Setelah perbincangan itu sikap Fattan mulai menjaga jarak bahkan jarang sekali Fattan ke kamar Falisha hanya sekedar menanyakan kondisi kesehatannya. Farah dan Mbok Ijah yang mengurus. Bahkan Fattan mengambil pekerjaan keluar kota sampai empat bulan lamanya hanya untuk menghindar dari Falisha.
Falisha mengerti apa yang dilakukan oleh Fattan. Dia memang harus menghindar agar tidak menimbulkan benih cinta diantara mereka. Begitu juga dengan Falisha dia tetap fokus dengan kehamilannya tanpa harus memedulikan sikap Fattan yang semakin dingin dengannya.Sudah hampir sembilan bulan, kini Falisha harus mempersiapkan diri untuk melahirkan. Seperti kata dokter mungkin antara Minggu pertama atau kedua Falisha akan melahirkan secara normal. Rasa gugup, cemas dan bahagia bercampur aduk rasanya.“Mas, sebentar lagi Falisha mau melahirkan kata dokter sih dalam minggu-minggu ini, kamu nggak tengok anakmu sebentar?” tanya Farah lembut.Fattan mengecup kening istrinya dengan hangat.“Aku masih mau di sini bersamamu, Sayang.”“Mas, apakah kamu kecewa denganku?”“Untuk?” tanya Fattan bingung.“Ya karena aku tidak bisa memberikan kamu keturunan dan memaksa kamu menikahi adikku, apakah kamu masih marah denganku?”“Nggak Sayang, kamu sudah memutuskan dan aku hanya mengikuti apa yang kamu inginkan tapi jangan paksa aku untuk mencintainya, kami hanya sebatas partner. Aku hanya mencintaimu dan sebentar lagi keluargaku tidak akan menghina kamu lagi karena sekarang kamu akan menjadi seorang ibu, iya kan?”“Apakah rahasia ini akan tetap terjaga?”“Aku jamin, Sayang.”“Mas, kabulkan permintaanku, malam ini kamu tidur di kamar Falisha, kasihan dia dan tengoklah anakmu, kata dokter kamu harus membuka jalan agar nanti saat persalinan Falisha tidak terlalu sakit, mau ya Mas?” rengek Farah memelas.“Aku mengantuk , Sayang, nanti aku pikirkan lagi.”Farah diam tapi lelehan air matanya terus mengalir membuat Fattan menjadi serba salah. Fattan kembali menatap Farah. Dia pun tak tega melihat istri yang sangat dia cintai bersedih apalagi kondisi Farah yang tak berdaya membuat Fattan merasa kasihan.“Baiklah Sayang , malam ini aku akan tidur di kamar Falisha, hanya untuk malam ini saja, kamu puas?”“Iya Mas, terima kasih. Sekarang kamu ke sana ya?”“Sekarang ini masih jam sembilan Sayang?”“Pokoknya sekarang!” desak Farah.“Oke, kamu nggak apa-apa aku tinggal?”“Nggak apa-apa, cepat sana!”Mau tak mau Fattan keluar dari kamar dan menuju kamar Falisha yang hanya terletak di sebelah kamarnya. Pintu kamar Falisha terkunci dari dalam tapi Fattan mempunyai kunci cadangannya.“Tidak ada? Di mana dia?” tanya Fattan setelah berhasil membuka pintu kamar dan masih berdiri mengamati kamarnya yang luas itu tidak ada penampakan Falisha.Namun, Fattan terkejut saat dia melangkah lebih dekat ingin ke kamar mandi, tiba-tiba saja Falisha keluar dari kamar mandi tanpa menggunakan sehelai benang pun yang menutupi tubuh dengan perutnya yang besar sehingga mata Fattan membuat melihat pemandangan itu yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Fattan dengan susah payah menelan ludah, pandangannya tak teralihkan. Falisha yang ikut terkejut dengan cepat menutupi tubuhnya dengan handuk yang tergeletak di sisi ranjang, lalu melilitkan ke tubuhnya.“Mas Fattan? Kenapa ada di sini? Dan bagaimana kamu bisa masuk?” tanya Falisha kaget.“Kamu lupa kalau aku mempunyai kunci cadangan dan kamu jangan ke geeran ya. Aku ke sini karena perintah kakakmu untuk tidur malam ini bersama kamu,” sahutnya dan langsung menghampiri sisi ranjang yang lain untuk merebahkan tubuhnya.“Aku nggak apa-apa Mas, balik sana kasihan Mbak Farah,” ucap Falisha tersenyum kaku.“Sudah jangan bawel, aku ngantuk jangan ganggu aku, oke?” pintanya dengan nada ketus.Falisha pun malas berdebat dengannya dan berpikir kalau Fattan memang benar-benar lelah dan mengantuk sehingga dengan santai dia kembali membuka lilitan handuknya.Fattan tak kuasa menahan hasratnya tapi dia terlalu gengsi sehingga dia pun berusaha untuk memejamkan matanya. Setelah selesai memakai pakaian tidur yang longgar Falisha pun naik ke ranjang sehingga ranjang itu sedikit bergoyang.“Kenapa aku ini? Apakah aku juga mulai jatuh cinta dengan Falisha?”Fattan gelisah malah tak bisa tidur kembali, tubuhnya pun digerakkan mengganti posisi tidur yang tadi membelakangi Falisha kini dia berbalik menatap Falisha yang ternyata sudah tertidur.Dengkuran halus pun terdengar Falisha bisa mendengarnya dengan jelas. Penasaran kini Fattan menatap lekat wajah Falisha yang tertidur. Dia pun membetulkan anak rambut yang menghalangi wajahnya dan menyingkapnya ke sela telinga.“Cantik, dia memang sangat cantik ,” ucapnya mengagumi Falisha.Tanpa sadar Fattan pun mengecup kening Falisha, lalu turun ke pipi dan bibirnya. Tak ada reaksi dari Falisha membuat Fattan semakin penasaran. Dia pun kembali menyentuhnya.“Kata Farah aku harus menengok anakku bukan, baiklah akan aku coba,” ucapnya dan kembali melumat bibir Falisha. Fattan pun mulai melancarkan aksinya. Terdengar suara desahan kecil dari mulut Falisha membuat Fattan semakin bergairah, hingga malam itu pun menjadi panas. Falisha terbangun dan mendapati dirinya kembali sendiri. Dia seperti berhalusinasi jika Fattan telah menyentuhnya.“Apakah tadi malam aku bermimpi?” tanya Falisha dalam hati sembari mengingat-ingat kejadian tadi malam.“Ah mungkin halusinasi aku saja, mana mungkin Mas Fattan menyentuhku?” gerutunya kesal. Dia pun langsung ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.***Sejak saat itu Fattan selalu mendatangi kamar Falisha. Bahkan setelah Farah tidur dia pun beralih ke kamar Falisha .“Mas, kamu kok di sini lagi?” tanya Falisha kaget.“Kenapa, aku kan suamimu juga ada masalah?” Fattan mendengkus kesal.“Nggak sih Mas,” sahutnya pelan.Fattan pun langsung merebahkan tubuhnya diikuti Falisha yang memang ingin tidur. Namun, belum ada beberapa detik mata Falisha terpejam, tangan Fattan sudah bergerilya di tubuh Falisha membuat Falisha terkejut dan juga bahagia karena Fattan mulai menyentuhnya lagi. Falisha pun membiarkannya dan menikmati setiap sentuhan yang dilakukan oleh Fattan.“Berarti aku tidak mimpi, Mas Fattan memang menyentuhku?” gumamnya dalam hati sambil tersenyum kecil. ***Fattan sudah meminta izin untuk tidur di kamar Falisha disela masa kehamilan yang sebentar lagi mau melahirkan. Tentu saja Farah bahagia setidaknya Fattan sudah bisa membuka hatinya untuk wanita lain. Fattan pun merasa bahagia setidaknya apa yang dia inginkan sedikit demi sedikit terwujud.Akhirnya apa yang telah ditunggu pun tiba. Falisha mengalami kontraksi, sehingga dengan cepat Fattan membawanya ke rumah sakit.Fattan terlihat begitu khawatir dan beberapa menit kemudian bayi itu lahir dengan selamat. Berjenis kelamin laki-laki dengan berat badan 3750 gram, panjang 52 cm.Falisha masih di ruang perawatan untuk memulihkan kondisinya. Selang beberapa menit kemudian Falisha diperbolehkan untuk melihat anaknya. Bayi itu terlihat manis dan menggemaskan. Falisha memegang tangan mungil itu lalu mengabadikan genggaman tangan mereka dengan layar ponselnya.Falisha melihat ada sebuah tanda hitam disela kedua jari bayi itu. “Aku akan selalu merindukan kamu, Sayang. Maaf Mama harus pergi, kamu akan harus menurut kepada orang tuamu, mungkin suatu hari takdir akan mempertemukan kita kembali,” ucapnya dan mencium. Kening bayi mungil itu dengan lembut.Falisha memberikan bayi itu kepada Farah dan Fattan untuk mereka rawat dan besarkan. Meskipun hatinya terasa sedih dan sakit tapi dia harus melakukannya demi mereka, demi Farah kakak angkatnya.Sebenarnya Farah sudah berusaha mencegahnya untuk tidak pergi tapi dia pun sadar cinta itu tidak boleh hadir diantara mereka. Fattan pun mengerti posisi Falisha dia pun tak ingin memperkeruh keadaan meskipun hatinya mulai merasakan getaran cinta dengan Falisha. “Mbak aku sudah menepati janjiku untuk kalian dan sekarang aku bebas. Mas Fattan harus menceraikan aku juga. Tinggal kalian yang harus menepati janji untuk membuat orang itu menderita. Aku masih tidak rela jika dia hidup bahagia sementara aku tidak bisa melupakan orang itu sampai sekarang!” keluhnya menagih janji kepada mereka. “Kamu jangan khawatir aku akan menepatinya, dan ini ...” Fattan memberikan selembar cek yang bertuliskan nominal angka tertera sangat jelas.Kedua bola mata membulat sempurna saat melihat angka nominalnya. “
Falisha membuka amplop itu dan langsung membacanya. Seketika wajahnya langsung berubah pucat saat itu juga. “Ti—tidak mungkin? Apa kamu bercanda?” Falisha berdiri dan ingin segera merobek kertas itu ,tapi Fattan langsung mengambil kertas itu dengan cepat. “Itu adalah permintaan terakhir Farah, bukan aku yang meminta,” tegasnya lagi. “Tapi kita sudah lama bercerai dan aku ...”“Kenapa? Kamu keberatan dan itu tidak masalah karena dulu kita hanya menikah siri dan sekarang aku akan menikahi kamu secara resmi baik secara agama dan juga hukum, lagian kamu tidak ingin bertemu dengan anakmu? Sekarang kamu pilih saja mau menikah denganku atau anak itu yang harus menanggung akibatnya?”“Apa maksudnya, Mas?” tanya Falisha tidak mengerti.“Seharusnya kamu tidak perlu melahirkan anak pembawa sial itu, ya dia bukan anak Farah sehingga perilakunya tidak seperti itu dan dia adalah anakmu yang nakal, susah untuk dikendalikan!” bentak Fattan meluapkan emosinya. Falisha semakin bingung dengan pe
Nola baru menyadari jika ada orang lain yang masih berdiri di hadapannya. Wanita cantik memakai hijab modis membuat mereka terpaku sejenak. “Wah cantik banget,” ucap Nola sambil berdiri menatap Lisha. “Benar sempurna untuk bos dingin kita itu,” sanggah Mira kembali bersuara yang ikut menatap Lisha dari atas sampai bawah. Tak lama kemudian telepon kembali berdering membuyarkan mereka. Dengan sigap Nola langsung mengangkatnya dan sangat terkejut karena yang menghubunginya adalah dari perusahaan Pak Muchlis.Nola tercekat dan panik, karena dia belum memikirkan jawaban yang pantas untuk orang itu. Rasa gugup dan khawatir langsung menghantuinya. “Siapa Mbak?” tanya Falisha penasaran. “Maaf Mbak mungkin itu Pak Muchlis Yudatama salah satu investor yang ingin bekerja sama dengan Pak Fathan, tapi Pak Fathan membatalkan janji mereka karena ada urusan mendesak dan Nola sekretarisnya ini bingung mau mencari alasan apa yang tepat agar kedua belai pihak yang mempunyai sifat yang hampir sa
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi kedua matanya masih saja terjaga. Apalagi kata-kata Fattan tadi sore membuatnya gelisah, meskipun di dalam hati masih ada rasa itu. Rasa yang pernah dia rasakan untuk cinta Fattan tapi dia harus menguburnya dalam-dalam karena waktu itu tidak ingin menjadi duri dalam rumah tangga mereka. Namun, sekarang sangat berbeda kini Falisha harus memutuskan apalagi surat wasiat kakak angkatnya itu. Selain itu dia juga ingin bertemu dengan putranya yang pernah dia tinggalkan untuk mereka. Dia ingin melihat wajah anak itu dan dia pun harus membuat anak itu tidak nakal seperti apa yang dikatakan mereka.Falisha mengambil ponselnya yang tergeletak di pinggir ranjang. Lalu membuka galeri foto. Foto yang sempat dia ambil saat anak itu masih bayi. “Bagaimana wajah kamu sekarang, Sayang, apakah kamu juga merindukan, Mama? Ah, sangat konyol, mana mungkin anak itu merindukan aku, karena dia pun tidak tahu siapa aku sebenarnya. Kita akan bertemu, Sayang,
Fattan ingin sekali mengikuti mereka tapi disaat itu juga ponselnya berdering. Dia pun terpaksa harus segera ke kantor karena mengingat pentingnya meeting nya hari ini.“Ah sial, kenapa juga hari ini ada meeting, padahal aku ingin memergoki mereka,” gerutunya kesal. Dia pun segera pergi dari sana dengan wajah ditekuk. Lagi-lagi ponselnya pun kembali berdering. Wajahnya sudah penuh amarah yang ingin sekali diledakkan tapi saat melihat nama yang tertera disana terlihat senyuman menyeringai. Dia pun segera menerima panggilan itu.***Pria tampan itu tidak tahu kalau yang dia lihat bukanlah kekasih atau tunangan Falisha melainkan teman kerja Falisha yang ditugaskan bersamanya bernama Aldi. Dia juga tidak datang sendiri karena Silvi pun ikut bersamanya hanya saja disaat itu Silvi izin ke kamar mandi sehingga Fattan hanya melihat Aldi bersama Falisha. “Kita langsung kerja atau bagaimana nih?” tanya Silvi setelah mereka masuk ke mobil. “Besok saja, lagian kalian baru datang pasti capek,
“Hey kok bengong sih? Kenapa?” Silvi kembali membuyarkan lamunan Lisha sehingga wanita cantik itu sedikit terkejut.“Ah nggak apa-apa. Aku mau istirahat dulu ya, besok kita akan bertemu dengan orang itu dan kalian harus mantapkan hati dan jiwa raga karena orang ini sedikit bawel, ketus dan irit bicara, tapi ...“Tampan, itu kan yang akan kamu bilang?” goda Silvi membuat wajah Lisha kembali memerah. “Oh bukan tapi mempunyai insting yang kuat dalam segala hal, makanya kita harus waspada dan teliti,” sahut Falisha yang kemudian buru-buru pergi karena takut ditanya lagi.Silvi menatap punggung Falisha sampai hilang dari pandangannya. “Di, kamu ngerasa nggak sih kalau Lisha sedang menyembunyikan sesuatu dari kita?” selidik Silvi yang merasa curiga.“Iya aku juga sempat curiga sih, selama ini kan dia tidak pernah menunjukkan wajah keluarganya itu apalagi kakak ipar nya, memang tampan dari aku ya?” “Kamu memang tampan tapi kalau dilihat dari sedotan, hehe,” jawab Silvi sambil terkekeh. “
“Kalau dipikir-pikir dia itu duda punya anak satu loh, tapi ada juga yang mengatakan kalau anaknya itu super nakal banget padahal umurnya baru enam tahun. Kasihan sekali istrinya mungkin gara-gara itu juga kalinya dia meninggal. Sudah sakit-sakitan ditambah anaknya badung,” jelas Silvi membuat mata Falisha berkaca-kaca. “Dia tidak aktif di media sosial, hampa sekali hidup Fattan ini, tapi eh tunggu sebentar ...“Ada apa, Al?” “Waw, seksi sekali, kenapa sih wanita memamerkan tubuhnya begitu mudah banget, kenapa nggak sekalian telanjang saja, dari pakai pakaian kurang bahan gitu, cuma dkit doang lagi kelihatan semua deh, banyak talinya pula,” gerutu Aldi saat melihat sebuah foto yang mampir di beranda sosialnya. “Mana coba lihat.” Silvi penasaran dan mengambil ponsel milik Aldi dari tangannya. Silvi pun memperhatikannya. “Wah dia cantik sekali tapi masih cantik kamu kok tenang saja,” ledek Silvi tersenyum saat melihat ke arah Falisha yang masih fokus menyetir.Silvi kemudian menaik
“Oh nggak apa-apa, hanya ingin mau ke toilet sebentar, saya permisi dulu, Mbak,” ucapnya bergegas keluar dari ruangan meeting itu. Namun, membuat Mira bingung sambil menatap punggung Falisha sampai hilang dari pandangannya.“Ada apa, Mir?” tanya Nola menghampiri Mira. “Nggak apa-apa hanya bingung saja,” jawab Mira masih penasaran. “Bingung kenapa?” “Mbak Falisha tadi izin mau ke toilet.” “Terus, apanya yang bingung?” tanya Nola semakin heran.“Aku belum memberitahukan tempat toiletnya tapi dia sudah pergi begitu saja, sepertinya dia tahu deh letak posisi toiletnya?” selidik Mira beranggapan. “Emm ...benar juga sih, tapi bukannya dia pernah bilang saat dia ke sini kalau dia adalah adik angkatnya Ibu Farah, istri mendiang Pak Duda, iya kan?” Nola mencoba mengingat saat Falisha datang pertama kali ke kantor itu.“Apa?” tanya Silvi dan Aldi hampir bersamaan dengan wajah terkejut. Kebetulan posisi Silvi dan Aldi tidak jauh dari mereka sehingga mereka pun mendengarnya. “Maksudnya bag