Kematian Haris membuat Wirna sangat terpukul. Ia tidak hentinya menyalahkan diri sendiri. Hal itu membuat Amelia menjadi iba. Bagaimana pun mereka berdua pernah saling mencintai walau hanya delapan bulan saja berumah tangga. Namun kasih sayang bukanlah tergantung lama atau singkatnya tempo bersama. Walau Amelia sudah tidak lagi mencintai Wirna, namun ia masih menyayangi layaknya kepada insan yang tengah ditimpa musibah. "Sudahlah! Jangan menangis lagi. Haris sudah tenang di alamnya." bisik Amelia lirih. Ia berdiri disamping Wirna yang masih berjongkok di sisi tanah yang masih berwarna merah yang telah mengubur jasad Haris. "Pergilah dan tinggalkan aku sendiri!" sahut Wirna juga lirih namun terdengar jelas oleh Amelia. Suara itu benar-benar mengandung luka yang dalam. "Baiklah, aku akan pergi!" sahut Amelia lalu memutar tubuh perlahan dan mulai melangkah meninggalkan pusara Haris dan tanpa ia sadari Sarmini mengikutinya dari belakang. "Kau benar-benar telah berhasil menghancurkan
"Apa-apaan sih kamu, Wirna..?? Dasar laki-laki tak berguna!" teriak Sarmini langsung mendorong tubuh Wirna hingga laki-laki itu hilang keseimbangan dan jatuh ke tanah. Sarmini naik pitam lalu memungut sepotong kayu yang kebetulan ada ditempat itu lalu ia mengayunkan kayu itu ke kepala Wirna. "Plaaak...!"Kayu tersebut mendarat dengan keras namun bukan mengenai kepala Wirna tapi malah menghantam bahu Amelia yang lebih dulu menjatuhkan diri memeluk dan melindungi tubuh Wirna yang tak berdaya di tanah hingga pukulan Sarmini mengenai bahunya. "Oough..!" Amelia mengaduh tertahan. "Amii..! Oh ...!" Wirna berteriak keras lalu segera bangkit sembari memeluk tubuh Amelia dan mengusap bahu wanita yang ia cintai itu. Lalu dengan mata membesar ia menatap Sarmini yang masih mengayun-ayunkan sepotong kayu ditangannya. "Apa sih kamu? Segitu kasarnya tak punya perasaan!" bentak Wirna sambil menunjuk wajah Sarmini. Beberapa orang yang sudah berkerumun di tempat itu mulai bergerak melerai dan sala
Pagi di hari minggu adalah hari khusus untuk berbelanja di pasar kaget yang tidak begitu jauh dari rumahku. Aku memang lebih suka berbelanja kebutuhan dapur di pasar kaget dengan alasan salah satunya adalah harga lebih murah dan aku dapat bertemu dengan pedagang kecil yang kadang hanya menjual beberapa ikat sayur saja. Dan aku memang tak pernah menawar harga yang ditawarkan penjual kepadaku. Bukan karena aku sok kaya, tapi aku berfikir dengan cara inilah aku bisa membantu mereka. Aku membantu orang yang tepat yaitu orang yang mau berusaha. Fix, itulah alasanku yang manfaatnya timbal balik antara aku dan mereka.Dua buah kantong plastik besar aku tenteng masing-masing dengan sebelah tanganku. Jangan tanya berapa beratnya, yang jelas aku cukup sempoyongan di buatnya.Dengan tertatih aku menyeret langkah menuju tempat parkir di mana aku meninggalkan mobilku. Suasana pasar yang cukup ramai membuat aku harus banyak bersabar dan kadang bertabrakan dengan pengunjung pasar lainnya&nbs
“Masa sih Ma? Apa Mama tidak salah lihat?” Dean anak lelakiku cukup kaget mendengar aku bercerita bahwa aku melihat Kang Wirna mengamen di pasar.Dean memang sangat dekat dengan Kang Wirna. Dulu ketika Kang Wirna menyampaikan maksudnya ingin menikahiku, aku memintanya untuk meminta izin kepada Dean anak lelakiku yang tertua. Tanpa banyak permintaan, Dean mengizinkan Kang Wirna menikahiku. Karena selama kurang lebih 8 bulan mengenal Kang Wirna, Dean menilai Kang Wirna adalah lelaki yang baik, rajin ibadah dan lembut serta sopan. Hanya satu pertanyaan dari kami apakah Kang Wirna masih memiliki istri?Saat itu Kang Wirna menjelaskan bahwa ia telah berpisah dengan istrinya. Hanya saja dia belum mengurus surat cerai resmi karena ia masih sibuk bekerja dan tidak punya hari libur. Untuk menegaskan kata-katanya bahkan Kang Wirna berani mengangkat sumpah demi Allah Tuhannya dan demi Islam agamanya.Entah bodoh entah lugu. Yang jelas kami sekeluarga sangat percaya pada kata-kat
Seminggu waktu sudah berlalu. Aku tak hendak mengingat kembali masa-masa yang paling menyakitkan dikala Kang Wirna pergi sekitar 3 tahun yang lalu dan sampai sekarang belum aku ketahui apa sebab dan karenanya.Sebagai seorang istri rasanya aku telah melakukan kewajibanku sebaik mungkin. Walau umurku lebih tua darinya 10 tahun, tapi masalah di ranjang aku tak mau sampai dirinya yang duluan meminta jatahnya. Aku selalu menawarkan tubuhku kepadanya dan ia dengan girang gembira menyambut penawaranku. Katanya, “Abi merasa sangat tersanjung dengan sikap Ami.”Aku selalu terbayang nasehat ibuku, “jika nanti kamu punya suami, jadilah pelacur di atas ranjang dan jadilah Ibu ketika dalam kesedihan serta jadilah teman di saat sedang keriangan. Jadilah istri segalanya buat suami jika tidak ingin hatimu luka dan kecewa.” kata ibuku di saat aku mulai memasuki usia remaja.Tapi sayang...😭Walau aku telah melakukan semua itu, namun aku tetap mengalami ke
Dua jam berikutnya selesai sudah pesanan Bu Indah. Aku mulai mengemas rendang daging yang sudah aku dinginkan sekitar setengah jam ke dalam sebuah plastik. Kelezatan makanan khas kampung halamanku itu semerbak mewangi memenuhi ruang udara di dapurku.“Hm, semoga saja Bu Indah makin suka dan betah menjadi langganan.” gumamku sambil tersenyum puas dengan hasil kerjaku hari ini.Pagi-pagi aku sudah berjual beli seharga lima ratus ribu rupiah. Sudah barang tentu separo dari jumlah itu merupakan keuntungan untukku. Lumayan, toh aku tidak punya tanggungan lagi. Si bungsuku yang kini telah duduk di kelas 2 SMK sudah menjadi tanggungan kakak dan abangnya. Bahkan anak pertama dan keduaku itu masih memberi aku jatah uang setiap bulannya.“Bu Indah, pesanan segera meluncur!” ucapku riang melalui telepon selulerku.“Hmm... Indah jadi lapar, Uni. Kelezatan masakan Uni serasa sudah sampai di lidah Indah.” sahut Bu Indah yang memang pan
“Bisa speker ini diperbaiki secepat mungkin?” tanyaku kepada seorang lelaki pemilik usaha serpis elektronik. Aku menyerahkan speker berbentuk kotak yang besarnya kira-kira 50cm persegi, kepadanya.“Butuh kapan, Bu?” tanya tukang serpis elektronik itu balik bertanya kepadaku sambil memeriksa bagian yang rusak pada speker tersebut.“Malam ini. Sekitar jam 8 saya jemput. Bisa?”Lelaki itu terdiam sejenak sambil terus mengutak-atik benda dihadapannya. Setelah puas memeriksa speker milik Kang Wirna, lelaki itu mengangkat wajahnya menatapku sambil menggelengkan kepala dengan lemah.“Speker ini sudah terlalu usang, Bu. Beberapa bagian kabelnya sudah lapuk dan gulungan tembaganya juga kacau balau.” jawabnya.Pusing sudah aku mendengar keterangan dari lelaki yang masih muda itu. Mana aku tahu masalah speker. Yang aku pahami hanyalah bagaimana memasak makanan enak yang membuat perut kenyang dan menulis cerita denga
Dengan meraba-raba kusen pintu, Kang Wirna sepertinya mau masuk kembali ke rumahnya. Aku menunggu kesempatan untuk menyelinap ke rumah itu. Karena, kalau sampai ia menutup pintu atau bahkan menguncinya, itu akan membuat aku kehilangan kesempatan untuk mengintip kehidupan Kang Wirna secara nyata.Begitu tangan Kang Wirna meraih tepi daun pintu untuk menutupnya, aku perlahan menyelusup dirongga pintu yang cukup lebar dan melintas di bawah ketiaknya yang terbuka lebar. Hampir saja speker yang kubawa menyentuh tubuh Kang Wirna. Namun syukurlah, aku bisa masuk walau harus menahan nafasku. Gerakan Kang Wirna yang lambat juga memudahkan aku untuk menjalankan aksiku.Yes!Aku berhasil masuk tanpa Kang Wirna curiga. Ia menutup pintu rumahnya lalu menggeser pegangan kunci bantu hingga pintu itu tidak mungkin bisa dibuka dari luar. Syukur aku berhasil masuk. Kalau tidak, aku harus menunggu Haris pulang dulu baru bisa menyerahkan speker itu. Tidak mungkin aku memanggil Kang Wirna