Di depan pintu sudah berdiri Juragan Hamid bersama ketiga preman yang tadi datang. Juragan yang usianya lebih tua dari ayahnya itu menatap ke arah Naima dengan tatapan nyalang.
Bela beringsut mundur, menyembunyikan diri di belakang tubuh kakaknya. "Mau apa Anda datang, Juragan? Bukankah semua hutang kami sudah kubayar lunas? Atau, anak buah Anda mengadu yang tidak-tidak?" todong Naima berusaha menguasai dirinya. Meski ada rasa takut, tapi Naima tak akan gentar menghadapi pria tua itu. Bukan kepada pria tua itu Naima ciut nyali, tetapi kepada anak buahnya yang bertubuh kekar. Karena bagaimana pun dia hanya seorang perempuan bertubuh kecil, yang tentu tenaganya tak sebanding dengan para pria itu. Dengan satu pria saja sudah pasti dia kalah telak, sedangkan yang dia hadapi 3 pria berbadan sangar. Juragan tua itu terkekeh pelan, perlahan melangkahkan kaki pincangnya ke dalam rumah kecil Naima. Naima dan juga Bela mundur setiap Juragan itu maju. "Kau sungguh berani, Cantik!" kekeh pria tua itu lagi yang terdengar menjijikkan di telinga Naima. "Kenapa harus takut, Juragan?" tantang Naima membuat senyum di wajah pria tua itu menghilang begitu saja berganti dengan tatapan marah. "Saya berhutang 8 juta rupiah, dalam satu tahun sudah menjadi 80 juta rupiah. Padahal dalam satu tahun itu saya ada bayar 3x dengan nominal 1,5 juta setiap kali bayar. Saya rasa, jika bukan hutang, saya taruh uang saya 10 juta di Anda dalam 1 tahun saya sudah bisa beli mobil baru, bukan?" ledek Naima disertai kekehan yang terasa sebagai hinaan di telinga Juragan Hamid. Naima geleng-geleng kepala, menatap pria tua yang berdiri kurang dari 2 meter di hadapannya itu dengan tatapan jijik. "Baru beberapa menit yang lalu anak buah Anda datang menagih, dan ya, sudah kubayar lunas semua hutang saya berikut lebihannya. Anggap saja sedekah saya, kalau-kalau dalam waktu dekat Anda dipanggil oleh yang maha kuasa." ujar Naima semakin berani. Wajah pria tua itu merah padam, dia mengeratkan pegangannya pada tongkat kayu yang selalu dia bawa, sebagai penopang jalannya. Nafasnya memburu, tatapannya nyalang ke arah Naima seolah hendak menerkamnya hidup-hidup. "Kvr4ng 4j4r!" hardiknya tak terima. "Atau sedekahnya masih kurang, Juragan? 20 juta loh itu!" tantang Naima yang juga sudah diliputi amarah yang sama. 100 juta dia relakan begitu saja hanya untuk membayar hutang fiktif yang selama ini mencekik lehernya. Gara-gara hutang itulah dia harus menjual harga dirinya dan kehilangan kesuciannya. "Sombong sekali mulutmu, J4l4ng! Kau lupa, akulah orang yang sudah menolongmu!" Naima seketika tertawa mendengar ucapan pria tua itu. "Menolong? Ya ... Anda memang menolong saya, Juragan! Menolong saya untuk m4ti perlahan di tangan Anda!" geram Naima menatap tajam pria tua itu. Melihat kemarahan Naima, pria tua itu terkekeh pelan, "kalau saja kau mau menuruti permintaanku, kau justru akan hidup enak, J4l4ng," "Permintaan Anda yang mana, Juragan? Permintaan Anda untuk saya merelakan tubuh saya untuk Anda itukah?" kekehan Naima kembali mengusik kemarahan Juragan Hamid. "Kurasa, untuk bernafas dengan baik saja Anda kesulitan, Juragan! Bagaimana mau mengimbangi pernainan saya di r4nj4ng!" ledek Naima dengan mata memerah. Meski bibirnya tersenyum tetapi jelas terlihat kemarahan itu dari matanya. Plak! Seketika tanparan keras mendarat di pipi kirinya, membuat Bela memekik ketakutan. "Banyak b4c0t kau J4l4ng! Kau pikir kau siapa, hah?! Kau mau lihat betapa perk4s4nya pria tua ini, hah?" tantang Juragan Hamid dengan tatapan mengejek. Lalu mengisyratkan dengan tangan agar para anak buahnya mendekat. "Bawa J4l4ng itu! Dia mau merasakan keganasan seorang Juragan Hamid di atas r4nj4ng!" tawa pria tua itu meledak membuat seluruh tubuh Naima merinding. Dengan cekatan dua pria itu meneyeret Naima untuk dibawa keluar dari rumahnya. Naima memberontak, berusaha melawan. Akan tetapi kalah telak karena tubuhnya yang terlampau kecil dibandingkan dengan dua preman yang memegangi lengannya. Bela menjerit ketakutan, ayahnya yang sejak tadi mendengarkan di kamar keluar meski masih dalam keadaan sakit. Dia berusaha menolong Naima, akan tetapi satu kali tendangan dari anak buah Juragan Hamid yang lain sudah membuatnya tersungkur tak berdaya di depan pintu. "Lepaskan, B4ngs4t!" jerit Naima ketika tubuh kecilnya dengan mudah diseret paksa. Kegaduhan tak terelakkan lagi di komplek tempat tinggal Naima, ada yang iba tetapi juga tak bisa melakukan apapun untuk menolong gadis malang itu. Karena para warga sudah tahu bagaimana dan seperti apa Juragan Hamid. Sebagian besar dari mereka pun pernah merasakan ada di posisi keluarga Naima, yang diperlakukan demikian dan tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan. Jeritan Bela dan ayahnya seolah alunan lagu yang indah di telinga Juragan Hamid. Apalagi umpatan dan jeritan Naima yang begitu indah di telinganya. Jarak rumah Naima dengan jalan besar cukup jauh, sehingga sepanjang melewati rumah-rumah warga Naima menjadi tontonan. Sayangnya, mereka hanya menonton saja, tak bisa berbuat apapun untuk menolongnya. Belum sampai di jalan besar di mana mobil Juragan Hamid terparkir, mereka berpapasan dengan dua orang laki-laki yang menghadang mereka. Dapat dipastikan dua orang laki-laki itu bukan berasal dari daerah mereka karena berani sekali menghadang Juragan Hamid yang akan membawa mangsa buruannya. "Pria tua yang hanya berani menindas rakyat tak berdaya, apakah masih bisa disebut manusia?" ucap salah satu dari dua pria yang berbadan tak kalah sangar dari preman anak buah Juragan Hamid itu dengan sarkas. "B3r3ngs3k! Siapa kalian?" bentak Juragan Hamid dengan nafas terengah. "Kedua pria di hadapan Juragan Hamid itu saling tatap dengan senyum mengejek membuat Juragan Hamid dan anak buahnya meradang. Detik berikutnya, baku hantam tak terelakkan lagi, antara dua anak buah Juragan Hamid dengan dua orang asing yang menghadang mereka.Baku hantam antara dua preman anak buah Juragan Hamid dengan dua orang yang tak mereka kenali sontak membuat kehebohan di sepanjang jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua itu. Juragan Hamid hanya bisa menonton saja dari jarak yang menurutnya aman. Sementara Naima masih dipegangi oleh salah satu preman anak buah Juragan Hamid. Juragan Hamid memgeram kesal saat dua anak buahnya terlempar cukup jauh oleh tendangan orang asing itu, akan tetapi dia pun tak dapat berbuat banyak. Ia semakin geram saat salah satu anak buahnya menjerit karena tangannya dibuat patah oleh lelaki muda itu. Anak buah Juragan Hamid mundur dan mengaku kalah telak. Wajah, tangan bahkan badan kekar mereka telah babak belur dengan darah mengalir dari hidung, bibir dan kening yang dibenturkan ke dinding oleh dua orang asing itu. Bagaimana, Pak Tua? Masih mau maju atau mundur saja?" tantang salah satu pemuda itu dengan tatapan meremehkan. Juragan Hamid ciut nyali, jika kedua anak buahnya yang bertubuh san
Di tempat lain, Dewa yang baru saja kembali dari meninjau lokasi proyek bersama Vero dan Julian mendapat kabar bahwa sang ibu tengah sakit dan mengharuskan dia pulang ke Jakarta secepatnya.Dia menjatuhkan diri di sofa sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. "Bro," tegur Vero yang melihat Dewa hanya termenung sejak beberapa menit yang lalu."Hem," Dewa hanya bergumam sebagai jawaban."Kusut amat tu muka, kenapa?" tanyanya lalu ikut manjatuhkan diri di sebelah Dewa."Nyokap sakit," sahut Dewa singkat."Yaudah, baliklah! Toh, kerjaan di sini udah kelar juga 'kan?" tanggap Vero santai.Helaan nafas besar keluar dari mulut Dewa, dia bukan tak khawatir ibunya sakit, tetapi dia malas saja bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya itu. Sudah beberapa bulan ini Dewa selalu menghindari ibunya."Gue males, pasti sakitnya ini cuma akal-akalan Mami aja," celetuk Dewa membuat Vero mendelik."Durhaka, Lu! Inget, dia nyokap Lu, yang udah banyak berkorban buat Lu!" tegur Vero mendorong
Sampai di rumah sakit besar di kota, Naima segera membawa ayahnya menuju ke ruang IGD karena memang kondisinya sangat lemah. Setelah melalui pemeriksaan tahap awal, ayah Naima tetap harus dirawat karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk rawat jalan.Naima menyetujuinya dan segera mengurus administrasi yang dibutuhkan. Athar dan Altav sudah pergi sejak ayah Naima masuk ke ruang IGD karena Naima menolak kedua pemuda itu untuk membantunya lebih banyak lagi."Saya sungkan," Begitu jawab Naima saat Athar menawarkan bantuannya lagi, kedua pemuda itu tak berani memaksa lalu mereka pergi setelah memastikan ayah Naima sudah mendapat perawatan."Sudah, Kak?" tanya Bela saat melihat Naima kembali ke depan ruang IGD. Naima hanya mengangguk sebagai jawaban lalu ikut duduk di sebelah adiknya itu.Tak lama, ayah Naima dipindahkan ke ruang perawatan. Naima sengaja memilih kelas 1 agar mereka lebih leluasa menjaga ayahnya karena di kelas itu satu ruangan berisi 2 pasien saja dengan ruangan yan
Di sinilah Naima, bangku taman yang tak jauh dari kamar rawat ayahnya. Setelah melihat ayahnya sebentar, dia kembali keluar untuk berbicara dengan orang yang bertubrukan dengannya tadi."Kenapa menghindar terus?" tanya lelaki itu menatap Naima yang menunduk."Maaf," lirihnya tanpa berani mengangkat wajahnya.Terdengar helaan nafas dari mulut lelaki itu, membuat Naima mengangkat wajahnya."Bang Rama ngapain di sini?" tanya Naima pada akhirnya."Jenguk teman," sahut lelaki itu pelan."Nai, kenapa menghindar terus dari Abang? Abang ada bikin salah?" ulang Rama menatap Naima sendu.Naima kembali menunduk, ada rasa bersalah yang besar dalam hatinya terlebih sejak dia memutuskan menerima tawaran Tari untuk ....Rama lelaki baik yang sudah dekat dengannya beberapa bulan terakhir. Rama menyatakan perasaannya pada Naima sejak 2 bulan lalu, tetapi tidak ada jawaban apapun sampai hari ini meskipun keduanya kerap kali jalan bersama."Kalau Abang salah, tolong bilang," cecar Rama dengan suara lemb
Pagi ini dengan amat sangat terpaksa Dewa kembali ke Jakarta karena desakan dari pamannya setelah beberapa kali menghindari telepon maminya."Setelah pekerjaan di sini selesai, segera pulang ke Jakarta, Vero!" ultimatum Dewa saat kakinya sudah menginjak lantai bandara."Siap, Bos! Kami akan segera pulang ke Jakarta dengan hasil pekerjaan yang memuaskan!" sahut Vero hormat karena memang Dewa adalah atasannya selain dari teman baiknya sejak bangku sekolah menengah pertama."Julian, kamu bertugas mengawasi dia, jangan sampai terlalu nyaman di sini!" titah Dewa kepada asisten pribadinya dengan menunjuk Vero yang malah terbahak dengan ultimatim Dewa tersebut.Julian hanya mengangguk patuh setelah meletakkan koper milik Dewa di sebelah tubuhnya.Setelah memberi wejangan, Dewa segera menarik koper untuk melakukan chek-in. Setelahnya, ia membawa langkah menuju ruang tunggu keberangkatan.Saat tengah membaca bording pass miliknya, sekilas dia seperti melihat seseorang yang dia tahu. Dia menaja
Setelah mengudara selama 4 jam lebih, akhirnya Naima, ayah serta adiknya kembali dapat menghirup udara kota kelahirannya. Namun perjalanan mereka belum usai untuk bisa sampai ke rumah yang sudah mereka tinggalkan selama hampir 3 tahun ini.Naima segera memesan grab sebelum benar-benar keluar dari area bandara untuk mempermudah perjalanan mereka pulang ke rumah."Budhemu pasti kaget kita pulang tidak bilang-bilang, Nduk," ujar ayah Naima saat mobil yang mereka tumpangi sudah keluar area bandara."Apa kita kasih tahu dulu, Pak?" tanya Naima."Tidak usah, selama ini mereka juga tidak menanyakan kabar kita 'kan?" sahut Hadi tidak menoleh ke belakang karena dia duduk di samping pak supir."Iya, sih, mereka juga tidak pernah mengirim uang hasil ladang sama kebun teh lagi, Pak," beber Naima."Yasudah tidak papa, mungkin ladang kita tidak ditanami apa-apa, jadi tidak menghasilkan," putus Hadi tetap berpikir positif."Kak, Mbak Rita bikin sw baru beli mobil baru," bisik Bela sambil memperlihat
Naima meremat jemarinya untuk mengurangi rasa gugup dan takut mana kala terdengar pintu terbuka dari luar. Dia gelisah, bahkan lututnya telah gemetar. Namun, dia terlanjur memilih jalan ini dan tak bisa mundur lagi. Naima segera bangkit berdiri lalu bersiap menyambut sang pemilik kamar yang dia tahu bernama Sadewa, seorang pengusaha muda yang harus dia temani malam ini."Kamu siapa?" tanya Dewa terkejut. Matanya mendelik sempurna melihat Naima berdiri tak jauh dari pintu kamar.Naima tersentak, akan tetapi dia harus segera menguasai diri dan melakukan tugasnya dengan baik karena sejumlah uang sudah dia dapatkan sebagai imbalannya.Dewa yang diambang kesadaran sebab terlalu banyak menenggak alkohol terpana begitu wajah Naima terlihat dengan jelas. Mata bulat dengan bulu mata yang begitu lentik. Hidung mancung serta bibir mungil kemerahan, membuatnya semakin lepas kendali atas gejolak yang membara dalam dirinya."Kamu siapa?" tanya Dewa lagi menatap manik hitam legam yang begitu bening
Sepeninggal Dewa, Naima menangisi dirinya. Penyesalan tentu merasuk dalam jiwanya yang terdalam, akan tetapi dia sudah menentukan pilihannya dengan mengambil jalan ini. Puas menangis, dia bergegas membersihkan diri. Dia tak mau terus larut dalam penyesalan terus menerus. Toh, semuanya sudah terjadi dan menyesal seperti apapun tidak akan merubah keadaannya apalagi mengembalikan kep3r4w4n4nnya.Usai mandi dan berganti pakaian, Naima membereskan barangnya dan bersiap meninggalkan kamar itu. Sampai dia selesai, Dewa tak kunjung kembali. Naima mengabaikan itu, toh bayaran untuk pekerjaannya semalan sudah dia terima. Namun, dia kembali terduduk di tepi ranjang. Melihat bekas merah yang menempel pada sprei mengingatkan lagi akan keputusan yang sudah dia ambil.Naima jadi enggan pergi dari kamar itu. Kamar yang menjadi saksi bisu, titik terendah dalam hidupnya.Berulang kali menghembuskan nafas besar, untuk menetralkan perasaannya. Gejolak amarah dan penyesalan tentu saja masih besar mengua