Sudah hampir setengah jam Fattan masih di ruangannya. Namun, kini pikirannya bercabang. Pria tampan itu memikirkan apa yang dikatakan oleh Yudi sehingga dia tidak bisa fokus dengan pekerjaan itu. Fattan lalu menghubungi Nola sekretarisnya.“Ya Pak Fattan?”“Saya lupa nomor berapa di ruangan Falisha?”“Nomornya 112, Pak, tapi sekarang Bu Falisha tidak ada di ruangannya Pak, hanya ada Mbak Silvi dan Mas Aldi.”“Memang saya ingin bicara dengan Falisha?”“Maaf Pak, pemikiran saya begitu.”“Dia tidak memberitahukan kamu ke mana dia pergi?”“Bilang sih Pak, dan Bu Falisha pergi bersama dengan Pak Yudi.”“Apa, kenapa kamu tidak beritahu saya?” “Loh, saya kira Bapak sudah tahu karena setelah Pak Yudi keluar dari ruangan Bapak bersamaan ada Bu Falisha, entah apa yang mereka bicarakan sehingga mereka pergi bersama, Pak. Sangat cocok sekali mereka yang satu tampan dan yang satu cantik, iya kan Pak?”“Kamu kira Yudi lebih tampan dari saya, menyebalkan. Kamu sekretaris saya atau Yudi sih?” “Ma
Fattan tersenyum mengejek kembali saat mengingat ucapan papinya itu. “Papi mengungkit ada darah Widatama yang mengalir di tubuh anak nakal itu, tapi tidak dengan cucu Papi yang lain yang tidak dianggap sama sekali. Kenapa Pi, mereka juga berhak untuk itu?” tanyanya dalam hati yang kini sangat merindukan kakaknya Fazri yang sudah tidak dianggap sebagai anaknya oleh Hendra Aji Widatama. Bahkan sudah sepuluh tahun ini Fattan tidak tahu keberadaannya. Ponselnya pun sudah tidak aktif. Fattan memang belum menyuruh orang untuk mencari keberadaan kakaknya tapi dia yakin suatu hari mereka akan bertemu lagi dan akan membawanya pulang. ***Sementara itu Yudi yang pergi bersama dengan Falisha masih mencari keberadaan Fahri. Ya saat Yudi keluar dari ruangan Fattan tadi bersama Falisha. Wanita cantik itu pun melihat wajah Yudi yang sangat khawatir sehingga memberanikan diri untuk bertanya.“Maaf Pak ada masalah, kenapa wajah Pak Yudi terlihat seperti itu?” tanya Falisha ingin tahu.“Saya harus
Setelah lima belas menit berlalu akhirnya mobil Yudi berhenti di sebuah pemakaman umum. Suasana tampak sepi tapi Falisha masih hafal tempat Farah terakhir disemayamkan. Wanita cantik itu buru-buru turun dari mobil. Seperti bias a Yudi semakin penasaran dengan tingkah laku Falisha yang baru dia kenal. Memang selama ini Fattan tidak pernah bercerita apa pun tentang Falisha. Sedangkan Yudi pun waktu itu masih berada di kota lain untuk mengurus kantor cabang milik keluarga Widatama yang lain sehingga hanya melalui telepon saja mereka berhubungan itu pun hanya membahas pekerjaan saja. Namun, sekarang Yudi kembali dipanggil untuk kembali menjadi kaki tangan Fattan. Seharusnya bukan Yudi yang ditugaskan di sana melainkan kakaknya Fattan yaitu Fazri tapi pria itu tidak mau menjalankan perusahaan bisnis ayahnya sehingga memilih untuk keluar dari keluar Widatama. Apalagi diketahui Fazri menikahi wanita yang bukan pilihan papinya sehingga menambah deretan kesalahan yang Fazri lakukan. Langka
Tangannya mengepal kuat saat mendengar suara wanita yang akan dinikahinya bersama pria lain. Dia pun langsung pergi begitu saja tanpa mengindahkan perkataan Nola yang ikut mengejar sampai depan pintu lift. “Kenapa lagi itu bos, selalu saja terburu-buru begitu, mukanya itu sangat datar dan dingin, perasaan saat bersama nenek lampir itu nggak begini amat,” monolog Nola yang tak berani bertanya lagi saat melihat wajah bosnya.“Pasti bos kamu itu perlu dirukiyah deh, bawaannya selalu marah, padahal dulu nggak begini amat, tapi semenjak nenek lampir itu datang bos kita menjadi pemarah,” ucap Mira yang datang tiba-tiba di belakang Nola. “Nggak tahu ah, pusing juga lebih baik aku selesaikan dulu pekerjaanku sebelum bos datang tambah pusing,” celetuk Nola sedikit kesal.Saat ingin beranjak dari tempat lift itu, tiba-tiba saja pintu lift terbuka membuat kedua wanita itu pun refleks melihat ke arah pintu lift. “Kejutan?” seru wanita cantik itu membuat Nola dan Mira saling berpandangan. “La,
Wanita cantik itu merasa bersalah karena telah meninggalkannya. Bahkan Falisha menolak untuk tahu bagaimana perkembangan anak itu selama enam tahun yang lalu. Namun, semua yang dia lakukan semata-mata agar tidak teringat olehnya. Falisha sudah duduk di samping tempat tidur Fahri. Tangannya tidak lepas menggenggam tangan kecil anaknya. Meskipun tidak pernah bertemu tapi naluri sebagai ibu tiba-tiba saja muncul. Tangan kecil itu terasa hangat di genggaman tangan Falisha. Baru kali ini dia menyentuh tangan itu yang tidak pernah dia sentuh selama enam tahun. Tangan yang sama saat Falisha menggenggamnya, karena ada tanda lahir di sela jemarinya yang pernah dia ambil foto itu saat masih bayi merah. Falisha kembali mengambil foto tangan mereka dengan posisi yang sama. Fattan melihatnya dan berdecak kesal. “Lebay,” ucapnya pelan sambil tersenyum mengejek.“Dia nakal sekali, menyusahkan orang lain saja,” lanjutnya lagi. “Dia tidak nakal Mas, dia hanya butuh perhatian dari orang yang men
“Aku tidak mau tahu Falisha, aku akan menjemputmu jam tujuh malam tetapi, nggak pakai jam karet. Aku harap kamu mempunyai pakaian yang layak untuk di pakai!” Falisha menggerutu kesal setiap membaca pesan dari Fattan barusan. Setelah pertengkaran itu terjadi di kamar Fahri kembali Fattan memaksa Falisha untuk pulang duluan karena harus bersiap untuk menghadiri pertemuan keluarga nanti malam. Waktunya tinggal setengah jam lagi membuat wanita cantik itu sangat gugup dan gelisah. Namun, tidak itu saja yang membuatnya gugup tapi kedua sahabatnya pun ikutan mogok bicara. Bukan tanpa sebab Silvi dan Aldi masih mendiamkan Falisha dari tadi karena seharian Falisha tidak juga datang ke kantor malah pergi keluar bersama Fattan. “Ayolah, Say, jangan mendiamkan aku. Aku tahu aku yang salah karena tidak berterus terang kepada kalian, tapi aku tidak ingin semua orang tahu apa yang terjadi sebenarnya,” kilah Falisha menatap sendu kepada mereka.“Lis, kamu sahabat kami bukan sih? Kenapa kamu banya
Mereka sama-sama terdiam. Tangan Falisha masih berada di tangan Fattan. Namun, beberapa saat kemudian Falisha menjauhkan tangannya. 1“Ma—maaf,” ucap Falisha gugup.Tak ada reaksi dari pria itu. Entah kenapa sikap Fattan berubah sangat drastis. Dulu dia mengenalnya sangat ramah dan mudah tersenyum tapi sekarang wajahnya begitu suram dan dingin.Tak lama kemudian orang yang sudah ditunggu pun datang. Setelah selesai bicara dengan koleganya pria paru baya itu pun menghampiri mereka.“Oh ini calon istrimu?” tanya Hendra sedikit memicingkan matanya kearah Falisha.“Malam Om Hendra,” sahut Falisha tersenyum ramah.“Sepertinya Papi pernah melihat kamu, apakah kamu juga seorang pengusaha atau kuliah atau bekerja sebagai karyawan biasa?” tanya Hendra bersikap angkuh. “Kalau dilihat tampangnya seperti pengacara?” ledek Nadia ikut bersuara. “Sungguh kamu seorang pengacara?” Kini Sinta ikut memastikan.Hendra tersenyum tipis seakan ikut mengejeknya. Namun, Falisha tetap bersikap tenang di ha
Falisha diam tak bersuara lagi sampai Fattan mengantarnya pulang. Wanita cantik itu langsung turun dari mobil dan membanting keras pintu mobil itu sehingga menimbulkan suara nyaring. Fattan tahu jika wanita cantik itu sedang marah dengannya karena berani menyentuh tanpa seizinnya . Pria itu menatap dingin tapi setelah itu terbit sebuah senyuman kecil setelah Falisha masuk ke dalam kost.“Apa yang aku lakukan? Mencium bibir Falisha?” ucapnya masih tak percaya dia bisa melakukan hal itu.Falisha masuk dan membanting pintu kamar kost nya dan langsung menuju tempat tidur. Sesaat dia marah karena perbuatan Fattan tapi kenapa dia juga tak mengelak akan sentuhan singkat itu. Apalagi dia harus menyiapkan mental besok pagi karena harinya akan dimulai.“Mbak, besok aku akan menikah dengan suamimu? Tolong restui, aku Mbak? Aku akan mengembalikan nama baik Mbak Farah dari keluarga Widatama yang selalu merendahkan Mbak Farah dan anak itu, bagaimana dengan dia? Apakah pernikahan mendadak dan ters