Naima menatap ikan koi yang beraneka warna dengan ukuran yang besar dan jumlah yang tak sedikit itu dengan mata berbinar. Dulu ... Dulu sekali saat usaha ayahnya berjaya dan mereka tinggal di kompleks perumahan yang berada tak jauh dari tempat usaha ayahnya, dia pernah juga memelihara ikan jenis itu dalam jumlah banyak.Ikan-ikan itu berenang kesana-kemari membuatnya begitu gemas, apalagi ukurannya yang besar-besar.Begitu sampai di rumah itu, Naima memang menolak untuk ikut masuk ke dalam dan memilih menunggu Dewa di halaman samping kiri yang terdapat kolam ikan dalam ukuran besar.Di dalam rumah, Dewa sedang berbicara serius mengenai teman ayahnya yang dia cari. Arya mengarahkan Dewa untuk mendatangi rumahnya dan melihat langsung semua berkas jual beli toko batik milik orang yang Dewa cari itu.Dan di sanalah dia, duduk berhadapan dengan istri Arya dengan menatap satu persatu berkas-berkas yang mungkin bisa menjadi petunjuk untuknya."Semua berkas masih lengkap, Mas," ujar Ayumi, is
Sepanjang perjalanan, Dewa berdecak kagum dengan luasnya hamparan kebun teh di kanan dan kiri jalan. Dia tak menyangka masih ada tempat seindah itu."Ini luar biasa, Nai?" kagumnya untuk yang ke sekian kalinya. Naima terkekeh pelan di sampingnya."Ini pas mendung, Mas, coba pas cerah, akan lebih indah dari ini." ujar Naima membuatnya menoleh."Iyakah? Kalau begitu saya mau menginap di tempatmu saja, besok pagi pasti jauh lebih indah," ucap Dewa asal membuat Naima mencebik."Saya saja numpang di rumah orang," cebiknya."Kalau mau menginap, tuh di atas sana ada penginapan. Bagus juga kok, kayak Vila gitu," lanjut Naima memberitahukan."Iyakah? Fix, saya mau nginap, tapi kamu temani saya, ya?" tawar Dewa tanpa merasa berdosa."Mas Dewa pikir saya perempuan apaan? Meskipun saya pernah jual diri saya, tapi itu adalah untuk yang pertama dan terakhir kalinya," sahut Naima tersinggung dengan tawaran Dewa.Mendengar suara ketus Naima sontak Dewa menoleh dan mendapati wajah Naima merengut. Seke
"Nai ... siapa?" tanya buliknya begitu Naima ke dapur."Teman, Bulik," sahut Naima sambil tersenyum."Yang bener?" selidik Sri dengan mata memicing.Naima hanya tersenyum menanggapi, lalu mulai menuangkan gula dan kopi hitam ke dalam cangkir."Ganteng, Nai ... mobilnya bagus," kagum Sri yang mengintip dari sela gorden pembatas antara dapur dan ruang tamu di mana Dewa duduk di sana."Bela ke mana, Bulik?" tanya Naima mengalihkan topik."Diajak si Ardi beli bakso, tadi katanya udah wa kamu tapi gak dibuka," jawab Sri tanpa menoleh. Tatapannya masih terpaku pada Dewa yang duduk sambil memainkan ponselnya."Iya, hp Nai mati," Naima lalu membawa kopi yang sudah dia buat ke depan, Sri dengan girang mengekor ikut ke depan."Diminum, Mas," tawar Naima meletakkan kopi yang masih mengepulkan asap itu di hadapan Dewa.Dewa mendongak lalu tersenyum, "terimakasih, Nai," "Monggo diminum, Mas," sambung Sri ramah."Terimakasih, Bu, maaf merepotkan," "Eh, cuma air saja, ndak repot." jawab Sri sambi
Naima nampak terkejut mendengar cerita buliknya, tetapi tidak dengan Bela karena gadis itu sudah menduganya sejak awal. Berawal dari story wa kakak sepupunya itu yang kerap pamer barang-barang mewah juga postingan liburan ke berbagai tempat."Kalau gak ada bukti bisa jadi fitnah lho, Buk," tegur Tarno lagi."Ada, Pak ... anak-anak sini semua sudah pada tahu, kok. Pantesan aja dia gak pernah pulang ke sini 'kan?" sahut Sri lagi."Iya, aku juga sering lihat story wa dia, kok, Bulik," ujar Bela dengan santai."Tuh, kan ... berarti selama ini benar kalau si Rita itu jadi wanita gak bener," cerocos Sri lagi."Belum tentu, Buk, bisa saja si Rita itu bergaya dari duit hasil gadaikan sertifikatnya Naima," debat Tarno lagi."Seberapa, sih, hasil pinjam di Bank itu, Pak? Paling banter juga 500 juta, sama hasil jual rumah Naima itu gak sampai 1M, tapi gayanya si Rita udah kayak artis ibu kota saja. Ya bebelian barang mewah, perawatan kecantikan, jalan-jalan terus bahkan sampai ke luar negeri. D
"Anak Bapak udah punya pacar, ya?" Mendengar itu, sontak Naima melepaskan pelukannya. Membuat Hadi terkekeh pelan."Bener?" kata Hadi lagi saat Naima tak kunjung menjawab atau membantah. Malah wajahnya yang terlihat memerah dan salah tingkah."Bapak--""Bulik tadi cerita, kalau anak Bapak ini diantar pulang sama laki-laki." aku Hadi pada akhirnya."Bener pacar?" ulang Hadi lagi menatap wajah Naima intens.Naima nampak gugup, dia tak tahu harus menjawab apa. Sampai senyum lebar serta usapan sayang tangan Hadi menenangkannya."Boleh, kok, pacaran. Asal harus bisa jaga diri." pesan sang ayah yang terasa menusuk hatinya. Tidak ada yang salah dengan pesan itu, pesan yang umum dikatakan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya. Hanya di bagian jaga diri itulah dia merasa tertampar. Karena kenyataannya, dia dekat dengan Dewa lantaran tidak bisa menjaga dirinya."Kamu sudah dewasa, sudah seharusnya kamu menikmati masa muda kamu. Bertemanlah dengan banyak orang, tetapi tetap harus ingat un
Naima nampak kikuk saat menyuguhkan kopi panas untuk Dewa yang kini sedang duduk berhadapan dengan ayahnya. Dia merasa takut kalau-kalau ayahnya akan bicara yang tidak-tidak mengenai hubungan mereka yang belum jelas kepastiannya mau seperti apa."Maaf, Mas, Nai tinggal mandi dulu," ijin Naima karena memang saat itu dia belum mandi. Jam menunjukkan pukul 6 pagi dan Dewa sudah datang sepagi itu, padahal jam kerja Naima masih nanti jam 10. Dewa mengangguk lalu tersenyum manis."Jadi rencananya mau berapa lama di Jogja, Mas?" tanya Hadi setelah Naima berlalu."Untuk kali ini rencananya 2 minggu, Pak, tapi bisa jadi juga kurang dari itu." jawab Dewa ramah."Mas Dewa katanya ketemu anak saya di Kalimantan, benar?""Benar, Pak, saat itu saya ada kunjungan kerja di sana.""Kalau boleh tahu, Mas Dewa kerja apa? Maksud Bapak usaha Mas Dewa di bidang apa?" tanya Hadi hati-hati agar Dewa tak tersinggung."Usaha saya sendiri di bidang industri, Pak. Khususnya di perhotelan dan akan merambah ke re
"Kita mampir ke penginapan dulu sebentar, ya?" kata Dewa setelah mobil keluar dari gang rumah Naima."Ngapain?" tanya Naima menoleh ke arahnya."Kamu gak lihat, aku masih pakai baju kemarin. Aku belum mandi, Nai," jawab Dewa membuat Naima tertawa mencibir."Lagian, bertamu kok pagi banget. Pemilik rumah saja belum bangun, Mas," ledek Naima membuat Dewa tersenyum kikuk."Aku gak bisa tidur, Nai, kedinginan." jawab Dewa apa adanya."Kan ada selimut? Pakai baju juga, masa kedinginan?""Aku semalam gak pakai baju, untuk meminimalisir baju ini bauk iler," sahut Dewa menarik pelan bajunya membuat Naima tertawa."Kita nanti lewatin toko baju, Mas Dewa bisa beli baju ganti di sana," kata Naima setelah tawanya usai. Dewa mengangguk, tadi waktu jalan ke rumah Naima dia pun melihat ada beberapa toko baju yang dia lewati.Akan tetapi karena masih terlalu pagi, beberapa toko yang mereka lewati belum buka. Beruntungnya mereka menemukan satu toko yang baru saja buka. Dewa memutuskan menepi dan menga
"Kamu pakai buat ngapel cewek mana mobil Om, Dewa?" sambut Ndaru begitu keponakannya nampak keluar dari mobil.Dewa tertawa keras, begitu juga dengan Ndaru. Om dan keponakan itu lantas saling memeluk melepas rindu."Om, bisa aja! Kata Eyang, Om lagi di Semarang makanya Dewa pakai mobilnya," kilah Dewa sembari terkekeh."Sudah lama sekali kamu gak datang Dewa," Ndaru menepuk pelan punggung Dewa."Kapan sampai rumah, Om?" tanya Dewa lagi."Tadi subuh, soalnya Om ada kerjaan nanti siang," jawab adik dari mendiang ayah Dewa itu lalu kembali duduk di kursi teras."Tante sama Lintang ikut pulang juga?""Enggak, mereka mau jalan-jalan sama Budhe Harsi dulu mumpung pada kumpul," jawab Ndaru menyebut kakak iparnya."Nginep di mana kamu Dewa?" tanya Ndaru lagi menatap keponakannya intens."Di villa yang dekat kebun teh, Om?""Nglinggo?" Dewa mengangguk sebagai jawaban. Karena memang hanya daerah itu kebun teh yang terkenal di sekitaran Jogja."Sama cewek?" cecar lelaki yang berparas mirip denga