"Nai ... siapa?" tanya buliknya begitu Naima ke dapur."Teman, Bulik," sahut Naima sambil tersenyum."Yang bener?" selidik Sri dengan mata memicing.Naima hanya tersenyum menanggapi, lalu mulai menuangkan gula dan kopi hitam ke dalam cangkir."Ganteng, Nai ... mobilnya bagus," kagum Sri yang mengintip dari sela gorden pembatas antara dapur dan ruang tamu di mana Dewa duduk di sana."Bela ke mana, Bulik?" tanya Naima mengalihkan topik."Diajak si Ardi beli bakso, tadi katanya udah wa kamu tapi gak dibuka," jawab Sri tanpa menoleh. Tatapannya masih terpaku pada Dewa yang duduk sambil memainkan ponselnya."Iya, hp Nai mati," Naima lalu membawa kopi yang sudah dia buat ke depan, Sri dengan girang mengekor ikut ke depan."Diminum, Mas," tawar Naima meletakkan kopi yang masih mengepulkan asap itu di hadapan Dewa.Dewa mendongak lalu tersenyum, "terimakasih, Nai," "Monggo diminum, Mas," sambung Sri ramah."Terimakasih, Bu, maaf merepotkan," "Eh, cuma air saja, ndak repot." jawab Sri sambi
Naima nampak terkejut mendengar cerita buliknya, tetapi tidak dengan Bela karena gadis itu sudah menduganya sejak awal. Berawal dari story wa kakak sepupunya itu yang kerap pamer barang-barang mewah juga postingan liburan ke berbagai tempat."Kalau gak ada bukti bisa jadi fitnah lho, Buk," tegur Tarno lagi."Ada, Pak ... anak-anak sini semua sudah pada tahu, kok. Pantesan aja dia gak pernah pulang ke sini 'kan?" sahut Sri lagi."Iya, aku juga sering lihat story wa dia, kok, Bulik," ujar Bela dengan santai."Tuh, kan ... berarti selama ini benar kalau si Rita itu jadi wanita gak bener," cerocos Sri lagi."Belum tentu, Buk, bisa saja si Rita itu bergaya dari duit hasil gadaikan sertifikatnya Naima," debat Tarno lagi."Seberapa, sih, hasil pinjam di Bank itu, Pak? Paling banter juga 500 juta, sama hasil jual rumah Naima itu gak sampai 1M, tapi gayanya si Rita udah kayak artis ibu kota saja. Ya bebelian barang mewah, perawatan kecantikan, jalan-jalan terus bahkan sampai ke luar negeri. D
"Anak Bapak udah punya pacar, ya?" Mendengar itu, sontak Naima melepaskan pelukannya. Membuat Hadi terkekeh pelan."Bener?" kata Hadi lagi saat Naima tak kunjung menjawab atau membantah. Malah wajahnya yang terlihat memerah dan salah tingkah."Bapak--""Bulik tadi cerita, kalau anak Bapak ini diantar pulang sama laki-laki." aku Hadi pada akhirnya."Bener pacar?" ulang Hadi lagi menatap wajah Naima intens.Naima nampak gugup, dia tak tahu harus menjawab apa. Sampai senyum lebar serta usapan sayang tangan Hadi menenangkannya."Boleh, kok, pacaran. Asal harus bisa jaga diri." pesan sang ayah yang terasa menusuk hatinya. Tidak ada yang salah dengan pesan itu, pesan yang umum dikatakan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya. Hanya di bagian jaga diri itulah dia merasa tertampar. Karena kenyataannya, dia dekat dengan Dewa lantaran tidak bisa menjaga dirinya."Kamu sudah dewasa, sudah seharusnya kamu menikmati masa muda kamu. Bertemanlah dengan banyak orang, tetapi tetap harus ingat un
Naima nampak kikuk saat menyuguhkan kopi panas untuk Dewa yang kini sedang duduk berhadapan dengan ayahnya. Dia merasa takut kalau-kalau ayahnya akan bicara yang tidak-tidak mengenai hubungan mereka yang belum jelas kepastiannya mau seperti apa."Maaf, Mas, Nai tinggal mandi dulu," ijin Naima karena memang saat itu dia belum mandi. Jam menunjukkan pukul 6 pagi dan Dewa sudah datang sepagi itu, padahal jam kerja Naima masih nanti jam 10. Dewa mengangguk lalu tersenyum manis."Jadi rencananya mau berapa lama di Jogja, Mas?" tanya Hadi setelah Naima berlalu."Untuk kali ini rencananya 2 minggu, Pak, tapi bisa jadi juga kurang dari itu." jawab Dewa ramah."Mas Dewa katanya ketemu anak saya di Kalimantan, benar?""Benar, Pak, saat itu saya ada kunjungan kerja di sana.""Kalau boleh tahu, Mas Dewa kerja apa? Maksud Bapak usaha Mas Dewa di bidang apa?" tanya Hadi hati-hati agar Dewa tak tersinggung."Usaha saya sendiri di bidang industri, Pak. Khususnya di perhotelan dan akan merambah ke re
"Kita mampir ke penginapan dulu sebentar, ya?" kata Dewa setelah mobil keluar dari gang rumah Naima."Ngapain?" tanya Naima menoleh ke arahnya."Kamu gak lihat, aku masih pakai baju kemarin. Aku belum mandi, Nai," jawab Dewa membuat Naima tertawa mencibir."Lagian, bertamu kok pagi banget. Pemilik rumah saja belum bangun, Mas," ledek Naima membuat Dewa tersenyum kikuk."Aku gak bisa tidur, Nai, kedinginan." jawab Dewa apa adanya."Kan ada selimut? Pakai baju juga, masa kedinginan?""Aku semalam gak pakai baju, untuk meminimalisir baju ini bauk iler," sahut Dewa menarik pelan bajunya membuat Naima tertawa."Kita nanti lewatin toko baju, Mas Dewa bisa beli baju ganti di sana," kata Naima setelah tawanya usai. Dewa mengangguk, tadi waktu jalan ke rumah Naima dia pun melihat ada beberapa toko baju yang dia lewati.Akan tetapi karena masih terlalu pagi, beberapa toko yang mereka lewati belum buka. Beruntungnya mereka menemukan satu toko yang baru saja buka. Dewa memutuskan menepi dan menga
"Kamu pakai buat ngapel cewek mana mobil Om, Dewa?" sambut Ndaru begitu keponakannya nampak keluar dari mobil.Dewa tertawa keras, begitu juga dengan Ndaru. Om dan keponakan itu lantas saling memeluk melepas rindu."Om, bisa aja! Kata Eyang, Om lagi di Semarang makanya Dewa pakai mobilnya," kilah Dewa sembari terkekeh."Sudah lama sekali kamu gak datang Dewa," Ndaru menepuk pelan punggung Dewa."Kapan sampai rumah, Om?" tanya Dewa lagi."Tadi subuh, soalnya Om ada kerjaan nanti siang," jawab adik dari mendiang ayah Dewa itu lalu kembali duduk di kursi teras."Tante sama Lintang ikut pulang juga?""Enggak, mereka mau jalan-jalan sama Budhe Harsi dulu mumpung pada kumpul," jawab Ndaru menyebut kakak iparnya."Nginep di mana kamu Dewa?" tanya Ndaru lagi menatap keponakannya intens."Di villa yang dekat kebun teh, Om?""Nglinggo?" Dewa mengangguk sebagai jawaban. Karena memang hanya daerah itu kebun teh yang terkenal di sekitaran Jogja."Sama cewek?" cecar lelaki yang berparas mirip denga
"Naima," Naima segera menguasai diri, dia menundukkan setengah badan lalu segera keluar dari bilik itu. "Nai, tunggu!" Panggilan perempuan yang merupakan sepupunya itu kembali menahan langkah kakinya."Kenapa?" tanya Naima datar dan nyaris tanpa ekspresi setelah beberapa detik yang lalu dia cukup terkejut."Kamu kapan pulang?" tanya Rita tampak salah tingkah."Sudah beberapa hari," jawab Naima singkat."Permisi, saya harus bekerja," lanjutnya hendak kembali melangkah, namun lagi-lagi suara Rita mengurungkan langkahnya."Kamu kerja di sini? Kupikir jauh-jauh ke Kalimantan udah jadi kaya kamu? Atau minimal ketemu pengusaha tambanglah. Eh, taunya masih ngebabu aja," ucapnya mencibir sambil melipat tangan di dada."Atau di Kalimantan pun kamu jadi jongos juga? Kasihan ...." ejeknya lagi. Naima diam tak menanggapi meski kata-kata Rita cukup menusuk hati."Mau kuajari biar cepet kaya?" Lanjut Rita dengan ekspresi songong.Naima menoleh dengan senyum mengejek ke arah sepupu yang lebih mu
"Kamu gugup?" tanya Dewa saat melihat Naima meremas-remas jemarinya yang saling bertautan di pangkuannya sendiri.Naima mengangguk pelan. Tentu saja dia gugup, meski susah menyiapkan diri sedemikian rupa akan tetapi yang akan dia hadapi adalah keluarga orang kaya. Yang selalu punya standart tinggi tentang seseorang yang akan masuk ke dalam keluarganya.Naima cukup tahu diri di mana posisinya. Meski tidak berharap banyak tetapi tetap saja dia merasa gugup. Dia pernah ditolak saat datang berkunjung ke rumah temannya yang orang kaya hanya karena dia memakai pakaian murah dan sendal jepit biasa.Apalagi ini? Dia bahkan memakai seragam kerja, hitam dan putih. Kelihatan sekali kalau dia baru mulai bekerja."Kenapa? Tenang ... Eyang aku baik, kok," hibur Dewa meraih satu tangan Naima untuk dia genggam.Meski begitu, Naima tetap merasa gugup. Wajar bukan? Karena dia tahu diri, kasta mereka berbeda.Tak butuh waktu lama, mobil yang dikendarai Dewa sudah masuk ke perumahan elit. Jantung Naima s
"Nai, kamu ndak kerja?" tanya Sri yang melihat Naima masuk membawakan sarapan untuknya."Nai berhenti kerja, Bulik, mau fokus sama Bapak dulu." jawabnya lalu ikut duduk di samping Sri.Sri menatap keponakannya itu dengan tatapan bersalah. Dia tahu kalau Hadi dirawat di sana juga karena tadi Naima sudah mengiriminya pesan, jadilah dia tak terkejut saat tiba-tiba Naima ada di sana."Maafin Bulik, ya, Nduk, kami ndak bisa bantu apa-apa," ucap Sri penuh sesal."Bulik sudah sangat banyak membantu kami. Justru kami yang minta maaf karena sudah terlalu banyak merepotkan Bulik dan Paklik," balas Naima setulus hati."Kita keluarga, Nai, sudah seharusnya saling bantu." sahut Sri dan diangguki kepala oleh Naima tanda setuju. Sayangnya, hati Naima mengutuk perbuatan saudaranya yang lain."Gimana Bapakmu?" tanya Sri menanyakan kondisi Hadi karena memang setelah kejadian semalam dia baru fokus pada suaminya."Bapak sudah bisa tidur, Bulik, ternyata jahitannya infeksi." terang Naima."Sebenarnya gim
Pagi ini Naima bersiap lebih pagi, karena dia akan membawa bapaknya berobat ke rumah sakit. Semalaman bapaknya tak bisa tidur sebab demam tinggi sampai mengigil."Sudah, Bel?" tanyanya begitu melihat Bela keluar dengan membawa tas sedang berisi perlengkapan."Sudah, Kak. Mobilnya sudah datang, ya?" jawab dan tanya Bela. Naima mengangguk sebagai jawaban.Dia segera ke kamar dan membantu bapaknya untuk keluar karena mobil yang dia pesan dengan dibantu tetangga depan rumahnya sudah datang."Pelan-pelan, Pak," peringat Naima saat Hadi hampir saja oleng."Bapak pusing sekali, Nduk," keluh Hadi sambil berpegangan pada kusen pintu."Tahan sebentar, Pak, sedikit lagi saja." ucap Naima menenangkan.Bela datang setelah memasukkan tas ke dalam mobil lalu membantu memapah Hadi untuk segera naik ke mobil.Setelah Naima memastikan pintu rumah terkunci, mereka segera berangkat ke rumah sakit yang sama dimana Tarno juga sedang dirawat Di perjalanan, Naima sempat membalas pesan yang Dewa kirimkan. T
Naima kembali duduk di samping bapaknya setelah para warga pamit pulang. Tak lupa Naima mengucapkan terimakasih karena mereka sudah berkenan menolong bapaknya."Apa yang sakit, Pak?" tanya Naima khawatir melihat bapaknya meringis memegangi lengannya yang dibebat perban."Ndak apa-apa, Nduk, nanti juga sembuh," jawab Hadi pelan."Apa perlu kita periksa ke rumah sakit saja, Pak?" tawar Dewa yang masih berada di sana."Ndak usah, Mas ... ini tadi sudah dijahit sama Bu Bidan." tolak Hadi lagi."Bagian lain ada yang terluka, Pak?" tanya Naima memastikan lagi."Ndak ada, kalian jangan khawatir!""Kejadiannya gimana, Pak? Kok, bisa Bapak dikeroyok orang tak dikenal?" tanya Dewa pada akhirnya setelah cukup lama ditahan.Bela datang membawakan air putih untuk bapaknya dan segelas teh panas untuk Dewa."Bapak juga ndak tahu, Mas ... tadinya Lek No yang dengar suara ribut-ribut di depan. Terus karena penasaran, kami keluar buat lihat karena kebetulan cuma kami yang masih di teras. Eh, baru sampa
"Nai, besok aku pulang ke Jakarta dulu," ucap Dewa saat dalam perjalanan menuju rumah Naima."Mau bilang ke Mami soal rencana pernikahan kita." lanjutnya lagi membuat Naima menoleh ke arahnya."Mas Dewa yakin?" tanya Naima pelan, Dewa menoleh sekilas lalu kembali fokus pada jalanan."Sangat yakin, Nai." jawabnya tanpa ragu."Kenapa?" tanya Naima lagi. Terdengar keraguan dari nada suaranya."Maksud aku, alasan Mas Dewa kukuh mau nikahin aku itu kenapa?" jelas Naima pelan.Dewa meraih tangan Naima untuk dia genggam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya fokus pada kemudi. Dia tak lantas menjawab pertanyaan Naima, dia memikirkan kalimat yang tepat lebih dulu."Aku gak tahu, Nai," jawabnya singkat.Alis Naima terangkat sebelah membuat Dewa terkekeh pelan melihatnya."Kamu masih ragu, Nai?""Wajar aku ragu, Mas. Kita baru beberapa kali ketemu, terus tiba-tiba kamu seniat itu mau nikahin aku. Aku jadi takut, kalau ternyata aku hanya kamu jadikan pelarian saja." ungkap Naima sejuju
"Eyang rasa itu memang bukan rencana yang buruk, Le, tapi resikonya akan lebih besar lagi kalau kamu melakukan itu." tanggap eyang Surti saat Dewa mengutarakan rencana yang ada di pikirannya."Benar, Dewa ... kita semua tahu seperti apa Mami kamu. Dia bisa marah besar kalau kamu melakukan itu dan dia tahu kami mendukung kamu." sambung Tantri yang juga berada di sana."Lalu Dewa harus gimana, Eyang, Tante?" "Pulanglah, bicaralah sama Mami kamu dengan baik-baik. Katakan kalau kamu sudah menjatuhkan pilihan kepada perempuan lain," saran eyang Surti kepada cucu pertamanya itu."Tapi Mami pasti nolak, Yang,""Coba dulu, Dewa! Jangan terus berpikir negatif tentang Mami kamu, siapa tahu kali ini Mamimu akan mendengarkan kamu." hibur Tantri yang sangat mengerti keresahan keponakannya.Tantri menatap Dewa iba, sejujurnya Dewa adalah anak yang baik. Buktinya selama ini dia selalu menuruti apapun keputusan maminya.Dewa menghela nafas besar, lalu mengangguk samar. Meski ragu, akhirnya Dewa memu
"Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" Naima menoleh menatap Dewa yang entah sejak kapan memandangi dirinya. Semilir angin sepoi menerbangkan rambut Naima sampai ke wajah membuat Dewa terpesona. Sungguh, Dewa merasa tatapannya tak mau berpaling dari wajah ayu Naima.Naima menghela nafas besar, seolah ada beban berat yang saat ini tengah dia pikul."Mas Dewa beneran mau nikahin aku?" tanya Naima menatap dalam mata Dewa.Dewa tertegun sejenak, bahkan setelah dia mengenalkan Naima dengan eyangnya, Naima masih mempertanyakan soal itu."Tentu saja, memangnya ada apa? Kamu keberatan?" ujar Dewa sedikit protes keseriusannya masih diragukan oleh Naima.Naima mengalihkan tatapannya dari Dewa, menatap berbagai tanaman yang bergoyang sebab tertiup angin malam."Enggak, tapi--""Kenapa?" Dewa menggenggam tangan Naima lembut."Mami, Mas Dewa--""Soal itu biar jadi urusan aku. Kamu sendiri dengar 'kan kalau Eyang, Om, Tante juga Lintang akan bantu buat meyakinkan Mami," ujar Dewa mengerti keresahan Nai
"Kamu gugup?" tanya Dewa saat melihat Naima meremas-remas jemarinya yang saling bertautan di pangkuannya sendiri.Naima mengangguk pelan. Tentu saja dia gugup, meski susah menyiapkan diri sedemikian rupa akan tetapi yang akan dia hadapi adalah keluarga orang kaya. Yang selalu punya standart tinggi tentang seseorang yang akan masuk ke dalam keluarganya.Naima cukup tahu diri di mana posisinya. Meski tidak berharap banyak tetapi tetap saja dia merasa gugup. Dia pernah ditolak saat datang berkunjung ke rumah temannya yang orang kaya hanya karena dia memakai pakaian murah dan sendal jepit biasa.Apalagi ini? Dia bahkan memakai seragam kerja, hitam dan putih. Kelihatan sekali kalau dia baru mulai bekerja."Kenapa? Tenang ... Eyang aku baik, kok," hibur Dewa meraih satu tangan Naima untuk dia genggam.Meski begitu, Naima tetap merasa gugup. Wajar bukan? Karena dia tahu diri, kasta mereka berbeda.Tak butuh waktu lama, mobil yang dikendarai Dewa sudah masuk ke perumahan elit. Jantung Naima s
"Naima," Naima segera menguasai diri, dia menundukkan setengah badan lalu segera keluar dari bilik itu. "Nai, tunggu!" Panggilan perempuan yang merupakan sepupunya itu kembali menahan langkah kakinya."Kenapa?" tanya Naima datar dan nyaris tanpa ekspresi setelah beberapa detik yang lalu dia cukup terkejut."Kamu kapan pulang?" tanya Rita tampak salah tingkah."Sudah beberapa hari," jawab Naima singkat."Permisi, saya harus bekerja," lanjutnya hendak kembali melangkah, namun lagi-lagi suara Rita mengurungkan langkahnya."Kamu kerja di sini? Kupikir jauh-jauh ke Kalimantan udah jadi kaya kamu? Atau minimal ketemu pengusaha tambanglah. Eh, taunya masih ngebabu aja," ucapnya mencibir sambil melipat tangan di dada."Atau di Kalimantan pun kamu jadi jongos juga? Kasihan ...." ejeknya lagi. Naima diam tak menanggapi meski kata-kata Rita cukup menusuk hati."Mau kuajari biar cepet kaya?" Lanjut Rita dengan ekspresi songong.Naima menoleh dengan senyum mengejek ke arah sepupu yang lebih mu
"Kamu pakai buat ngapel cewek mana mobil Om, Dewa?" sambut Ndaru begitu keponakannya nampak keluar dari mobil.Dewa tertawa keras, begitu juga dengan Ndaru. Om dan keponakan itu lantas saling memeluk melepas rindu."Om, bisa aja! Kata Eyang, Om lagi di Semarang makanya Dewa pakai mobilnya," kilah Dewa sembari terkekeh."Sudah lama sekali kamu gak datang Dewa," Ndaru menepuk pelan punggung Dewa."Kapan sampai rumah, Om?" tanya Dewa lagi."Tadi subuh, soalnya Om ada kerjaan nanti siang," jawab adik dari mendiang ayah Dewa itu lalu kembali duduk di kursi teras."Tante sama Lintang ikut pulang juga?""Enggak, mereka mau jalan-jalan sama Budhe Harsi dulu mumpung pada kumpul," jawab Ndaru menyebut kakak iparnya."Nginep di mana kamu Dewa?" tanya Ndaru lagi menatap keponakannya intens."Di villa yang dekat kebun teh, Om?""Nglinggo?" Dewa mengangguk sebagai jawaban. Karena memang hanya daerah itu kebun teh yang terkenal di sekitaran Jogja."Sama cewek?" cecar lelaki yang berparas mirip denga