Pagi di hari minggu adalah hari khusus untuk berbelanja di pasar kaget yang tidak begitu jauh dari rumahku. Aku memang lebih suka berbelanja kebutuhan dapur di pasar kaget dengan alasan salah satunya adalah harga lebih murah dan aku dapat bertemu dengan pedagang kecil yang kadang hanya menjual beberapa ikat sayur saja. Dan aku memang tak pernah menawar harga yang ditawarkan penjual kepadaku. Bukan karena aku sok kaya, tapi aku berfikir dengan cara inilah aku bisa membantu mereka. Aku membantu orang yang tepat yaitu orang yang mau berusaha. Fix, itulah alasanku yang manfaatnya timbal balik antara aku dan mereka.
Dua buah kantong plastik besar aku tenteng masing-masing dengan sebelah tanganku. Jangan tanya berapa beratnya, yang jelas aku cukup sempoyongan di buatnya.Dengan tertatih aku menyeret langkah menuju tempat parkir di mana aku meninggalkan mobilku. Suasana pasar yang cukup ramai membuat aku harus banyak bersabar dan kadang bertabrakan dengan pengunjung pasar lainnya Tiba-tiba aku mendengar sayup-sayup sebuah lagu yang sangat aku kenal dinyanyikan oleh seseorang yang mungkin saja pengamen.Makin lama suara itu semakin dekat. Sadarlah aku kalau diriku dan suara pengamen itu berada dalam dua arah yang berbeda. Artinya aku dan pemilik suara itu akan bertemu di sebuah titik beberapa puluh langkah ke depan. Aku mengambil uang sepuluh ribu rupiah yang kuniatkan untuk diberikan kepada sang pengamen bersuara merdu itu. Aku merasa wajib berterima kasih kepadanya karena ia telah mengingatkan aku pada masa lalu yang cukup indah.Duhai bulan separuh gambaran cintaku. Kini bersemi walau pernah berbagi. Kini mewangi walau tak harum lagi......Bait-bait lagu itu mengingatkan aku pada seseorang. Yah.. seorang lelaki yang sampai kini masih berstatus suami siriku yang sekarang tidak diketahui di mana keberadaannya.Kami menikah atas dasar cinta dan dusta. Artinya, aku mencintainya tapi dia mendustai aku. Miris!Makin lama suara itu makin mendekat. Di balik keramaian pengunjung pasar akhirnya aku bisa melihat seorang pengamen dengan sebuah speaker besar tergantung di dada dan tangan kanannya memegang sebuah mikrofon. Ia menyanyikan lagu itu dengan penuh penghayatan. Kedua matanya terpejam dan ia berjalan dengan dituntun oleh seorang anak lelaki yang berusia kira-kira delapan tahun. Aku mendekat dan bermaksud memasukkan uang yang telah ku siapkan ke dalam kantong plastik bekas bungkus permen yang disodorkan oleh anak lelaki itu kepada setiap orang-orang yang lalu lalang di pasar kaget tersebut.Aku menjulurkan tanganku dan..Astagfirullah...Aku tersurut mundur begitu melihat satu tangan anak itu buntung. Tangan kirinya yang buntung dari siku tergantung dan menyembul dibalik lengan kaosnya yang pendek. Sedangkan tangan kanannya menyodorkan sebuah kantong plastik meminta partisipasiku atas suara lelaki yang terus saja menyanyi dengan penuh perasaan.Aku memasukkan uang sepuluh ribu ke dalam kantong plastik yang disodorkan bocah itu kepadaku, lalu aku mengangkat wajahku untuk menatap wajah pengamen itu, dan...Astagfirullaaaah...!Aku beristigfar lebih panjang lagi sambil menutup mulutku yang ternyata telah terbuka lebar.Dua kantong plastik berisi belanjaan yang kubawa telah terjatuh begitu saja ke tanah. Aku menutup mulutku dengan kedua telapak tanganku.“Kang Wirna?” gumamku tertahan menyebut nama suamiku yang lebih tiga tahun yang lalu menghilang.Pengamen itu terus saja bernyanyi. Aku melihat wajahnya sangat sedih dan dua anak air mengalir perlahan menuruni pipinya yang kurus. Aku masih terpaku di tempatku berdiri, sedangkan pengamen itu dan anak lelaki yang kemungkinan adalah putranya terus berjalan perlahan dan makin menjauhiku.“Kang Wirna sekarang buta? Atau pura-pura buta? Bukankah zaman sekarang banyak cara orang untuk mendapatkan rejeki dengan cara menipu seperti pura-pura buta dan pura-pura lumpuh agar orang-orang bersimpati kepadanya.“Ooh...”Aku menghela nafas dalam.“Jalan Bu! Jangan berhenti di tengah. Orang juga mau lewat!” sebuah suara teguran bernada ketus membuyarkan pikiranku tentang Kang Wirna.Seorang ibu-ibu gendut dengan wajah masam menatapku tidak senang. Jalannya terhalang karena aku memang berdiri di tengah jalan yang di jadikan pasar kaget dengan pengunjung cukup ramai.Aku tidak mau menanggapi aksi kurang ramah ibu itu. Kuraih kedua kantong besar milikku yang tergeletak di jalan lalu aku melanjutkan perjalananku menuju parkiran. Suara si pengamen yang benar-benar mirip Kang Wirna tersebut terus mendayu dan semakin menjauh. Aku berusaha menutup pendengaranku. Bukankah ia juga telah menutup hatinya untuk mendengar rintihanku saat aku benar-benar terluka karena ia tinggalkan aku tanpa alasan dan tanpa dosa? Hmm...Score 1:1*“Hai Mommy, Mommy masak apa hari ini?”Sebuah chat masuk ke ruang aplikasi whatsaap di ponselku. Aku tersenyum membaca pesan dari Baby anak keduaku. Anak itu memang setiap hari chat bertanya aku masak apa hari ini. Dan ujung-ujungnya ia memintaku untuk mengirimkan hasil masakanku lewat jasa kurir. Baby memang tinggal di kota yang sama denganku, tapi ia tinggal di pusat kota untuk menjalankan bisnisnya. Sedangkan aku tinggal di daerah yang ramai penduduknya.“Asam durian, Nak.”Kubalas chatnya dan tak lupa aku pamerkan foto masakanku yang asapnya masih mengepul di dalam kuali yang berada di atas kompor dengan api menyala kecil.“Amboooi... Enaknya masakan Mommy. Adek maulah.”Nah tuh kaan? Anak-anakku pasti berselera jika aku memasak jenis makanan yang satu ini.“10 menit lagi meluncur.” jawabku sambil mengaduk gulai tempoyak yang dicampur dengan ikan sungai dan terong ungu. Chatku dibalas emoji kiss oleh Baby anak perempuanku yang cantik dan manja itu. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku sambil tersenyum membayangkan wajah imut anakku tersebut.“Hampir matang.” gumamku sambil meletakkan sendok di sisi kuali. Aku cukup menunggu barang 3 menit lagi. Semua akan matang sempurna dengan cita rasa yang spesial khas milikku saja. Yakin, tidak ada yang bisa membuat jenis masakan ini seperti yang tanganku hasilkan. Dan ini adalah masakan favorite keluarga kami.Aku mencuci tangan lalu berjalan ke kamarku. Di sana aku melamun. Bayangan kejadian hampir 3 tahun lalu yang sebenarnya telah aku lupakan namun kini terusik kembali.Apa mungkin Kang Wirna balik lagi ke Batam? Bukankah dirinya sudah pergi menghilang bagaikan ditelan bumi sehingga membuat kami sekeluarga bahkan teman-temannya heran dan bertanya-tanya. Aku larut dalam lamunan masa lalu di mana aku pernah hidup berumah tangga dengan masa yang sangat singkat saja dengan seorang laki-laki yang umurnya sepuluh tahun lebih muda dari pada diriku.Sebenarnya pernikahan ini bukanlah mauku awalnya. Aku mengenal dirinya sebagai tetangga dan aku hanya menganggap sebatas adik saja.Eit.. 5 menit berlalu begitu saja. Setengah berlari aku menuju ke dapur karena bau menyengat dari aroma masakanku sudah datang ke kamar bahkan sampai menusuk hidung.Kumatikan kompor lalu aku menyibukkan diri di dapur mempersiapkan makanan yang akan aku kirim ke masing-masing anakku yang tinggal menyebar di kota Batam.Bayangan tentang Kang Wirna kupending dulu walau hatiku dipenuhi jutaan pertanyaan. Beberapa pertanyaan besar yang paling dahsyat menyerangku adalah ‘Apakah Kang Wirna benar-benar menjadi buta?’.Astagfirullah....Aku kembali beristigfar dan kali ini disertai delikan mataku yang tanpa sengaja mengingat sesuatu di masa lalu.Apakah mungkin sumpah yang sering Kang Wirna ucapkan kepadaku kini telah terjadi?Aku kembali merenung dan sedikit bergidik ngeri sehingga masakan yang sedang aku masukkan ke dalam beberapa tupper wear sedikit tertumpah mengotori keramik dapurku yang tadinya sudah kinclong.****“Masa sih Ma? Apa Mama tidak salah lihat?” Dean anak lelakiku cukup kaget mendengar aku bercerita bahwa aku melihat Kang Wirna mengamen di pasar.Dean memang sangat dekat dengan Kang Wirna. Dulu ketika Kang Wirna menyampaikan maksudnya ingin menikahiku, aku memintanya untuk meminta izin kepada Dean anak lelakiku yang tertua. Tanpa banyak permintaan, Dean mengizinkan Kang Wirna menikahiku. Karena selama kurang lebih 8 bulan mengenal Kang Wirna, Dean menilai Kang Wirna adalah lelaki yang baik, rajin ibadah dan lembut serta sopan. Hanya satu pertanyaan dari kami apakah Kang Wirna masih memiliki istri?Saat itu Kang Wirna menjelaskan bahwa ia telah berpisah dengan istrinya. Hanya saja dia belum mengurus surat cerai resmi karena ia masih sibuk bekerja dan tidak punya hari libur. Untuk menegaskan kata-katanya bahkan Kang Wirna berani mengangkat sumpah demi Allah Tuhannya dan demi Islam agamanya.Entah bodoh entah lugu. Yang jelas kami sekeluarga sangat percaya pada kata-kat
Seminggu waktu sudah berlalu. Aku tak hendak mengingat kembali masa-masa yang paling menyakitkan dikala Kang Wirna pergi sekitar 3 tahun yang lalu dan sampai sekarang belum aku ketahui apa sebab dan karenanya.Sebagai seorang istri rasanya aku telah melakukan kewajibanku sebaik mungkin. Walau umurku lebih tua darinya 10 tahun, tapi masalah di ranjang aku tak mau sampai dirinya yang duluan meminta jatahnya. Aku selalu menawarkan tubuhku kepadanya dan ia dengan girang gembira menyambut penawaranku. Katanya, “Abi merasa sangat tersanjung dengan sikap Ami.”Aku selalu terbayang nasehat ibuku, “jika nanti kamu punya suami, jadilah pelacur di atas ranjang dan jadilah Ibu ketika dalam kesedihan serta jadilah teman di saat sedang keriangan. Jadilah istri segalanya buat suami jika tidak ingin hatimu luka dan kecewa.” kata ibuku di saat aku mulai memasuki usia remaja.Tapi sayang...😭Walau aku telah melakukan semua itu, namun aku tetap mengalami ke
Dua jam berikutnya selesai sudah pesanan Bu Indah. Aku mulai mengemas rendang daging yang sudah aku dinginkan sekitar setengah jam ke dalam sebuah plastik. Kelezatan makanan khas kampung halamanku itu semerbak mewangi memenuhi ruang udara di dapurku.“Hm, semoga saja Bu Indah makin suka dan betah menjadi langganan.” gumamku sambil tersenyum puas dengan hasil kerjaku hari ini.Pagi-pagi aku sudah berjual beli seharga lima ratus ribu rupiah. Sudah barang tentu separo dari jumlah itu merupakan keuntungan untukku. Lumayan, toh aku tidak punya tanggungan lagi. Si bungsuku yang kini telah duduk di kelas 2 SMK sudah menjadi tanggungan kakak dan abangnya. Bahkan anak pertama dan keduaku itu masih memberi aku jatah uang setiap bulannya.“Bu Indah, pesanan segera meluncur!” ucapku riang melalui telepon selulerku.“Hmm... Indah jadi lapar, Uni. Kelezatan masakan Uni serasa sudah sampai di lidah Indah.” sahut Bu Indah yang memang pan
“Bisa speker ini diperbaiki secepat mungkin?” tanyaku kepada seorang lelaki pemilik usaha serpis elektronik. Aku menyerahkan speker berbentuk kotak yang besarnya kira-kira 50cm persegi, kepadanya.“Butuh kapan, Bu?” tanya tukang serpis elektronik itu balik bertanya kepadaku sambil memeriksa bagian yang rusak pada speker tersebut.“Malam ini. Sekitar jam 8 saya jemput. Bisa?”Lelaki itu terdiam sejenak sambil terus mengutak-atik benda dihadapannya. Setelah puas memeriksa speker milik Kang Wirna, lelaki itu mengangkat wajahnya menatapku sambil menggelengkan kepala dengan lemah.“Speker ini sudah terlalu usang, Bu. Beberapa bagian kabelnya sudah lapuk dan gulungan tembaganya juga kacau balau.” jawabnya.Pusing sudah aku mendengar keterangan dari lelaki yang masih muda itu. Mana aku tahu masalah speker. Yang aku pahami hanyalah bagaimana memasak makanan enak yang membuat perut kenyang dan menulis cerita denga
Dengan meraba-raba kusen pintu, Kang Wirna sepertinya mau masuk kembali ke rumahnya. Aku menunggu kesempatan untuk menyelinap ke rumah itu. Karena, kalau sampai ia menutup pintu atau bahkan menguncinya, itu akan membuat aku kehilangan kesempatan untuk mengintip kehidupan Kang Wirna secara nyata.Begitu tangan Kang Wirna meraih tepi daun pintu untuk menutupnya, aku perlahan menyelusup dirongga pintu yang cukup lebar dan melintas di bawah ketiaknya yang terbuka lebar. Hampir saja speker yang kubawa menyentuh tubuh Kang Wirna. Namun syukurlah, aku bisa masuk walau harus menahan nafasku. Gerakan Kang Wirna yang lambat juga memudahkan aku untuk menjalankan aksiku.Yes!Aku berhasil masuk tanpa Kang Wirna curiga. Ia menutup pintu rumahnya lalu menggeser pegangan kunci bantu hingga pintu itu tidak mungkin bisa dibuka dari luar. Syukur aku berhasil masuk. Kalau tidak, aku harus menunggu Haris pulang dulu baru bisa menyerahkan speker itu. Tidak mungkin aku memanggil Kang Wirna
Lebih kurang 4 tahun yang lalu...Aku terpaksa menutup warung makan milikku yang sebenarnya pada awalnya cukup ramai pengunjung dan memberikan hasil yang lumayan. Aku terpaksa melakukan itu karena keadaan ekonomi yang tengah kacau balau melanda kotaku bahkan mungkin negaraku dan bisa jadi seluruh dunia. Entah apa gerangan penyebabnya, aku tidak tahu.Pengangguran meningkat dimana-mana. Masa kerja permanen ditiadakan dan diganti dengan sistem kontrak. Keadaan itu berimbas ke segala penjuru roda usaha termasuk usahaku. Para pelangganku banyak yang pulang ke kampung halaman mereka karena tidak mampu lagi bertahan hidup di kota. Demikian juga para tetangga pelaku usaha yang kebanyakan adalah pembuat perabotan kayu, satu-persatu menutup usahanya. Para pekerja mereka terpaksa dilepaskan alias di PHK karena sang Bos tidak mampu lagi menggaji mereka.Komplek ruko tempat warung makan milikku berada, langsung berubah sepi seperti kuburan karena para pekerja di sana yang s
Lima bulan sudah aku mengenal Kang Wirna. Tidak ada tanda-tanda yang memperlihatkan kalau lelaki muda itu menaruh hati kepadaku walau sikapnya penuh perhatian namun masih pada taraf kewajaran.Seperti kebanyakan lelaki lain, Kang Wirna terlihat sangat segan kepadaku. Karena aku memang tipe perempuan yang tegas dan tidak suka berlebay ria kepada manusia yang berjenis laki-laki. Apa lagi kalau lelaki itu berusia di bawah usiaku. Sudah jelas intonasi bicaraku kepadanya seperti berbicara kepada adikku saja. Demikian pula kepada Kang Wirna dan beberapa teman-temannya yang sering datang bertandang ke kos-an kami. Walau pun aku suka bercanda, tapi aku menjaga jarak. Apakah itu perbuatan dan juga percakapan. Karena aku sadar bahwa diriku adalah seorang janda, aku paling tak suka kalau ada laki-laki yang berani berbicara kurang ajar kepadaku.Suatu hari..Aku pergi ke tempat anakku Dean karena dirinya dalam keadaan sakit. Kepada Kang Wirna aku titipkan kamar kos-ku karena aku
Hujan lebat mengguyur kota Batam saat Kang Wirna bersiap mengantarkan aku ke bandara Hang Nadim sore itu.Beberapa kali aku mendengar ia menarik nafas berat. Tatapan matanya juga tidak lagi ceria seperti biasanya.“Ada apa dengan Adikku..?” hatiku bertanya-tanya.Namun, ya sudahlah.. aku yakin dirinya hanya sedih karena kehilangan seorang kakak yang sering bersamanya. Bukankah Kang Wirna pernah bercerita kepadaku kalau dirinya adalah anak sulung? Nah kebetulan aku malah anak bungsu. Jadi pas sudah, Kang Wirna mendambakan seorang Kakak karena ia anak sulung, sedangkan aku butuh seorang adik karena memang aku anak bungsu. Perasaan adik dan kakak makin mantap di dalam hatiku. Aku sayang kepada Kang Wirna, namun kasih sayangku sebatas kakak kepada adiknya saja. Tidak lebih...“Bu, hati-hati di sana. Jangan lupa berkabar kepadaku.” Kang Wirna menyalamiku setelah kami sampai di parkiran sepeda motor yang dilengkapi atap.Pakaianku bas