Baku hantam antara dua preman anak buah Juragan Hamid dengan dua orang yang tak mereka kenali sontak membuat kehebohan di sepanjang jalan yang hanya bisa dilalui kendaraan roda dua itu.
Juragan Hamid hanya bisa menonton saja dari jarak yang menurutnya aman. Sementara Naima masih dipegangi oleh salah satu preman anak buah Juragan Hamid. Juragan Hamid memgeram kesal saat dua anak buahnya terlempar cukup jauh oleh tendangan orang asing itu, akan tetapi dia pun tak dapat berbuat banyak. Ia semakin geram saat salah satu anak buahnya menjerit karena tangannya dibuat patah oleh lelaki muda itu. Anak buah Juragan Hamid mundur dan mengaku kalah telak. Wajah, tangan bahkan badan kekar mereka telah babak belur dengan darah mengalir dari hidung, bibir dan kening yang dibenturkan ke dinding oleh dua orang asing itu. Bagaimana, Pak Tua? Masih mau maju atau mundur saja?" tantang salah satu pemuda itu dengan tatapan meremehkan. Juragan Hamid ciut nyali, jika kedua anak buahnya yang bertubuh sangar saja terkapar dibuat dua orang itu, apalagi dirinya yang hanyalah orang tua yang tak berdaya. "Tenang dulu, Tuan-Tuan ... kita bisa bicarakan ini baik-baik," ucap Juragan Hamid mencoba bernegoisasi. "Baik-baik katamu? Kenapa tidak dari tadi saja, Pak Tua?" ejek orang itu lagi sembari terkekeh. "Sebenarnya, Tuan-Tuan ini mau apa? Kenapa menghalangi jalan saya?" tanya Juragan Hamid menatap orang-orang asing itu bergantian. "Lepaskan dia!" titah salah satu pemuda yang mengenakan kemeja berwarna biru tua itu tegas dan terdengar dingin. Dia menunjuk Naima yang berada tak jauh di belakang Juragan Hamid. "Dia? Dia tawanan saya, dia adalah jaminan karena tidak bisa bayar hutang," sahut Juragan Hamid tak tahu malu. "Bohong! Saya sudah bayar lunas hutang saya pada Tua Bangka itu!" teriak Naima membuat wajah Juragan Hamid mengeras. "Eh, Tuan, Anda ini siapa? Dan ada urusan apa dengan perempuan j4l4ng itu!" Seketika tubuh tuanya terpental ke belakang sesaat setelah mengatakan Naima seorang j4l4ng. Ya, pelakunya adalah pemuda berkemeja biru. Dengan kaki jenjangnya, sekali ayunan saja pria tua itu terjengkang ke belakang. Mau tak mau anak buahnya melepaskan tangan Naima untuk menolong Juragan mereka. Naima segera berlari dan bersembunyi di belakang tubuh pemuda itu. "B4ngs4t!" desis Juragan Hamid sembari memegangi dadanya. "Pergilah atau kupatahkan lehermu di hadapan mereka!" hardiknya pelan tetapi tajam. Juragan Hamid mengedarkan tatapannya kepada orang-orang ramai yang menyaksikan kekalahannya. Wajahnya merah padam, tetapi dia tak berdaya. Dia tak ada kekuatan apapun untuk melawan. Akhirnya dengan dibantu anak buahnya, dia meninggalkan tempat itu diiringi sorakan para warga. Sepeninggal Juragan Hamid, para warga membubarkan diri. "Kakak!" buru Bela sambil berlari membelah kerumunan warga. Gadis yang masih duduk di bangku SMP itu menangis menyongsong sang kakak, lalu memeluknya erat. "Bapak pingsan, Kak!" adunya dipelukan sang kakak. "Apa, Bel?" ulang Naima karena suara Bela tak begitu terdengar jelas. "Bapak pingsan lagi pas mau ngejar Kakak, sekarang masih di teras rumah, Kak!" lapor Bela sembari mengusap kasar air matanya. "Kenapa?" tanya pria berkemeja biru yang berdiri tak jauh darinya. Melihat raut khawatir di wajah Naima. "Bapak saya pingsan, Tuan," sahut Naima. Dia paham, lalu meminta Naima segera pulang. Naima mempercepat langkah beriringan dengan Bela, sedangkan dua pria itu mengikuti di belakangnya. Sampai di dekat kontrakan, Naima berlari. Miris sekali, meski Naima tinggal di kawasan padat penduduk tetapi rasa empati sesamanya sepertinya sangat kurang. Terbukti, ayah Naima pingsan di luar rumah saja tidak ada yang datang menolong. Dengan segera, dua pria itu membantu Naima mengangkat ayahnya yang tergeletak di teras untuk dibawa ke dalam rumah. "Terimakasih banyak, Tuan," ucap Naima tulus setelah memastikan ayahnya baik-baik saja. "Sama-sama," balas pria yang mengenakan kaos merah. Sedangkan pria yang berkemeja biru sedang mencuci tangannya yang berdarah di luar rumah. "Sebaiknya, bawa Ayahmu ke dokter saja. Takutnya lukanya parah," saran lelaki itu. "Iya, rencananya tadi juga begitu tetapi orang-orang itu keburu datang," jawab Naima sejujurnya. "Oh, kalau begitu bareng kami saja bagaimana? Kebetulan kami juga akan jalan pulang ke kota," tawar pemuda berkemeja biru yang baru saja bergabung dengan mereka. "Tidak usah, Tuan, merepotkan nanti," jawab Naima sungkan. "Tak apa, kami hanya berdua saja. Mobil kami masih cukup untuk membawa kalian." sergah lelaki itu lagi. "Tapi--" Naima nampak ragu meski sebenarnya dia mau. Dia tak mungkin membawa ayahnya naik angkutan umum dalam kondisi seperti itu. "Tidak papa, mari kami bantu," yakin lelaki berkaos merah. Akhirnya, Naima mengangguk setuju. Toh, semakin cepat dia meninggalkan rumah itu semakin baik untuknya dan ayahnya. Naima berencana akan pulang ke kampung halaman setelah kondisi ayahnya membaik. Sepanjang perjalanan, Naima begitu bersyukur mendapat pertolongan dari dua orang yang akhirnya dia tahu bernama Altav dan Athar, dua bersaudara yang katanya tak sengaja lewat di sana saat terjadi kericuhan akibat perbuatan Juragan Hamid padanya tadi.Di tempat lain, Dewa yang baru saja kembali dari meninjau lokasi proyek bersama Vero dan Julian mendapat kabar bahwa sang ibu tengah sakit dan mengharuskan dia pulang ke Jakarta secepatnya.Dia menjatuhkan diri di sofa sambil memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. "Bro," tegur Vero yang melihat Dewa hanya termenung sejak beberapa menit yang lalu."Hem," Dewa hanya bergumam sebagai jawaban."Kusut amat tu muka, kenapa?" tanyanya lalu ikut manjatuhkan diri di sebelah Dewa."Nyokap sakit," sahut Dewa singkat."Yaudah, baliklah! Toh, kerjaan di sini udah kelar juga 'kan?" tanggap Vero santai.Helaan nafas besar keluar dari mulut Dewa, dia bukan tak khawatir ibunya sakit, tetapi dia malas saja bertemu dengan wanita yang sudah melahirkannya itu. Sudah beberapa bulan ini Dewa selalu menghindari ibunya."Gue males, pasti sakitnya ini cuma akal-akalan Mami aja," celetuk Dewa membuat Vero mendelik."Durhaka, Lu! Inget, dia nyokap Lu, yang udah banyak berkorban buat Lu!" tegur Vero mendorong
Sampai di rumah sakit besar di kota, Naima segera membawa ayahnya menuju ke ruang IGD karena memang kondisinya sangat lemah. Setelah melalui pemeriksaan tahap awal, ayah Naima tetap harus dirawat karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk rawat jalan.Naima menyetujuinya dan segera mengurus administrasi yang dibutuhkan. Athar dan Altav sudah pergi sejak ayah Naima masuk ke ruang IGD karena Naima menolak kedua pemuda itu untuk membantunya lebih banyak lagi."Saya sungkan," Begitu jawab Naima saat Athar menawarkan bantuannya lagi, kedua pemuda itu tak berani memaksa lalu mereka pergi setelah memastikan ayah Naima sudah mendapat perawatan."Sudah, Kak?" tanya Bela saat melihat Naima kembali ke depan ruang IGD. Naima hanya mengangguk sebagai jawaban lalu ikut duduk di sebelah adiknya itu.Tak lama, ayah Naima dipindahkan ke ruang perawatan. Naima sengaja memilih kelas 1 agar mereka lebih leluasa menjaga ayahnya karena di kelas itu satu ruangan berisi 2 pasien saja dengan ruangan yan
Di sinilah Naima, bangku taman yang tak jauh dari kamar rawat ayahnya. Setelah melihat ayahnya sebentar, dia kembali keluar untuk berbicara dengan orang yang bertubrukan dengannya tadi."Kenapa menghindar terus?" tanya lelaki itu menatap Naima yang menunduk."Maaf," lirihnya tanpa berani mengangkat wajahnya.Terdengar helaan nafas dari mulut lelaki itu, membuat Naima mengangkat wajahnya."Bang Rama ngapain di sini?" tanya Naima pada akhirnya."Jenguk teman," sahut lelaki itu pelan."Nai, kenapa menghindar terus dari Abang? Abang ada bikin salah?" ulang Rama menatap Naima sendu.Naima kembali menunduk, ada rasa bersalah yang besar dalam hatinya terlebih sejak dia memutuskan menerima tawaran Tari untuk ....Rama lelaki baik yang sudah dekat dengannya beberapa bulan terakhir. Rama menyatakan perasaannya pada Naima sejak 2 bulan lalu, tetapi tidak ada jawaban apapun sampai hari ini meskipun keduanya kerap kali jalan bersama."Kalau Abang salah, tolong bilang," cecar Rama dengan suara lemb
Pagi ini dengan amat sangat terpaksa Dewa kembali ke Jakarta karena desakan dari pamannya setelah beberapa kali menghindari telepon maminya."Setelah pekerjaan di sini selesai, segera pulang ke Jakarta, Vero!" ultimatum Dewa saat kakinya sudah menginjak lantai bandara."Siap, Bos! Kami akan segera pulang ke Jakarta dengan hasil pekerjaan yang memuaskan!" sahut Vero hormat karena memang Dewa adalah atasannya selain dari teman baiknya sejak bangku sekolah menengah pertama."Julian, kamu bertugas mengawasi dia, jangan sampai terlalu nyaman di sini!" titah Dewa kepada asisten pribadinya dengan menunjuk Vero yang malah terbahak dengan ultimatim Dewa tersebut.Julian hanya mengangguk patuh setelah meletakkan koper milik Dewa di sebelah tubuhnya.Setelah memberi wejangan, Dewa segera menarik koper untuk melakukan chek-in. Setelahnya, ia membawa langkah menuju ruang tunggu keberangkatan.Saat tengah membaca bording pass miliknya, sekilas dia seperti melihat seseorang yang dia tahu. Dia menaja
Setelah mengudara selama 4 jam lebih, akhirnya Naima, ayah serta adiknya kembali dapat menghirup udara kota kelahirannya. Namun perjalanan mereka belum usai untuk bisa sampai ke rumah yang sudah mereka tinggalkan selama hampir 3 tahun ini.Naima segera memesan grab sebelum benar-benar keluar dari area bandara untuk mempermudah perjalanan mereka pulang ke rumah."Budhemu pasti kaget kita pulang tidak bilang-bilang, Nduk," ujar ayah Naima saat mobil yang mereka tumpangi sudah keluar area bandara."Apa kita kasih tahu dulu, Pak?" tanya Naima."Tidak usah, selama ini mereka juga tidak menanyakan kabar kita 'kan?" sahut Hadi tidak menoleh ke belakang karena dia duduk di samping pak supir."Iya, sih, mereka juga tidak pernah mengirim uang hasil ladang sama kebun teh lagi, Pak," beber Naima."Yasudah tidak papa, mungkin ladang kita tidak ditanami apa-apa, jadi tidak menghasilkan," putus Hadi tetap berpikir positif."Kak, Mbak Rita bikin sw baru beli mobil baru," bisik Bela sambil memperlihat
"Kamu harus mau menikah, Dewa! Mami tidak mau tahu, pokoknya tahun ini kamu harus menikah!" Dewa memijit pelipisnya yang terasa berdenyut sakit. Semakin sakit lagi saat mendengar paksaan dari ibunya yang terbaring lemah di bed rumah sakit ternama. "Sebenarnya Mami tuh sakit apa, sih?" tanya Dewa geram dengan ocehan sang bunda sejak beberapa menit setelah Dewa sampai di ruang rawatnya. "Mami sakit gara-gara mikirin kamu, Dewa! Kamu anak Mami satu-satunya, tapi sampai umur setua ini belum mau menikah. Kamu ini normal apa enggak sih, Dewa?" balas maminya tak mau kalah. "Dewa baru 30 tahun, Mam! Masih muda, masih pengen bebas ngapain aja!" seru Dewa tak terima dikatakan tua oleh ibunya. "Mau sampai kapan, Dewa? Mau tunggu Mami mati dulu baru kamu mau menikah?" Sergah maminya dengan tatapan tajam. "Mam, kenapa sih yang dibahas ini terus? Dewa bosan, Mam," bantah Dewa kesal. "Bulan depan kamu harus menikah sama Yasmin!" putus Bu Erika membuat Dewa melotot tak percaya. "Mam--
"Jadi apa maksunya, Budhe?" cecar Naima menatap tajam ke arah kakak dari ayahnya yang menunduk tepat di depannya.Setelah sedikit berdebat dengan orang yang katanya pemilik rumah baru Naima itu, mereka memutuskan mendatangi rumah Rumi untuk mencari kebenaran."Yu Rum tahu 'kan rumah itu milik Naima dari ibunya, kenapa kalian lancang sekali menjual rumah itu?" sambung Hadi juga turut merasa kesal.Bagaimana tidak kesal, sejak dulu kakaknya itu selalu berbuat semaunya sendiri. Harta warisan dari orang tua mereka sudah dibagi rata, tetapi bagi wanita yang berusia 3 tahun lebih tua dari Hadi itu selalu merasa kurang.Namun yang lebih membuat Hadi marah adalah rumah yang mereka tempati sejatinya adalah rumah mendiang Ratna, istrinya. Tidak ada andil apapun Hadi di sana, sebab sebelum menikah Ratna sudah lebih dulu dibuatkan rumah itu oleh orang tuanya."Selama ini Nai percaya sama Budhe karena Nai tidak memiliki keluarga lain yang bisa Nai percaya. Nai setuju untuk menitipkan sertifikat be
"Namanya Naima, dia bekerja di salah satu restoran milik Pak Erlangga. Dia tinggal di perumahan pinggir kota bersama ayah dan adiknya. Adiknya salah satu siswa SMP terpadu tak jauh dari tempat tinggal mereka." Dewa mangut-mangut mendengar informasi yang dia mau dari Julian, asisten pribadinya. "Tapi--" "Oke," Dewa memutus panggilan teleponnya sepihak sebelum Julian selesai memberi informasi, karena dia harus segera masuk ke pesawat. Menarik koper kecil, lalu berjalan lebih cepat masuk ke dalam pesawat. Malam ini, Dewa akan terbang menuju Jogja untuk memulai misi pertama pencariannya. Dewa begitu yakin dia bisa mematahkan perjodohan yang maminya lakukan dengan perempuan bernama Yasmin itu. Dengan keyakinan akan bisa menemukan gadis yang pernah diamanahkan kepadanya oleh almarhum ayahnya. Malam semakin merangkak saat burung besi yang dia tumpangi mendarat di kota yang berjuluk kota pelajar itu. "Den Dewa," sapa utusan sang eyang untuk menjemputnya di bandara. Dewa hanya
"Nai, kamu ndak kerja?" tanya Sri yang melihat Naima masuk membawakan sarapan untuknya. "Nai berhenti kerja, Bulik, mau fokus sama Bapak dulu." jawabnya lalu ikut duduk di samping Sri. Sri menatap keponakannya itu dengan tatapan bersalah. Dia tahu kalau Hadi dirawat di sana juga karena tadi Naima sudah mengiriminya pesan, jadilah dia tak terkejut saat tiba-tiba Naima ada di sana. "Maafin Bulik, ya, Nduk, kami ndak bisa bantu apa-apa," ucap Sri penuh sesal. "Bulik sudah sangat banyak membantu kami. Justru kami yang minta maaf karena sudah terlalu banyak merepotkan Bulik dan Paklik," balas Naima setulus hati. "Kita keluarga, Nai, sudah seharusnya saling bantu." sahut Sri dan diangguki kepala oleh Naima tanda setuju. Sayangnya, hati Naima mengutuk perbuatan saudaranya yang lain. "Gimana Bapakmu?" tanya Sri menanyakan kondisi Hadi karena memang setelah kejadian semalam dia baru fokus pada suaminya. "Bapak sudah bisa tidur, Bulik, ternyata jahitannya infeksi." terang Naima.
Pagi ini Naima bersiap lebih pagi, karena dia akan membawa bapaknya berobat ke rumah sakit. Semalaman bapaknya tak bisa tidur sebab demam tinggi sampai mengigil."Sudah, Bel?" tanyanya begitu melihat Bela keluar dengan membawa tas sedang berisi perlengkapan."Sudah, Kak. Mobilnya sudah datang, ya?" jawab dan tanya Bela. Naima mengangguk sebagai jawaban.Dia segera ke kamar dan membantu bapaknya untuk keluar karena mobil yang dia pesan dengan dibantu tetangga depan rumahnya sudah datang."Pelan-pelan, Pak," peringat Naima saat Hadi hampir saja oleng."Bapak pusing sekali, Nduk," keluh Hadi sambil berpegangan pada kusen pintu."Tahan sebentar, Pak, sedikit lagi saja." ucap Naima menenangkan.Bela datang setelah memasukkan tas ke dalam mobil lalu membantu memapah Hadi untuk segera naik ke mobil.Setelah Naima memastikan pintu rumah terkunci, mereka segera berangkat ke rumah sakit yang sama dimana Tarno juga sedang dirawat Di perjalanan, Naima sempat membalas pesan yang Dewa kirimkan. T
Naima kembali duduk di samping bapaknya setelah para warga pamit pulang. Tak lupa Naima mengucapkan terimakasih karena mereka sudah berkenan menolong bapaknya."Apa yang sakit, Pak?" tanya Naima khawatir melihat bapaknya meringis memegangi lengannya yang dibebat perban."Ndak apa-apa, Nduk, nanti juga sembuh," jawab Hadi pelan."Apa perlu kita periksa ke rumah sakit saja, Pak?" tawar Dewa yang masih berada di sana."Ndak usah, Mas ... ini tadi sudah dijahit sama Bu Bidan." tolak Hadi lagi."Bagian lain ada yang terluka, Pak?" tanya Naima memastikan lagi."Ndak ada, kalian jangan khawatir!""Kejadiannya gimana, Pak? Kok, bisa Bapak dikeroyok orang tak dikenal?" tanya Dewa pada akhirnya setelah cukup lama ditahan.Bela datang membawakan air putih untuk bapaknya dan segelas teh panas untuk Dewa."Bapak juga ndak tahu, Mas ... tadinya Lek No yang dengar suara ribut-ribut di depan. Terus karena penasaran, kami keluar buat lihat karena kebetulan cuma kami yang masih di teras. Eh, baru sampa
"Nai, besok aku pulang ke Jakarta dulu," ucap Dewa saat dalam perjalanan menuju rumah Naima."Mau bilang ke Mami soal rencana pernikahan kita." lanjutnya lagi membuat Naima menoleh ke arahnya."Mas Dewa yakin?" tanya Naima pelan, Dewa menoleh sekilas lalu kembali fokus pada jalanan."Sangat yakin, Nai." jawabnya tanpa ragu."Kenapa?" tanya Naima lagi. Terdengar keraguan dari nada suaranya."Maksud aku, alasan Mas Dewa kukuh mau nikahin aku itu kenapa?" jelas Naima pelan.Dewa meraih tangan Naima untuk dia genggam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya fokus pada kemudi. Dia tak lantas menjawab pertanyaan Naima, dia memikirkan kalimat yang tepat lebih dulu."Aku gak tahu, Nai," jawabnya singkat.Alis Naima terangkat sebelah membuat Dewa terkekeh pelan melihatnya."Kamu masih ragu, Nai?""Wajar aku ragu, Mas. Kita baru beberapa kali ketemu, terus tiba-tiba kamu seniat itu mau nikahin aku. Aku jadi takut, kalau ternyata aku hanya kamu jadikan pelarian saja." ungkap Naima sejuju
"Eyang rasa itu memang bukan rencana yang buruk, Le, tapi resikonya akan lebih besar lagi kalau kamu melakukan itu." tanggap eyang Surti saat Dewa mengutarakan rencana yang ada di pikirannya."Benar, Dewa ... kita semua tahu seperti apa Mami kamu. Dia bisa marah besar kalau kamu melakukan itu dan dia tahu kami mendukung kamu." sambung Tantri yang juga berada di sana."Lalu Dewa harus gimana, Eyang, Tante?" "Pulanglah, bicaralah sama Mami kamu dengan baik-baik. Katakan kalau kamu sudah menjatuhkan pilihan kepada perempuan lain," saran eyang Surti kepada cucu pertamanya itu."Tapi Mami pasti nolak, Yang,""Coba dulu, Dewa! Jangan terus berpikir negatif tentang Mami kamu, siapa tahu kali ini Mamimu akan mendengarkan kamu." hibur Tantri yang sangat mengerti keresahan keponakannya.Tantri menatap Dewa iba, sejujurnya Dewa adalah anak yang baik. Buktinya selama ini dia selalu menuruti apapun keputusan maminya.Dewa menghela nafas besar, lalu mengangguk samar. Meski ragu, akhirnya Dewa memu
"Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" Naima menoleh menatap Dewa yang entah sejak kapan memandangi dirinya. Semilir angin sepoi menerbangkan rambut Naima sampai ke wajah membuat Dewa terpesona. Sungguh, Dewa merasa tatapannya tak mau berpaling dari wajah ayu Naima.Naima menghela nafas besar, seolah ada beban berat yang saat ini tengah dia pikul."Mas Dewa beneran mau nikahin aku?" tanya Naima menatap dalam mata Dewa.Dewa tertegun sejenak, bahkan setelah dia mengenalkan Naima dengan eyangnya, Naima masih mempertanyakan soal itu."Tentu saja, memangnya ada apa? Kamu keberatan?" ujar Dewa sedikit protes keseriusannya masih diragukan oleh Naima.Naima mengalihkan tatapannya dari Dewa, menatap berbagai tanaman yang bergoyang sebab tertiup angin malam."Enggak, tapi--""Kenapa?" Dewa menggenggam tangan Naima lembut."Mami, Mas Dewa--""Soal itu biar jadi urusan aku. Kamu sendiri dengar 'kan kalau Eyang, Om, Tante juga Lintang akan bantu buat meyakinkan Mami," ujar Dewa mengerti keresahan Nai
"Kamu gugup?" tanya Dewa saat melihat Naima meremas-remas jemarinya yang saling bertautan di pangkuannya sendiri.Naima mengangguk pelan. Tentu saja dia gugup, meski susah menyiapkan diri sedemikian rupa akan tetapi yang akan dia hadapi adalah keluarga orang kaya. Yang selalu punya standart tinggi tentang seseorang yang akan masuk ke dalam keluarganya.Naima cukup tahu diri di mana posisinya. Meski tidak berharap banyak tetapi tetap saja dia merasa gugup. Dia pernah ditolak saat datang berkunjung ke rumah temannya yang orang kaya hanya karena dia memakai pakaian murah dan sendal jepit biasa.Apalagi ini? Dia bahkan memakai seragam kerja, hitam dan putih. Kelihatan sekali kalau dia baru mulai bekerja."Kenapa? Tenang ... Eyang aku baik, kok," hibur Dewa meraih satu tangan Naima untuk dia genggam.Meski begitu, Naima tetap merasa gugup. Wajar bukan? Karena dia tahu diri, kasta mereka berbeda.Tak butuh waktu lama, mobil yang dikendarai Dewa sudah masuk ke perumahan elit. Jantung Naima s
"Naima," Naima segera menguasai diri, dia menundukkan setengah badan lalu segera keluar dari bilik itu. "Nai, tunggu!" Panggilan perempuan yang merupakan sepupunya itu kembali menahan langkah kakinya."Kenapa?" tanya Naima datar dan nyaris tanpa ekspresi setelah beberapa detik yang lalu dia cukup terkejut."Kamu kapan pulang?" tanya Rita tampak salah tingkah."Sudah beberapa hari," jawab Naima singkat."Permisi, saya harus bekerja," lanjutnya hendak kembali melangkah, namun lagi-lagi suara Rita mengurungkan langkahnya."Kamu kerja di sini? Kupikir jauh-jauh ke Kalimantan udah jadi kaya kamu? Atau minimal ketemu pengusaha tambanglah. Eh, taunya masih ngebabu aja," ucapnya mencibir sambil melipat tangan di dada."Atau di Kalimantan pun kamu jadi jongos juga? Kasihan ...." ejeknya lagi. Naima diam tak menanggapi meski kata-kata Rita cukup menusuk hati."Mau kuajari biar cepet kaya?" Lanjut Rita dengan ekspresi songong.Naima menoleh dengan senyum mengejek ke arah sepupu yang lebih mu
"Kamu pakai buat ngapel cewek mana mobil Om, Dewa?" sambut Ndaru begitu keponakannya nampak keluar dari mobil.Dewa tertawa keras, begitu juga dengan Ndaru. Om dan keponakan itu lantas saling memeluk melepas rindu."Om, bisa aja! Kata Eyang, Om lagi di Semarang makanya Dewa pakai mobilnya," kilah Dewa sembari terkekeh."Sudah lama sekali kamu gak datang Dewa," Ndaru menepuk pelan punggung Dewa."Kapan sampai rumah, Om?" tanya Dewa lagi."Tadi subuh, soalnya Om ada kerjaan nanti siang," jawab adik dari mendiang ayah Dewa itu lalu kembali duduk di kursi teras."Tante sama Lintang ikut pulang juga?""Enggak, mereka mau jalan-jalan sama Budhe Harsi dulu mumpung pada kumpul," jawab Ndaru menyebut kakak iparnya."Nginep di mana kamu Dewa?" tanya Ndaru lagi menatap keponakannya intens."Di villa yang dekat kebun teh, Om?""Nglinggo?" Dewa mengangguk sebagai jawaban. Karena memang hanya daerah itu kebun teh yang terkenal di sekitaran Jogja."Sama cewek?" cecar lelaki yang berparas mirip denga