“Masa sih Ma? Apa Mama tidak salah lihat?” Dean anak lelakiku cukup kaget mendengar aku bercerita bahwa aku melihat Kang Wirna mengamen di pasar.
Dean memang sangat dekat dengan Kang Wirna. Dulu ketika Kang Wirna menyampaikan maksudnya ingin menikahiku, aku memintanya untuk meminta izin kepada Dean anak lelakiku yang tertua. Tanpa banyak permintaan, Dean mengizinkan Kang Wirna menikahiku. Karena selama kurang lebih 8 bulan mengenal Kang Wirna, Dean menilai Kang Wirna adalah lelaki yang baik, rajin ibadah dan lembut serta sopan. Hanya satu pertanyaan dari kami apakah Kang Wirna masih memiliki istri?Saat itu Kang Wirna menjelaskan bahwa ia telah berpisah dengan istrinya. Hanya saja dia belum mengurus surat cerai resmi karena ia masih sibuk bekerja dan tidak punya hari libur. Untuk menegaskan kata-katanya bahkan Kang Wirna berani mengangkat sumpah demi Allah Tuhannya dan demi Islam agamanya. Entah bodoh entah lugu. Yang jelas kami sekeluarga sangat percaya pada kata-kata Kang Wirna.Aku tercenung sesaat meresapi sentuhan tangan kanan penuh kasih sayang milik anakku, Dean. Memang dirinyalah yang paling sedih melihat aku terpuruk sampai beberapa bulan setelah ditinggalkan Kang Wirna.“Sudahlah, Ma! Tidak usah dipikirkan lagi. Kalau memang Om Wirna membohongi kita dan menipu Mama, ikhlaskan saja! Toh Allah tidak tidur. Allah tahu siapa yang berbuat salah dan yang berbuat benar. Mama sudah melakukan yang terbaik sebagai istri.” hibur anak lelakiku itu. Dia semakin besar dan semakin bijak saja. Aku beruntung memiliki anak lelaki seperti Dean.“Ya Dean, mama sudah lama mengikhlaskan kok. Walau...” Kalimatku terputus menahan sesak yang tiba-tiba menyerang dadaku.“Walau apa, Ma?” Dean mengganti posisinya dari sampingku menuju ke depanku. Kami berhadapan dan Dean menatapiku yang tertunduk pilu.“Walau terasa sakit banget di hati Mama, Dean.” Aku tergugu mengingat jahatnya prilaku Kang Wirna kepadaku.“Hm..” Dean hanya sedikit menghela nafas dan membimbingku ke ruang tamu. Ia menuntunku duduk di salah satu sofa yang ada di ruang tamu lalu Dean ikut duduk di sebelahku. Di wajahnya juga tergambar kekecewaan terhadap Kang Wirna. Atau mungkin saja Dean menyesal telah memberikan izin kepada Kang Wirna untuk menikahiku tanpa kami lebih teliti menyelidiki siapa dirinya.Kami begitu percaya karena melihat ke-sholehan Kang Wirna. Menurut kami tidak mungkin Kang Wirna yang sangat rajin beribadah akan berani berbohong apalagi dengan membawa-bawa nama Allah dan Rasulnya dalam bersumpah.Tidak.. sungguh itu di luar nalar kami yang biasa hidup dalam didikan kejujuran. Dan setelah Kang Wirna pergi barulah kami menyadari bahwa kami telah melakukan sebuah kekeliruan besar.“Mama harus tabah dan kuat. Yakinlah bahwa ini semua adalah takdir hidup Mama yang harus Mama jalani. Bukankah langkah, rejeki dan pertemuan serta maut hanya kuasa Allah?” Dean menunjuk ke atas sembari menatap wajahku yang mulai basah oleh air mata.Aku mengangguk setuju mendengar kata-kata Dean. Anak sulungku yang kini berumur 20 tahun itu semakin pintar saja. Ia sangat lembut dan penuh perhatian padaku dan kepada dua orang adik-adiknya.“Baiklah Dean. Mama mau istirahat dulu. Kalau Dean mau makan, semua sudah Mama siapkan di meja makan.” ucapku sembari berdiri dan berniat menidurkan diri di kamarku.“Iya Ma, Dean memang lapar sekali. Dean akan langsung makan karena hari ini Dean berangkat kerja agak cepetan dari dari hari biasa.” sahut Dean yang juga langsung berdiri dan bergerak menuju ruang makan. Dengan ekor mataku, aku melihat Dean membuka tudung saji yang terletak di atas meja makan.Aku lalu melanjutkan langkahku menuju kamar tidur dan segera membaringkan tubuhku yang sedikit lelah karena dari pagi berkutat di dapur memenuhi pesanan pelanggan online-ku. Alhamdulillah, semenjak ditinggalkan Kang Wirna rejekiku mengalir cukup deras. Aku membuka dapur online yang ku promosikan di berbagai grup yang ada di kotaku. Setiap hari ada saja pelanggan yang memesan makanan dariku. Umumnya adalah lauk pauk dan sayuran karena memang itu yang aku promosikan. Aku hanya piawai dalam memasak makanan pedas dan gurih namun bodoh dalam membuat kue dan makanan manis.Mungkin sekitar satu jam sudah aku tertidur. Suara adzan Ashar membangunkanku dan aku langsung bergerak ke belakang menuju kamar mandi yang berada di sana. Setelah berwudhu aku kembali menuju kamar untuk sholat Ashar. Aku melihat Dean telah bersiap berangkat kerja dengan memakai baju seragamnya.“Ma, Dean berangkat!” ucapnya tanpa menyalamiku karena aku baru saja berwudhu.“Ya Nak, hati-hati di jalan!” pesanku dan menutup pintu setelah Dean berlalu.Khusuk dalam sholat lalu aku lanjutkan dengan doa-doa. Apa yang aku rasakan aku tumpah dan adukan kepada Allah. Aku hanya meminta hidupku tenang tanpa harus di ganggu oleh masa lalu yang menyakitkan.Benar, setelah berdoa hatiku terasa lapang. Aku tidak lagi memikirkan tentang Kang Wirna. Untuk menghilangkan kesepianku yang hidup sendiri, aku memutar lagu-lagu lawas negara barat. Sambil menyeka-nyeka beberapa perabotan rumah aku mulai bersenandung mengikuti syair-syair yang dilantunkan dari speaker yang terletak di kamarku.Tiiiing...Suara lagu berhenti dan berganti dengan suara notifikasi panggilan suara whatsaap.“Ada yang menelpon!” gumamku lalu bergegas meninggalkan ruang tamu menuju kamarku dimana ponselku berada. Dari ponsel itu pula suara lagu-lagu aku bluetooth kan ke speaker itu.Aku tersenyum ketika melihat layar ponselku. Ada 3 orang yang menelponku dalam grup percakapan video whatsaap. Ketiga orang itu adalah teman-teman masa SMA-ku. Kami memang selalu berkomunikasi dan bercanda dalam grup yang kami buat khusus bagi teman-teman dekat semasa remaja itu. Hal itu untuk menjaga silaturahmi walau kami sudah berada di usia ambang tua. 45 tahun.. yah umur yang tak lagi muda.Ada Gusti, Yati dan Risma yang sudah terlebih dahulu bergabung. Aku memencet tombol ‘terima’ di layar ponselku dan otomatis aku terhubung dengan mereka.“Haaaiiii...!” teriakku menyapa mereka dengan ceria. Aku memang selalu heboh jika tengah bercanda dengan kawan-kawanku. Karena alasan itulah teman-temanku merasa kehilangan jika aku tidak ikut bergabung. Kata mereka, aku adalah sosok yang humoris dan seperti tidak pernah punya beban hidup.Tidak punya beban hidup...? Hahaha.. terkadang aku tertawa geli mendengar pendapat teman-temanku itu. Mereka tidak tahu aja kalau bantalku sering basah oleh air mataku. Namun aku bukan orang yang suka memperlihatkan kesedihan di depan orang lain. Terkecuali pada sahabat sejati yang hanya kumiliki seorang saja di dunia ini sejak aku masih sekolah dasar. Dia adalah Risma, salah satu temanku yang sedang mengobrol denganku sekarang.“Apa kabarmu, Uni? Makin hari kamu makin ceria aja. Apa Kang Wirna-mu sudah kembali dari Papua?” Temanku Yati bertanya setelah kami mengobrol ngalor-ngidul, ke kiri dan ke kanan serta atas bawah yang diiringi gelak tawa kami yang riuh bersahutan.“Kang Wirna belum pulang. Kebetulan kontrak kerjanya diperpanjang di sana.” sahutku berbohong sambil tertawa untuk menyembunyikan setandan derita yang ku peram di dada.“Oh, alhamdulillah rumah tanggamu baik-baik saja dan bahagia. Cuma kami kangen melihat kalian berfoto mesra berdua. Biasanya kalau ada Kang Wirna, setiap hari foto kalian berdua menghiasi status W*-mu.” jawab Gusti menimpali.Aku kembali tertawa berderai. Mata Risma kulihat sendu menatap ke arahku di dalam layar ponselku. Risma tahu kalau aku tengah berbohong. Yah, hanya Risma seorang yang tahu kalau Kang Wirna sudah 3 tahun yang lalu hengkang dari hidupku. Kami berdua menyimpan rapat-rapat rahasia itu dari siapa pun termasuk teman-temanku yang lain.Sekitar satu jam mengobrol dan bercanda satu persatu temanku mengundurkan diri karena berbagai alasan. Tinggallah aku berdua dengan Risma.“Ris, aku melihat Kang Wirna!” ucapku kini dengan nada berbeda dari tadi saat aku kami mengobrol bersama-sama.“Haaah..? Yang benar kami Un...? Dimana..?? Dan kapan...??.” Risma tampak tak sabaran mendengar ceritaku. Ia tentu saja kaget sebagaimana dengan diriku.“Kemarin.” ucapku lirih.Aku kemudian menceritakan tentang pertemuanku dengan Kang Wirna di pasar kaget kemarin dengan selengkap-lengkapnya kepada Risma, sahabatku yang paling aku percaya. Apa pun yang aku ceritakan kepadanya tidak pernah bocor bahkan kepada angin sekali pun. Risma sangat ketat menjaga rahasiaku sebagai mana aku juga demikian kepadanya.“Apa yang harus aku lakukan, Ris?”Ku lihat Risma menarik nafas panjang dan bahunya juga mengikuti arah helaan nafas itu.“Kamu harus menemuinya!” ucap Risma tak ubahnya seperti titah raja.Mataku melotot “Apa..? Aku harus menemuinya setelah dengan seenak hatinya ia pergi begitu saja dari hidupku. Kini lelaki yang tidak bertanggung jawab itu sudah menerima karma dari perbuatannya sendiri. Ia sekarang buta...! Lalu apakah aku yang harus bertanggung jawab mengurus laki-laki pendusta itu?” semprotku dengan mata berapi-api dan emosi bertalu-talu sebagai luapan dari rasa kecewaku kepada Kang Wirna.“Hmm...” Risma mendehem memperbaiki letak pita suaranya.“Tapi dia masih suamimu! Walau pun hanya suami siri... Namun, dihadapan Allah tidak ada perbedaan nikah siri dengan nikah resmi. Semua hak dan tanggung jawab tiadalah lebih atau kurang pada salah satunya.” sambung Risma dengan wajah serius yang cukup jernih diterima layar ponselku. Kebetulan sinyal sedang sehat walafiat dan tak kurang satu apa pun.Aku termenung. Ucapan Risma memang tiada cacat celanya. Ia benar seribu lima ratus persen.“Hmm..” gantian aku yang mendehem.“Aku tahu, Un.”“Apa itu?” tanyaku cepat.“Aku tahu kamu masih mencintai suamimu walau cinta itu kini telah dibaluti kebencian yang semakin lama semakin tebal.”“Yah..” Aku kembali mengangguk setuju.“Temui dia dan minta kejelasan tentang status pernikahan kalian. Agar... Agar kamu tidak terbebani dengan dosa tanggung jawab kepada suamimu itu.” Sambung Risma sambil memperbaiki posisi duduknya di atas tempat tidurnya. Ia kini bersandar pada bantal dan memperbaiki posisi ear phone di telinganya.“Hm, kenapa mesti aku? Bukankah Kang Wirna yang meninggalkanku tanpa kesalahan yang aku buat. Lagian aku juga tidak mempersoalkan Kang Wirna tidak menceraikan atau iya. Karna aku sudah bersumpah tidak akan meminta cerai kepada Kang Wirna dan Kang Wirna juga telah bersumpah tidak akan meninggalkan aku apalagi menceraikan aku walau apa pun yang terjadi.” Aku menelan ludah menceritakan ulang kisah-kisah persumpahan itu yang sebenarnya sudah diketahui oleh Risma.“Kalau ia menceraikan aku ya silahkan. Yang penting bukan aku yang melanggar sumpahku.” sahutku masih dengan kemarahan yang belum punah sepenuhnya dari hatiku.“Nah, karena kamu belum bercerai itulah makanya kamu punya kewajiban untuk melihat keadaan suamimu. Ingat Uni! Kang Wirna itu suamimu! Bukan kekasihmu!” kali ini ucapan Risma cukup tegas.Aku terdiam dan beberapa saat merenungi kalimat-kalimat milik sahabat terbaikku itu.*****Seminggu waktu sudah berlalu. Aku tak hendak mengingat kembali masa-masa yang paling menyakitkan dikala Kang Wirna pergi sekitar 3 tahun yang lalu dan sampai sekarang belum aku ketahui apa sebab dan karenanya.Sebagai seorang istri rasanya aku telah melakukan kewajibanku sebaik mungkin. Walau umurku lebih tua darinya 10 tahun, tapi masalah di ranjang aku tak mau sampai dirinya yang duluan meminta jatahnya. Aku selalu menawarkan tubuhku kepadanya dan ia dengan girang gembira menyambut penawaranku. Katanya, “Abi merasa sangat tersanjung dengan sikap Ami.”Aku selalu terbayang nasehat ibuku, “jika nanti kamu punya suami, jadilah pelacur di atas ranjang dan jadilah Ibu ketika dalam kesedihan serta jadilah teman di saat sedang keriangan. Jadilah istri segalanya buat suami jika tidak ingin hatimu luka dan kecewa.” kata ibuku di saat aku mulai memasuki usia remaja.Tapi sayang...😭Walau aku telah melakukan semua itu, namun aku tetap mengalami ke
Dua jam berikutnya selesai sudah pesanan Bu Indah. Aku mulai mengemas rendang daging yang sudah aku dinginkan sekitar setengah jam ke dalam sebuah plastik. Kelezatan makanan khas kampung halamanku itu semerbak mewangi memenuhi ruang udara di dapurku.“Hm, semoga saja Bu Indah makin suka dan betah menjadi langganan.” gumamku sambil tersenyum puas dengan hasil kerjaku hari ini.Pagi-pagi aku sudah berjual beli seharga lima ratus ribu rupiah. Sudah barang tentu separo dari jumlah itu merupakan keuntungan untukku. Lumayan, toh aku tidak punya tanggungan lagi. Si bungsuku yang kini telah duduk di kelas 2 SMK sudah menjadi tanggungan kakak dan abangnya. Bahkan anak pertama dan keduaku itu masih memberi aku jatah uang setiap bulannya.“Bu Indah, pesanan segera meluncur!” ucapku riang melalui telepon selulerku.“Hmm... Indah jadi lapar, Uni. Kelezatan masakan Uni serasa sudah sampai di lidah Indah.” sahut Bu Indah yang memang pan
“Bisa speker ini diperbaiki secepat mungkin?” tanyaku kepada seorang lelaki pemilik usaha serpis elektronik. Aku menyerahkan speker berbentuk kotak yang besarnya kira-kira 50cm persegi, kepadanya.“Butuh kapan, Bu?” tanya tukang serpis elektronik itu balik bertanya kepadaku sambil memeriksa bagian yang rusak pada speker tersebut.“Malam ini. Sekitar jam 8 saya jemput. Bisa?”Lelaki itu terdiam sejenak sambil terus mengutak-atik benda dihadapannya. Setelah puas memeriksa speker milik Kang Wirna, lelaki itu mengangkat wajahnya menatapku sambil menggelengkan kepala dengan lemah.“Speker ini sudah terlalu usang, Bu. Beberapa bagian kabelnya sudah lapuk dan gulungan tembaganya juga kacau balau.” jawabnya.Pusing sudah aku mendengar keterangan dari lelaki yang masih muda itu. Mana aku tahu masalah speker. Yang aku pahami hanyalah bagaimana memasak makanan enak yang membuat perut kenyang dan menulis cerita denga
Dengan meraba-raba kusen pintu, Kang Wirna sepertinya mau masuk kembali ke rumahnya. Aku menunggu kesempatan untuk menyelinap ke rumah itu. Karena, kalau sampai ia menutup pintu atau bahkan menguncinya, itu akan membuat aku kehilangan kesempatan untuk mengintip kehidupan Kang Wirna secara nyata.Begitu tangan Kang Wirna meraih tepi daun pintu untuk menutupnya, aku perlahan menyelusup dirongga pintu yang cukup lebar dan melintas di bawah ketiaknya yang terbuka lebar. Hampir saja speker yang kubawa menyentuh tubuh Kang Wirna. Namun syukurlah, aku bisa masuk walau harus menahan nafasku. Gerakan Kang Wirna yang lambat juga memudahkan aku untuk menjalankan aksiku.Yes!Aku berhasil masuk tanpa Kang Wirna curiga. Ia menutup pintu rumahnya lalu menggeser pegangan kunci bantu hingga pintu itu tidak mungkin bisa dibuka dari luar. Syukur aku berhasil masuk. Kalau tidak, aku harus menunggu Haris pulang dulu baru bisa menyerahkan speker itu. Tidak mungkin aku memanggil Kang Wirna
Lebih kurang 4 tahun yang lalu...Aku terpaksa menutup warung makan milikku yang sebenarnya pada awalnya cukup ramai pengunjung dan memberikan hasil yang lumayan. Aku terpaksa melakukan itu karena keadaan ekonomi yang tengah kacau balau melanda kotaku bahkan mungkin negaraku dan bisa jadi seluruh dunia. Entah apa gerangan penyebabnya, aku tidak tahu.Pengangguran meningkat dimana-mana. Masa kerja permanen ditiadakan dan diganti dengan sistem kontrak. Keadaan itu berimbas ke segala penjuru roda usaha termasuk usahaku. Para pelangganku banyak yang pulang ke kampung halaman mereka karena tidak mampu lagi bertahan hidup di kota. Demikian juga para tetangga pelaku usaha yang kebanyakan adalah pembuat perabotan kayu, satu-persatu menutup usahanya. Para pekerja mereka terpaksa dilepaskan alias di PHK karena sang Bos tidak mampu lagi menggaji mereka.Komplek ruko tempat warung makan milikku berada, langsung berubah sepi seperti kuburan karena para pekerja di sana yang s
Lima bulan sudah aku mengenal Kang Wirna. Tidak ada tanda-tanda yang memperlihatkan kalau lelaki muda itu menaruh hati kepadaku walau sikapnya penuh perhatian namun masih pada taraf kewajaran.Seperti kebanyakan lelaki lain, Kang Wirna terlihat sangat segan kepadaku. Karena aku memang tipe perempuan yang tegas dan tidak suka berlebay ria kepada manusia yang berjenis laki-laki. Apa lagi kalau lelaki itu berusia di bawah usiaku. Sudah jelas intonasi bicaraku kepadanya seperti berbicara kepada adikku saja. Demikian pula kepada Kang Wirna dan beberapa teman-temannya yang sering datang bertandang ke kos-an kami. Walau pun aku suka bercanda, tapi aku menjaga jarak. Apakah itu perbuatan dan juga percakapan. Karena aku sadar bahwa diriku adalah seorang janda, aku paling tak suka kalau ada laki-laki yang berani berbicara kurang ajar kepadaku.Suatu hari..Aku pergi ke tempat anakku Dean karena dirinya dalam keadaan sakit. Kepada Kang Wirna aku titipkan kamar kos-ku karena aku
Hujan lebat mengguyur kota Batam saat Kang Wirna bersiap mengantarkan aku ke bandara Hang Nadim sore itu.Beberapa kali aku mendengar ia menarik nafas berat. Tatapan matanya juga tidak lagi ceria seperti biasanya.“Ada apa dengan Adikku..?” hatiku bertanya-tanya.Namun, ya sudahlah.. aku yakin dirinya hanya sedih karena kehilangan seorang kakak yang sering bersamanya. Bukankah Kang Wirna pernah bercerita kepadaku kalau dirinya adalah anak sulung? Nah kebetulan aku malah anak bungsu. Jadi pas sudah, Kang Wirna mendambakan seorang Kakak karena ia anak sulung, sedangkan aku butuh seorang adik karena memang aku anak bungsu. Perasaan adik dan kakak makin mantap di dalam hatiku. Aku sayang kepada Kang Wirna, namun kasih sayangku sebatas kakak kepada adiknya saja. Tidak lebih...“Bu, hati-hati di sana. Jangan lupa berkabar kepadaku.” Kang Wirna menyalamiku setelah kami sampai di parkiran sepeda motor yang dilengkapi atap.Pakaianku bas
Tanpa terasa dua minggu sudah aku bekerja di Jakarta. Aku cukup betah dengan pekerjaan yang tengah kujalani.Setiap malam Kang Wirna mengobrol denganku lewat Messenger atau via whatsaap. Kepadanya aku mengatakan bahwa aku sudah kerasan di Jakarta dan mungkin tidak akan kembali ke kota Batam dalam waktu yang agak lama.Aku tidak tahu apa yang dirasakan Kang Wirna begitu ia mendengar kabar itu dariku. Namun yang sering ia ungkapkan bahwa rumah kos yang biasa kami tempati terasa sangat sepi karena aku pergi. Ia juga mengatakan sudah tidak betah lagi tinggal di kota itu dan ingin pula mencari pekerjaan di Jakarta. Tidak lupa ia meminta alamatku di Jakarta.Aku dengan sabar mendengarkan curhatan hatinya dan berusaha memberikan masukan-masukan. Dan ini memang tidak aneh dalam perjalanan hidupku. Biasanya orang yang tidak mengenalku langsung akan beranggapan aku sombonglah, tidak suka bergaullah. Tapi kalau sudah mengenal lebih dekat biasanya susah melupakan. Entah mengapa bisa se
"Apa-apaan sih kamu, Wirna..?? Dasar laki-laki tak berguna!" teriak Sarmini langsung mendorong tubuh Wirna hingga laki-laki itu hilang keseimbangan dan jatuh ke tanah. Sarmini naik pitam lalu memungut sepotong kayu yang kebetulan ada ditempat itu lalu ia mengayunkan kayu itu ke kepala Wirna. "Plaaak...!"Kayu tersebut mendarat dengan keras namun bukan mengenai kepala Wirna tapi malah menghantam bahu Amelia yang lebih dulu menjatuhkan diri memeluk dan melindungi tubuh Wirna yang tak berdaya di tanah hingga pukulan Sarmini mengenai bahunya. "Oough..!" Amelia mengaduh tertahan. "Amii..! Oh ...!" Wirna berteriak keras lalu segera bangkit sembari memeluk tubuh Amelia dan mengusap bahu wanita yang ia cintai itu. Lalu dengan mata membesar ia menatap Sarmini yang masih mengayun-ayunkan sepotong kayu ditangannya. "Apa sih kamu? Segitu kasarnya tak punya perasaan!" bentak Wirna sambil menunjuk wajah Sarmini. Beberapa orang yang sudah berkerumun di tempat itu mulai bergerak melerai dan sala
Kematian Haris membuat Wirna sangat terpukul. Ia tidak hentinya menyalahkan diri sendiri. Hal itu membuat Amelia menjadi iba. Bagaimana pun mereka berdua pernah saling mencintai walau hanya delapan bulan saja berumah tangga. Namun kasih sayang bukanlah tergantung lama atau singkatnya tempo bersama. Walau Amelia sudah tidak lagi mencintai Wirna, namun ia masih menyayangi layaknya kepada insan yang tengah ditimpa musibah. "Sudahlah! Jangan menangis lagi. Haris sudah tenang di alamnya." bisik Amelia lirih. Ia berdiri disamping Wirna yang masih berjongkok di sisi tanah yang masih berwarna merah yang telah mengubur jasad Haris. "Pergilah dan tinggalkan aku sendiri!" sahut Wirna juga lirih namun terdengar jelas oleh Amelia. Suara itu benar-benar mengandung luka yang dalam. "Baiklah, aku akan pergi!" sahut Amelia lalu memutar tubuh perlahan dan mulai melangkah meninggalkan pusara Haris dan tanpa ia sadari Sarmini mengikutinya dari belakang. "Kau benar-benar telah berhasil menghancurkan
"Bapak.. Ibu.." tersendat dan terbata-bata Haris memanggil Wirna dan Sarmini yang berada di samping tempat tidurnya. Kedua orang tuanya itu juga menangis sangat sedih menyaksikan penderitaan anak sulung mereka. "Haris, maafkan Bapak. Bapak yang bersalah Haris. huhuhu..." Wirna menggenggam kadang membelai tangan kanan Haris. Lelaki itu terlihat sangat terpukul didera penyesalan yang tiada berguna. Dalam hati ia yakin kalau apa yang terjadi kepada Haris saat ini adalah tebusan sumpah yang pernah ia ucapkan sendiri. Sementara itu mata Haris hanya memandang kosong ke arah kedua orang tuanya secara bergantian. Sedangkan Sarmini mengelus lengan kiri Haris yang cacat. Hati ibu mana yang tidak teriris melihat putranya tak berdaya dan tergolek penuh luka. Kepala Haris diperban dengan selang terpasang dihidung dan beberapa peralatan medis lainnya yang menempel ditubuh kecil Haris. 'Pak, Bu. Berhentilah bertengkar. Setelah Haris pergi, tolong jaga Riski sebaik mungkin. Haris lelah dan ingin
Kepergian Mois membawa Amelia meninggalkan rumah sakit meninggalkan kekesalan dan kekecewaan di hati Salma. Entah sudah berapa kali wanita muda itu memaki-maki sendiri. "Nggak abis pikir deh sama pikiran Bang Mois. Kok dia malah lebih tertarik kepada perempuan tua itu dibanding aku yang jauh lebih muda dan lebih cantik. Huh..! Dunia sekarang emang makin edan, makin banyak saja lelaki muda yang lebih memilih pasangan lebih tua. Haah... gagal sudah usahaku untuk mendapatkan Bang Mois. Padahal aku sudah menyukainya sejak pertama bertemu di saat persiapan pesta pernikahanku dengan Mas Farzan empat tahun lalu. Andaikan aku lebih dulu mengenal Bang Mois tentu aku akan menolak ajakan Mas Farzan untuk menikah." Salma terus saja mengoceh dan bersungut-sungut di pojok sebuah ruangan rumah sakit yang mulai tenang. Tidak ada lagi gerombolan orang-orang berkerumun seakan tidak pernah ada keributan disana. Orang-Orang yang tadi berkerumun telah kembali ke urusan masing-masing. Ada yang kembali k
"Jangan berbuat sekasar itu! Kelewatan!" bentak lelaki yang tiba-tiba saja muncul itu terdengar berdesis bagaikan ular cobra yang siap menyemburkan bisanya. Suasana yang tadi riuh dan panas mendadak sunyi serta mencekam. Semua mata tertuju ke arah Sarmini dan lelaki asing yang terlihat bertatapan disertai pertentangan bathin. "Siapa kamu?" tanya Sarmini juga mendesis. Matanya menyipit dan ia berusaha melepaskan tangannya yang masih dicengkram lelaki dihadapannya tersebut. Namun si lelaki asing semakin memperkuat cengkramannya hingga Sarmini makin meringis. "Siapa aku tidaklah penting. Tapi jika kamu masih menyakiti Amelia, maka aku akan selalu muncul. Ingat itu!" ancam si lelaki tersebut lalu melemparkan tangan Sarmini ke samping. "Siapa laki-laki ini? Ia sangat tampan dan masih muda. Jangan-jangan dirinya adalah adik kandung Amelia." hati Sarmini bertanya-tanya seraya memandangi lelaki yang baru saja melepaskan cengkraman ditangannya. "Tapi mengapa ia terlihat seperti mencintai
Hari itu Amelia tidak datang ke kantor polisi untuk menemui Mois. Kabar dari rumah sakit membuat Amelia harus membatalkan rencananya untuk menemui calon suaminya yang sudah lima hari mendekam di dalam tahanan tersebut. Kasus Mois akan segera naik ke persidangan jika berita acara sudah dianggap sempurna. Dengan bergegas Amelia berjalan di koridor rumah sakit tempat Haris mendapat perawatan. Di sana sudah ada Wirna yang juga terlihat menunggu resah. "Ami!" sapa Wirna langsung menyambut kedatangan Amelia dengan sikap mesra. Ia kembali merengkuh bahu wanita itu dan berjalan bersama menuju ruang dokter. "Bagaimana keadaan Haris, Bi?" tanya Amelia cemas. Entah karena hatinya telah mencair terhadap Wirna atau hanya terbawa keadaan saja, tapi yang jelas sikap Amelia sangat jauh melunak kini terhadap Wirna. Mereka terlihat sangat kompak dan akur bahkan sepintas terlihat mesra layaknya seperti dulu sebelum mereka berpisah. "Ayolah kita ke ruangan Dokter! Abi juga belum sampai kesana. Tadi p
Pintu ruang tahanan terbuka lebar. Mois dikawal menuju sebuah ruangan tempat ia diizinkan untuk menerima tamu. "Pasti Amelia yang datang." terka hati Mois dengan menyunggingkan senyum bahagia dibibirnya. Dirinya sangat merindukan wanita yang dicintanya itu. "Silahkan!" ucap petugas polisi yang mengantar Mois ke ruang khusus tersebut. "Terima kasih!" sahut Mois mengangguk sopan. Pintu segera ditutup si petugas dan terdengar bunyi dari lubang kunci tanda pintu tersebut dikunci sang petugas dari luar. Mois membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sepasang kursi tamu yang ada di dalam ruang yang tidak begitu besar itu. Disana hanya ada dua buah kursi dengan posisi berhadapan yang dibatasi oleh sebuah meja yang tidak begitu lebar. Agak tercenung Mois melihat seorang wanita yang duduk menunggunya disana. Wanita itu bukan Amelia yang ia kira, tapi seorang perempuan bertubuh ramping dan terlihat lebih muda. Rambutnya tergerai indah berwarna coklat coca-cola. Bergegas Mois mendekat dan l
Sirene ambulan meraung memecah terik panas matahari sore itu. Tubuh kecil Haris tergolek tidak berdaya di atas bangsal ambulan tersebut. Pakaian yang membungkus tubuhnya sebagian besar telah dibasahi darah. Bau anyir memenuhi kabin bagian belakang mobil penyelamat yang terus melaju kencang membelah keramaian jalan. "Haris..., bangun Nak..! Bapak tidak mau melihatmu seperti ini, huhuhu.." Wirna tiada hentinya meratapi nasib malang yang menimpa putra sulungnya tersebut. Ia tertunduk lesu di samping kanan bangsal tempat tubuh Haris tergolek lemah dan tak sadarkan diri. Tidak berbeda dengan Wirna, Amelia juga melakukan hal yang sama. Wanita yang sudah menganggap Haris seperti anak kandungnya itu tiada hentinya menangis. Ia terduduk lesu disebelah kiri Haris. Amelia tidak sanggup lagi berkata-kata, hanya seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Ada rasa penyesalan mengapa ia tidak menyadari dari semula kalau pembicaraannya dengan Wirna akan di dengar Haris dan akan membuat bocah polos
"Duduklah Kang!" Amelia mempersilahkan Wirna yang masih berdiri kaku. Mereka seperti orang baru kenal saja. "Iya!" sahut Wirna singkat kemudian duduk di sebuah sofa di ruang tamu rumah Amelia. Amelia juga melakukan hal yang sama. Ia menduduki sebuah sofa yang posisinya berhadapan dengan Wirna. Diantara mereka berdua dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang tidak begitu lebar. Beberapa detik berlalu begitu saja. Belum ada yang memulai untuk bicara. "Aku sangat senang melihatmu sudah sembuh sekarang, Kang. Dan aku mohon maaf atas semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Mois terhadapmu." akhirnya Amelia bicara juga dan memecah kebuntuan diantara mereka berdua. Ucapan Amelia yang kaku membuat wajah Wirna memerah. Tampaknya ia sangat tidak suka dengan kalimat yang diucapkan oleh Amelia. Bukan kalimat itu yang ia harapkan keluar dari bibir Amelia. "Aku...? Kang..? Sejak kapan Ami memanggil Abi seperti itu? Sejak Ami sudah pandai berselingkuh dengan lelaki jahanam itu, hah?" hardik Wirn