Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi kedua matanya masih saja terjaga. Apalagi kata-kata Fattan tadi sore membuatnya gelisah, meskipun di dalam hati masih ada rasa itu. Rasa yang pernah dia rasakan untuk cinta Fattan tapi dia harus menguburnya dalam-dalam karena waktu itu tidak ingin menjadi duri dalam rumah tangga mereka.
Namun, sekarang sangat berbeda kini Falisha harus memutuskan apalagi surat wasiat kakak angkatnya itu. Selain itu dia juga ingin bertemu dengan putranya yang pernah dia tinggalkan untuk mereka. Dia ingin melihat wajah anak itu dan dia pun harus membuat anak itu tidak nakal seperti apa yang dikatakan mereka.Falisha mengambil ponselnya yang tergeletak di pinggir ranjang. Lalu membuka galeri foto. Foto yang sempat dia ambil saat anak itu masih bayi.“Bagaimana wajah kamu sekarang, Sayang, apakah kamu juga merindukan, Mama? Ah, sangat konyol, mana mungkin anak itu merindukan aku, karena dia pun tidak tahu siapa aku sebenarnya. Kita akan bertemu, Sayang, dan aku pastikan kamu menjadi anak yang baik dan akan membuat papa dan keluarga Papa kamu akan menerimanya,” ucapnya sambil menatap foto itu sedikit lama.Namun, sesaat kemudian dia kembali teringat dengan surat wasiat Farah yang diberikan dari Mbok Ijah. Wanita cantik itu pun beranjak dari tempat tidurnya dan membuka lemarinya. Sebuah amplop putih yang diberikan oleh Mbok Ijah untuknya dari Farah.“Syakira Nabila Putri? Teman masa kecilnya Mas Fattan? Aku tidak pernah mendengarnya. Apakah dia baru pulang dari luar negeri atau apa ya? Apakah dia cantik dan mungkin saja Mas Fattan juga menyukainya tapi surat wasiat itu ... ah sangat menyebalkan, lama-lama aku bisa gila jika seperti ini, lebih baik aku coba bawa tidur deh,” gerutunya dan kembali menyimpan surat wasiat itu.Falisha kembali ke ranjang dan berusaha untuk memejamkan matanya. Lambat laun akhirnya Falisha pun tertidur. ***Sedangkan di tempat lain. Fattan masih disibukkan dengan rutinitas pekerjaannya. Pria tampan itu seperti tak mengenal lelah. Hampir separuh hidupnya banyak dihabiskan untuk bekerja sehingga perhatian untuk Fahri dan Farah teralihkan.“Dia harus menikah denganku, bagaimana pun caranya. Kenapa sih sangat susah membujuk wanita itu? Atau dia sudah mempunyai pacar atau tunangan? Tidak ...meskipun Falisha sudah memiliki pacar atau tunangan orang itu harus menyingkir atau kalau perlu disingkirkan!” gerutunya kesal.Pikirannya langsung tak fokus sehingga Fattan pun menghentikan aktivitasnya. Dia lalu pergi ke kamar tidur. Di rumah besar itu hanya ada beberapa pembantu dan dia sendiri. Sunyi senyap seperti kuburan itu yang mungkin dirasakan oleh dirinya setelah kepergian Farah.Dulu dia sangat mencintai Farah, bahkan tak ingin berpisah darinya, sampai akhirnya dia menyerah dengan keadaan setelah temakan hasutan dari seseorang di masa lalu yang kini mengisi hari-harinya. Atas anjuran wanita itu pula Fahri anaknya pun harus diasingkan. Sempat melarikan diri dari sekolah asrama berlalu-kali sehingga Fattan memutuskan untuk membawanya ke rumah papanya yang penuh disiplin.Fahri kecil sungguh terkekang hidupnya bahkan dia tidak diperbolehkan untuk keluar rumah. Jika melanggar maka akan mendapatkan hukuman. Fahri pernah melakukannya dan Ayah Fattan pun bertindak kejam sehingga mental anak itu sedikit terganggu.Farah pun menjadi pelampiasan untuk kemarahan keluarga Fattan, karena tidak bisa mengurusnya dengan baik dan dirinya pun menjadi sakit-sakitan.Saat ingin memejamkan matanya terdengar suara ponsel berbunyi. Fattan terlihat kesal karena sudah mengganggu tidurnya tapi dia juga penasaran siapa yang telah menghubunginya tengah malam begini.Fattan melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul dua belas malam. Dengan berat hati dia pun menerima panggilan itu tanpa melihat siapa yang telah menghubunginya.“Hallo, siapa ini, kenapa menghubungi saya tengah malam begini?”Suara berat Fattan yang tidak mengubah posisinya yang masih terlentang dengan mata sedikit terpejam.“Mas Fattan?”Suara wanita itu langsung membukakan matanya lebar. Dia lalu duduk sambil melihat ke layar ponsel. Dan senyuman khas langsung terbit saat nama wanita itu tertera di sana.“Katakan apa keputusanmu!”“Aku setuju.”“Hemm ... Apa maksud kamu, setuju dengan hal apa?”Falisha mendesak kesal.“Kamu sengaja atau bagaimana? Bukankah kamu bilang aku harus menikah denganmu sesuai dengan surat wasiat itu?”“Oh ya aku sampai lupa. Baiklah, besok akan aku siapkan semuanya termasuk surat kesepakatan kita.”“Secepat itu? Tidak menunggu selama empat puluh harinya Mbak Farah, kenapa nggak dua bulan atau tiga bulan lagi?”“Tidak, lagi pula pernikahan kita dirahasiakan dari orang lain, kamu ingat kan itu?”“Tapi ...“Aku yang menentukan semuanya lebih cepat lebih baik, dan urusan kantor secepatnya segera dilaksanakan, bukan?”“Baiklah, Ter ...”Belum juga Falisha selesai bicara sambungan telepon itu langsung terputus membuat wanita cantik itu menggerutu kesal. Sedangkan Fattan entah kenapa hatinya begitu bahagia saat Falisha mengatakan setuju dengan surat wasiat itu. Terukir sebuah senyuman sehingga dia pun bisa memejamkan matanya.Namun, belum juga sampai lima menit tiba-tiba ponsel Fattan kembali berbunyi. Seperti biasa dia pasti tidak melihat siapa yang telah menghubunginya.“Ada apa Sayang, apakah kamu masih kangen dengan suaraku?”“Aku juga sangat merindukan kamu, Sayang.”Mata Fatta langsung terbelalak saat mendengar suara wanita itu. Fattan lalu duduk kembali dan melihat dengan jelas nama Syakira yang tertulis di sana.“Syakira?”“Iya Sayang, kenapa? Kamu tidak merindukan aku?”“Tum—tumben kamu telepon, biasanya kamu lupa atau bahkan aku mencoba menghubungi kamu malah nggak bisa?”“Iya maaf Sayang, sekarang aku begitu banyak waktu untukmu, karena sebentar lagi aku akan pulang ke Indonesia dalam beberapa hari ini.”“Oh ...“Oh ... hanya itu? Tidak ada yang lain?”“Maksud kamu?”“Sya, aku tutup dulu ya, sudah malam soalnya besok ada meeting penting dan aku harus berangkat pagi-pagi. Oke?”“Tapi aku masih ...”Lagi-lagi Fattan selalu mematikan sambungan telepon secara sepihak sebelum orang itu lanjut bicara. Pria itu langsung membuang ponselnya ke ranjang setelah mematikan baterai ponselnya agar tidak mengganggu waktu tidur. ***Menjelang pagi Falisha sudah bersiap. Hari ini dia sudah disibukkan dengan telepon dari Pak Agus pimpinannya dan mengharuskan dia pergi ke bandara.Untung saja Ibu kost berbaik hati untuk meminjamkan mobil pribadinya untuk pergi ke bandara. Tepat jam delapan pagi mobil itu meluncur keluar dari halaman kost berpapasan dengan mobil Fattan yang hendak menjemput Falisha.Wanita cantik itu tidak melihat mobil Fattan karena terlalu fokus untuk menyetir. Fattan pun mengikuti mobil Falisha yang ternyata mengarah ke jalan bandara.Sampai di sana pun Fattan ikut masuk dan mengikuti Falisha, sampai akhirnya seorang pria yang keluar dan langsung melambaikan tangan kepada Falisha. Wanita cantik itu pun membalasnya sambil tersenyum.“Itu kekasih atau pacar atau tunangan Falisha? Sangat keterlaluan, tadi malam dia bilang setuju menikah denganku tapi pagi ini dia tersenyum dengan pria lain?” umpat Fattan berdecak kesal dengan tangan mengepal kuat.Fattan ingin sekali mengikuti mereka tapi disaat itu juga ponselnya berdering. Dia pun terpaksa harus segera ke kantor karena mengingat pentingnya meeting nya hari ini.“Ah sial, kenapa juga hari ini ada meeting, padahal aku ingin memergoki mereka,” gerutunya kesal. Dia pun segera pergi dari sana dengan wajah ditekuk. Lagi-lagi ponselnya pun kembali berdering. Wajahnya sudah penuh amarah yang ingin sekali diledakkan tapi saat melihat nama yang tertera disana terlihat senyuman menyeringai. Dia pun segera menerima panggilan itu.***Pria tampan itu tidak tahu kalau yang dia lihat bukanlah kekasih atau tunangan Falisha melainkan teman kerja Falisha yang ditugaskan bersamanya bernama Aldi. Dia juga tidak datang sendiri karena Silvi pun ikut bersamanya hanya saja disaat itu Silvi izin ke kamar mandi sehingga Fattan hanya melihat Aldi bersama Falisha. “Kita langsung kerja atau bagaimana nih?” tanya Silvi setelah mereka masuk ke mobil. “Besok saja, lagian kalian baru datang pasti capek,
“Hey kok bengong sih? Kenapa?” Silvi kembali membuyarkan lamunan Lisha sehingga wanita cantik itu sedikit terkejut.“Ah nggak apa-apa. Aku mau istirahat dulu ya, besok kita akan bertemu dengan orang itu dan kalian harus mantapkan hati dan jiwa raga karena orang ini sedikit bawel, ketus dan irit bicara, tapi ...“Tampan, itu kan yang akan kamu bilang?” goda Silvi membuat wajah Lisha kembali memerah. “Oh bukan tapi mempunyai insting yang kuat dalam segala hal, makanya kita harus waspada dan teliti,” sahut Falisha yang kemudian buru-buru pergi karena takut ditanya lagi.Silvi menatap punggung Falisha sampai hilang dari pandangannya. “Di, kamu ngerasa nggak sih kalau Lisha sedang menyembunyikan sesuatu dari kita?” selidik Silvi yang merasa curiga.“Iya aku juga sempat curiga sih, selama ini kan dia tidak pernah menunjukkan wajah keluarganya itu apalagi kakak ipar nya, memang tampan dari aku ya?” “Kamu memang tampan tapi kalau dilihat dari sedotan, hehe,” jawab Silvi sambil terkekeh. “
“Kalau dipikir-pikir dia itu duda punya anak satu loh, tapi ada juga yang mengatakan kalau anaknya itu super nakal banget padahal umurnya baru enam tahun. Kasihan sekali istrinya mungkin gara-gara itu juga kalinya dia meninggal. Sudah sakit-sakitan ditambah anaknya badung,” jelas Silvi membuat mata Falisha berkaca-kaca. “Dia tidak aktif di media sosial, hampa sekali hidup Fattan ini, tapi eh tunggu sebentar ...“Ada apa, Al?” “Waw, seksi sekali, kenapa sih wanita memamerkan tubuhnya begitu mudah banget, kenapa nggak sekalian telanjang saja, dari pakai pakaian kurang bahan gitu, cuma dkit doang lagi kelihatan semua deh, banyak talinya pula,” gerutu Aldi saat melihat sebuah foto yang mampir di beranda sosialnya. “Mana coba lihat.” Silvi penasaran dan mengambil ponsel milik Aldi dari tangannya. Silvi pun memperhatikannya. “Wah dia cantik sekali tapi masih cantik kamu kok tenang saja,” ledek Silvi tersenyum saat melihat ke arah Falisha yang masih fokus menyetir.Silvi kemudian menaik
“Oh nggak apa-apa, hanya ingin mau ke toilet sebentar, saya permisi dulu, Mbak,” ucapnya bergegas keluar dari ruangan meeting itu. Namun, membuat Mira bingung sambil menatap punggung Falisha sampai hilang dari pandangannya.“Ada apa, Mir?” tanya Nola menghampiri Mira. “Nggak apa-apa hanya bingung saja,” jawab Mira masih penasaran. “Bingung kenapa?” “Mbak Falisha tadi izin mau ke toilet.” “Terus, apanya yang bingung?” tanya Nola semakin heran.“Aku belum memberitahukan tempat toiletnya tapi dia sudah pergi begitu saja, sepertinya dia tahu deh letak posisi toiletnya?” selidik Mira beranggapan. “Emm ...benar juga sih, tapi bukannya dia pernah bilang saat dia ke sini kalau dia adalah adik angkatnya Ibu Farah, istri mendiang Pak Duda, iya kan?” Nola mencoba mengingat saat Falisha datang pertama kali ke kantor itu.“Apa?” tanya Silvi dan Aldi hampir bersamaan dengan wajah terkejut. Kebetulan posisi Silvi dan Aldi tidak jauh dari mereka sehingga mereka pun mendengarnya. “Maksudnya bag
“Duh cantik banget tuh cewek, pintar lagi kira-kira dia sudah menikah atau belum ya, pengen jadi suaminya kalau memang belum,” ucap karyawan Fattan yang bernama Dirga. “Iya, aku pun juga mau lah, bening begitu, wanita sholehah, jarang banget bisa lihat beginian,” timpa Seno kemudian sedikit berbisik, namun, ucapan mereka masih bisa di dengar oleh Fattan. “Menyebalkan sekali mereka, bukannya fokus untuk mendengarkan rancangan kerja malah menggosip tentang Falisha,” geramnya dalam hati Fattan semakin emosi saat mereka berdua masih membicarakan tentang Falisha di belakangnya. Lirikan mata Fattan mampu membuat kedua karyawan itu terkejut meskipun mereka membalas tatapan tajam itu. “Apakah kalian hanya ingin bergosip atau bekerja? Sangat tidak sopan kalau kalian bicara sendiri sedangkan ada orang lain yang sedang menjelaskan beberapa hal penting tentang kerja sama ini. Jika kalian masih betah menggosip silakan kemari barang-barang kalian dari sini, saya tidak butuh orang yang tidak kom
“Kenapa kamu takut dengan saya?” tanya balik Fattan menatap lebih dalam lagi.Entah apa yang ada dipikiran Fattan tiba-tiba saja wajah pria itu sedikit maju dan ingin menggapai bibir Falisha. Wanita cantik itu semakin gugup. “Tidak ... tidak jangan sampai aku terlena dengan dia, aku harus cepat menghindar,” pikir Falisha mencari akal.Ketika hampir saja menyentuh bibir Falisha tiba-tiba saja dia menyapa seseorang. “Pak Yudi?” sapa Falisha dengan cepat. Fattan yang mendengar nama itu disebut buru-buru menjauhkan tangannya dan berbalik badan.Seketika Fattan menjadi kesal karena Falisha sudah berani membohonginya. “Maaf, aku harus pergi dan satu lagi jangan memecat mereka. Semua bisa dibicarakan dengan baik-baik tanpa harus ada amarah, semua pasti ada jalan keluarnya. Kita masih membutuhkan mereka dan pikirkan loyalitasnya selama ini dalam pekerjaannya, permisi.” Falisha pergi dari ruangan itu sebelum Fattan memanggilnya lagi. Fattan terdiam dan kembali tersenyum. “Apa yang aku lak
Sudah hampir setengah jam Fattan masih di ruangannya. Namun, kini pikirannya bercabang. Pria tampan itu memikirkan apa yang dikatakan oleh Yudi sehingga dia tidak bisa fokus dengan pekerjaan itu. Fattan lalu menghubungi Nola sekretarisnya.“Ya Pak Fattan?”“Saya lupa nomor berapa di ruangan Falisha?”“Nomornya 112, Pak, tapi sekarang Bu Falisha tidak ada di ruangannya Pak, hanya ada Mbak Silvi dan Mas Aldi.”“Memang saya ingin bicara dengan Falisha?”“Maaf Pak, pemikiran saya begitu.”“Dia tidak memberitahukan kamu ke mana dia pergi?”“Bilang sih Pak, dan Bu Falisha pergi bersama dengan Pak Yudi.”“Apa, kenapa kamu tidak beritahu saya?” “Loh, saya kira Bapak sudah tahu karena setelah Pak Yudi keluar dari ruangan Bapak bersamaan ada Bu Falisha, entah apa yang mereka bicarakan sehingga mereka pergi bersama, Pak. Sangat cocok sekali mereka yang satu tampan dan yang satu cantik, iya kan Pak?”“Kamu kira Yudi lebih tampan dari saya, menyebalkan. Kamu sekretaris saya atau Yudi sih?” “Ma
Fattan tersenyum mengejek kembali saat mengingat ucapan papinya itu. “Papi mengungkit ada darah Widatama yang mengalir di tubuh anak nakal itu, tapi tidak dengan cucu Papi yang lain yang tidak dianggap sama sekali. Kenapa Pi, mereka juga berhak untuk itu?” tanyanya dalam hati yang kini sangat merindukan kakaknya Fazri yang sudah tidak dianggap sebagai anaknya oleh Hendra Aji Widatama. Bahkan sudah sepuluh tahun ini Fattan tidak tahu keberadaannya. Ponselnya pun sudah tidak aktif. Fattan memang belum menyuruh orang untuk mencari keberadaan kakaknya tapi dia yakin suatu hari mereka akan bertemu lagi dan akan membawanya pulang. ***Sementara itu Yudi yang pergi bersama dengan Falisha masih mencari keberadaan Fahri. Ya saat Yudi keluar dari ruangan Fattan tadi bersama Falisha. Wanita cantik itu pun melihat wajah Yudi yang sangat khawatir sehingga memberanikan diri untuk bertanya.“Maaf Pak ada masalah, kenapa wajah Pak Yudi terlihat seperti itu?” tanya Falisha ingin tahu.“Saya harus
“Mbok di mana Mas Fattan?” tanya Farah pelan.“Belum pulang Bu,” jawab Mbok Ijah singkat. Farah melirik ke jam dingin yang terpajang cantik di dalam kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, membuat Farah sedikit khawatir. Namun, sesaat kemudian kekhawatiran itu berangsur sirna dikala dia mengingat kalau ada wanita lain yang biasa menemaninya. “Apa yang Bu Farah pikirkan?” Mbok Ijah menemani Farah di dalam kamar.“Mas Fattan pasti dengan Syakira. Mbok apakah Mas Fattan mencintai Syakira, sepertinya mereka saling mencintai? Apakah Syakira adalah cinta pertama Mas Fattan?” tanya Farah mulai bimbang. “Enggak Bu, mereka hanya teman masa kecil. Dulu Syakira pergi dari kehidupan Den Fattan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah Syakira ditugaskan di Semarang saat Syakira berusia sembilan tahun dan Den Fattan berusia dua belas tahun. Setelah itu mereka tidak pernah saling menghubungi atau bertukar kabar. Kalau sekarang Mbok enggak tahu juga apakah Den Fatta
“Jika kamu mencintainya kenapa kamu dulu pergi meninggalkannya? Kenapa Syakira? Kenapa kamu malah pergi dari kehidupan Mas Fattan dan kenapa kembali disaat Mas Fattan sudah menikah denganku?” Farah menghujaninya begitu banyak pertanyaan yang dari dulu ingin sekali dia tanyakan kepada Syakira.Syakira terdiam sesaat sambil menatap sendu wanita di hadapannya dan kemudian kembali tersenyum sebelum berbicara. “Aku kembali bukan karena ingin merebut Mas Fattan dari kamu, Mbak. Aku kembali karena langkah kakiku yang menuntunku sampai ke sini. Apakah ini yang bisa dibilang sebuah takdir? Bahkan berkat kerja kerasku selama ini akhirnya kembali ke sini dan bertemu Mas Fattan. Aku hanya ingin menjadi temanmu, Mbak dan berbagi apa saja jika Mbak mau. Aku juga bisa menjadi teman curhat dan menjadi pendengar yang baik,” jelasnya.“Kata-katamu sungguh manis dan cukup mengesankan. Apa yang kamu inginkan Syakira? Kehidupanku atau cinta suamiku?” tanya Farah pelan. “Hanya Mbak Farah yang tahu jaw
Fahri pun mengangkat ponsel itu dengan sedikit malas. “Halo, Pi? Ada apa?”“Fahr? Di mana mami? Kenapa kamu yang angkat telepon mami? Apa mami baik-baik saja?” “Kenapa Papi mencari mami? Untuk sekarang mami enggak bisa diganggu. Papi urus saja pekerjaan penting Papi itu!” “Fahri! Halo ...halo!” Terdengar suara Fahri memutuskan sambungan telepon itu. Kecewa dan marah itu yang dirasakan olehnya. Tak lama kudian ponsel Farah kembali berbunyi. Takut membangunkan Farah sehingga Fahri langsung mematikan ponsel itu. “Untuk apa Papi mengetahui keadaan mami? Papi lebih sayang dengan pekerjaan tante pirang itu,” gerutu dalam hati sambil menatap lekat wajah Farah yang semakin tirus dan pucat. Fahri mengecup kening Farah. Seharusnya bukan anak kecil itu yang menunggu di rumah sakit, tapi anak kecil itu memohon kepada pihak rumah sakit untuk bisa tidur dengan Farah dalam satu ruangan. Ingin menemaninya dalam tidur. Fahri begitu menyayangi Farah dan tak ingin berpisah sedetik pun apalagi
“Mami kenapa Mbok?” tanya Fahri semakin cemas.Farah masih mengatur napasnya perlahan-lahan. Dia berusaha untuk bisa meredam sakit hatinya saat melihat penampakan di sana.Mbok Ijah terlihat panik. Begitu juga dengan Mang Ujang yang langsung ingin menggendong Farah untuk masuk ke dalam mobil kembali. Namun, entah kenapa pandangan wanita paruh baya itu ternyata melihat sang majikan pria yang sedang bahagia bersama wanita lain yang tidak lain adalah Syakira.“Den Fattan?” Mbok Ijah terdiam sesaat. Fahri pun menengok dan mendengarkan ucapan Mbok Ijah. Apalagi pandangan Mbok Ijah tertuju ke satu arah. Fahri mengikuti arah pandangan wanita paru baya itu. Dan benar saja papinya sedang bersama dengan wanita lain. Tentu saja membuat hati Fahri begitu sakit, marah melihat mereka begitu dekat seperti yang dia lihat saat di ruangan papinya sendiri.“Pa—Papi ada di sini juga? Bukannya papi bilang kalau ada urusan mendadak di kantor tapi kenapa ada di sini bersama Tante itu?” kesalnya dan ingin
Hari-hari pun berlalu seperti biasa. Farah pun sudah terbiasa dengan kedatangan Syakira ke rumahnya. Entah itu tentang pekerjaan atau hanya sekedar bertamu. Syakira berusaha untuk menjadi teman dekat Farah dan membuatnya merasa nyaman . Namun, tidak dengan Fahri yang mulai risih dengan kedatangan Syakira. Anak kecil itu tidak terlalu suka jika Syakira sering datang ke rumahnya. Bahkan di hari libur pun Syakira tidak absen untuk bisa jadi di tengah keluarga mereka. Seperti saat ini Fahri yang sudah sedikit melupakan tentang masalah mainan robot itu, kini sedikit terobati saat Fattan berniat untuk mengajak mereka ke pantai. Fahri sangat bahagia karena susah lama mereka tidak pergi berlibur bersama-sama.Dengan penuh semangat Fahri menyiapkan semua keperluan nya sendiri. Mulai dari baju ganti sampai makanan atau camilan untuk di sana. Anak kecil itu begitu Mandiri dia bisa menyiapkan segala kebutuhannya sendiri karena Fahri berpikir untuk tidak merepotkan ibunya yang sering sakit-sak
Sudah tiga hari Farah masih terbaring di rumah sakit. Tubuhnya begitu lemas. Panas dingin kembali menyelimuti dirinya. Meskipun sudah mendapatkan kenangan yang maksimal tapi tubuh kurus itu semakin lemah. Matanya terlihat cekung dengan bibir sedikit pecah. Wajah pucat seperti mayat hidup. Farah menahan rasa sakit semuanya sendiri karena tidak ingin menjadi beban suaminya lagi sehingga dia pun menyembunyikan penyakitnya sendiri. Farah kembali mengingat masa lalu yang begitu romantis disaat Farah masih terlihat segar dan cantik. Fattan begitu memuji kecantikan dan sangat mencintai Farah. Bahkan dia teka menentang keluarga besarnya untuk bisa menikah dengan wanita yang miskin.Keluarga Fattan tidak menyukai pilihan Fattan tapi tidak bisa menolak pilihan Fattan karena begitu menyayangi Fattan. Mereka berdua pun menyembunyikan rahasia besar kalau Farah tidak akan bisa mempunyai anak dari rahimnya karena rahim Farah sudah diangkat karena rusak akibat kecelakaan sebelum mereka menikah.
Fattan masih tertegun melihat benda itu. Apalagi saat pelayan toko mainan itu bilang kalau hanya ada satu barang. Berarti orang yang membeli mainan robot itu adalah Fahri. Anak kecil itu pun mengerti apa yang dilihat oleh papinya sendiri. Fahri melihat ada barang yang diletakkan di tempat tidurnya tanpa berniat untuk membuka kotak itu. “Apakah isinya itu adalah mainan?” pikir Fahri sesaat. Fahri masih saja menatap wajah Fattan dengan sendu. “Mainan robot itu bagus kan, Pi? Fahri meminta Mami untuk membelikannya. Mainan yang tidak jadi dibeli oleh Papi di sana. Papi lebih memilih pergi dengan Tante pirang itu daripada membelikan untuk Fahri,” ucapnya seketika membuyarkan lamunannya.. “Fahri ... apakah kamu dan Mami ada di mall itu juga?” tanyanya lebih memastikan.“Iya Pi. Mami bilang kalau Papi dan Tante pirang itu sedang berlatih memainkan peran tapi Papi lupa kalau Fahri ini anak. Papi yang bisa menangkap pikiran orang dewasa. Papi sudah berubah, enggak sayang lagi sama kami. O
Di dalam mobil Fattan masih tak percaya apa yang mereka lakukan semalam. Tentu saja apa yang dilakukan oleh Syakira tadi malam membuatnya terbangun dan mengikuti permainan Syakira yang begitu panas. “Oh Syakira, kamu membuatku gila, tubuhmu, aromamu membuat aku tak bisa melupakan kejadian semalam. Bagaimana aku bisa konsentrasi di kantor jika terus membayangkan perbuatan Syakira?” gerutunya membuatnya semakin gelisah. Tiba di perempatan jalan Fattan melihat sebuah mall. Tempat di mana kemarin dia singgah di sana. Terlintas di benaknya langsung saat Fattan berada di toko mainan. “Ah iya aku mau membelikan mainan untuk Fahri tapi ....” Fattan melihat jam di pergelangan tangannya yang melingkar. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi sedangkan mall itu belum buka. Fattan pun berniat akan kembali ke toko mainan itu saat jam makan siang nanti sehingga dia pun melajukan kendaraannya kembali. Tiba di kantor Fattan langsung fokus ke pekerjaan yang menunggunya. Dia sudah lupa untuk men
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun, mata sendu itu belum bisa terpejam sempurna betul. Setelah kejadian di mall Fahri tak bisa melupakan apa yang terjadi di sana.Bahkan semula rencana untuk bermain di mall secara tiba-tiba dibatalkan oleh Fahri sendiri. Dia lebih memilih untuk pulang ke rumah cepat. Tak ada keceriaan seperti tadi setelah sampai di rumah. Farah ikutan sedih saat anak angkatnya kini tidak berselera untuk makan. Fahri hanya menatap sendu ke arah robot yang dibeli yang menjadi pilihan Fattan meskipun tidak jadi dibelinya. Farah menemaninya di dalam kamar. Sungguh tak tega melihatnya sendirian. “Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Kamu tidak lapar? Jika Fahri enggak mau makan lebih baik tidur, biar besok bisa bangun pagi, kan sekolah, tapi Mami akan sedih jika Fahri tidur dalam keadaan perut kosong, nanti Fahri sakit dan Mami akan bertambah sedih melihatnya dan juga akan membuat Mami semakin lama sembuhnya. Fahri mau seperti itu?” bujuk lembut Farah yang su