Falisha membuka amplop itu dan langsung membacanya. Seketika wajahnya langsung berubah pucat saat itu juga.
“Ti—tidak mungkin? Apa kamu bercanda?” Falisha berdiri dan ingin segera merobek kertas itu ,tapi Fattan langsung mengambil kertas itu dengan cepat.“Itu adalah permintaan terakhir Farah, bukan aku yang meminta,” tegasnya lagi.“Tapi kita sudah lama bercerai dan aku ...”“Kenapa? Kamu keberatan dan itu tidak masalah karena dulu kita hanya menikah siri dan sekarang aku akan menikahi kamu secara resmi baik secara agama dan juga hukum, lagian kamu tidak ingin bertemu dengan anakmu? Sekarang kamu pilih saja mau menikah denganku atau anak itu yang harus menanggung akibatnya?”“Apa maksudnya, Mas?” tanya Falisha tidak mengerti.“Seharusnya kamu tidak perlu melahirkan anak pembawa sial itu, ya dia bukan anak Farah sehingga perilakunya tidak seperti itu dan dia adalah anakmu yang nakal, susah untuk dikendalikan!” bentak Fattan meluapkan emosinya.Falisha semakin bingung dengan perkataan Fattan. Bahkan Mbok Ijah pun tidak menceritakan apa pun tentang kelakuan anaknya. Falisha menatap Mbok Ijah bingung. Terlihat wajah sendu wanita paru baya itu yang hanya terdiam pasrah jika Falisha akan memarahinya.“Kamu tenang saja kita menikah hanya untuk formalitas, kehidupan kita masing-masing, kamu tidak perlu tahu apa yang aku lakukan begitu juga sebaliknya. Tugasmu hanyalah untuk mendidik anak nakal itu menjadi anak yang baik dan penurut. Dulu kakakmu yang bermasalah dengan keluargaku sekarang anakmu yang membuat kekacauan sehingga semua kesalahan dilimpahkan kepada Farah. Kamu yang harus disalahkan Falisha, karena kamu Farah meninggal! Dia tertekan batin karena mendengar hinaan, caci maki dari keluargaku gara-gara anak itu!” hardiknya kesal.“Di mana dia sekarang, Mas?” tanya Falisha yang masih syok dengan kebenaran yang ada.“Aku menitipkannya di rumah Papa, setelah kita menikah maka kamu yang bertanggung jawab!” bentaknya seketika dan pergi dari hadapan Falisha dengan wajah penuh amarah dan pergi meninggalkan Falisha yang masih terkejut.“Apa maksud semuanya ini Mbok?” tanya Falisha masih bingung dengan semua yang terjadi.“Maaf Neng, Mbok memang berbohong karena permintaan Neng Farah yang tidak mau kalau Neng sampai khawatir,” sahut Mbok Ijah merasa ikut bersalah menyembunyikan kebenarannya. Lalu dia menarik Farah sedikit menghadap ke tembok. Setelah itu Mbok Ijah mengeluarkan sebuah amplop lagi yang berukuran sama dan langsung menyelipkan di tangan Falisha.“Apa ini Mbok?” tanya Falisha bingung.“Neng Farah memberikan amplop itu sebelum meninggal dan menyuruh Mbok untuk memberikannya sama Neng, tapi jangan sampai ketahuan Den Fathan atau siapa pun. Saya permisi dulu, Neng.”Mbok Ijah segera pergi dari hadapannya. Falisha sangat penasaran, dia lalu pergi ke kamar dan mengunci pintu itu. Setelah itu dia membuka amplop berwarna putih itu sambil duduk di tepi ranjang.Seketika bola mata Falisha hampir saja keluar dari tempatnya saat membaca isi dari kertas itu. Bahkan linangan air mata pun tak tertahankan saat curhatan hati sang kakak dituangkan dalam kertas itu.“Maaf Mbak Farah, benar kata Mas Fattan akulah penyebabnya, aku tidak tahu kalau masalah ini menjadi lebih besar. Aku tidak menyangka kalau suami yang selalu kamu cintai itu tega melakukan hal keji sama kamu, Mbak aku akan memperbaikinya meskipun kamu tidak berada bersama kami lagi tapi namamu akan bersih dari hinaan mereka,” ucap Falisha dalam hati. ***Setelah beberapa jam kemudian Falisha keluar dari kamar sembari mengangkat koper besar. Falisha pun berpamitan dari rumah itu kepada Mbok Ijah.“Neng Falisha akan dimarahi kalau sampai keluar dari rumah ini, kenapa tidak tinggal di sini saja, Mbok sangat kesepian?” bujuk Mbok Ijah memelas.“Lisha nggak bisa Mbok, kami bukan sepasang suami istri lagi dan Lisha tak ingin tinggal atau menikah dengan Mas Fattan. Lisha perlu ketenangan dulu, ya Mbok?”Falisha pun pergi dari rumah itu. Lalu dia pun mencari tempat kost yang terdekat dengan kantor barunya.Sementara itu Mbok Ijah yang bingung akhirnya mengambil keputusan untuk menghubungi Fattan yang masih berada di kantor.“Ada apa Mbok?”“Maaf Den, Neng Lisha keluar dari rumah, saya sudah berusaha untuk mencegahnya tapi Neng Lisha bersikukuh untuk keluar dari rumah.” “Baiklah Mbok, saya tahu apa yang harus saya lakukan.”Fathan langsung memutuskan sambungan telepon itu. Dia lalu bergegas keluar ruangannya.“Maaf, Bapak mau ke mana sebentar lagi ada meeting dengan Pak Muchlis di jam sepuluh pagi dan ini sudah jam setengah sepuluh pagi,” ucap Nola mengingatkan. Nola sedikit kesulitan mengimbangi langkah Fattan yang lebar dan cepat.“Kamu masih mau bekerja di sini kan?”“I—iya Pak, tapi apa hubungannya Pak dengan pekerjaan saya?”“Cari saja alasan yang tepat dan tidak membuat orang itu tidak marah dan masih mau bekerja sama dengan kita dan yang pasti dua hari ke depan kosongkan jadwal saya karena ada sesuatu yang harus saya lakukan, kamu mengerti?” tanya Fattan dengan tatapan tajamnyaNola mengangguk cepat. Fattan pun meninggalkan wanita muda itu dengan melongo. Fattan pun masuk ke lift. “Untung saja ganteng tapi sayang juteknya minta ampun,” gerutunya kesal.“Kenapa lagi?” tanya Mira melihat temannya itu mendadak lesu setelah kepergian pimpinannya itu.“Biasa Bos killer kita!” celetuknya sambil berjalan kembali ke ruangannya.“Semenjak Nenek lampir itu datang sepertinya Bos kita berubah ya, apa dulu dia bosan dengan istrinya yang lumpuh dan tergoda dengan nenek lampir itu?”“Hus, dia punya nama kali.”“Iya tapi lebih bagus namanya itu, lagian sikap Pak Fathan berubah yang dulu baik dan ramah berubah drastis menjadi dingin dan jutek, apalagi setelah kematian istrinya, coba Pak Fattan itu mau sama aku, tapi nggak deh anaknya lebih parah dari Pak Fattan, pusing menjadi ibu tirinya,” jelas Mira merasa takut jika berurusan dengan anak Fattan.“Iya kamu benar, kasihan banget Bu Farah, baru umur enam tahun sudah nakalnya begitu bagaimana dengan nanti dewasa mungkin lebih parah lagi,” celetuk Nola.“Coba ada yang bisa menaklukkan hati bos kita tapi yang jelas bukan wanita penggoda itu, nggak rela aku, bukannya bisa memperbaiki sikap anak itu malah nanti tambah menjadi-jadi,”ucapnya lagi.“Sudahlah pusing juga aku, sekarang aku harus berpikir keras alasan apa yang tepat untuk menunda rapat mereka?”“Oke aku bantu pikir deh.”Saat mereka bingung untuk mencari alasan yang tepat untuk memberitahukan kepada Pak Muchlis, Falisha rupanya datang ke kantor Fattan.Falisha pun melihat dua wanita muda sedang terlihat bingung sehingga tak melihat kedatangan Falisha yang sudah berada di posisi depan mereka.“Selamat pagi, bisa bertemu dengan Pak Fattan?” tanya Falisha sopan.Ucapan Falisha tak digubris oleh mereka, karena masih bingung dan panik melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit lagi.“Aduh bagaimana ini aku harus kasih alasan apa untuk Pak Muchlis, yang satu orangnya pemarah dan yang satu dingin, jutek, keras kepala. Salah ucap Pak Fathan bisa menggantungku hidup-hidup,” cercanya panik.“Memangnya kenapa, Mbak?” tanya Falisha ikutan bingung melihat tingkah mereka.Nola baru menyadari jika ada orang lain yang masih berdiri di hadapannya. Wanita cantik memakai hijab modis membuat mereka terpaku sejenak. “Wah cantik banget,” ucap Nola sambil berdiri menatap Lisha. “Benar sempurna untuk bos dingin kita itu,” sanggah Mira kembali bersuara yang ikut menatap Lisha dari atas sampai bawah. Tak lama kemudian telepon kembali berdering membuyarkan mereka. Dengan sigap Nola langsung mengangkatnya dan sangat terkejut karena yang menghubunginya adalah dari perusahaan Pak Muchlis.Nola tercekat dan panik, karena dia belum memikirkan jawaban yang pantas untuk orang itu. Rasa gugup dan khawatir langsung menghantuinya. “Siapa Mbak?” tanya Falisha penasaran. “Maaf Mbak mungkin itu Pak Muchlis Yudatama salah satu investor yang ingin bekerja sama dengan Pak Fathan, tapi Pak Fathan membatalkan janji mereka karena ada urusan mendesak dan Nola sekretarisnya ini bingung mau mencari alasan apa yang tepat agar kedua belai pihak yang mempunyai sifat yang hampir sa
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi kedua matanya masih saja terjaga. Apalagi kata-kata Fattan tadi sore membuatnya gelisah, meskipun di dalam hati masih ada rasa itu. Rasa yang pernah dia rasakan untuk cinta Fattan tapi dia harus menguburnya dalam-dalam karena waktu itu tidak ingin menjadi duri dalam rumah tangga mereka. Namun, sekarang sangat berbeda kini Falisha harus memutuskan apalagi surat wasiat kakak angkatnya itu. Selain itu dia juga ingin bertemu dengan putranya yang pernah dia tinggalkan untuk mereka. Dia ingin melihat wajah anak itu dan dia pun harus membuat anak itu tidak nakal seperti apa yang dikatakan mereka.Falisha mengambil ponselnya yang tergeletak di pinggir ranjang. Lalu membuka galeri foto. Foto yang sempat dia ambil saat anak itu masih bayi. “Bagaimana wajah kamu sekarang, Sayang, apakah kamu juga merindukan, Mama? Ah, sangat konyol, mana mungkin anak itu merindukan aku, karena dia pun tidak tahu siapa aku sebenarnya. Kita akan bertemu, Sayang,
Fattan ingin sekali mengikuti mereka tapi disaat itu juga ponselnya berdering. Dia pun terpaksa harus segera ke kantor karena mengingat pentingnya meeting nya hari ini.“Ah sial, kenapa juga hari ini ada meeting, padahal aku ingin memergoki mereka,” gerutunya kesal. Dia pun segera pergi dari sana dengan wajah ditekuk. Lagi-lagi ponselnya pun kembali berdering. Wajahnya sudah penuh amarah yang ingin sekali diledakkan tapi saat melihat nama yang tertera disana terlihat senyuman menyeringai. Dia pun segera menerima panggilan itu.***Pria tampan itu tidak tahu kalau yang dia lihat bukanlah kekasih atau tunangan Falisha melainkan teman kerja Falisha yang ditugaskan bersamanya bernama Aldi. Dia juga tidak datang sendiri karena Silvi pun ikut bersamanya hanya saja disaat itu Silvi izin ke kamar mandi sehingga Fattan hanya melihat Aldi bersama Falisha. “Kita langsung kerja atau bagaimana nih?” tanya Silvi setelah mereka masuk ke mobil. “Besok saja, lagian kalian baru datang pasti capek,
“Hey kok bengong sih? Kenapa?” Silvi kembali membuyarkan lamunan Lisha sehingga wanita cantik itu sedikit terkejut.“Ah nggak apa-apa. Aku mau istirahat dulu ya, besok kita akan bertemu dengan orang itu dan kalian harus mantapkan hati dan jiwa raga karena orang ini sedikit bawel, ketus dan irit bicara, tapi ...“Tampan, itu kan yang akan kamu bilang?” goda Silvi membuat wajah Lisha kembali memerah. “Oh bukan tapi mempunyai insting yang kuat dalam segala hal, makanya kita harus waspada dan teliti,” sahut Falisha yang kemudian buru-buru pergi karena takut ditanya lagi.Silvi menatap punggung Falisha sampai hilang dari pandangannya. “Di, kamu ngerasa nggak sih kalau Lisha sedang menyembunyikan sesuatu dari kita?” selidik Silvi yang merasa curiga.“Iya aku juga sempat curiga sih, selama ini kan dia tidak pernah menunjukkan wajah keluarganya itu apalagi kakak ipar nya, memang tampan dari aku ya?” “Kamu memang tampan tapi kalau dilihat dari sedotan, hehe,” jawab Silvi sambil terkekeh. “
“Kalau dipikir-pikir dia itu duda punya anak satu loh, tapi ada juga yang mengatakan kalau anaknya itu super nakal banget padahal umurnya baru enam tahun. Kasihan sekali istrinya mungkin gara-gara itu juga kalinya dia meninggal. Sudah sakit-sakitan ditambah anaknya badung,” jelas Silvi membuat mata Falisha berkaca-kaca. “Dia tidak aktif di media sosial, hampa sekali hidup Fattan ini, tapi eh tunggu sebentar ...“Ada apa, Al?” “Waw, seksi sekali, kenapa sih wanita memamerkan tubuhnya begitu mudah banget, kenapa nggak sekalian telanjang saja, dari pakai pakaian kurang bahan gitu, cuma dkit doang lagi kelihatan semua deh, banyak talinya pula,” gerutu Aldi saat melihat sebuah foto yang mampir di beranda sosialnya. “Mana coba lihat.” Silvi penasaran dan mengambil ponsel milik Aldi dari tangannya. Silvi pun memperhatikannya. “Wah dia cantik sekali tapi masih cantik kamu kok tenang saja,” ledek Silvi tersenyum saat melihat ke arah Falisha yang masih fokus menyetir.Silvi kemudian menaik
“Oh nggak apa-apa, hanya ingin mau ke toilet sebentar, saya permisi dulu, Mbak,” ucapnya bergegas keluar dari ruangan meeting itu. Namun, membuat Mira bingung sambil menatap punggung Falisha sampai hilang dari pandangannya.“Ada apa, Mir?” tanya Nola menghampiri Mira. “Nggak apa-apa hanya bingung saja,” jawab Mira masih penasaran. “Bingung kenapa?” “Mbak Falisha tadi izin mau ke toilet.” “Terus, apanya yang bingung?” tanya Nola semakin heran.“Aku belum memberitahukan tempat toiletnya tapi dia sudah pergi begitu saja, sepertinya dia tahu deh letak posisi toiletnya?” selidik Mira beranggapan. “Emm ...benar juga sih, tapi bukannya dia pernah bilang saat dia ke sini kalau dia adalah adik angkatnya Ibu Farah, istri mendiang Pak Duda, iya kan?” Nola mencoba mengingat saat Falisha datang pertama kali ke kantor itu.“Apa?” tanya Silvi dan Aldi hampir bersamaan dengan wajah terkejut. Kebetulan posisi Silvi dan Aldi tidak jauh dari mereka sehingga mereka pun mendengarnya. “Maksudnya bag
“Duh cantik banget tuh cewek, pintar lagi kira-kira dia sudah menikah atau belum ya, pengen jadi suaminya kalau memang belum,” ucap karyawan Fattan yang bernama Dirga. “Iya, aku pun juga mau lah, bening begitu, wanita sholehah, jarang banget bisa lihat beginian,” timpa Seno kemudian sedikit berbisik, namun, ucapan mereka masih bisa di dengar oleh Fattan. “Menyebalkan sekali mereka, bukannya fokus untuk mendengarkan rancangan kerja malah menggosip tentang Falisha,” geramnya dalam hati Fattan semakin emosi saat mereka berdua masih membicarakan tentang Falisha di belakangnya. Lirikan mata Fattan mampu membuat kedua karyawan itu terkejut meskipun mereka membalas tatapan tajam itu. “Apakah kalian hanya ingin bergosip atau bekerja? Sangat tidak sopan kalau kalian bicara sendiri sedangkan ada orang lain yang sedang menjelaskan beberapa hal penting tentang kerja sama ini. Jika kalian masih betah menggosip silakan kemari barang-barang kalian dari sini, saya tidak butuh orang yang tidak kom
“Kenapa kamu takut dengan saya?” tanya balik Fattan menatap lebih dalam lagi.Entah apa yang ada dipikiran Fattan tiba-tiba saja wajah pria itu sedikit maju dan ingin menggapai bibir Falisha. Wanita cantik itu semakin gugup. “Tidak ... tidak jangan sampai aku terlena dengan dia, aku harus cepat menghindar,” pikir Falisha mencari akal.Ketika hampir saja menyentuh bibir Falisha tiba-tiba saja dia menyapa seseorang. “Pak Yudi?” sapa Falisha dengan cepat. Fattan yang mendengar nama itu disebut buru-buru menjauhkan tangannya dan berbalik badan.Seketika Fattan menjadi kesal karena Falisha sudah berani membohonginya. “Maaf, aku harus pergi dan satu lagi jangan memecat mereka. Semua bisa dibicarakan dengan baik-baik tanpa harus ada amarah, semua pasti ada jalan keluarnya. Kita masih membutuhkan mereka dan pikirkan loyalitasnya selama ini dalam pekerjaannya, permisi.” Falisha pergi dari ruangan itu sebelum Fattan memanggilnya lagi. Fattan terdiam dan kembali tersenyum. “Apa yang aku lak
“Mbok di mana Mas Fattan?” tanya Farah pelan.“Belum pulang Bu,” jawab Mbok Ijah singkat. Farah melirik ke jam dingin yang terpajang cantik di dalam kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, membuat Farah sedikit khawatir. Namun, sesaat kemudian kekhawatiran itu berangsur sirna dikala dia mengingat kalau ada wanita lain yang biasa menemaninya. “Apa yang Bu Farah pikirkan?” Mbok Ijah menemani Farah di dalam kamar.“Mas Fattan pasti dengan Syakira. Mbok apakah Mas Fattan mencintai Syakira, sepertinya mereka saling mencintai? Apakah Syakira adalah cinta pertama Mas Fattan?” tanya Farah mulai bimbang. “Enggak Bu, mereka hanya teman masa kecil. Dulu Syakira pergi dari kehidupan Den Fattan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah Syakira ditugaskan di Semarang saat Syakira berusia sembilan tahun dan Den Fattan berusia dua belas tahun. Setelah itu mereka tidak pernah saling menghubungi atau bertukar kabar. Kalau sekarang Mbok enggak tahu juga apakah Den Fatta
“Jika kamu mencintainya kenapa kamu dulu pergi meninggalkannya? Kenapa Syakira? Kenapa kamu malah pergi dari kehidupan Mas Fattan dan kenapa kembali disaat Mas Fattan sudah menikah denganku?” Farah menghujaninya begitu banyak pertanyaan yang dari dulu ingin sekali dia tanyakan kepada Syakira.Syakira terdiam sesaat sambil menatap sendu wanita di hadapannya dan kemudian kembali tersenyum sebelum berbicara. “Aku kembali bukan karena ingin merebut Mas Fattan dari kamu, Mbak. Aku kembali karena langkah kakiku yang menuntunku sampai ke sini. Apakah ini yang bisa dibilang sebuah takdir? Bahkan berkat kerja kerasku selama ini akhirnya kembali ke sini dan bertemu Mas Fattan. Aku hanya ingin menjadi temanmu, Mbak dan berbagi apa saja jika Mbak mau. Aku juga bisa menjadi teman curhat dan menjadi pendengar yang baik,” jelasnya.“Kata-katamu sungguh manis dan cukup mengesankan. Apa yang kamu inginkan Syakira? Kehidupanku atau cinta suamiku?” tanya Farah pelan. “Hanya Mbak Farah yang tahu jaw
Fahri pun mengangkat ponsel itu dengan sedikit malas. “Halo, Pi? Ada apa?”“Fahr? Di mana mami? Kenapa kamu yang angkat telepon mami? Apa mami baik-baik saja?” “Kenapa Papi mencari mami? Untuk sekarang mami enggak bisa diganggu. Papi urus saja pekerjaan penting Papi itu!” “Fahri! Halo ...halo!” Terdengar suara Fahri memutuskan sambungan telepon itu. Kecewa dan marah itu yang dirasakan olehnya. Tak lama kudian ponsel Farah kembali berbunyi. Takut membangunkan Farah sehingga Fahri langsung mematikan ponsel itu. “Untuk apa Papi mengetahui keadaan mami? Papi lebih sayang dengan pekerjaan tante pirang itu,” gerutu dalam hati sambil menatap lekat wajah Farah yang semakin tirus dan pucat. Fahri mengecup kening Farah. Seharusnya bukan anak kecil itu yang menunggu di rumah sakit, tapi anak kecil itu memohon kepada pihak rumah sakit untuk bisa tidur dengan Farah dalam satu ruangan. Ingin menemaninya dalam tidur. Fahri begitu menyayangi Farah dan tak ingin berpisah sedetik pun apalagi
“Mami kenapa Mbok?” tanya Fahri semakin cemas.Farah masih mengatur napasnya perlahan-lahan. Dia berusaha untuk bisa meredam sakit hatinya saat melihat penampakan di sana.Mbok Ijah terlihat panik. Begitu juga dengan Mang Ujang yang langsung ingin menggendong Farah untuk masuk ke dalam mobil kembali. Namun, entah kenapa pandangan wanita paruh baya itu ternyata melihat sang majikan pria yang sedang bahagia bersama wanita lain yang tidak lain adalah Syakira.“Den Fattan?” Mbok Ijah terdiam sesaat. Fahri pun menengok dan mendengarkan ucapan Mbok Ijah. Apalagi pandangan Mbok Ijah tertuju ke satu arah. Fahri mengikuti arah pandangan wanita paru baya itu. Dan benar saja papinya sedang bersama dengan wanita lain. Tentu saja membuat hati Fahri begitu sakit, marah melihat mereka begitu dekat seperti yang dia lihat saat di ruangan papinya sendiri.“Pa—Papi ada di sini juga? Bukannya papi bilang kalau ada urusan mendadak di kantor tapi kenapa ada di sini bersama Tante itu?” kesalnya dan ingin
Hari-hari pun berlalu seperti biasa. Farah pun sudah terbiasa dengan kedatangan Syakira ke rumahnya. Entah itu tentang pekerjaan atau hanya sekedar bertamu. Syakira berusaha untuk menjadi teman dekat Farah dan membuatnya merasa nyaman . Namun, tidak dengan Fahri yang mulai risih dengan kedatangan Syakira. Anak kecil itu tidak terlalu suka jika Syakira sering datang ke rumahnya. Bahkan di hari libur pun Syakira tidak absen untuk bisa jadi di tengah keluarga mereka. Seperti saat ini Fahri yang sudah sedikit melupakan tentang masalah mainan robot itu, kini sedikit terobati saat Fattan berniat untuk mengajak mereka ke pantai. Fahri sangat bahagia karena susah lama mereka tidak pergi berlibur bersama-sama.Dengan penuh semangat Fahri menyiapkan semua keperluan nya sendiri. Mulai dari baju ganti sampai makanan atau camilan untuk di sana. Anak kecil itu begitu Mandiri dia bisa menyiapkan segala kebutuhannya sendiri karena Fahri berpikir untuk tidak merepotkan ibunya yang sering sakit-sak
Sudah tiga hari Farah masih terbaring di rumah sakit. Tubuhnya begitu lemas. Panas dingin kembali menyelimuti dirinya. Meskipun sudah mendapatkan kenangan yang maksimal tapi tubuh kurus itu semakin lemah. Matanya terlihat cekung dengan bibir sedikit pecah. Wajah pucat seperti mayat hidup. Farah menahan rasa sakit semuanya sendiri karena tidak ingin menjadi beban suaminya lagi sehingga dia pun menyembunyikan penyakitnya sendiri. Farah kembali mengingat masa lalu yang begitu romantis disaat Farah masih terlihat segar dan cantik. Fattan begitu memuji kecantikan dan sangat mencintai Farah. Bahkan dia teka menentang keluarga besarnya untuk bisa menikah dengan wanita yang miskin.Keluarga Fattan tidak menyukai pilihan Fattan tapi tidak bisa menolak pilihan Fattan karena begitu menyayangi Fattan. Mereka berdua pun menyembunyikan rahasia besar kalau Farah tidak akan bisa mempunyai anak dari rahimnya karena rahim Farah sudah diangkat karena rusak akibat kecelakaan sebelum mereka menikah.
Fattan masih tertegun melihat benda itu. Apalagi saat pelayan toko mainan itu bilang kalau hanya ada satu barang. Berarti orang yang membeli mainan robot itu adalah Fahri. Anak kecil itu pun mengerti apa yang dilihat oleh papinya sendiri. Fahri melihat ada barang yang diletakkan di tempat tidurnya tanpa berniat untuk membuka kotak itu. “Apakah isinya itu adalah mainan?” pikir Fahri sesaat. Fahri masih saja menatap wajah Fattan dengan sendu. “Mainan robot itu bagus kan, Pi? Fahri meminta Mami untuk membelikannya. Mainan yang tidak jadi dibeli oleh Papi di sana. Papi lebih memilih pergi dengan Tante pirang itu daripada membelikan untuk Fahri,” ucapnya seketika membuyarkan lamunannya.. “Fahri ... apakah kamu dan Mami ada di mall itu juga?” tanyanya lebih memastikan.“Iya Pi. Mami bilang kalau Papi dan Tante pirang itu sedang berlatih memainkan peran tapi Papi lupa kalau Fahri ini anak. Papi yang bisa menangkap pikiran orang dewasa. Papi sudah berubah, enggak sayang lagi sama kami. O
Di dalam mobil Fattan masih tak percaya apa yang mereka lakukan semalam. Tentu saja apa yang dilakukan oleh Syakira tadi malam membuatnya terbangun dan mengikuti permainan Syakira yang begitu panas. “Oh Syakira, kamu membuatku gila, tubuhmu, aromamu membuat aku tak bisa melupakan kejadian semalam. Bagaimana aku bisa konsentrasi di kantor jika terus membayangkan perbuatan Syakira?” gerutunya membuatnya semakin gelisah. Tiba di perempatan jalan Fattan melihat sebuah mall. Tempat di mana kemarin dia singgah di sana. Terlintas di benaknya langsung saat Fattan berada di toko mainan. “Ah iya aku mau membelikan mainan untuk Fahri tapi ....” Fattan melihat jam di pergelangan tangannya yang melingkar. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi sedangkan mall itu belum buka. Fattan pun berniat akan kembali ke toko mainan itu saat jam makan siang nanti sehingga dia pun melajukan kendaraannya kembali. Tiba di kantor Fattan langsung fokus ke pekerjaan yang menunggunya. Dia sudah lupa untuk men
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun, mata sendu itu belum bisa terpejam sempurna betul. Setelah kejadian di mall Fahri tak bisa melupakan apa yang terjadi di sana.Bahkan semula rencana untuk bermain di mall secara tiba-tiba dibatalkan oleh Fahri sendiri. Dia lebih memilih untuk pulang ke rumah cepat. Tak ada keceriaan seperti tadi setelah sampai di rumah. Farah ikutan sedih saat anak angkatnya kini tidak berselera untuk makan. Fahri hanya menatap sendu ke arah robot yang dibeli yang menjadi pilihan Fattan meskipun tidak jadi dibelinya. Farah menemaninya di dalam kamar. Sungguh tak tega melihatnya sendirian. “Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Kamu tidak lapar? Jika Fahri enggak mau makan lebih baik tidur, biar besok bisa bangun pagi, kan sekolah, tapi Mami akan sedih jika Fahri tidur dalam keadaan perut kosong, nanti Fahri sakit dan Mami akan bertambah sedih melihatnya dan juga akan membuat Mami semakin lama sembuhnya. Fahri mau seperti itu?” bujuk lembut Farah yang su