Dua jam berikutnya selesai sudah pesanan Bu Indah. Aku mulai mengemas rendang daging yang sudah aku dinginkan sekitar setengah jam ke dalam sebuah plastik. Kelezatan makanan khas kampung halamanku itu semerbak mewangi memenuhi ruang udara di dapurku.
“Hm, semoga saja Bu Indah makin suka dan betah menjadi langganan.” gumamku sambil tersenyum puas dengan hasil kerjaku hari ini.Pagi-pagi aku sudah berjual beli seharga lima ratus ribu rupiah. Sudah barang tentu separo dari jumlah itu merupakan keuntungan untukku. Lumayan, toh aku tidak punya tanggungan lagi. Si bungsuku yang kini telah duduk di kelas 2 SMK sudah menjadi tanggungan kakak dan abangnya. Bahkan anak pertama dan keduaku itu masih memberi aku jatah uang setiap bulannya. “Bu Indah, pesanan segera meluncur!” ucapku riang melalui telepon selulerku.“Hmm... Indah jadi lapar, Uni. Kelezatan masakan Uni serasa sudah sampai di lidah Indah.” sahut Bu Indah yang memang pandai memujiku. Selain cantik dan masih muda, Bu Indah juga sangat ramah. Sebagai mana dengan orang lain tua dan muda, Bu Indah juga memanggilku ‘Uni’.” Padahal sejatinya bukan itu nama asliku. Namun anggaplah itu nama bekenku.. 😁🤭. ('Uni' artinya kakak perempuan dalam bahasa Minang dimana aku bersuku.)“Hahaha.. Bu Indah pandai sekali membuat Uni bahagia.” kataku dengan jujur.
“Tidak Uni, Indah memang bicara sejujurnya.” “Baiklah Bu Indah. Uni akan kirim rendangnya sekarang juga. Kebetulan kurir sudah datang menjemput.” kataku menutup perbincangan dengan pelangganku yang sangat ramah itu. Sudah tiga bulan Bu Indah menjadi langgananku dan ia selalu mengatakan puas dengan racikan bumbu-bumbu yang aku hasilkan. Setiap minggu ia selalu memesan masakanku dengan jumlah yang banyak.Setelah memberikan pesanan Bu Indah kepada kurir, aku memutuskan untuk beristirahat sebentar. Aku juga belum merapikan peralatan kotor di dapurku, namun aku berencana akan melakukannya setengah jam lagi. Kini saatnya aku menikmati juice alpokat kesukaanku. Hmm... Begitu segar terasa di kerongkonganku. Apalagi ditingkahi sebuah lagu lawas kesukaanku. Aku duduk di sebuah kursi di hadapan meja makan sambil memainkan gawai. Dan aku mulai berselancar sejenak di media sosial sekedar bertegur sapa dengan teman-teman jauhku. Umumnya mereka adalah teman-teman sekolahku di masa remaja. Bersenda gurau dengan mereka mampu membuat kesepian hidupku yang tinggal sendiri terobati.Tak lama kemudian adzan dzuhur berkumandang. Aku segera menyudahi perselancaran medsosku dan meninggalkan gawai lalu berjalan menuju dapur. Beberapa peralatan kotor aku bersihkan berikut lantai. Setelah semua bersih aku membersihkan tubuhku di kamar mandi serta langsung berwudhu untuk melakukan sholat dzuhur. Sejurus kemudian aku sudah khusuk menghadap Tuhanku dengan sederetan pengaduan dan keluh kesah. Terutama keluh kesah tentang Kang Wirna suamiku. Aku berharap Allah berkenan memberiku jalan yang kini sedang terjepit di antara dua perasaan yang bertentangan: BENCI vs CINTA.“Sebaiknya aku mengintip keadaan Kang Wirna langsung. Bukankah aku sudah mengetahui alamat lengkap Kang Wirna dari bocah kecil yang ku tahu bernama Haris? Ya Haris... Aku ingat ia adalah nama anak sulung Kang Wirna yang pernah ia ceritakan kepadaku.” Aku berbicara sendiri sambil melipat mukena. Di benakku terbayang wajah bocah yang kutemui di pasar kaget. Aku mengingat-ingat.Hmm, aku ingat bahwa aku pernah melihat fotonya di ponsel suamiku yang dikirimkan oleh mantan istrinya yang tinggal di kampung halamannya di pulau Jawa sana. Mantan istrinya mengatakan kalau Haris sedang sakit. Padahal aku melihat di dalam foto itu Haris sedang tertidur lelap dengan selembar kain kering yang ditaruh acak di keningnya. Aku tahu bahwa si mantan istri suamiku itu hanya berbohong. Namun ia mungkin tidak terlalu teliti atau menganggap kami bodoh untuk menilai sebuah gambar. Tapi ya sudahlah... Itu kan hanya masa lalu. Aku tahu ia sakit hati kepadaku dan selalu berusaha menghancurkan rumah tanggaku dengan Kang Wirna. Teror melalui chat itu sudah menjadi makananku sehari-hari di dalam perjalanan berumah tangga dengan lelaki yang aku nilai tidak punya pendirian tersebut.Baiklah...Ku ikuti bisikan hatiku untuk mengintip keadaan Kang Wirna. Beberapa belas menit kemudian aku sudah melaju dengan mobilku di atas aspal dan tujuanku tentu saja rusun tempat Kang Wirna dan putranya tinggal. Hanya butuh waktu sepuluh menit saja untuk sampai di rusun itu. Bangunan besar terrdiri dari beberapa blok dan bertingkat lima. Tidak nampak kemewahan di gedung milik pemerintah kota tersebut. Tapi itu lebih dari cukup sebagai hunian sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah.Tap...tap..tap...Aku melangkah menaiki satu persatu anak tangga. Walau sedikit mengeluarkan keringat, namun tidak ada kesulitan bagiku untuk menaiki gedung yang tak memiliki lift tersebut. Aku memang suka berolah raga hingga tubuhku alhamdulillah masih kuat dan sehat. Bahkan banyak orang yang menyangka aku masih berusia tiga puluhan tahun. Dan mungkin itu juga yang membuat Kang Wirna jatuh cinta kepadaku karena aku kata orang-orang tergolong wanita yang awet muda. Awalnya dia memang tertipu dengan jumlah usiaku. Dia baru mengetahui bahwa umurku 10 tahun lebih tua darinya setelah aku mengatakan kepadanya. Dan dulu aku selalu memanggil dirinya ‘Adik’ sebelum ia menjadi suamiku. Karena pada awalnya aku memang menganggap dirinya hanya adik angkatku saja. Tidak lebih dan tidak kurang.Aku sudah sampai di lantai 2 gedung itu. Di sana sangat ramai dan riuh. Semua unit di lantai 2 terisi penuh. Namun pada lantai selanjutnya semakin berkurang penghuninya. Bahkan ketika aku sampai di lantai kelima, aku melihat suasana yang sangat sepi seperti bangunan kosong. Aku yakin hanya Kang Wirna dan putranya saja yang menghuni salah satu unit di lantai tertinggi tersebut. Dan alasannya pasti karena harganya paling murah. Setahuku hanya 150 ribu rupiah saja sebulan.Ku edarkan pandangan mataku mengitari unit-unit rusun yang berjejer kiri dan kanan. Semua pintunya tertutup seperti tidak ada kehidupan kecuali hanya satu unit yang pintunya sedikit terbuka. Pelan-pelan aku melangkah ke sana. Bagaikan maling aku mengatur langkahku agar tidak mengeluarkan bunyi. Sampai di dekat pintu yang agak terbuka aku merapatkan punggungku ke dinding.“Jadi besok kita tidak mengamen lagi, Pak?” ku dengar Haris si bocah kecil bertanya tentu saja kepada Kang Wirna.“Bagaimana bisa mengamen, peralatan kita sudah rusak.” Kudengar jawab Kang Wirna yang lebih mirip dengan keluhan.“Memangnya uang yang diberikan Ibu tadi tidak cukup untuk memperbaiki speker ini, Pak?”“Hm, manalah cukup Haris. Lagian kalau uang ini kita pakai untuk memperbaiki peralatan ngamen, terus malam ini kita makan apa?”Ya Allah... Ku remas dadaku yang terasa sesak. Aku sungguh tidak tega mendengar percakapan ini. Dua butir air mata jatuh ke lantai dari kedua mataku. Namun aku manahan agar jangan sampai terisak yang mungkin saja akan membuat mereka mengetahui kehadiranku di sana.“Lalu bagaimana, Pak?” Ku dengar Haris bertanya kembali.Aku mengintip dari celah pintu dan melihat bocah itu sibuk berusaha memperbaiki speker yang telah pecah.
“Entahlah...” Kang Wirna menjawab dengan nada putus asa dari dalam kamar.Ku seka air mataku dan kubuang kesedihan dari wajahku hingga kini terlihat biasa-biasa saja. Ku dorong sedikit pintu itu hingga Haris menoleh ke arah pintu.“Ssstt... Sini!” aku berbisik memanggil dengan terlebih dahulu meletakkan jari telunjuk di bibirku.Haris menoleh ke arah kamar lalu berjingkrat mendekatiku. Ia tampaknya tahu kalau aku tidak mau bapaknya mengetahui kedatanganku.Kuraih tangan Haris lalu sedikit kutarik perlahan menjauhi unit itu, lalu berhenti tidak jauh dari tangga. Aku tidak khawatir Kang Wirna melihatku. Kang Wirna kan sekarang buta.“Besok kamu mengamen atau tidak?” tanyaku pura-pura tidak mendengar percakapan mereka tadi.Haris menggelengkan kepalanya lemah.“Speker tidak bisa berbunyi lagi, Bu!” ucapnya terlihat sedih mengadu.Aku berfikir sejenak mencari cara yang paling tepat untuk membantu mereka. Beberapa detik kemudian aku tersenyum karena telah mendapatkan ide.“Bawa spekermu kesini biar Ibu perbaiki. Nanti malam akan Ibu antar lagi kemari dan besok kamu dan Bapak bisa ngamen lagi.” ucapku yang disambut senyum lebar bocah bertangan buntung itu.Tanpa menunggu lagi ia berputar dan berlari kencang ke unit tempat tinggalnya. Dan hanya beberapa puluh detik kemudian ia sudah berada kembali di hadapanku dengan membawa benda kotak dengan seutas tali untuk gantungan benda itu.“Ini Bu!” Aku menerima benda itu dan mengusap kepala Haris. “Ibu bawa dulu ya. Mudah-mudahan nanti malam sudah selesai.” kataku.Haris tersenyum dan melambaikan tangan membalas lambaianku.*****“Bisa speker ini diperbaiki secepat mungkin?” tanyaku kepada seorang lelaki pemilik usaha serpis elektronik. Aku menyerahkan speker berbentuk kotak yang besarnya kira-kira 50cm persegi, kepadanya.“Butuh kapan, Bu?” tanya tukang serpis elektronik itu balik bertanya kepadaku sambil memeriksa bagian yang rusak pada speker tersebut.“Malam ini. Sekitar jam 8 saya jemput. Bisa?”Lelaki itu terdiam sejenak sambil terus mengutak-atik benda dihadapannya. Setelah puas memeriksa speker milik Kang Wirna, lelaki itu mengangkat wajahnya menatapku sambil menggelengkan kepala dengan lemah.“Speker ini sudah terlalu usang, Bu. Beberapa bagian kabelnya sudah lapuk dan gulungan tembaganya juga kacau balau.” jawabnya.Pusing sudah aku mendengar keterangan dari lelaki yang masih muda itu. Mana aku tahu masalah speker. Yang aku pahami hanyalah bagaimana memasak makanan enak yang membuat perut kenyang dan menulis cerita denga
Dengan meraba-raba kusen pintu, Kang Wirna sepertinya mau masuk kembali ke rumahnya. Aku menunggu kesempatan untuk menyelinap ke rumah itu. Karena, kalau sampai ia menutup pintu atau bahkan menguncinya, itu akan membuat aku kehilangan kesempatan untuk mengintip kehidupan Kang Wirna secara nyata.Begitu tangan Kang Wirna meraih tepi daun pintu untuk menutupnya, aku perlahan menyelusup dirongga pintu yang cukup lebar dan melintas di bawah ketiaknya yang terbuka lebar. Hampir saja speker yang kubawa menyentuh tubuh Kang Wirna. Namun syukurlah, aku bisa masuk walau harus menahan nafasku. Gerakan Kang Wirna yang lambat juga memudahkan aku untuk menjalankan aksiku.Yes!Aku berhasil masuk tanpa Kang Wirna curiga. Ia menutup pintu rumahnya lalu menggeser pegangan kunci bantu hingga pintu itu tidak mungkin bisa dibuka dari luar. Syukur aku berhasil masuk. Kalau tidak, aku harus menunggu Haris pulang dulu baru bisa menyerahkan speker itu. Tidak mungkin aku memanggil Kang Wirna
Lebih kurang 4 tahun yang lalu...Aku terpaksa menutup warung makan milikku yang sebenarnya pada awalnya cukup ramai pengunjung dan memberikan hasil yang lumayan. Aku terpaksa melakukan itu karena keadaan ekonomi yang tengah kacau balau melanda kotaku bahkan mungkin negaraku dan bisa jadi seluruh dunia. Entah apa gerangan penyebabnya, aku tidak tahu.Pengangguran meningkat dimana-mana. Masa kerja permanen ditiadakan dan diganti dengan sistem kontrak. Keadaan itu berimbas ke segala penjuru roda usaha termasuk usahaku. Para pelangganku banyak yang pulang ke kampung halaman mereka karena tidak mampu lagi bertahan hidup di kota. Demikian juga para tetangga pelaku usaha yang kebanyakan adalah pembuat perabotan kayu, satu-persatu menutup usahanya. Para pekerja mereka terpaksa dilepaskan alias di PHK karena sang Bos tidak mampu lagi menggaji mereka.Komplek ruko tempat warung makan milikku berada, langsung berubah sepi seperti kuburan karena para pekerja di sana yang s
Lima bulan sudah aku mengenal Kang Wirna. Tidak ada tanda-tanda yang memperlihatkan kalau lelaki muda itu menaruh hati kepadaku walau sikapnya penuh perhatian namun masih pada taraf kewajaran.Seperti kebanyakan lelaki lain, Kang Wirna terlihat sangat segan kepadaku. Karena aku memang tipe perempuan yang tegas dan tidak suka berlebay ria kepada manusia yang berjenis laki-laki. Apa lagi kalau lelaki itu berusia di bawah usiaku. Sudah jelas intonasi bicaraku kepadanya seperti berbicara kepada adikku saja. Demikian pula kepada Kang Wirna dan beberapa teman-temannya yang sering datang bertandang ke kos-an kami. Walau pun aku suka bercanda, tapi aku menjaga jarak. Apakah itu perbuatan dan juga percakapan. Karena aku sadar bahwa diriku adalah seorang janda, aku paling tak suka kalau ada laki-laki yang berani berbicara kurang ajar kepadaku.Suatu hari..Aku pergi ke tempat anakku Dean karena dirinya dalam keadaan sakit. Kepada Kang Wirna aku titipkan kamar kos-ku karena aku
Hujan lebat mengguyur kota Batam saat Kang Wirna bersiap mengantarkan aku ke bandara Hang Nadim sore itu.Beberapa kali aku mendengar ia menarik nafas berat. Tatapan matanya juga tidak lagi ceria seperti biasanya.“Ada apa dengan Adikku..?” hatiku bertanya-tanya.Namun, ya sudahlah.. aku yakin dirinya hanya sedih karena kehilangan seorang kakak yang sering bersamanya. Bukankah Kang Wirna pernah bercerita kepadaku kalau dirinya adalah anak sulung? Nah kebetulan aku malah anak bungsu. Jadi pas sudah, Kang Wirna mendambakan seorang Kakak karena ia anak sulung, sedangkan aku butuh seorang adik karena memang aku anak bungsu. Perasaan adik dan kakak makin mantap di dalam hatiku. Aku sayang kepada Kang Wirna, namun kasih sayangku sebatas kakak kepada adiknya saja. Tidak lebih...“Bu, hati-hati di sana. Jangan lupa berkabar kepadaku.” Kang Wirna menyalamiku setelah kami sampai di parkiran sepeda motor yang dilengkapi atap.Pakaianku bas
Tanpa terasa dua minggu sudah aku bekerja di Jakarta. Aku cukup betah dengan pekerjaan yang tengah kujalani.Setiap malam Kang Wirna mengobrol denganku lewat Messenger atau via whatsaap. Kepadanya aku mengatakan bahwa aku sudah kerasan di Jakarta dan mungkin tidak akan kembali ke kota Batam dalam waktu yang agak lama.Aku tidak tahu apa yang dirasakan Kang Wirna begitu ia mendengar kabar itu dariku. Namun yang sering ia ungkapkan bahwa rumah kos yang biasa kami tempati terasa sangat sepi karena aku pergi. Ia juga mengatakan sudah tidak betah lagi tinggal di kota itu dan ingin pula mencari pekerjaan di Jakarta. Tidak lupa ia meminta alamatku di Jakarta.Aku dengan sabar mendengarkan curhatan hatinya dan berusaha memberikan masukan-masukan. Dan ini memang tidak aneh dalam perjalanan hidupku. Biasanya orang yang tidak mengenalku langsung akan beranggapan aku sombonglah, tidak suka bergaullah. Tapi kalau sudah mengenal lebih dekat biasanya susah melupakan. Entah mengapa bisa se
Setelah Kang Wirna berlalu, aku duduk bersantai di teras rumah. Tiba-tiba aku teringat sahabatku Risma dan aku ingin menelponnya untuk memberi tahu bahwa aku sudah kembali ke kota Batam dan sekaligus meminta maaf karena tidak sempat mampir ke rumahnya selama aku berada di Jakarta. Aku langsung menghubungi Risma dengan video call.“Haloo... Assalamualaikum!” jawab Risma. Wajahnya langsung menyembul di layar ponselku.“Halo Ris, apa kabar?”“Kabar baik, kamu gimana? Kok lama tidak ada kabar? Aku menghubungimu sampai ratusan kali tapi tidak pernah nyambung. Kamu sengaja offline apa gimana, Un?”Baru aku bertanya kabar tapi Risma sudah merepet panjang lebar.“Ponselku meninggal?” jawabku sederhana.“Hah? Ponsel meninggal? Bahasa dari mana itu?” teriaknya menatapku geli dari balik layar ponselku.“Bahasaku lah...” jawabku ber-acuh ria.“Trus sekarang hidup lagi atau sudah lahir ponsel baru?” tanya Risma mengikuti gaya bicara konyolku dan se
Selesai sholat Magrib dilanjutkan dengan sedikit membaca ayat suci Al quran. Setelah itu aku merengsek ke kamar Dean untuk melihat keadaan istana anak bujangku itu. Sudah dapat kupastikan kamarnya pasti berantakan karena akhir-akhir ini Dean cukup sibuk bekerja dan tentunya dirinya tidak punya waktu untuk beres-beres.Ternyata dugaanku benar. Beberapa pakaian Dean tergantung di belakang pintu dan ketika kuciumi satu persatu, aku harus mengerutkan keningku karena bau tak sedap menerpa penciumanku.“Hm, Anak ini.. sudah bujang tapi masih kayak anak kecil. Baju aja mesti dirapiin Mak.” Aku ngedumel panjang pendek tapi tetap membereskan kamarnya.Tidak begitu lama, kamar Dean sudah terlihat sangat rapih dan kinclong. Aku menghela nafas puas dan membayangkan ciuman tanda terima kasih dari anakku yang hampir berumur 20 tahun itu. Ia dan kedua adik-adiknya sangat manja kepadaku. Udah besar masih suka cium-cium pipiku. Bagi mereka bertiga aku adalah segalany
"Apa-apaan sih kamu, Wirna..?? Dasar laki-laki tak berguna!" teriak Sarmini langsung mendorong tubuh Wirna hingga laki-laki itu hilang keseimbangan dan jatuh ke tanah. Sarmini naik pitam lalu memungut sepotong kayu yang kebetulan ada ditempat itu lalu ia mengayunkan kayu itu ke kepala Wirna. "Plaaak...!"Kayu tersebut mendarat dengan keras namun bukan mengenai kepala Wirna tapi malah menghantam bahu Amelia yang lebih dulu menjatuhkan diri memeluk dan melindungi tubuh Wirna yang tak berdaya di tanah hingga pukulan Sarmini mengenai bahunya. "Oough..!" Amelia mengaduh tertahan. "Amii..! Oh ...!" Wirna berteriak keras lalu segera bangkit sembari memeluk tubuh Amelia dan mengusap bahu wanita yang ia cintai itu. Lalu dengan mata membesar ia menatap Sarmini yang masih mengayun-ayunkan sepotong kayu ditangannya. "Apa sih kamu? Segitu kasarnya tak punya perasaan!" bentak Wirna sambil menunjuk wajah Sarmini. Beberapa orang yang sudah berkerumun di tempat itu mulai bergerak melerai dan sala
Kematian Haris membuat Wirna sangat terpukul. Ia tidak hentinya menyalahkan diri sendiri. Hal itu membuat Amelia menjadi iba. Bagaimana pun mereka berdua pernah saling mencintai walau hanya delapan bulan saja berumah tangga. Namun kasih sayang bukanlah tergantung lama atau singkatnya tempo bersama. Walau Amelia sudah tidak lagi mencintai Wirna, namun ia masih menyayangi layaknya kepada insan yang tengah ditimpa musibah. "Sudahlah! Jangan menangis lagi. Haris sudah tenang di alamnya." bisik Amelia lirih. Ia berdiri disamping Wirna yang masih berjongkok di sisi tanah yang masih berwarna merah yang telah mengubur jasad Haris. "Pergilah dan tinggalkan aku sendiri!" sahut Wirna juga lirih namun terdengar jelas oleh Amelia. Suara itu benar-benar mengandung luka yang dalam. "Baiklah, aku akan pergi!" sahut Amelia lalu memutar tubuh perlahan dan mulai melangkah meninggalkan pusara Haris dan tanpa ia sadari Sarmini mengikutinya dari belakang. "Kau benar-benar telah berhasil menghancurkan
"Bapak.. Ibu.." tersendat dan terbata-bata Haris memanggil Wirna dan Sarmini yang berada di samping tempat tidurnya. Kedua orang tuanya itu juga menangis sangat sedih menyaksikan penderitaan anak sulung mereka. "Haris, maafkan Bapak. Bapak yang bersalah Haris. huhuhu..." Wirna menggenggam kadang membelai tangan kanan Haris. Lelaki itu terlihat sangat terpukul didera penyesalan yang tiada berguna. Dalam hati ia yakin kalau apa yang terjadi kepada Haris saat ini adalah tebusan sumpah yang pernah ia ucapkan sendiri. Sementara itu mata Haris hanya memandang kosong ke arah kedua orang tuanya secara bergantian. Sedangkan Sarmini mengelus lengan kiri Haris yang cacat. Hati ibu mana yang tidak teriris melihat putranya tak berdaya dan tergolek penuh luka. Kepala Haris diperban dengan selang terpasang dihidung dan beberapa peralatan medis lainnya yang menempel ditubuh kecil Haris. 'Pak, Bu. Berhentilah bertengkar. Setelah Haris pergi, tolong jaga Riski sebaik mungkin. Haris lelah dan ingin
Kepergian Mois membawa Amelia meninggalkan rumah sakit meninggalkan kekesalan dan kekecewaan di hati Salma. Entah sudah berapa kali wanita muda itu memaki-maki sendiri. "Nggak abis pikir deh sama pikiran Bang Mois. Kok dia malah lebih tertarik kepada perempuan tua itu dibanding aku yang jauh lebih muda dan lebih cantik. Huh..! Dunia sekarang emang makin edan, makin banyak saja lelaki muda yang lebih memilih pasangan lebih tua. Haah... gagal sudah usahaku untuk mendapatkan Bang Mois. Padahal aku sudah menyukainya sejak pertama bertemu di saat persiapan pesta pernikahanku dengan Mas Farzan empat tahun lalu. Andaikan aku lebih dulu mengenal Bang Mois tentu aku akan menolak ajakan Mas Farzan untuk menikah." Salma terus saja mengoceh dan bersungut-sungut di pojok sebuah ruangan rumah sakit yang mulai tenang. Tidak ada lagi gerombolan orang-orang berkerumun seakan tidak pernah ada keributan disana. Orang-Orang yang tadi berkerumun telah kembali ke urusan masing-masing. Ada yang kembali k
"Jangan berbuat sekasar itu! Kelewatan!" bentak lelaki yang tiba-tiba saja muncul itu terdengar berdesis bagaikan ular cobra yang siap menyemburkan bisanya. Suasana yang tadi riuh dan panas mendadak sunyi serta mencekam. Semua mata tertuju ke arah Sarmini dan lelaki asing yang terlihat bertatapan disertai pertentangan bathin. "Siapa kamu?" tanya Sarmini juga mendesis. Matanya menyipit dan ia berusaha melepaskan tangannya yang masih dicengkram lelaki dihadapannya tersebut. Namun si lelaki asing semakin memperkuat cengkramannya hingga Sarmini makin meringis. "Siapa aku tidaklah penting. Tapi jika kamu masih menyakiti Amelia, maka aku akan selalu muncul. Ingat itu!" ancam si lelaki tersebut lalu melemparkan tangan Sarmini ke samping. "Siapa laki-laki ini? Ia sangat tampan dan masih muda. Jangan-jangan dirinya adalah adik kandung Amelia." hati Sarmini bertanya-tanya seraya memandangi lelaki yang baru saja melepaskan cengkraman ditangannya. "Tapi mengapa ia terlihat seperti mencintai
Hari itu Amelia tidak datang ke kantor polisi untuk menemui Mois. Kabar dari rumah sakit membuat Amelia harus membatalkan rencananya untuk menemui calon suaminya yang sudah lima hari mendekam di dalam tahanan tersebut. Kasus Mois akan segera naik ke persidangan jika berita acara sudah dianggap sempurna. Dengan bergegas Amelia berjalan di koridor rumah sakit tempat Haris mendapat perawatan. Di sana sudah ada Wirna yang juga terlihat menunggu resah. "Ami!" sapa Wirna langsung menyambut kedatangan Amelia dengan sikap mesra. Ia kembali merengkuh bahu wanita itu dan berjalan bersama menuju ruang dokter. "Bagaimana keadaan Haris, Bi?" tanya Amelia cemas. Entah karena hatinya telah mencair terhadap Wirna atau hanya terbawa keadaan saja, tapi yang jelas sikap Amelia sangat jauh melunak kini terhadap Wirna. Mereka terlihat sangat kompak dan akur bahkan sepintas terlihat mesra layaknya seperti dulu sebelum mereka berpisah. "Ayolah kita ke ruangan Dokter! Abi juga belum sampai kesana. Tadi p
Pintu ruang tahanan terbuka lebar. Mois dikawal menuju sebuah ruangan tempat ia diizinkan untuk menerima tamu. "Pasti Amelia yang datang." terka hati Mois dengan menyunggingkan senyum bahagia dibibirnya. Dirinya sangat merindukan wanita yang dicintanya itu. "Silahkan!" ucap petugas polisi yang mengantar Mois ke ruang khusus tersebut. "Terima kasih!" sahut Mois mengangguk sopan. Pintu segera ditutup si petugas dan terdengar bunyi dari lubang kunci tanda pintu tersebut dikunci sang petugas dari luar. Mois membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sepasang kursi tamu yang ada di dalam ruang yang tidak begitu besar itu. Disana hanya ada dua buah kursi dengan posisi berhadapan yang dibatasi oleh sebuah meja yang tidak begitu lebar. Agak tercenung Mois melihat seorang wanita yang duduk menunggunya disana. Wanita itu bukan Amelia yang ia kira, tapi seorang perempuan bertubuh ramping dan terlihat lebih muda. Rambutnya tergerai indah berwarna coklat coca-cola. Bergegas Mois mendekat dan l
Sirene ambulan meraung memecah terik panas matahari sore itu. Tubuh kecil Haris tergolek tidak berdaya di atas bangsal ambulan tersebut. Pakaian yang membungkus tubuhnya sebagian besar telah dibasahi darah. Bau anyir memenuhi kabin bagian belakang mobil penyelamat yang terus melaju kencang membelah keramaian jalan. "Haris..., bangun Nak..! Bapak tidak mau melihatmu seperti ini, huhuhu.." Wirna tiada hentinya meratapi nasib malang yang menimpa putra sulungnya tersebut. Ia tertunduk lesu di samping kanan bangsal tempat tubuh Haris tergolek lemah dan tak sadarkan diri. Tidak berbeda dengan Wirna, Amelia juga melakukan hal yang sama. Wanita yang sudah menganggap Haris seperti anak kandungnya itu tiada hentinya menangis. Ia terduduk lesu disebelah kiri Haris. Amelia tidak sanggup lagi berkata-kata, hanya seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Ada rasa penyesalan mengapa ia tidak menyadari dari semula kalau pembicaraannya dengan Wirna akan di dengar Haris dan akan membuat bocah polos
"Duduklah Kang!" Amelia mempersilahkan Wirna yang masih berdiri kaku. Mereka seperti orang baru kenal saja. "Iya!" sahut Wirna singkat kemudian duduk di sebuah sofa di ruang tamu rumah Amelia. Amelia juga melakukan hal yang sama. Ia menduduki sebuah sofa yang posisinya berhadapan dengan Wirna. Diantara mereka berdua dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang tidak begitu lebar. Beberapa detik berlalu begitu saja. Belum ada yang memulai untuk bicara. "Aku sangat senang melihatmu sudah sembuh sekarang, Kang. Dan aku mohon maaf atas semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Mois terhadapmu." akhirnya Amelia bicara juga dan memecah kebuntuan diantara mereka berdua. Ucapan Amelia yang kaku membuat wajah Wirna memerah. Tampaknya ia sangat tidak suka dengan kalimat yang diucapkan oleh Amelia. Bukan kalimat itu yang ia harapkan keluar dari bibir Amelia. "Aku...? Kang..? Sejak kapan Ami memanggil Abi seperti itu? Sejak Ami sudah pandai berselingkuh dengan lelaki jahanam itu, hah?" hardik Wirn