“Kenapa kamu takut dengan saya?” tanya balik Fattan menatap lebih dalam lagi.Entah apa yang ada dipikiran Fattan tiba-tiba saja wajah pria itu sedikit maju dan ingin menggapai bibir Falisha. Wanita cantik itu semakin gugup. “Tidak ... tidak jangan sampai aku terlena dengan dia, aku harus cepat menghindar,” pikir Falisha mencari akal.Ketika hampir saja menyentuh bibir Falisha tiba-tiba saja dia menyapa seseorang. “Pak Yudi?” sapa Falisha dengan cepat. Fattan yang mendengar nama itu disebut buru-buru menjauhkan tangannya dan berbalik badan.Seketika Fattan menjadi kesal karena Falisha sudah berani membohonginya. “Maaf, aku harus pergi dan satu lagi jangan memecat mereka. Semua bisa dibicarakan dengan baik-baik tanpa harus ada amarah, semua pasti ada jalan keluarnya. Kita masih membutuhkan mereka dan pikirkan loyalitasnya selama ini dalam pekerjaannya, permisi.” Falisha pergi dari ruangan itu sebelum Fattan memanggilnya lagi. Fattan terdiam dan kembali tersenyum. “Apa yang aku lak
Sudah hampir setengah jam Fattan masih di ruangannya. Namun, kini pikirannya bercabang. Pria tampan itu memikirkan apa yang dikatakan oleh Yudi sehingga dia tidak bisa fokus dengan pekerjaan itu. Fattan lalu menghubungi Nola sekretarisnya.“Ya Pak Fattan?”“Saya lupa nomor berapa di ruangan Falisha?”“Nomornya 112, Pak, tapi sekarang Bu Falisha tidak ada di ruangannya Pak, hanya ada Mbak Silvi dan Mas Aldi.”“Memang saya ingin bicara dengan Falisha?”“Maaf Pak, pemikiran saya begitu.”“Dia tidak memberitahukan kamu ke mana dia pergi?”“Bilang sih Pak, dan Bu Falisha pergi bersama dengan Pak Yudi.”“Apa, kenapa kamu tidak beritahu saya?” “Loh, saya kira Bapak sudah tahu karena setelah Pak Yudi keluar dari ruangan Bapak bersamaan ada Bu Falisha, entah apa yang mereka bicarakan sehingga mereka pergi bersama, Pak. Sangat cocok sekali mereka yang satu tampan dan yang satu cantik, iya kan Pak?”“Kamu kira Yudi lebih tampan dari saya, menyebalkan. Kamu sekretaris saya atau Yudi sih?” “Ma
Fattan tersenyum mengejek kembali saat mengingat ucapan papinya itu. “Papi mengungkit ada darah Widatama yang mengalir di tubuh anak nakal itu, tapi tidak dengan cucu Papi yang lain yang tidak dianggap sama sekali. Kenapa Pi, mereka juga berhak untuk itu?” tanyanya dalam hati yang kini sangat merindukan kakaknya Fazri yang sudah tidak dianggap sebagai anaknya oleh Hendra Aji Widatama. Bahkan sudah sepuluh tahun ini Fattan tidak tahu keberadaannya. Ponselnya pun sudah tidak aktif. Fattan memang belum menyuruh orang untuk mencari keberadaan kakaknya tapi dia yakin suatu hari mereka akan bertemu lagi dan akan membawanya pulang. ***Sementara itu Yudi yang pergi bersama dengan Falisha masih mencari keberadaan Fahri. Ya saat Yudi keluar dari ruangan Fattan tadi bersama Falisha. Wanita cantik itu pun melihat wajah Yudi yang sangat khawatir sehingga memberanikan diri untuk bertanya.“Maaf Pak ada masalah, kenapa wajah Pak Yudi terlihat seperti itu?” tanya Falisha ingin tahu.“Saya harus
Setelah lima belas menit berlalu akhirnya mobil Yudi berhenti di sebuah pemakaman umum. Suasana tampak sepi tapi Falisha masih hafal tempat Farah terakhir disemayamkan. Wanita cantik itu buru-buru turun dari mobil. Seperti bias a Yudi semakin penasaran dengan tingkah laku Falisha yang baru dia kenal. Memang selama ini Fattan tidak pernah bercerita apa pun tentang Falisha. Sedangkan Yudi pun waktu itu masih berada di kota lain untuk mengurus kantor cabang milik keluarga Widatama yang lain sehingga hanya melalui telepon saja mereka berhubungan itu pun hanya membahas pekerjaan saja. Namun, sekarang Yudi kembali dipanggil untuk kembali menjadi kaki tangan Fattan. Seharusnya bukan Yudi yang ditugaskan di sana melainkan kakaknya Fattan yaitu Fazri tapi pria itu tidak mau menjalankan perusahaan bisnis ayahnya sehingga memilih untuk keluar dari keluar Widatama. Apalagi diketahui Fazri menikahi wanita yang bukan pilihan papinya sehingga menambah deretan kesalahan yang Fazri lakukan. Langka
Tangannya mengepal kuat saat mendengar suara wanita yang akan dinikahinya bersama pria lain. Dia pun langsung pergi begitu saja tanpa mengindahkan perkataan Nola yang ikut mengejar sampai depan pintu lift. “Kenapa lagi itu bos, selalu saja terburu-buru begitu, mukanya itu sangat datar dan dingin, perasaan saat bersama nenek lampir itu nggak begini amat,” monolog Nola yang tak berani bertanya lagi saat melihat wajah bosnya.“Pasti bos kamu itu perlu dirukiyah deh, bawaannya selalu marah, padahal dulu nggak begini amat, tapi semenjak nenek lampir itu datang bos kita menjadi pemarah,” ucap Mira yang datang tiba-tiba di belakang Nola. “Nggak tahu ah, pusing juga lebih baik aku selesaikan dulu pekerjaanku sebelum bos datang tambah pusing,” celetuk Nola sedikit kesal.Saat ingin beranjak dari tempat lift itu, tiba-tiba saja pintu lift terbuka membuat kedua wanita itu pun refleks melihat ke arah pintu lift. “Kejutan?” seru wanita cantik itu membuat Nola dan Mira saling berpandangan. “La,
Wanita cantik itu merasa bersalah karena telah meninggalkannya. Bahkan Falisha menolak untuk tahu bagaimana perkembangan anak itu selama enam tahun yang lalu. Namun, semua yang dia lakukan semata-mata agar tidak teringat olehnya. Falisha sudah duduk di samping tempat tidur Fahri. Tangannya tidak lepas menggenggam tangan kecil anaknya. Meskipun tidak pernah bertemu tapi naluri sebagai ibu tiba-tiba saja muncul. Tangan kecil itu terasa hangat di genggaman tangan Falisha. Baru kali ini dia menyentuh tangan itu yang tidak pernah dia sentuh selama enam tahun. Tangan yang sama saat Falisha menggenggamnya, karena ada tanda lahir di sela jemarinya yang pernah dia ambil foto itu saat masih bayi merah. Falisha kembali mengambil foto tangan mereka dengan posisi yang sama. Fattan melihatnya dan berdecak kesal. “Lebay,” ucapnya pelan sambil tersenyum mengejek.“Dia nakal sekali, menyusahkan orang lain saja,” lanjutnya lagi. “Dia tidak nakal Mas, dia hanya butuh perhatian dari orang yang men
“Aku tidak mau tahu Falisha, aku akan menjemputmu jam tujuh malam tetapi, nggak pakai jam karet. Aku harap kamu mempunyai pakaian yang layak untuk di pakai!” Falisha menggerutu kesal setiap membaca pesan dari Fattan barusan. Setelah pertengkaran itu terjadi di kamar Fahri kembali Fattan memaksa Falisha untuk pulang duluan karena harus bersiap untuk menghadiri pertemuan keluarga nanti malam. Waktunya tinggal setengah jam lagi membuat wanita cantik itu sangat gugup dan gelisah. Namun, tidak itu saja yang membuatnya gugup tapi kedua sahabatnya pun ikutan mogok bicara. Bukan tanpa sebab Silvi dan Aldi masih mendiamkan Falisha dari tadi karena seharian Falisha tidak juga datang ke kantor malah pergi keluar bersama Fattan. “Ayolah, Say, jangan mendiamkan aku. Aku tahu aku yang salah karena tidak berterus terang kepada kalian, tapi aku tidak ingin semua orang tahu apa yang terjadi sebenarnya,” kilah Falisha menatap sendu kepada mereka.“Lis, kamu sahabat kami bukan sih? Kenapa kamu banya
Mereka sama-sama terdiam. Tangan Falisha masih berada di tangan Fattan. Namun, beberapa saat kemudian Falisha menjauhkan tangannya. 1“Ma—maaf,” ucap Falisha gugup.Tak ada reaksi dari pria itu. Entah kenapa sikap Fattan berubah sangat drastis. Dulu dia mengenalnya sangat ramah dan mudah tersenyum tapi sekarang wajahnya begitu suram dan dingin.Tak lama kemudian orang yang sudah ditunggu pun datang. Setelah selesai bicara dengan koleganya pria paru baya itu pun menghampiri mereka.“Oh ini calon istrimu?” tanya Hendra sedikit memicingkan matanya kearah Falisha.“Malam Om Hendra,” sahut Falisha tersenyum ramah.“Sepertinya Papi pernah melihat kamu, apakah kamu juga seorang pengusaha atau kuliah atau bekerja sebagai karyawan biasa?” tanya Hendra bersikap angkuh. “Kalau dilihat tampangnya seperti pengacara?” ledek Nadia ikut bersuara. “Sungguh kamu seorang pengacara?” Kini Sinta ikut memastikan.Hendra tersenyum tipis seakan ikut mengejeknya. Namun, Falisha tetap bersikap tenang di ha
“Mbok di mana Mas Fattan?” tanya Farah pelan.“Belum pulang Bu,” jawab Mbok Ijah singkat. Farah melirik ke jam dingin yang terpajang cantik di dalam kamarnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, membuat Farah sedikit khawatir. Namun, sesaat kemudian kekhawatiran itu berangsur sirna dikala dia mengingat kalau ada wanita lain yang biasa menemaninya. “Apa yang Bu Farah pikirkan?” Mbok Ijah menemani Farah di dalam kamar.“Mas Fattan pasti dengan Syakira. Mbok apakah Mas Fattan mencintai Syakira, sepertinya mereka saling mencintai? Apakah Syakira adalah cinta pertama Mas Fattan?” tanya Farah mulai bimbang. “Enggak Bu, mereka hanya teman masa kecil. Dulu Syakira pergi dari kehidupan Den Fattan saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah Syakira ditugaskan di Semarang saat Syakira berusia sembilan tahun dan Den Fattan berusia dua belas tahun. Setelah itu mereka tidak pernah saling menghubungi atau bertukar kabar. Kalau sekarang Mbok enggak tahu juga apakah Den Fatta
“Jika kamu mencintainya kenapa kamu dulu pergi meninggalkannya? Kenapa Syakira? Kenapa kamu malah pergi dari kehidupan Mas Fattan dan kenapa kembali disaat Mas Fattan sudah menikah denganku?” Farah menghujaninya begitu banyak pertanyaan yang dari dulu ingin sekali dia tanyakan kepada Syakira.Syakira terdiam sesaat sambil menatap sendu wanita di hadapannya dan kemudian kembali tersenyum sebelum berbicara. “Aku kembali bukan karena ingin merebut Mas Fattan dari kamu, Mbak. Aku kembali karena langkah kakiku yang menuntunku sampai ke sini. Apakah ini yang bisa dibilang sebuah takdir? Bahkan berkat kerja kerasku selama ini akhirnya kembali ke sini dan bertemu Mas Fattan. Aku hanya ingin menjadi temanmu, Mbak dan berbagi apa saja jika Mbak mau. Aku juga bisa menjadi teman curhat dan menjadi pendengar yang baik,” jelasnya.“Kata-katamu sungguh manis dan cukup mengesankan. Apa yang kamu inginkan Syakira? Kehidupanku atau cinta suamiku?” tanya Farah pelan. “Hanya Mbak Farah yang tahu jaw
Fahri pun mengangkat ponsel itu dengan sedikit malas. “Halo, Pi? Ada apa?”“Fahr? Di mana mami? Kenapa kamu yang angkat telepon mami? Apa mami baik-baik saja?” “Kenapa Papi mencari mami? Untuk sekarang mami enggak bisa diganggu. Papi urus saja pekerjaan penting Papi itu!” “Fahri! Halo ...halo!” Terdengar suara Fahri memutuskan sambungan telepon itu. Kecewa dan marah itu yang dirasakan olehnya. Tak lama kudian ponsel Farah kembali berbunyi. Takut membangunkan Farah sehingga Fahri langsung mematikan ponsel itu. “Untuk apa Papi mengetahui keadaan mami? Papi lebih sayang dengan pekerjaan tante pirang itu,” gerutu dalam hati sambil menatap lekat wajah Farah yang semakin tirus dan pucat. Fahri mengecup kening Farah. Seharusnya bukan anak kecil itu yang menunggu di rumah sakit, tapi anak kecil itu memohon kepada pihak rumah sakit untuk bisa tidur dengan Farah dalam satu ruangan. Ingin menemaninya dalam tidur. Fahri begitu menyayangi Farah dan tak ingin berpisah sedetik pun apalagi
“Mami kenapa Mbok?” tanya Fahri semakin cemas.Farah masih mengatur napasnya perlahan-lahan. Dia berusaha untuk bisa meredam sakit hatinya saat melihat penampakan di sana.Mbok Ijah terlihat panik. Begitu juga dengan Mang Ujang yang langsung ingin menggendong Farah untuk masuk ke dalam mobil kembali. Namun, entah kenapa pandangan wanita paruh baya itu ternyata melihat sang majikan pria yang sedang bahagia bersama wanita lain yang tidak lain adalah Syakira.“Den Fattan?” Mbok Ijah terdiam sesaat. Fahri pun menengok dan mendengarkan ucapan Mbok Ijah. Apalagi pandangan Mbok Ijah tertuju ke satu arah. Fahri mengikuti arah pandangan wanita paru baya itu. Dan benar saja papinya sedang bersama dengan wanita lain. Tentu saja membuat hati Fahri begitu sakit, marah melihat mereka begitu dekat seperti yang dia lihat saat di ruangan papinya sendiri.“Pa—Papi ada di sini juga? Bukannya papi bilang kalau ada urusan mendadak di kantor tapi kenapa ada di sini bersama Tante itu?” kesalnya dan ingin
Hari-hari pun berlalu seperti biasa. Farah pun sudah terbiasa dengan kedatangan Syakira ke rumahnya. Entah itu tentang pekerjaan atau hanya sekedar bertamu. Syakira berusaha untuk menjadi teman dekat Farah dan membuatnya merasa nyaman . Namun, tidak dengan Fahri yang mulai risih dengan kedatangan Syakira. Anak kecil itu tidak terlalu suka jika Syakira sering datang ke rumahnya. Bahkan di hari libur pun Syakira tidak absen untuk bisa jadi di tengah keluarga mereka. Seperti saat ini Fahri yang sudah sedikit melupakan tentang masalah mainan robot itu, kini sedikit terobati saat Fattan berniat untuk mengajak mereka ke pantai. Fahri sangat bahagia karena susah lama mereka tidak pergi berlibur bersama-sama.Dengan penuh semangat Fahri menyiapkan semua keperluan nya sendiri. Mulai dari baju ganti sampai makanan atau camilan untuk di sana. Anak kecil itu begitu Mandiri dia bisa menyiapkan segala kebutuhannya sendiri karena Fahri berpikir untuk tidak merepotkan ibunya yang sering sakit-sak
Sudah tiga hari Farah masih terbaring di rumah sakit. Tubuhnya begitu lemas. Panas dingin kembali menyelimuti dirinya. Meskipun sudah mendapatkan kenangan yang maksimal tapi tubuh kurus itu semakin lemah. Matanya terlihat cekung dengan bibir sedikit pecah. Wajah pucat seperti mayat hidup. Farah menahan rasa sakit semuanya sendiri karena tidak ingin menjadi beban suaminya lagi sehingga dia pun menyembunyikan penyakitnya sendiri. Farah kembali mengingat masa lalu yang begitu romantis disaat Farah masih terlihat segar dan cantik. Fattan begitu memuji kecantikan dan sangat mencintai Farah. Bahkan dia teka menentang keluarga besarnya untuk bisa menikah dengan wanita yang miskin.Keluarga Fattan tidak menyukai pilihan Fattan tapi tidak bisa menolak pilihan Fattan karena begitu menyayangi Fattan. Mereka berdua pun menyembunyikan rahasia besar kalau Farah tidak akan bisa mempunyai anak dari rahimnya karena rahim Farah sudah diangkat karena rusak akibat kecelakaan sebelum mereka menikah.
Fattan masih tertegun melihat benda itu. Apalagi saat pelayan toko mainan itu bilang kalau hanya ada satu barang. Berarti orang yang membeli mainan robot itu adalah Fahri. Anak kecil itu pun mengerti apa yang dilihat oleh papinya sendiri. Fahri melihat ada barang yang diletakkan di tempat tidurnya tanpa berniat untuk membuka kotak itu. “Apakah isinya itu adalah mainan?” pikir Fahri sesaat. Fahri masih saja menatap wajah Fattan dengan sendu. “Mainan robot itu bagus kan, Pi? Fahri meminta Mami untuk membelikannya. Mainan yang tidak jadi dibeli oleh Papi di sana. Papi lebih memilih pergi dengan Tante pirang itu daripada membelikan untuk Fahri,” ucapnya seketika membuyarkan lamunannya.. “Fahri ... apakah kamu dan Mami ada di mall itu juga?” tanyanya lebih memastikan.“Iya Pi. Mami bilang kalau Papi dan Tante pirang itu sedang berlatih memainkan peran tapi Papi lupa kalau Fahri ini anak. Papi yang bisa menangkap pikiran orang dewasa. Papi sudah berubah, enggak sayang lagi sama kami. O
Di dalam mobil Fattan masih tak percaya apa yang mereka lakukan semalam. Tentu saja apa yang dilakukan oleh Syakira tadi malam membuatnya terbangun dan mengikuti permainan Syakira yang begitu panas. “Oh Syakira, kamu membuatku gila, tubuhmu, aromamu membuat aku tak bisa melupakan kejadian semalam. Bagaimana aku bisa konsentrasi di kantor jika terus membayangkan perbuatan Syakira?” gerutunya membuatnya semakin gelisah. Tiba di perempatan jalan Fattan melihat sebuah mall. Tempat di mana kemarin dia singgah di sana. Terlintas di benaknya langsung saat Fattan berada di toko mainan. “Ah iya aku mau membelikan mainan untuk Fahri tapi ....” Fattan melihat jam di pergelangan tangannya yang melingkar. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi sedangkan mall itu belum buka. Fattan pun berniat akan kembali ke toko mainan itu saat jam makan siang nanti sehingga dia pun melajukan kendaraannya kembali. Tiba di kantor Fattan langsung fokus ke pekerjaan yang menunggunya. Dia sudah lupa untuk men
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Namun, mata sendu itu belum bisa terpejam sempurna betul. Setelah kejadian di mall Fahri tak bisa melupakan apa yang terjadi di sana.Bahkan semula rencana untuk bermain di mall secara tiba-tiba dibatalkan oleh Fahri sendiri. Dia lebih memilih untuk pulang ke rumah cepat. Tak ada keceriaan seperti tadi setelah sampai di rumah. Farah ikutan sedih saat anak angkatnya kini tidak berselera untuk makan. Fahri hanya menatap sendu ke arah robot yang dibeli yang menjadi pilihan Fattan meskipun tidak jadi dibelinya. Farah menemaninya di dalam kamar. Sungguh tak tega melihatnya sendirian. “Apa yang kamu pikirkan, Sayang? Kamu tidak lapar? Jika Fahri enggak mau makan lebih baik tidur, biar besok bisa bangun pagi, kan sekolah, tapi Mami akan sedih jika Fahri tidur dalam keadaan perut kosong, nanti Fahri sakit dan Mami akan bertambah sedih melihatnya dan juga akan membuat Mami semakin lama sembuhnya. Fahri mau seperti itu?” bujuk lembut Farah yang su