Beranda / Pernikahan / Surat Wasiat Istriku / 3. Enam Tahun Kemudian

Share

3. Enam Tahun Kemudian

Falisha memberikan bayi itu kepada Farah dan Fattan untuk mereka rawat dan besarkan. Meskipun hatinya terasa sedih dan sakit tapi dia harus melakukannya demi mereka, demi Farah kakak angkatnya.

Sebenarnya Farah sudah berusaha mencegahnya untuk tidak pergi tapi dia pun sadar cinta itu tidak boleh hadir diantara mereka. Fattan pun mengerti posisi Falisha dia pun tak ingin memperkeruh keadaan meskipun hatinya mulai merasakan getaran cinta dengan Falisha.

“Mbak aku sudah menepati janjiku untuk kalian dan sekarang aku bebas. Mas Fattan harus menceraikan aku juga. Tinggal kalian yang harus menepati janji untuk membuat orang itu menderita. Aku masih tidak rela jika dia hidup bahagia  sementara aku tidak bisa melupakan orang itu sampai sekarang!” keluhnya menagih janji kepada mereka.

“Kamu jangan khawatir aku akan menepatinya, dan ini ...” Fattan memberikan selembar cek yang bertuliskan nominal angka tertera sangat jelas.

Kedua bola mata  membulat sempurna saat melihat angka nominalnya.

“Ambillah Lis, Mbak mohon dan jika kamu mau mengubah keputusan kamu untuk kembali ke rumah ini silakan, aku tidak akan melarang,” sahut Farah yang kini dengan mata berkaca-kaca.

Falisha memeluk  hangat Farah, mereka pun saling menangis . Setelah puas dia lalu mencium kening anaknya. Tak ingin lebih sakit lagi dia pun segera  pergi dari rumah itu.

“Aku akan selalu menunggu kamu Falisha, aku yakin takdir akan membawa kamu kembali ke sini,” ucap Fattan dalam hati sambil menatap punggung wanita itu.

***

 

Falisha  tak ingin menyesali perbuatannya, sekuat tenaga menghapus rekam jejak mereka. Kini Falisha bisa melanjutkan perjalanan hidup sesuai keinginannya.

“Aku harus menjadi orang sukses untuk bisa membalas dendam dengan orang itu, meskipun aku tahu mereka tidak melakukan karena Mbak Farah pasti mencegahnya, tapi aku akan tetap melakukannya,” ucap Falisha dalam hati.

Waktu terus berlalu, Falisha begitu giat belajar dan membuang masa lalunya. Sampai waktunya tidak terasa sudah enam tahun Falisha berada di kota lain . Perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan minuman membuat Lisha dipercaya untuk membuka cabang di luar kota dan terpilih adalah kota Surabaya kota kelahirannya sekaligus masa lalunya.

“Maaf Pak, bisa di kota lain saja? Atau orang lain saja yang memegang cabang di sana, saya sudah betah di sini?” pinta Lisha kepada pimpinannya yang menugaskannya.

“Kamu atau saya pimpinannya?” tanya pria paru baya itu dengan mata melotot.

“Maaf Pak,” sahutnya menundukkan kepala.

“Saya nggak mau tahu ya Falisha, kamu yang harus memimpin cabang di sana, lagian kamu itu sangat aneh naik jabatan malah nggak mau, padahal teman-teman kamu itu sangat iri dengan keberhasilan kamu ini, tapi kok kamu malah nggak semangat gitu, atau jangan-jangan ada mantan kamu di sana?” selidik Pak Agus menatap tajam.

“Bu—bukan begitu Pak, maksud saya masih banyak orang-orang yang berpengalaman dari saya, kenapa saya yang dipilih?” kilahnya lagi.

“Karena saya  bisa melihat kinerja kamu yang selalu meningkat dan sayang jika kamu tidak mengembangkan potensi kamu. Dan kamu tenang saja Silvi dan Aldi juga akan menemani kamu, karena saya tahu kalian bertiga seperti kepompong nggak bisa dipisahkan, lagian mereka pun juga setuju kok.”

“Duh, mereka itu ya nggak kasih tahu aku dulu, menyebalkan sekali!” gerutunya kesal.

Di saat Lisha masih bingung, tiba-tiba saja ponselnya  berbunyi. Lisha pun meminta izin untuk mengangkatnya karena melihat di layar ponsel itu tertera nama Mbok Ijah.

“Ya Mbok, ada yang penting, Lisha masih kerja, nanti aja ya Mbok!”

“Tunggu Neng! Mbok hanya mengabarkan kalau Neng Farah meninggal dan Neng harus balik ke sini!”

Mata Lisha melotot, lidahnya terasa kelu, tubuhnya bergetar saat mendengar berita itu. Pak Agus yang melihat reaksi Lisha begitu syok mulai penasaran.

“Kamu baik-baik saja, Lis? Apa yang terjadi?”

“Pak, saya menyetujui permintaan Bapak untuk pergi ke Surabaya. Siapkan saja kalau bisa hari ini, karena ....

“Ada apa Lis, katakan apa yang terjadi?”

“Kakak saya meninggal Pak, tapi saya tidak tahu karena apa, saya harus pulang. “

“Baiklah, kamu bisa langsung duluan ke Surabaya, sedangkan urusan yang lain biar Silvi dan Aldi yang akan menyelesaikannya. Saya turut berduka cita dan tunggu dulu ...Bukannya kamu bilang tidak ada saudara atau keluarga di sana?”

“Maaf Pak, saya memang berbohong,  saya harus mengubur masa lalu itu tapi hari ini saya harus pulang sekarang, Pak!”

“Oke!”

Pria paru baya itu segera menugaskan sekretarisnya untuk menyiapkan tiket untuk kepulangan Falisha. Setelah undur diri dari ruangan Agus, Falisha hampir limbung tapi untuk ada Silvi yang memapahnya.

“Kamu kenapa, Lis? Ada apa? Kamu belum makan, lebih baik kita ke kantin dulu, yuk!” ajak Silvi merasa khawatir.

“Aku mau pulang ke Surabaya duluan ya. Sampai bertemu di sana, aku buru-buru.,” ucapnya sambil berteriak dan melangkah  pergi.

Silvi bingung dengan perkataan Falisha. Di saat memikirkan perkataan Falisha, seorang cleaning service mengagetkannya dan meminta untuk datang ke ruangan Pak Agus.

 

***

Falisha sudah bersiap untuk pulang. Hanya Mbok Ijah yang selalu memberi kabar tentang kehidupan  mereka yang terbilang harmonis dan bahagia sesuai keinginannya.

Rasa  gugup, penasaran, sedih dan bahagia karena bisa pulang ke Surabaya tapi penyesalan karena tidak bisa bertemu Farah  kakak angkatnya

Beberapa jam kemudian akhirnya Falisha telah sampai di kota itu. Kini kembali menginjak kota kelahirannya sendiri. Falisha  pun langsung meluncur ke rumah itu. Rumah yang pernah dia tinggal di dalamnya. Alamat rumah itu pun dia tidak lupa.

Sampai akhirnya dua puluh menit berlalu akhirnya dia sampai di rumah itu. Tampak bendera kuning terlihat. Badannya  mulai lemas saat telah sampai di depan ruang besar itu.

“Jangan menangis  Lisha, Ayuk tunjukkan dirimu kalau kamu baik-baik saja!” celetuknya dalam hati

“Assalamualaikum!”  sapa Falisha  saat telah sampai di depan  pintu rumah. Semua orang tertuju kepadanya begitu juga dengan Mbok Ija dan tentu saja pria dingin itu.

Falisha  tidak memperhatikan Fathan yang menatapnya penuh arti, karena wanita cantik itu tertuju dengan jenazah kakaknya. Falisha mendekati dan memeluk untuk yang terakhir kalinya tubuh yang sudah menjadi jenazah itu.

Seketika air mata pun tak terbendung lagi. Mbok Ijah pun memeluk Falisha. Mereka pun hanyut dalam tangisan.

Setelah acara pemakaman barulah Mbok Ijah menceritakan apa yang terjadi dengan Farah. Setelah kepergian Falisha waktu itu mereka pun hidup bahagia, keluarga Fattan pun sangat bahagia melihat kehadiran seorang bayi laki-laki untuk penerus keluarganya.

Sampai akhirnya di saat menginjak enam tahun, saat salat subuh tiba-tiba Farah sudah meninggal dalam sujudnya.

 

***

“Apa ini Mas?” tanya Falisha  saat Fattan  memberikan sebuah amplop berwarna putih itu.

“Kamu akan tahu setelah membacanya, anggap saja itu seperti surat wasiat!” tegas Fattan  sedikit melirik kearahnya.

“Maksud Mas Fattan , Mbak Farah meninggalkan surat wasiat untukku?” tanya Falisha penasaran.

“Iya dan itu harus kamu lakukan, suka atau tidak suka,” jawab  Fathan sedikit ketus dan sedikit penekanan.

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Safiiaa
makin seruuuu ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status