Satu jam kemudian, Naima sudah sampai di kontrakannya. Dia mendapati Bela yang sedang berkemas seluruh pakaiannya.
"Sudah, Bel?" tanyanya begitu masuk ke dalam rumah. "Sedikit lagi, Kak," jawab Bela sembari memasukkan pakaian ke dalam tas besar. "Apa orang-orang itu sudah datang?" "Belum, Kak," "Yasudah, Kakak lihat Bapak dulu, ya! Kamu lanjutkan itu," Bela mengangguk dengan titah sang kakak. Naima membawa dirinya masuk ke dalam kamar sang ayah, kamar berukuran 3x2 meter itu hanya berisi satu kasur dan satu lemari plastik yang sudah kosong isinya. Terlihat raga sang ayah terbaring tak berdaya dengan bekas luka yang membiru di hampi sekujur tubuhnya. "Pak ...." sapa Naima lembut mengusap bahu ayahnya yang tengah berbaring memunggungi pintu. "Nduk, Nai ...." balas sang ayah berbalik menatap Naima yang sudah duduk di tepian kasur. Naima menatap miris kondisi ayahnya. Wajah yang masih membengkak dan membiru di beberaoa sisi, bibir juga membengkak meski sudah tak separah kemarin. Semua itu adalah ulah dari anak buah juragan Hamid yang menghajar ayah Naima dengan tanpa belas kasihan. "Nai ...." "Nai dapat uangnya, Pak! Kita bisa pulang ke kampung segera," beritahu Naima dengan suara bergetar. "Kamu dapat dari mana uangnya, Nai? Kamu tidak mencuri 'kan, Nak?" tanya sang ayah juga dengan suara yang bergetar. Naima menggeleng sambil mengulas senyum di wajah cantiknya. "Bapak jangan khawatir, Nai dapat pinjam dari orang baik, Pak." jelas Naima dengan berbohong. "Pinjam lagi?" "Iya, tapi orangnya baik, Pak. Beliau, mengijinkan Nai pakai uangnya dulu." jawab Naima lagi. "Tapi--" "Sudah, Bapak jangan banyak pikiran. Yang terpenting kita bisa bayar hutang Juragan Hamid dan kita bisa pulang ke Jogja. Bukankah Bapak sudah sangat merindukan makam Ibu?" Mata ayah Naima berkaca-kaca, detik berikutnya bulir kristal memenuhi dua kelopaknya yang nampak sipit sebab bengkak membiru di bagian luar. "Terimakasih, Nduk! Terimakasih banyak ... maafkan Bapak yang menyusahkan kamu ...." tangis ayah Naima pecah juga. Ia memeluk Naima dengan erat, menumpahkan tangisnya dalam pelukan Naima. Naima tak kuasa menahan tangis, mereka menangis bersama. Tak terbayangkan andai dia tidak mendapatkan uang itu, sudah dipastikan ayahnya akan meregang nyawa di tanah orang. Awal mulanya ayah Naima pergi merantau karena dijanjikan pekerjaan di sebuah proyek. Namun, baru 1 bulan berjalan, beliau jatuh sakit. Akhirnya, tidak bisa melanjutkan pekerjaan di proyek. Naima yang saat itu sudah lulus SMA mengajak Bela untuk menyusul sang ayah, karena tidak tega membiarkan ayahnya sakit di tanah rantau. Dengan bekal dari menjual salah satu kebun teh milik ayahnya, Naima berangkat ke Kalimantan bersama Bela yang saat itu baru lulus SD. Dengan uang yang dia pegang, Naima merawat ayahnya serta menyekolahkan Bela masuk ke SMP di Kalimantan. Tak hanya itu, Naima juga bekerja untuk bisa menyambung hidup di sana yang ternyata biaya hidupnya jauh lebih mahal dari kampung halamannya di Jogja. Kehidupan Kalimantan yang serba mahal, membuat Naima kewalahan. Setelah sembuh pun ayahnya juga bekerja serabutan. Apa saja mereka kerjakan asal bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lambat laun, mereka membutuhkan biaya besar untuk biaya sekolah Bela dan juga kebutuhan mereka sehari-hari. Kemudian ada seseorang yang menawarkan pinjaman. Dari sanalah awal mula mereka mengenal Juragan Hamid. Namun sayangnya mereka ditipu habis-habisan. Uang pinjaman yang hanya 8 juta itu dalam waktu singkat sudah beranak pinak menjadi 10 kali lipat karena Naima dan ayahnya tidak sanggup mengembalikan pada tempo waktu yang diberikan dan berakhir mencekik leher Naima dan ayahnya. Tak jarang, orang suruhan Juragan Hamid datang untuk menagih, tetapi karena Naima dan ayahnya tak mampu membayar maka orang-orang itu akan memukuli ayahnya sampai babak belur. Ancaman dan kekerasan fisik kerap mereka terima, akan tetapi warga sekitar seolah tutup mata dan tak ada satu pun yang bisa membantu Naima dan ayahnya. Brak! Brak! Suara gadih dari luar membuyarkan lamunan Naima, dengan segera dia keluar untuk melihat apa yang tengah terjadi. Rupanya anak buah juragan Hamid yang datang. "Oh, kalian mau kabur rupanya?" todong salah satu dari 3 preman bertubuh sangar itu. Naima dengan tenang menghadapi mereka. "Hei Nona! Kau mau kabur dari hutang-hutangmu, hah?" "Saya tidak sepengecut itu, Tuan!" balas Naima tak kalah berani. Terang saja, karena dia sudah memegang uangnya. "Oh, kucing lucu yang biasanya sembunyi di ketiak ayahnya itu sekarang sudah berani menjawab rupanya," ejek preman itu lagi. "Jangan banyak tingkah! Cepat bayar hutangmu! Atau kalau kau memang tak bisa bayar, Juragan ada penawaran khusus untukmu, Nona!" tawa ketiga preman itu menggema di teras kontrakan Naima. Dengan tatapan mereka, yang menurut Naima menjijikkan. "Betul sekali, kau hanya perlu m3ng4ngk4ng sekali saja di hadapan Juragan kami, maka semua hutangmu lunas tanpa perlu bayar, Nona!" sambung yang lain lagi dengan tawa yang semakin menjijikkan terdengar telinga Naima. Dia sudah tahu ujungnya akan seperti ini, karena bukan sekali dua kali juragan mata keranjang itu mengatakan hal serupa padanya. Di saat para preman itu masih tertawa, Naima masuk ke dalam dan mengambil uang yang sudah dia siapkan lalu dia kembali dan melemparkan uang itu tepat ke wajah preman yabg berada di tengah. "Kubayar lunas hutangku pada juragan kalian! Berikut sedekahnya, kalau-kalau besok atau lusa juragan kalian dipanggil oleh yang maha kuasa!" ucap Naima sarkas membuat tawa ketiga preman itu sontak berhenti lalu menatap Naima dengan bengis. Salah satu dari ketiga preman itu mengambil amplop tebal yang terjatuh di kakinya, lalu mengecek isinya. Seketika matanya membulat sempurna melihat gepokan uang yang masih ada ikatan kertas dari sebuah bank ternama itu. Si preman pemegang uang segera menyikut rekannya, lalu tanpa kata lagi mereka undur diri dari hadapan Naima. Naima bernafas lega, kemudian kembali ke dalam melihat ayah dan adiknya saling berpelukan di kamar karena ketakutan. "Kita harus segera pergi dari sini. Ayo, Bel, Kakak bantu berkemas!" ajak Naima takut preman-preman itu datang lagi bersama juragan mereka karena sempat Naima hina tadi. Bela mengangguk, lalu berdiri cepat mengekor Naima yang kemudian membereskan sisa barang mereka. Baru selesai mereka menutup koper besar dan satu tas yang akan mereka bawa, pintu rumahnya dibuka paksa dari luar membuat mereka berjingkat kaget. "P3l4cvr kecil!"Di depan pintu sudah berdiri Juragan Hamid bersama ketiga preman yang tadi datang. Juragan yang usianya lebih tua dari ayahnya itu menatap ke arah Naima dengan tatapan nyalang.Bela beringsut mundur, menyembunyikan diri di belakang tubuh kakaknya. "Mau apa Anda datang, Juragan? Bukankah semua hutang kami sudah kubayar lunas? Atau, anak buah Anda mengadu yang tidak-tidak?" todong Naima berusaha menguasai dirinya.Meski ada rasa takut, tapi Naima tak akan gentar menghadapi pria tua itu. Bukan kepada pria tua itu Naima ciut nyali, tetapi kepada anak buahnya yang bertubuh kekar. Karena bagaimana pun dia hanya seorang perempuan bertubuh kecil, yang tentu tenaganya tak sebanding dengan para pria itu. Dengan satu pria saja sudah pasti dia kalah telak, sedangkan yang dia hadapi 3 pria berbadan sangar.Juragan tua itu terkekeh pelan, perlahan melangkahkan kaki pincangnya ke dalam rumah kecil Naima. Naima dan juga Bela mundur setiap Juragan itu maju."Kau sungguh berani, Cantik!" kekeh pria tu
Baku hantam antara dua preman anak buah Juragan Hamid dengan dua orang yang tak mereka kenali sontak membuat kehebohan di sepanjang jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua itu. Juragan Hamid hanya bisa menonton saja dari jarak yang menurutnya aman. Sementara Naima masih dipegangi oleh salah satu preman anak buah Juragan Hamid. Juragan Hamid memgeram kesal saat dua anak buahnya terlempar cukup jauh oleh tendangan orang asing itu, akan tetapi dia pun tak dapat berbuat banyak. Ia semakin geram saat salah satu anak buahnya menjerit karena tangannya dibuat patah oleh lelaki muda itu. Anak buah Juragan Hamid mundur dan mengaku kalah telak. Wajah, tangan bahkan badan kekar mereka telah babak belur dengan darah mengalir dari hidung, bibir dan kening yang dibenturkan ke dinding oleh dua orang asing itu. Bagaimana, Pak Tua? Masih mau maju atau mundur saja?" tantang salah satu pemuda itu dengan tatapan meremehkan. Juragan Hamid ciut nyali, jika kedua anak buahnya yang bertubuh san
Di tempat lain, Dewa yang baru saja kembali dari meninjau lokasi proyek bersama Vero dan Julian mendapat kabar bahwa sang ibu tengah sakit dan mengharuskan dia pulang ke Jakarta secepatnya.Dia menjatuhkan diri di sofa sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. "Bro," tegur Vero yang melihat Dewa hanya termenung sejak beberapa menit yang lalu."Hem," Dewa hanya bergumam sebagai jawaban."Kusut amat tu muka, kenapa?" tanyanya lalu ikut manjatuhkan diri di sebelah Dewa."Nyokap sakit," sahut Dewa singkat."Yaudah, baliklah! Toh, kerjaan di sini udah kelar juga 'kan?" tanggap Vero santai.Helaan nafas besar keluar dari mulut Dewa, dia bukan tak khawatir ibunya sakit, tetapi dia malas saja bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya itu. Sudah beberapa bulan ini Dewa selalu menghindari ibunya."Gue males, pasti sakitnya ini cuma akal-akalan Mami aja," celetuk Dewa membuat Vero mendelik."Durhaka, Lu! Inget, dia nyokap Lu, yang udah banyak berkorban buat Lu!" tegur Vero mendorong
Sampai di rumah sakit besar di kota, Naima segera membawa ayahnya menuju ke ruang IGD karena memang kondisinya sangat lemah. Setelah melalui pemeriksaan tahap awal, ayah Naima tetap harus dirawat karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk rawat jalan.Naima menyetujuinya dan segera mengurus administrasi yang dibutuhkan. Athar dan Altav sudah pergi sejak ayah Naima masuk ke ruang IGD karena Naima menolak kedua pemuda itu untuk membantunya lebih banyak lagi."Saya sungkan," Begitu jawab Naima saat Athar menawarkan bantuannya lagi, kedua pemuda itu tak berani memaksa lalu mereka pergi setelah memastikan ayah Naima sudah mendapat perawatan."Sudah, Kak?" tanya Bela saat melihat Naima kembali ke depan ruang IGD. Naima hanya mengangguk sebagai jawaban lalu ikut duduk di sebelah adiknya itu.Tak lama, ayah Naima dipindahkan ke ruang perawatan. Naima sengaja memilih kelas 1 agar mereka lebih leluasa menjaga ayahnya karena di kelas itu satu ruangan berisi 2 pasien saja dengan ruangan yan
Di sinilah Naima, bangku taman yang tak jauh dari kamar rawat ayahnya. Setelah melihat ayahnya sebentar, dia kembali keluar untuk berbicara dengan orang yang bertubrukan dengannya tadi."Kenapa menghindar terus?" tanya lelaki itu menatap Naima yang menunduk."Maaf," lirihnya tanpa berani mengangkat wajahnya.Terdengar helaan nafas dari mulut lelaki itu, membuat Naima mengangkat wajahnya."Bang Rama ngapain di sini?" tanya Naima pada akhirnya."Jenguk teman," sahut lelaki itu pelan."Nai, kenapa menghindar terus dari Abang? Abang ada bikin salah?" ulang Rama menatap Naima sendu.Naima kembali menunduk, ada rasa bersalah yang besar dalam hatinya terlebih sejak dia memutuskan menerima tawaran Tari untuk ....Rama lelaki baik yang sudah dekat dengannya beberapa bulan terakhir. Rama menyatakan perasaannya pada Naima sejak 2 bulan lalu, tetapi tidak ada jawaban apapun sampai hari ini meskipun keduanya kerap kali jalan bersama."Kalau Abang salah, tolong bilang," cecar Rama dengan suara lemb
Pagi ini dengan amat sangat terpaksa Dewa kembali ke Jakarta karena desakan dari pamannya setelah beberapa kali menghindari telepon maminya."Setelah pekerjaan di sini selesai, segera pulang ke Jakarta, Vero!" ultimatum Dewa saat kakinya sudah menginjak lantai bandara."Siap, Bos! Kami akan segera pulang ke Jakarta dengan hasil pekerjaan yang memuaskan!" sahut Vero hormat karena memang Dewa adalah atasannya selain dari teman baiknya sejak bangku sekolah menengah pertama."Julian, kamu bertugas mengawasi dia, jangan sampai terlalu nyaman di sini!" titah Dewa kepada asisten pribadinya dengan menunjuk Vero yang malah terbahak dengan ultimatim Dewa tersebut.Julian hanya mengangguk patuh setelah meletakkan koper milik Dewa di sebelah tubuhnya.Setelah memberi wejangan, Dewa segera menarik koper untuk melakukan chek-in. Setelahnya, ia membawa langkah menuju ruang tunggu keberangkatan.Saat tengah membaca bording pass miliknya, sekilas dia seperti melihat seseorang yang dia tahu. Dia menaja
Setelah mengudara selama 4 jam lebih, akhirnya Naima, ayah serta adiknya kembali dapat menghirup udara kota kelahirannya. Namun perjalanan mereka belum usai untuk bisa sampai ke rumah yang sudah mereka tinggalkan selama hampir 3 tahun ini.Naima segera memesan grab sebelum benar-benar keluar dari area bandara untuk mempermudah perjalanan mereka pulang ke rumah."Budhemu pasti kaget kita pulang tidak bilang-bilang, Nduk," ujar ayah Naima saat mobil yang mereka tumpangi sudah keluar area bandara."Apa kita kasih tahu dulu, Pak?" tanya Naima."Tidak usah, selama ini mereka juga tidak menanyakan kabar kita 'kan?" sahut Hadi tidak menoleh ke belakang karena dia duduk di samping pak supir."Iya, sih, mereka juga tidak pernah mengirim uang hasil ladang sama kebun teh lagi, Pak," beber Naima."Yasudah tidak papa, mungkin ladang kita tidak ditanami apa-apa, jadi tidak menghasilkan," putus Hadi tetap berpikir positif."Kak, Mbak Rita bikin sw baru beli mobil baru," bisik Bela sambil memperlihat
"Kamu harus mau menikah, Dewa! Mami tidak mau tahu, pokoknya tahun ini kamu harus menikah!" Dewa memijit pelipisnya yang terasa berdenyut sakit. Semakin sakit lagi saat mendengar paksaan dari ibunya yang terbaring lemah di bed rumah sakit ternama. "Sebenarnya Mami tuh sakit apa, sih?" tanya Dewa geram dengan ocehan sang bunda sejak beberapa menit setelah Dewa sampai di ruang rawatnya. "Mami sakit gara-gara mikirin kamu, Dewa! Kamu anak Mami satu-satunya, tapi sampai umur setua ini belum mau menikah. Kamu ini normal apa enggak sih, Dewa?" balas maminya tak mau kalah. "Dewa baru 30 tahun, Mam! Masih muda, masih pengen bebas ngapain aja!" seru Dewa tak terima dikatakan tua oleh ibunya. "Mau sampai kapan, Dewa? Mau tunggu Mami mati dulu baru kamu mau menikah?" Sergah maminya dengan tatapan tajam. "Mam, kenapa sih yang dibahas ini terus? Dewa bosan, Mam," bantah Dewa kesal. "Bulan depan kamu harus menikah sama Yasmin!" putus Bu Erika membuat Dewa melotot tak percaya. "Mam--
"Nai, kamu ndak kerja?" tanya Sri yang melihat Naima masuk membawakan sarapan untuknya."Nai berhenti kerja, Bulik, mau fokus sama Bapak dulu." jawabnya lalu ikut duduk di samping Sri.Sri menatap keponakannya itu dengan tatapan bersalah. Dia tahu kalau Hadi dirawat di sana juga karena tadi Naima sudah mengiriminya pesan, jadilah dia tak terkejut saat tiba-tiba Naima ada di sana."Maafin Bulik, ya, Nduk, kami ndak bisa bantu apa-apa," ucap Sri penuh sesal."Bulik sudah sangat banyak membantu kami. Justru kami yang minta maaf karena sudah terlalu banyak merepotkan Bulik dan Paklik," balas Naima setulus hati."Kita keluarga, Nai, sudah seharusnya saling bantu." sahut Sri dan diangguki kepala oleh Naima tanda setuju. Sayangnya, hati Naima mengutuk perbuatan saudaranya yang lain."Gimana Bapakmu?" tanya Sri menanyakan kondisi Hadi karena memang setelah kejadian semalam dia baru fokus pada suaminya."Bapak sudah bisa tidur, Bulik, ternyata jahitannya infeksi." terang Naima."Sebenarnya gim
Pagi ini Naima bersiap lebih pagi, karena dia akan membawa bapaknya berobat ke rumah sakit. Semalaman bapaknya tak bisa tidur sebab demam tinggi sampai mengigil."Sudah, Bel?" tanyanya begitu melihat Bela keluar dengan membawa tas sedang berisi perlengkapan."Sudah, Kak. Mobilnya sudah datang, ya?" jawab dan tanya Bela. Naima mengangguk sebagai jawaban.Dia segera ke kamar dan membantu bapaknya untuk keluar karena mobil yang dia pesan dengan dibantu tetangga depan rumahnya sudah datang."Pelan-pelan, Pak," peringat Naima saat Hadi hampir saja oleng."Bapak pusing sekali, Nduk," keluh Hadi sambil berpegangan pada kusen pintu."Tahan sebentar, Pak, sedikit lagi saja." ucap Naima menenangkan.Bela datang setelah memasukkan tas ke dalam mobil lalu membantu memapah Hadi untuk segera naik ke mobil.Setelah Naima memastikan pintu rumah terkunci, mereka segera berangkat ke rumah sakit yang sama dimana Tarno juga sedang dirawat Di perjalanan, Naima sempat membalas pesan yang Dewa kirimkan. T
Naima kembali duduk di samping bapaknya setelah para warga pamit pulang. Tak lupa Naima mengucapkan terimakasih karena mereka sudah berkenan menolong bapaknya."Apa yang sakit, Pak?" tanya Naima khawatir melihat bapaknya meringis memegangi lengannya yang dibebat perban."Ndak apa-apa, Nduk, nanti juga sembuh," jawab Hadi pelan."Apa perlu kita periksa ke rumah sakit saja, Pak?" tawar Dewa yang masih berada di sana."Ndak usah, Mas ... ini tadi sudah dijahit sama Bu Bidan." tolak Hadi lagi."Bagian lain ada yang terluka, Pak?" tanya Naima memastikan lagi."Ndak ada, kalian jangan khawatir!""Kejadiannya gimana, Pak? Kok, bisa Bapak dikeroyok orang tak dikenal?" tanya Dewa pada akhirnya setelah cukup lama ditahan.Bela datang membawakan air putih untuk bapaknya dan segelas teh panas untuk Dewa."Bapak juga ndak tahu, Mas ... tadinya Lek No yang dengar suara ribut-ribut di depan. Terus karena penasaran, kami keluar buat lihat karena kebetulan cuma kami yang masih di teras. Eh, baru sampa
"Nai, besok aku pulang ke Jakarta dulu," ucap Dewa saat dalam perjalanan menuju rumah Naima."Mau bilang ke Mami soal rencana pernikahan kita." lanjutnya lagi membuat Naima menoleh ke arahnya."Mas Dewa yakin?" tanya Naima pelan, Dewa menoleh sekilas lalu kembali fokus pada jalanan."Sangat yakin, Nai." jawabnya tanpa ragu."Kenapa?" tanya Naima lagi. Terdengar keraguan dari nada suaranya."Maksud aku, alasan Mas Dewa kukuh mau nikahin aku itu kenapa?" jelas Naima pelan.Dewa meraih tangan Naima untuk dia genggam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya fokus pada kemudi. Dia tak lantas menjawab pertanyaan Naima, dia memikirkan kalimat yang tepat lebih dulu."Aku gak tahu, Nai," jawabnya singkat.Alis Naima terangkat sebelah membuat Dewa terkekeh pelan melihatnya."Kamu masih ragu, Nai?""Wajar aku ragu, Mas. Kita baru beberapa kali ketemu, terus tiba-tiba kamu seniat itu mau nikahin aku. Aku jadi takut, kalau ternyata aku hanya kamu jadikan pelarian saja." ungkap Naima sejuju
"Eyang rasa itu memang bukan rencana yang buruk, Le, tapi resikonya akan lebih besar lagi kalau kamu melakukan itu." tanggap eyang Surti saat Dewa mengutarakan rencana yang ada di pikirannya."Benar, Dewa ... kita semua tahu seperti apa Mami kamu. Dia bisa marah besar kalau kamu melakukan itu dan dia tahu kami mendukung kamu." sambung Tantri yang juga berada di sana."Lalu Dewa harus gimana, Eyang, Tante?" "Pulanglah, bicaralah sama Mami kamu dengan baik-baik. Katakan kalau kamu sudah menjatuhkan pilihan kepada perempuan lain," saran eyang Surti kepada cucu pertamanya itu."Tapi Mami pasti nolak, Yang,""Coba dulu, Dewa! Jangan terus berpikir negatif tentang Mami kamu, siapa tahu kali ini Mamimu akan mendengarkan kamu." hibur Tantri yang sangat mengerti keresahan keponakannya.Tantri menatap Dewa iba, sejujurnya Dewa adalah anak yang baik. Buktinya selama ini dia selalu menuruti apapun keputusan maminya.Dewa menghela nafas besar, lalu mengangguk samar. Meski ragu, akhirnya Dewa memu
"Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" Naima menoleh menatap Dewa yang entah sejak kapan memandangi dirinya. Semilir angin sepoi menerbangkan rambut Naima sampai ke wajah membuat Dewa terpesona. Sungguh, Dewa merasa tatapannya tak mau berpaling dari wajah ayu Naima.Naima menghela nafas besar, seolah ada beban berat yang saat ini tengah dia pikul."Mas Dewa beneran mau nikahin aku?" tanya Naima menatap dalam mata Dewa.Dewa tertegun sejenak, bahkan setelah dia mengenalkan Naima dengan eyangnya, Naima masih mempertanyakan soal itu."Tentu saja, memangnya ada apa? Kamu keberatan?" ujar Dewa sedikit protes keseriusannya masih diragukan oleh Naima.Naima mengalihkan tatapannya dari Dewa, menatap berbagai tanaman yang bergoyang sebab tertiup angin malam."Enggak, tapi--""Kenapa?" Dewa menggenggam tangan Naima lembut."Mami, Mas Dewa--""Soal itu biar jadi urusan aku. Kamu sendiri dengar 'kan kalau Eyang, Om, Tante juga Lintang akan bantu buat meyakinkan Mami," ujar Dewa mengerti keresahan Nai
"Kamu gugup?" tanya Dewa saat melihat Naima meremas-remas jemarinya yang saling bertautan di pangkuannya sendiri.Naima mengangguk pelan. Tentu saja dia gugup, meski susah menyiapkan diri sedemikian rupa akan tetapi yang akan dia hadapi adalah keluarga orang kaya. Yang selalu punya standart tinggi tentang seseorang yang akan masuk ke dalam keluarganya.Naima cukup tahu diri di mana posisinya. Meski tidak berharap banyak tetapi tetap saja dia merasa gugup. Dia pernah ditolak saat datang berkunjung ke rumah temannya yang orang kaya hanya karena dia memakai pakaian murah dan sendal jepit biasa.Apalagi ini? Dia bahkan memakai seragam kerja, hitam dan putih. Kelihatan sekali kalau dia baru mulai bekerja."Kenapa? Tenang ... Eyang aku baik, kok," hibur Dewa meraih satu tangan Naima untuk dia genggam.Meski begitu, Naima tetap merasa gugup. Wajar bukan? Karena dia tahu diri, kasta mereka berbeda.Tak butuh waktu lama, mobil yang dikendarai Dewa sudah masuk ke perumahan elit. Jantung Naima s
"Naima," Naima segera menguasai diri, dia menundukkan setengah badan lalu segera keluar dari bilik itu. "Nai, tunggu!" Panggilan perempuan yang merupakan sepupunya itu kembali menahan langkah kakinya."Kenapa?" tanya Naima datar dan nyaris tanpa ekspresi setelah beberapa detik yang lalu dia cukup terkejut."Kamu kapan pulang?" tanya Rita tampak salah tingkah."Sudah beberapa hari," jawab Naima singkat."Permisi, saya harus bekerja," lanjutnya hendak kembali melangkah, namun lagi-lagi suara Rita mengurungkan langkahnya."Kamu kerja di sini? Kupikir jauh-jauh ke Kalimantan udah jadi kaya kamu? Atau minimal ketemu pengusaha tambanglah. Eh, taunya masih ngebabu aja," ucapnya mencibir sambil melipat tangan di dada."Atau di Kalimantan pun kamu jadi jongos juga? Kasihan ...." ejeknya lagi. Naima diam tak menanggapi meski kata-kata Rita cukup menusuk hati."Mau kuajari biar cepet kaya?" Lanjut Rita dengan ekspresi songong.Naima menoleh dengan senyum mengejek ke arah sepupu yang lebih mu
"Kamu pakai buat ngapel cewek mana mobil Om, Dewa?" sambut Ndaru begitu keponakannya nampak keluar dari mobil.Dewa tertawa keras, begitu juga dengan Ndaru. Om dan keponakan itu lantas saling memeluk melepas rindu."Om, bisa aja! Kata Eyang, Om lagi di Semarang makanya Dewa pakai mobilnya," kilah Dewa sembari terkekeh."Sudah lama sekali kamu gak datang Dewa," Ndaru menepuk pelan punggung Dewa."Kapan sampai rumah, Om?" tanya Dewa lagi."Tadi subuh, soalnya Om ada kerjaan nanti siang," jawab adik dari mendiang ayah Dewa itu lalu kembali duduk di kursi teras."Tante sama Lintang ikut pulang juga?""Enggak, mereka mau jalan-jalan sama Budhe Harsi dulu mumpung pada kumpul," jawab Ndaru menyebut kakak iparnya."Nginep di mana kamu Dewa?" tanya Ndaru lagi menatap keponakannya intens."Di villa yang dekat kebun teh, Om?""Nglinggo?" Dewa mengangguk sebagai jawaban. Karena memang hanya daerah itu kebun teh yang terkenal di sekitaran Jogja."Sama cewek?" cecar lelaki yang berparas mirip denga