranti?" Azka bertanya seraya mengerutkan kening. "Beliau yang aku ceritakan tadi sore, Bu. Jadi benar kalau Bunda Ranti adalah orang yang sudah mencelakai Ibu di masa lalu?"Hafsah menunduk dalam. "Benarkah yang Mas Azka katakan, Bun?"Ranti menggeleng samar. Tas berisi pakaian ia genggam semakin erat sementara satu tangan yang lain mencengkeram handel pintu dapur. "Bunda berbohong padaku?" Hafsah menitikkan air mata. "Bunda bilang Om Haikal dan Bunda Delia adalah dalang di balik kematian Umi dan Abah. Tapi kenapa Mas Azka mengatakan hal lain, Bun?"Ranti menggigit bibir bawahnya gusar. Niat hati ingin menyembunyikan jati diri sampai Hafsah dan Azka menikah, namun apalah daya, Tuhan lagi-lagi berpihak pada Haikal dan Delia. Rencana yang sudah ia susun sejak berpuluh-puluh tahun lamanya ternyata dihancurkan oleh Hafsah, wayangnya sendiri. "Percuma Bunda membela diri, kamu pasti menolak mempercayai semua ucapan Bunda." Suara Ranti bergetar. Tangannya mengepal erat
***POV Hafsah"Berikan ini untuk Safina, Mas." Aku mengembalikan cincin yang semula melingkar di jari manis. Cincin solitaire bermata putih yang menjadi pilihan Mas Azka untuk mengikatku kala itu. "Aku tahu kamu mencintainya."Kuraih jemarinya yang kokoh. Pria di depanku itu gemetar saat kuselipkan cincin pilihannya dalam genggaman. Sekalipun aku tahu di hatinya hanya ada Safina, namun malam ini aku melihat air matanya menggenang ketika aku mencoba ikhlas melepasnya. Setelah mati-matian aku mempertahankan putra Bunda Delia, kini dengan kesadaran penuh aku melepasnya. Untuk apa menikah jika salah satu dari kita menyimpan nama orang lain di hatinya?"Ah, tidak ... harusnya Safina bisa mendapatkan cincin yang lebih indah dari ini," ucapku parau. Ingin sekali menangis agar sesak di dalam dada sedikit mengurai, tapi tidak ... aku tidak mau melepas Mas Azka dengan air mata.Bukankah titik tertinggi mencintai adalah merelakan dia yang kita cintai bahagia bersama pilihan hatinya?"Maaf kare
***"Aku memang bodoh, Bu."Ibu menggeleng sementara tangannya yang lembut mengusap pipiku secara perlahan. Wanita paruh baya berwajah teduh itu berulang kali mencoba tersenyum. Aku tau, sebab bibirnya membentuk garis tipis namun kentara menahan getar. "Harusnya aku merasa janggal saat Bunda Ranti tiba-tiba bilang akan membawaku pulang. Dulu, Bunda mengatakan betapa sulit mencari keberadaan Ayah dan Ibu, namun saat aku remaja, kenapa tiba-tiba semudah itu Bunda menemukan kalian? Harusnya aku curiga kan, Bu? Harusnya aku tidak begitu saja percaya pada apa yang Bunda katakan." Aku terisak lagi. Rasanya malam ini aku ingin membuang semua perasaan sedih sehingga esok hanya bahagia yang kudapati. "Aku terlalu senang karena pada akhirnya kita akan bertemu setelah berpuluh-puluh tahun terpisah. Namun perasaan itu hanya sebentar kurasakan sebab otakku sudah dicekoki banyak sekali kebencian pada Ayah dan Ibu, sehingga saat aku terharu pada pertemuan kita, saat itu pula aku merasa terluka. Bun
***Empat hari berlalu, namun pesan yang kukirim pada Safina belum lah mendapat balasan. Apakah wanita pujaan hati Mas Azka itu mengganti nomornya dengan yang baru?"Nduk, barang-barang kamu sudah dikemas semua?"Aku terperanjat mendengar pertanyaan Ibu. "A-- ah, iya, Bu. Sudah, ini memang sengaja aku tinggal, baju-baju tidak terpakai, untuk apa dibawa, ya kan?"Ibu mengangguk sambil memasuki kamar yang beberapa perabotannya sudah diangkut ke Jakarta. Menyisakan ranjang dan satu lemari yang berisi baju bekas yang sudah tidak muat di badan. "Tidak ada yang tertinggal kan?"Aku menggeleng, "Sepertinya tidak," jawabku seraya menyapu semua sudut kamar. "Hatimu berat meninggalkan Surabaya, Haf?"Pertanyaan Ibu kali ini membuatku terpaku. "Entahlah, Bu," jawabku asal. Kurasakan bibirku bergetar, bahkan untuk mengukir senyum pun rasanya teramat sulit. Aku ingin Ibu melihatku baik-baik saja, tapi ternyata itu tidaklah mudah. Bayangan wajah Mas Azka masih mengikuti kemana pun aku pergi. "Ak