Setelah mengudara selama 4 jam lebih, akhirnya Naima, ayah serta adiknya kembali dapat menghirup udara kota kelahirannya. Namun perjalanan mereka belum usai untuk bisa sampai ke rumah yang sudah mereka tinggalkan selama hampir 3 tahun ini.Naima segera memesan grab sebelum benar-benar keluar dari area bandara untuk mempermudah perjalanan mereka pulang ke rumah."Budhemu pasti kaget kita pulang tidak bilang-bilang, Nduk," ujar ayah Naima saat mobil yang mereka tumpangi sudah keluar area bandara."Apa kita kasih tahu dulu, Pak?" tanya Naima."Tidak usah, selama ini mereka juga tidak menanyakan kabar kita 'kan?" sahut Hadi tidak menoleh ke belakang karena dia duduk di samping pak supir."Iya, sih, mereka juga tidak pernah mengirim uang hasil ladang sama kebun teh lagi, Pak," beber Naima."Yasudah tidak papa, mungkin ladang kita tidak ditanami apa-apa, jadi tidak menghasilkan," putus Hadi tetap berpikir positif."Kak, Mbak Rita bikin sw baru beli mobil baru," bisik Bela sambil memperlihat
"Kamu harus mau menikah, Dewa! Mami tidak mau tahu, pokoknya tahun ini kamu harus menikah!" Dewa memijit pelipisnya yang terasa berdenyut sakit. Semakin sakit lagi saat mendengar paksaan dari ibunya yang terbaring lemah di bed rumah sakit ternama. "Sebenarnya Mami tuh sakit apa, sih?" tanya Dewa geram dengan ocehan sang bunda sejak beberapa menit setelah Dewa sampai di ruang rawatnya. "Mami sakit gara-gara mikirin kamu, Dewa! Kamu anak Mami satu-satunya, tapi sampai umur setua ini belum mau menikah. Kamu ini normal apa enggak sih, Dewa?" balas maminya tak mau kalah. "Dewa baru 30 tahun, Mam! Masih muda, masih pengen bebas ngapain aja!" seru Dewa tak terima dikatakan tua oleh ibunya. "Mau sampai kapan, Dewa? Mau tunggu Mami mati dulu baru kamu mau menikah?" Sergah maminya dengan tatapan tajam. "Mam, kenapa sih yang dibahas ini terus? Dewa bosan, Mam," bantah Dewa kesal. "Bulan depan kamu harus menikah sama Yasmin!" putus Bu Erika membuat Dewa melotot tak percaya. "Mam--
"Jadi apa maksunya, Budhe?" cecar Naima menatap tajam ke arah kakak dari ayahnya yang menunduk tepat di depannya.Setelah sedikit berdebat dengan orang yang katanya pemilik rumah baru Naima itu, mereka memutuskan mendatangi rumah Rumi untuk mencari kebenaran."Yu Rum tahu 'kan rumah itu milik Naima dari ibunya, kenapa kalian lancang sekali menjual rumah itu?" sambung Hadi juga turut merasa kesal.Bagaimana tidak kesal, sejak dulu kakaknya itu selalu berbuat semaunya sendiri. Harta warisan dari orang tua mereka sudah dibagi rata, tetapi bagi wanita yang berusia 3 tahun lebih tua dari Hadi itu selalu merasa kurang.Namun yang lebih membuat Hadi marah adalah rumah yang mereka tempati sejatinya adalah rumah mendiang Ratna, istrinya. Tidak ada andil apapun Hadi di sana, sebab sebelum menikah Ratna sudah lebih dulu dibuatkan rumah itu oleh orang tuanya."Selama ini Nai percaya sama Budhe karena Nai tidak memiliki keluarga lain yang bisa Nai percaya. Nai setuju untuk menitipkan sertifikat be
"Namanya Naima, dia bekerja di salah satu restoran milik Pak Erlangga. Dia tinggal di perumahan pinggir kota bersama ayah dan adiknya. Adiknya salah satu siswa SMP terpadu tak jauh dari tempat tinggal mereka." Dewa mangut-mangut mendengar informasi yang dia mau dari Julian, asisten pribadinya. "Tapi--" "Oke," Dewa memutus panggilan teleponnya sepihak sebelum Julian selesai memberi informasi, karena dia harus segera masuk ke pesawat. Menarik koper kecil, lalu berjalan lebih cepat masuk ke dalam pesawat. Malam ini, Dewa akan terbang menuju Jogja untuk memulai misi pertama pencariannya. Dewa begitu yakin dia bisa mematahkan perjodohan yang maminya lakukan dengan perempuan bernama Yasmin itu. Dengan keyakinan akan bisa menemukan gadis yang pernah diamanahkan kepadanya oleh almarhum ayahnya. Malam semakin merangkak saat burung besi yang dia tumpangi mendarat di kota yang berjuluk kota pelajar itu. "Den Dewa," sapa utusan sang eyang untuk menjemputnya di bandara. Dewa hanya
"Apa Eyang tahu sesuatu?" Eyang Surti terdiam sejenak, lalu kembali menaikkan cangkir tehnya mendekat ke bibir."Eyang tidak tahu, Le," ucap Eyang Surti lalu meneguk tehnya perlahan."Sejak kabar kebangkrutannya, Hadi tidak pernah lagi datang ke sini. Kabar terakhir yang Eyang dengar, waktu istrinya meninggal. Sayangnya, tidak ada yang tahu alamat pasti Hadi di mana." lanjutnya kembali menatap Dewa."Dari siapa kabar terakhir yang Eyang dengar itu?" tanya Dewa berharap ada petunjuk."Namanya Diman, mantan karyawan di tempat usahanya dulu yang kebetulan adalah saudara dari salah satu pekerja Eyang." jawab Eyang Surti lagi."Lalu, di mana dia sekarang, Yang?""Sudah meninggal," Bahu Dewa merosot, merasa jalan untuk menemukan gadis anak sahabat ayahnya telah buntu."Tapi kamu bisa coba cari di daerah Ambarukmo, siapa tahu masih ada yang mengenal Hadi di sana. Dulu, Hadi punya toko batik terbesar di sana, siapa tahu masih ada yang mengingatnya." beritahu Eyang Surti menerbitkan kembali
"Gak usah mengada-ada kamu, Dewa!" sentak Erika saat Dewa mengirimkan video calon menantu pilihannya yang sedang bermesraan dengan lelaki lain.Sontak, maminya langsung melakukan panggilan video dan langsung mengomelinya. Dewa terkekeh pelan dan semakin mendekat ke arah Yasmin yang masih bergelayut manja di lengan teman prianya."Ini baru satu, Mi, belum yang lainnya," kikik Dewa mengarahkan kamera ke arah Yasmin.Yang sedang di sorot pun sontak menoleh saat mendengar suara di belakang tubuhnya. Seketika Yasmin melepaskan rangkulannya begitu melihat Dewa berdiri beberapa langkah saja di belakangnya."Dewa?" kejutnya berubah pias, saat terdengar pula suara Erika."Gimana, Mi, masih gak percaya?" ledek Dewa menatap Yasmin dengan tatapan merendahkan."Dewa--, Tante--" Yasmin bangkit berdiri hendak meraih ponsel Dewa tetapi segera ditepis oleh Dewa. Pun dengan panggilan video yang sedang berlangsung juga Dewa akhiri. Membuat Erika mengomel sendiri di seberang sana."Dewa, kenapa bisa di s
Dewa tersentak menatap orang yang dia tabrak sampai jatuh terduduk. Ya, orang itu adalah Naima. Naima meringis lalu berusaha bangun dari duduknya."Kamu ...." kejut Dewa segera membantu Naima untuk berdiri.Naima tak kalah terkejut melihat Dewa ada di hadapannya. Sesaat keduanya terdiam, Naima menunduk sembari membersihkan debu di bagian belakang tubuhnya, dia pun baru menyadari kalau sikunya terluka saat menahan bobot tubuhnya waktu terhempas cukup kencang tadi.Dia kurang fokus saat berjalan, pun dengan Dewa yang juga fokus kepada ponselnya."Kamu kenapa di sini?" tanya Dewa memecah kebisuan keduanya."Saya--""Sikumu berdarah, sebentar saya ambil obat di mobil," sela Dewa saat menyadari ada luka di siku Naima.Tanpa menunggu jawaban Naima, Dewa kembali melangkah ke mobilnya lalu mencari kotak obat di sana. Setelah menemukannya Dewa segera kembali, lalu membawa Naima masuk ke dalam kafe yang menjadi tujuannya tadi.Setelah membayar minumannya sendiri, Dewa tak lupa memesan satu lag
Naima menatap ikan koi yang beraneka warna dengan ukuran yang besar dan jumlah yang tak sedikit itu dengan mata berbinar. Dulu ... Dulu sekali saat usaha ayahnya berjaya dan mereka tinggal di kompleks perumahan yang berada tak jauh dari tempat usaha ayahnya, dia pernah juga memelihara ikan jenis itu dalam jumlah banyak.Ikan-ikan itu berenang kesana-kemari membuatnya begitu gemas, apalagi ukurannya yang besar-besar.Begitu sampai di rumah itu, Naima memang menolak untuk ikut masuk ke dalam dan memilih menunggu Dewa di halaman samping kiri yang terdapat kolam ikan dalam ukuran besar.Di dalam rumah, Dewa sedang berbicara serius mengenai teman ayahnya yang dia cari. Arya mengarahkan Dewa untuk mendatangi rumahnya dan melihat langsung semua berkas jual beli toko batik milik orang yang Dewa cari itu.Dan di sanalah dia, duduk berhadapan dengan istri Arya dengan menatap satu persatu berkas-berkas yang mungkin bisa menjadi petunjuk untuknya."Semua berkas masih lengkap, Mas," ujar Ayumi, is
"Nai, kamu ndak kerja?" tanya Sri yang melihat Naima masuk membawakan sarapan untuknya."Nai berhenti kerja, Bulik, mau fokus sama Bapak dulu." jawabnya lalu ikut duduk di samping Sri.Sri menatap keponakannya itu dengan tatapan bersalah. Dia tahu kalau Hadi dirawat di sana juga karena tadi Naima sudah mengiriminya pesan, jadilah dia tak terkejut saat tiba-tiba Naima ada di sana."Maafin Bulik, ya, Nduk, kami ndak bisa bantu apa-apa," ucap Sri penuh sesal."Bulik sudah sangat banyak membantu kami. Justru kami yang minta maaf karena sudah terlalu banyak merepotkan Bulik dan Paklik," balas Naima setulus hati."Kita keluarga, Nai, sudah seharusnya saling bantu." sahut Sri dan diangguki kepala oleh Naima tanda setuju. Sayangnya, hati Naima mengutuk perbuatan saudaranya yang lain."Gimana Bapakmu?" tanya Sri menanyakan kondisi Hadi karena memang setelah kejadian semalam dia baru fokus pada suaminya."Bapak sudah bisa tidur, Bulik, ternyata jahitannya infeksi." terang Naima."Sebenarnya gim
Pagi ini Naima bersiap lebih pagi, karena dia akan membawa bapaknya berobat ke rumah sakit. Semalaman bapaknya tak bisa tidur sebab demam tinggi sampai mengigil."Sudah, Bel?" tanyanya begitu melihat Bela keluar dengan membawa tas sedang berisi perlengkapan."Sudah, Kak. Mobilnya sudah datang, ya?" jawab dan tanya Bela. Naima mengangguk sebagai jawaban.Dia segera ke kamar dan membantu bapaknya untuk keluar karena mobil yang dia pesan dengan dibantu tetangga depan rumahnya sudah datang."Pelan-pelan, Pak," peringat Naima saat Hadi hampir saja oleng."Bapak pusing sekali, Nduk," keluh Hadi sambil berpegangan pada kusen pintu."Tahan sebentar, Pak, sedikit lagi saja." ucap Naima menenangkan.Bela datang setelah memasukkan tas ke dalam mobil lalu membantu memapah Hadi untuk segera naik ke mobil.Setelah Naima memastikan pintu rumah terkunci, mereka segera berangkat ke rumah sakit yang sama dimana Tarno juga sedang dirawat Di perjalanan, Naima sempat membalas pesan yang Dewa kirimkan. T
Naima kembali duduk di samping bapaknya setelah para warga pamit pulang. Tak lupa Naima mengucapkan terimakasih karena mereka sudah berkenan menolong bapaknya."Apa yang sakit, Pak?" tanya Naima khawatir melihat bapaknya meringis memegangi lengannya yang dibebat perban."Ndak apa-apa, Nduk, nanti juga sembuh," jawab Hadi pelan."Apa perlu kita periksa ke rumah sakit saja, Pak?" tawar Dewa yang masih berada di sana."Ndak usah, Mas ... ini tadi sudah dijahit sama Bu Bidan." tolak Hadi lagi."Bagian lain ada yang terluka, Pak?" tanya Naima memastikan lagi."Ndak ada, kalian jangan khawatir!""Kejadiannya gimana, Pak? Kok, bisa Bapak dikeroyok orang tak dikenal?" tanya Dewa pada akhirnya setelah cukup lama ditahan.Bela datang membawakan air putih untuk bapaknya dan segelas teh panas untuk Dewa."Bapak juga ndak tahu, Mas ... tadinya Lek No yang dengar suara ribut-ribut di depan. Terus karena penasaran, kami keluar buat lihat karena kebetulan cuma kami yang masih di teras. Eh, baru sampa
"Nai, besok aku pulang ke Jakarta dulu," ucap Dewa saat dalam perjalanan menuju rumah Naima."Mau bilang ke Mami soal rencana pernikahan kita." lanjutnya lagi membuat Naima menoleh ke arahnya."Mas Dewa yakin?" tanya Naima pelan, Dewa menoleh sekilas lalu kembali fokus pada jalanan."Sangat yakin, Nai." jawabnya tanpa ragu."Kenapa?" tanya Naima lagi. Terdengar keraguan dari nada suaranya."Maksud aku, alasan Mas Dewa kukuh mau nikahin aku itu kenapa?" jelas Naima pelan.Dewa meraih tangan Naima untuk dia genggam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya fokus pada kemudi. Dia tak lantas menjawab pertanyaan Naima, dia memikirkan kalimat yang tepat lebih dulu."Aku gak tahu, Nai," jawabnya singkat.Alis Naima terangkat sebelah membuat Dewa terkekeh pelan melihatnya."Kamu masih ragu, Nai?""Wajar aku ragu, Mas. Kita baru beberapa kali ketemu, terus tiba-tiba kamu seniat itu mau nikahin aku. Aku jadi takut, kalau ternyata aku hanya kamu jadikan pelarian saja." ungkap Naima sejuju
"Eyang rasa itu memang bukan rencana yang buruk, Le, tapi resikonya akan lebih besar lagi kalau kamu melakukan itu." tanggap eyang Surti saat Dewa mengutarakan rencana yang ada di pikirannya."Benar, Dewa ... kita semua tahu seperti apa Mami kamu. Dia bisa marah besar kalau kamu melakukan itu dan dia tahu kami mendukung kamu." sambung Tantri yang juga berada di sana."Lalu Dewa harus gimana, Eyang, Tante?" "Pulanglah, bicaralah sama Mami kamu dengan baik-baik. Katakan kalau kamu sudah menjatuhkan pilihan kepada perempuan lain," saran eyang Surti kepada cucu pertamanya itu."Tapi Mami pasti nolak, Yang,""Coba dulu, Dewa! Jangan terus berpikir negatif tentang Mami kamu, siapa tahu kali ini Mamimu akan mendengarkan kamu." hibur Tantri yang sangat mengerti keresahan keponakannya.Tantri menatap Dewa iba, sejujurnya Dewa adalah anak yang baik. Buktinya selama ini dia selalu menuruti apapun keputusan maminya.Dewa menghela nafas besar, lalu mengangguk samar. Meski ragu, akhirnya Dewa memu
"Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" Naima menoleh menatap Dewa yang entah sejak kapan memandangi dirinya. Semilir angin sepoi menerbangkan rambut Naima sampai ke wajah membuat Dewa terpesona. Sungguh, Dewa merasa tatapannya tak mau berpaling dari wajah ayu Naima.Naima menghela nafas besar, seolah ada beban berat yang saat ini tengah dia pikul."Mas Dewa beneran mau nikahin aku?" tanya Naima menatap dalam mata Dewa.Dewa tertegun sejenak, bahkan setelah dia mengenalkan Naima dengan eyangnya, Naima masih mempertanyakan soal itu."Tentu saja, memangnya ada apa? Kamu keberatan?" ujar Dewa sedikit protes keseriusannya masih diragukan oleh Naima.Naima mengalihkan tatapannya dari Dewa, menatap berbagai tanaman yang bergoyang sebab tertiup angin malam."Enggak, tapi--""Kenapa?" Dewa menggenggam tangan Naima lembut."Mami, Mas Dewa--""Soal itu biar jadi urusan aku. Kamu sendiri dengar 'kan kalau Eyang, Om, Tante juga Lintang akan bantu buat meyakinkan Mami," ujar Dewa mengerti keresahan Nai
"Kamu gugup?" tanya Dewa saat melihat Naima meremas-remas jemarinya yang saling bertautan di pangkuannya sendiri.Naima mengangguk pelan. Tentu saja dia gugup, meski susah menyiapkan diri sedemikian rupa akan tetapi yang akan dia hadapi adalah keluarga orang kaya. Yang selalu punya standart tinggi tentang seseorang yang akan masuk ke dalam keluarganya.Naima cukup tahu diri di mana posisinya. Meski tidak berharap banyak tetapi tetap saja dia merasa gugup. Dia pernah ditolak saat datang berkunjung ke rumah temannya yang orang kaya hanya karena dia memakai pakaian murah dan sendal jepit biasa.Apalagi ini? Dia bahkan memakai seragam kerja, hitam dan putih. Kelihatan sekali kalau dia baru mulai bekerja."Kenapa? Tenang ... Eyang aku baik, kok," hibur Dewa meraih satu tangan Naima untuk dia genggam.Meski begitu, Naima tetap merasa gugup. Wajar bukan? Karena dia tahu diri, kasta mereka berbeda.Tak butuh waktu lama, mobil yang dikendarai Dewa sudah masuk ke perumahan elit. Jantung Naima s
"Naima," Naima segera menguasai diri, dia menundukkan setengah badan lalu segera keluar dari bilik itu. "Nai, tunggu!" Panggilan perempuan yang merupakan sepupunya itu kembali menahan langkah kakinya."Kenapa?" tanya Naima datar dan nyaris tanpa ekspresi setelah beberapa detik yang lalu dia cukup terkejut."Kamu kapan pulang?" tanya Rita tampak salah tingkah."Sudah beberapa hari," jawab Naima singkat."Permisi, saya harus bekerja," lanjutnya hendak kembali melangkah, namun lagi-lagi suara Rita mengurungkan langkahnya."Kamu kerja di sini? Kupikir jauh-jauh ke Kalimantan udah jadi kaya kamu? Atau minimal ketemu pengusaha tambanglah. Eh, taunya masih ngebabu aja," ucapnya mencibir sambil melipat tangan di dada."Atau di Kalimantan pun kamu jadi jongos juga? Kasihan ...." ejeknya lagi. Naima diam tak menanggapi meski kata-kata Rita cukup menusuk hati."Mau kuajari biar cepet kaya?" Lanjut Rita dengan ekspresi songong.Naima menoleh dengan senyum mengejek ke arah sepupu yang lebih mu
"Kamu pakai buat ngapel cewek mana mobil Om, Dewa?" sambut Ndaru begitu keponakannya nampak keluar dari mobil.Dewa tertawa keras, begitu juga dengan Ndaru. Om dan keponakan itu lantas saling memeluk melepas rindu."Om, bisa aja! Kata Eyang, Om lagi di Semarang makanya Dewa pakai mobilnya," kilah Dewa sembari terkekeh."Sudah lama sekali kamu gak datang Dewa," Ndaru menepuk pelan punggung Dewa."Kapan sampai rumah, Om?" tanya Dewa lagi."Tadi subuh, soalnya Om ada kerjaan nanti siang," jawab adik dari mendiang ayah Dewa itu lalu kembali duduk di kursi teras."Tante sama Lintang ikut pulang juga?""Enggak, mereka mau jalan-jalan sama Budhe Harsi dulu mumpung pada kumpul," jawab Ndaru menyebut kakak iparnya."Nginep di mana kamu Dewa?" tanya Ndaru lagi menatap keponakannya intens."Di villa yang dekat kebun teh, Om?""Nglinggo?" Dewa mengangguk sebagai jawaban. Karena memang hanya daerah itu kebun teh yang terkenal di sekitaran Jogja."Sama cewek?" cecar lelaki yang berparas mirip denga