Share

Juragan Hamid

Author: Atiexbhawell
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Di depan pintu sudah berdiri Juragan Hamid bersama ketiga preman yang tadi datang. Juragan yang usianya lebih tua dari ayahnya itu menatap ke arah Naima dengan tatapan nyalang.

Bela beringsut mundur, menyembunyikan diri di belakang tubuh kakaknya.

"Mau apa Anda datang, Juragan? Bukankah semua hutang kami sudah kubayar lunas? Atau, anak buah Anda mengadu yang tidak-tidak?" todong Naima berusaha menguasai dirinya.

Meski ada rasa takut, tapi Naima tak akan gentar menghadapi pria tua itu. Bukan kepada pria tua itu Naima ciut nyali, tetapi kepada anak buahnya yang bertubuh kekar. Karena bagaimana pun dia hanya seorang perempuan bertubuh kecil, yang tentu tenaganya tak sebanding dengan para pria itu. Dengan satu pria saja sudah pasti dia kalah telak, sedangkan yang dia hadapi 3 pria berbadan sangar.

Juragan tua itu terkekeh pelan, perlahan melangkahkan kaki pincangnya ke dalam rumah kecil Naima. Naima dan juga Bela mundur setiap Juragan itu maju.

"Kau sungguh berani, Cantik!" kekeh pria tua itu lagi yang terdengar menjijikkan di telinga Naima.

"Kenapa harus takut, Juragan?" tantang Naima membuat senyum di wajah pria tua itu menghilang begitu saja berganti dengan tatapan marah.

"Saya berhutang 8 juta rupiah, dalam satu tahun sudah menjadi 80 juta rupiah. Padahal dalam satu tahun itu saya ada bayar 3x dengan nominal 1,5 juta setiap kali bayar. Saya rasa, jika bukan hutang, saya taruh uang saya 10 juta di Anda dalam 1 tahun saya sudah bisa beli mobil baru, bukan?" ledek Naima disertai kekehan yang terasa sebagai hinaan di telinga Juragan Hamid.

Naima geleng-geleng kepala, menatap pria tua yang berdiri kurang dari 2 meter di hadapannya itu dengan tatapan jijik.

"Baru beberapa menit yang lalu anak buah Anda datang menagih, dan ya, sudah kubayar lunas semua hutang saya berikut lebihannya. Anggap saja sedekah saya, kalau-kalau dalam waktu dekat Anda dipanggil oleh yang maha kuasa." ujar Naima semakin berani.

Wajah pria tua itu merah padam, dia mengeratkan pegangannya pada tongkat kayu yang selalu dia bawa, sebagai penopang jalannya. Nafasnya memburu, tatapannya nyalang ke arah Naima seolah hendak menerkamnya hidup-hidup.

"Kvr4ng 4j4r!" hardiknya tak terima.

"Atau sedekahnya masih kurang, Juragan? 20 juta loh itu!" tantang Naima yang juga sudah diliputi amarah yang sama.

100 juta dia relakan begitu saja hanya untuk membayar hutang fiktif yang selama ini mencekik lehernya. Gara-gara hutang itulah dia harus menjual harga dirinya dan kehilangan kesuciannya.

"Sombong sekali mulutmu, J4l4ng! Kau lupa, akulah orang yang sudah menolongmu!"

Naima seketika tertawa mendengar ucapan pria tua itu.

"Menolong? Ya ... Anda memang menolong saya, Juragan! Menolong saya untuk m4ti perlahan di tangan Anda!" geram Naima menatap tajam pria tua itu.

Melihat kemarahan Naima, pria tua itu terkekeh pelan, "kalau saja kau mau menuruti permintaanku, kau justru akan hidup enak, J4l4ng,"

"Permintaan Anda yang mana, Juragan? Permintaan Anda untuk saya merelakan tubuh saya untuk Anda itukah?" kekehan Naima kembali mengusik kemarahan Juragan Hamid.

"Kurasa, untuk bernafas dengan baik saja Anda kesulitan, Juragan! Bagaimana mau mengimbangi pernainan saya di r4nj4ng!" ledek Naima dengan mata memerah. Meski bibirnya tersenyum tetapi jelas terlihat kemarahan itu dari matanya.

Plak!

Seketika tanparan keras mendarat di pipi kirinya, membuat Bela memekik ketakutan.

"Banyak b4c0t kau J4l4ng! Kau pikir kau siapa, hah?! Kau mau lihat betapa perk4s4nya pria tua ini, hah?" tantang Juragan Hamid dengan tatapan mengejek. Lalu mengisyratkan dengan tangan agar para anak buahnya mendekat.

"Bawa J4l4ng itu! Dia mau merasakan keganasan seorang Juragan Hamid di atas r4nj4ng!" tawa pria tua itu meledak membuat seluruh tubuh Naima merinding.

Dengan cekatan dua pria itu meneyeret Naima untuk dibawa keluar dari rumahnya.

Naima memberontak, berusaha melawan. Akan tetapi kalah telak karena tubuhnya yang terlampau kecil dibandingkan dengan dua preman yang memegangi lengannya.

Bela menjerit ketakutan, ayahnya yang sejak tadi mendengarkan di kamar keluar meski masih dalam keadaan sakit. Dia berusaha menolong Naima, akan tetapi satu kali tendangan dari anak buah Juragan Hamid yang lain sudah membuatnya tersungkur tak berdaya di depan pintu.

"Lepaskan, B4ngs4t!" jerit Naima ketika tubuh kecilnya dengan mudah diseret paksa.

Kegaduhan tak terelakkan lagi di komplek tempat tinggal Naima, ada yang iba tetapi juga tak bisa melakukan apapun untuk menolong gadis malang itu. Karena para warga sudah tahu bagaimana dan seperti apa Juragan Hamid.

Sebagian besar dari mereka pun pernah merasakan ada di posisi keluarga Naima, yang diperlakukan demikian dan tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan.

Jeritan Bela dan ayahnya seolah alunan lagu yang indah di telinga Juragan Hamid. Apalagi umpatan dan jeritan Naima yang begitu indah di telinganya.

Jarak rumah Naima dengan jalan besar cukup jauh, sehingga sepanjang melewati rumah-rumah warga Naima menjadi tontonan. Sayangnya, mereka hanya menonton saja, tak bisa berbuat apapun untuk menolongnya.

Belum sampai di jalan besar di mana mobil Juragan Hamid terparkir, mereka berpapasan dengan dua orang laki-laki yang menghadang mereka. Dapat dipastikan dua orang laki-laki itu bukan berasal dari daerah mereka karena berani sekali menghadang Juragan Hamid yang akan membawa mangsa buruannya.

"Pria tua yang hanya berani menindas rakyat tak berdaya, apakah masih bisa disebut manusia?" ucap salah satu dari dua pria yang berbadan tak kalah sangar dari preman anak buah Juragan Hamid itu dengan sarkas.

"B3r3ngs3k! Siapa kalian?" bentak Juragan Hamid dengan nafas terengah.

"Kedua pria di hadapan Juragan Hamid itu saling tatap dengan senyum mengejek membuat Juragan Hamid dan anak buahnya meradang. Detik berikutnya, baku hantam tak terelakkan lagi, antara dua anak buah Juragan Hamid dengan dua orang asing yang menghadang mereka.

Related chapters

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Pertolongan

    Baku hantam antara dua preman anak buah Juragan Hamid dengan dua orang yang tak mereka kenali sontak membuat kehebohan di sepanjang jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua itu. Juragan Hamid hanya bisa menonton saja dari jarak yang menurutnya aman. Sementara Naima masih dipegangi oleh salah satu preman anak buah Juragan Hamid. Juragan Hamid memgeram kesal saat dua anak buahnya terlempar cukup jauh oleh tendangan orang asing itu, akan tetapi dia pun tak dapat berbuat banyak. Ia semakin geram saat salah satu anak buahnya menjerit karena tangannya dibuat patah oleh lelaki muda itu. Anak buah Juragan Hamid mundur dan mengaku kalah telak. Wajah, tangan bahkan badan kekar mereka telah babak belur dengan darah mengalir dari hidung, bibir dan kening yang dibenturkan ke dinding oleh dua orang asing itu. Bagaimana, Pak Tua? Masih mau maju atau mundur saja?" tantang salah satu pemuda itu dengan tatapan meremehkan. Juragan Hamid ciut nyali, jika kedua anak buahnya yang bertubuh san

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   tak biasa

    Di tempat lain, Dewa yang baru saja kembali dari meninjau lokasi proyek bersama Vero dan Julian mendapat kabar bahwa sang ibu tengah sakit dan mengharuskan dia pulang ke Jakarta secepatnya.Dia menjatuhkan diri di sofa sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. "Bro," tegur Vero yang melihat Dewa hanya termenung sejak beberapa menit yang lalu."Hem," Dewa hanya bergumam sebagai jawaban."Kusut amat tu muka, kenapa?" tanyanya lalu ikut manjatuhkan diri di sebelah Dewa."Nyokap sakit," sahut Dewa singkat."Yaudah, baliklah! Toh, kerjaan di sini udah kelar juga 'kan?" tanggap Vero santai.Helaan nafas besar keluar dari mulut Dewa, dia bukan tak khawatir ibunya sakit, tetapi dia malas saja bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya itu. Sudah beberapa bulan ini Dewa selalu menghindari ibunya."Gue males, pasti sakitnya ini cuma akal-akalan Mami aja," celetuk Dewa membuat Vero mendelik."Durhaka, Lu! Inget, dia nyokap Lu, yang udah banyak berkorban buat Lu!" tegur Vero mendorong

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Di rumah sakit

    Sampai di rumah sakit besar di kota, Naima segera membawa ayahnya menuju ke ruang IGD karena memang kondisinya sangat lemah. Setelah melalui pemeriksaan tahap awal, ayah Naima tetap harus dirawat karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk rawat jalan.Naima menyetujuinya dan segera mengurus administrasi yang dibutuhkan. Athar dan Altav sudah pergi sejak ayah Naima masuk ke ruang IGD karena Naima menolak kedua pemuda itu untuk membantunya lebih banyak lagi."Saya sungkan," Begitu jawab Naima saat Athar menawarkan bantuannya lagi, kedua pemuda itu tak berani memaksa lalu mereka pergi setelah memastikan ayah Naima sudah mendapat perawatan."Sudah, Kak?" tanya Bela saat melihat Naima kembali ke depan ruang IGD. Naima hanya mengangguk sebagai jawaban lalu ikut duduk di sebelah adiknya itu.Tak lama, ayah Naima dipindahkan ke ruang perawatan. Naima sengaja memilih kelas 1 agar mereka lebih leluasa menjaga ayahnya karena di kelas itu satu ruangan berisi 2 pasien saja dengan ruangan yan

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Perpisahan

    Di sinilah Naima, bangku taman yang tak jauh dari kamar rawat ayahnya. Setelah melihat ayahnya sebentar, dia kembali keluar untuk berbicara dengan orang yang bertubrukan dengannya tadi."Kenapa menghindar terus?" tanya lelaki itu menatap Naima yang menunduk."Maaf," lirihnya tanpa berani mengangkat wajahnya.Terdengar helaan nafas dari mulut lelaki itu, membuat Naima mengangkat wajahnya."Bang Rama ngapain di sini?" tanya Naima pada akhirnya."Jenguk teman," sahut lelaki itu pelan."Nai, kenapa menghindar terus dari Abang? Abang ada bikin salah?" ulang Rama menatap Naima sendu.Naima kembali menunduk, ada rasa bersalah yang besar dalam hatinya terlebih sejak dia memutuskan menerima tawaran Tari untuk ....Rama lelaki baik yang sudah dekat dengannya beberapa bulan terakhir. Rama menyatakan perasaannya pada Naima sejak 2 bulan lalu, tetapi tidak ada jawaban apapun sampai hari ini meskipun keduanya kerap kali jalan bersama."Kalau Abang salah, tolong bilang," cecar Rama dengan suara lemb

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Pulang

    Pagi ini dengan amat sangat terpaksa Dewa kembali ke Jakarta karena desakan dari pamannya setelah beberapa kali menghindari telepon maminya."Setelah pekerjaan di sini selesai, segera pulang ke Jakarta, Vero!" ultimatum Dewa saat kakinya sudah menginjak lantai bandara."Siap, Bos! Kami akan segera pulang ke Jakarta dengan hasil pekerjaan yang memuaskan!" sahut Vero hormat karena memang Dewa adalah atasannya selain dari teman baiknya sejak bangku sekolah menengah pertama."Julian, kamu bertugas mengawasi dia, jangan sampai terlalu nyaman di sini!" titah Dewa kepada asisten pribadinya dengan menunjuk Vero yang malah terbahak dengan ultimatim Dewa tersebut.Julian hanya mengangguk patuh setelah meletakkan koper milik Dewa di sebelah tubuhnya.Setelah memberi wejangan, Dewa segera menarik koper untuk melakukan chek-in. Setelahnya, ia membawa langkah menuju ruang tunggu keberangkatan.Saat tengah membaca bording pass miliknya, sekilas dia seperti melihat seseorang yang dia tahu. Dia menaja

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Pemilik rumah?

    Setelah mengudara selama 4 jam lebih, akhirnya Naima, ayah serta adiknya kembali dapat menghirup udara kota kelahirannya. Namun perjalanan mereka belum usai untuk bisa sampai ke rumah yang sudah mereka tinggalkan selama hampir 3 tahun ini.Naima segera memesan grab sebelum benar-benar keluar dari area bandara untuk mempermudah perjalanan mereka pulang ke rumah."Budhemu pasti kaget kita pulang tidak bilang-bilang, Nduk," ujar ayah Naima saat mobil yang mereka tumpangi sudah keluar area bandara."Apa kita kasih tahu dulu, Pak?" tanya Naima."Tidak usah, selama ini mereka juga tidak menanyakan kabar kita 'kan?" sahut Hadi tidak menoleh ke belakang karena dia duduk di samping pak supir."Iya, sih, mereka juga tidak pernah mengirim uang hasil ladang sama kebun teh lagi, Pak," beber Naima."Yasudah tidak papa, mungkin ladang kita tidak ditanami apa-apa, jadi tidak menghasilkan," putus Hadi tetap berpikir positif."Kak, Mbak Rita bikin sw baru beli mobil baru," bisik Bela sambil memperlihat

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Perdebatan

    "Kamu harus mau menikah, Dewa! Mami tidak mau tahu, pokoknya tahun ini kamu harus menikah!" Dewa memijit pelipisnya yang terasa berdenyut sakit. Semakin sakit lagi saat mendengar paksaan dari ibunya yang terbaring lemah di bed rumah sakit ternama. "Sebenarnya Mami tuh sakit apa, sih?" tanya Dewa geram dengan ocehan sang bunda sejak beberapa menit setelah Dewa sampai di ruang rawatnya. "Mami sakit gara-gara mikirin kamu, Dewa! Kamu anak Mami satu-satunya, tapi sampai umur setua ini belum mau menikah. Kamu ini normal apa enggak sih, Dewa?" balas maminya tak mau kalah. "Dewa baru 30 tahun, Mam! Masih muda, masih pengen bebas ngapain aja!" seru Dewa tak terima dikatakan tua oleh ibunya. "Mau sampai kapan, Dewa? Mau tunggu Mami mati dulu baru kamu mau menikah?" Sergah maminya dengan tatapan tajam. "Mam, kenapa sih yang dibahas ini terus? Dewa bosan, Mam," bantah Dewa kesal. "Bulan depan kamu harus menikah sama Yasmin!" putus Bu Erika membuat Dewa melotot tak percaya. "Mam--

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Tega

    "Jadi apa maksunya, Budhe?" cecar Naima menatap tajam ke arah kakak dari ayahnya yang menunduk tepat di depannya.Setelah sedikit berdebat dengan orang yang katanya pemilik rumah baru Naima itu, mereka memutuskan mendatangi rumah Rumi untuk mencari kebenaran."Yu Rum tahu 'kan rumah itu milik Naima dari ibunya, kenapa kalian lancang sekali menjual rumah itu?" sambung Hadi juga turut merasa kesal.Bagaimana tidak kesal, sejak dulu kakaknya itu selalu berbuat semaunya sendiri. Harta warisan dari orang tua mereka sudah dibagi rata, tetapi bagi wanita yang berusia 3 tahun lebih tua dari Hadi itu selalu merasa kurang.Namun yang lebih membuat Hadi marah adalah rumah yang mereka tempati sejatinya adalah rumah mendiang Ratna, istrinya. Tidak ada andil apapun Hadi di sana, sebab sebelum menikah Ratna sudah lebih dulu dibuatkan rumah itu oleh orang tuanya."Selama ini Nai percaya sama Budhe karena Nai tidak memiliki keluarga lain yang bisa Nai percaya. Nai setuju untuk menitipkan sertifikat be

Latest chapter

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Rencana melapor

    "Nai, kamu ndak kerja?" tanya Sri yang melihat Naima masuk membawakan sarapan untuknya."Nai berhenti kerja, Bulik, mau fokus sama Bapak dulu." jawabnya lalu ikut duduk di samping Sri.Sri menatap keponakannya itu dengan tatapan bersalah. Dia tahu kalau Hadi dirawat di sana juga karena tadi Naima sudah mengiriminya pesan, jadilah dia tak terkejut saat tiba-tiba Naima ada di sana."Maafin Bulik, ya, Nduk, kami ndak bisa bantu apa-apa," ucap Sri penuh sesal."Bulik sudah sangat banyak membantu kami. Justru kami yang minta maaf karena sudah terlalu banyak merepotkan Bulik dan Paklik," balas Naima setulus hati."Kita keluarga, Nai, sudah seharusnya saling bantu." sahut Sri dan diangguki kepala oleh Naima tanda setuju. Sayangnya, hati Naima mengutuk perbuatan saudaranya yang lain."Gimana Bapakmu?" tanya Sri menanyakan kondisi Hadi karena memang setelah kejadian semalam dia baru fokus pada suaminya."Bapak sudah bisa tidur, Bulik, ternyata jahitannya infeksi." terang Naima."Sebenarnya gim

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Dirawat lagi

    Pagi ini Naima bersiap lebih pagi, karena dia akan membawa bapaknya berobat ke rumah sakit. Semalaman bapaknya tak bisa tidur sebab demam tinggi sampai mengigil."Sudah, Bel?" tanyanya begitu melihat Bela keluar dengan membawa tas sedang berisi perlengkapan."Sudah, Kak. Mobilnya sudah datang, ya?" jawab dan tanya Bela. Naima mengangguk sebagai jawaban.Dia segera ke kamar dan membantu bapaknya untuk keluar karena mobil yang dia pesan dengan dibantu tetangga depan rumahnya sudah datang."Pelan-pelan, Pak," peringat Naima saat Hadi hampir saja oleng."Bapak pusing sekali, Nduk," keluh Hadi sambil berpegangan pada kusen pintu."Tahan sebentar, Pak, sedikit lagi saja." ucap Naima menenangkan.Bela datang setelah memasukkan tas ke dalam mobil lalu membantu memapah Hadi untuk segera naik ke mobil.Setelah Naima memastikan pintu rumah terkunci, mereka segera berangkat ke rumah sakit yang sama dimana Tarno juga sedang dirawat Di perjalanan, Naima sempat membalas pesan yang Dewa kirimkan. T

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Musibah

    Naima kembali duduk di samping bapaknya setelah para warga pamit pulang. Tak lupa Naima mengucapkan terimakasih karena mereka sudah berkenan menolong bapaknya."Apa yang sakit, Pak?" tanya Naima khawatir melihat bapaknya meringis memegangi lengannya yang dibebat perban."Ndak apa-apa, Nduk, nanti juga sembuh," jawab Hadi pelan."Apa perlu kita periksa ke rumah sakit saja, Pak?" tawar Dewa yang masih berada di sana."Ndak usah, Mas ... ini tadi sudah dijahit sama Bu Bidan." tolak Hadi lagi."Bagian lain ada yang terluka, Pak?" tanya Naima memastikan lagi."Ndak ada, kalian jangan khawatir!""Kejadiannya gimana, Pak? Kok, bisa Bapak dikeroyok orang tak dikenal?" tanya Dewa pada akhirnya setelah cukup lama ditahan.Bela datang membawakan air putih untuk bapaknya dan segelas teh panas untuk Dewa."Bapak juga ndak tahu, Mas ... tadinya Lek No yang dengar suara ribut-ribut di depan. Terus karena penasaran, kami keluar buat lihat karena kebetulan cuma kami yang masih di teras. Eh, baru sampa

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Jatuh cinta

    "Nai, besok aku pulang ke Jakarta dulu," ucap Dewa saat dalam perjalanan menuju rumah Naima."Mau bilang ke Mami soal rencana pernikahan kita." lanjutnya lagi membuat Naima menoleh ke arahnya."Mas Dewa yakin?" tanya Naima pelan, Dewa menoleh sekilas lalu kembali fokus pada jalanan."Sangat yakin, Nai." jawabnya tanpa ragu."Kenapa?" tanya Naima lagi. Terdengar keraguan dari nada suaranya."Maksud aku, alasan Mas Dewa kukuh mau nikahin aku itu kenapa?" jelas Naima pelan.Dewa meraih tangan Naima untuk dia genggam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya fokus pada kemudi. Dia tak lantas menjawab pertanyaan Naima, dia memikirkan kalimat yang tepat lebih dulu."Aku gak tahu, Nai," jawabnya singkat.Alis Naima terangkat sebelah membuat Dewa terkekeh pelan melihatnya."Kamu masih ragu, Nai?""Wajar aku ragu, Mas. Kita baru beberapa kali ketemu, terus tiba-tiba kamu seniat itu mau nikahin aku. Aku jadi takut, kalau ternyata aku hanya kamu jadikan pelarian saja." ungkap Naima sejuju

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Jangan mengadu!

    "Eyang rasa itu memang bukan rencana yang buruk, Le, tapi resikonya akan lebih besar lagi kalau kamu melakukan itu." tanggap eyang Surti saat Dewa mengutarakan rencana yang ada di pikirannya."Benar, Dewa ... kita semua tahu seperti apa Mami kamu. Dia bisa marah besar kalau kamu melakukan itu dan dia tahu kami mendukung kamu." sambung Tantri yang juga berada di sana."Lalu Dewa harus gimana, Eyang, Tante?" "Pulanglah, bicaralah sama Mami kamu dengan baik-baik. Katakan kalau kamu sudah menjatuhkan pilihan kepada perempuan lain," saran eyang Surti kepada cucu pertamanya itu."Tapi Mami pasti nolak, Yang,""Coba dulu, Dewa! Jangan terus berpikir negatif tentang Mami kamu, siapa tahu kali ini Mamimu akan mendengarkan kamu." hibur Tantri yang sangat mengerti keresahan keponakannya.Tantri menatap Dewa iba, sejujurnya Dewa adalah anak yang baik. Buktinya selama ini dia selalu menuruti apapun keputusan maminya.Dewa menghela nafas besar, lalu mengangguk samar. Meski ragu, akhirnya Dewa memu

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Masih ragu

    "Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" Naima menoleh menatap Dewa yang entah sejak kapan memandangi dirinya. Semilir angin sepoi menerbangkan rambut Naima sampai ke wajah membuat Dewa terpesona. Sungguh, Dewa merasa tatapannya tak mau berpaling dari wajah ayu Naima.Naima menghela nafas besar, seolah ada beban berat yang saat ini tengah dia pikul."Mas Dewa beneran mau nikahin aku?" tanya Naima menatap dalam mata Dewa.Dewa tertegun sejenak, bahkan setelah dia mengenalkan Naima dengan eyangnya, Naima masih mempertanyakan soal itu."Tentu saja, memangnya ada apa? Kamu keberatan?" ujar Dewa sedikit protes keseriusannya masih diragukan oleh Naima.Naima mengalihkan tatapannya dari Dewa, menatap berbagai tanaman yang bergoyang sebab tertiup angin malam."Enggak, tapi--""Kenapa?" Dewa menggenggam tangan Naima lembut."Mami, Mas Dewa--""Soal itu biar jadi urusan aku. Kamu sendiri dengar 'kan kalau Eyang, Om, Tante juga Lintang akan bantu buat meyakinkan Mami," ujar Dewa mengerti keresahan Nai

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Bertemu eyang.

    "Kamu gugup?" tanya Dewa saat melihat Naima meremas-remas jemarinya yang saling bertautan di pangkuannya sendiri.Naima mengangguk pelan. Tentu saja dia gugup, meski susah menyiapkan diri sedemikian rupa akan tetapi yang akan dia hadapi adalah keluarga orang kaya. Yang selalu punya standart tinggi tentang seseorang yang akan masuk ke dalam keluarganya.Naima cukup tahu diri di mana posisinya. Meski tidak berharap banyak tetapi tetap saja dia merasa gugup. Dia pernah ditolak saat datang berkunjung ke rumah temannya yang orang kaya hanya karena dia memakai pakaian murah dan sendal jepit biasa.Apalagi ini? Dia bahkan memakai seragam kerja, hitam dan putih. Kelihatan sekali kalau dia baru mulai bekerja."Kenapa? Tenang ... Eyang aku baik, kok," hibur Dewa meraih satu tangan Naima untuk dia genggam.Meski begitu, Naima tetap merasa gugup. Wajar bukan? Karena dia tahu diri, kasta mereka berbeda.Tak butuh waktu lama, mobil yang dikendarai Dewa sudah masuk ke perumahan elit. Jantung Naima s

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Bertemu sepupu

    "Naima," Naima segera menguasai diri, dia menundukkan setengah badan lalu segera keluar dari bilik itu. "Nai, tunggu!" Panggilan perempuan yang merupakan sepupunya itu kembali menahan langkah kakinya."Kenapa?" tanya Naima datar dan nyaris tanpa ekspresi setelah beberapa detik yang lalu dia cukup terkejut."Kamu kapan pulang?" tanya Rita tampak salah tingkah."Sudah beberapa hari," jawab Naima singkat."Permisi, saya harus bekerja," lanjutnya hendak kembali melangkah, namun lagi-lagi suara Rita mengurungkan langkahnya."Kamu kerja di sini? Kupikir jauh-jauh ke Kalimantan udah jadi kaya kamu? Atau minimal ketemu pengusaha tambanglah. Eh, taunya masih ngebabu aja," ucapnya mencibir sambil melipat tangan di dada."Atau di Kalimantan pun kamu jadi jongos juga? Kasihan ...." ejeknya lagi. Naima diam tak menanggapi meski kata-kata Rita cukup menusuk hati."Mau kuajari biar cepet kaya?" Lanjut Rita dengan ekspresi songong.Naima menoleh dengan senyum mengejek ke arah sepupu yang lebih mu

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Lampu hijau dari Eyang

    "Kamu pakai buat ngapel cewek mana mobil Om, Dewa?" sambut Ndaru begitu keponakannya nampak keluar dari mobil.Dewa tertawa keras, begitu juga dengan Ndaru. Om dan keponakan itu lantas saling memeluk melepas rindu."Om, bisa aja! Kata Eyang, Om lagi di Semarang makanya Dewa pakai mobilnya," kilah Dewa sembari terkekeh."Sudah lama sekali kamu gak datang Dewa," Ndaru menepuk pelan punggung Dewa."Kapan sampai rumah, Om?" tanya Dewa lagi."Tadi subuh, soalnya Om ada kerjaan nanti siang," jawab adik dari mendiang ayah Dewa itu lalu kembali duduk di kursi teras."Tante sama Lintang ikut pulang juga?""Enggak, mereka mau jalan-jalan sama Budhe Harsi dulu mumpung pada kumpul," jawab Ndaru menyebut kakak iparnya."Nginep di mana kamu Dewa?" tanya Ndaru lagi menatap keponakannya intens."Di villa yang dekat kebun teh, Om?""Nglinggo?" Dewa mengangguk sebagai jawaban. Karena memang hanya daerah itu kebun teh yang terkenal di sekitaran Jogja."Sama cewek?" cecar lelaki yang berparas mirip denga

DMCA.com Protection Status