Share

Mengintip

Dua jam berikutnya selesai sudah pesanan Bu Indah. Aku mulai mengemas rendang daging yang sudah aku dinginkan sekitar setengah jam ke dalam sebuah plastik. Kelezatan makanan khas kampung halamanku itu semerbak mewangi memenuhi ruang udara di dapurku.

“Hm, semoga saja Bu Indah makin suka dan betah menjadi langganan.” gumamku sambil tersenyum puas dengan hasil kerjaku hari ini.

Pagi-pagi aku sudah berjual beli seharga lima ratus ribu rupiah. Sudah barang tentu separo dari jumlah itu merupakan keuntungan untukku. Lumayan, toh aku tidak punya tanggungan lagi. Si bungsuku yang kini telah duduk di kelas 2 SMK sudah menjadi tanggungan kakak dan abangnya. Bahkan anak pertama dan keduaku itu masih memberi aku jatah uang setiap bulannya. 

“Bu Indah, pesanan segera meluncur!” ucapku riang melalui telepon selulerku.

“Hmm... Indah jadi lapar, Uni. Kelezatan masakan Uni serasa sudah sampai di lidah Indah.” sahut Bu Indah yang memang pandai memujiku. Selain cantik dan masih muda, Bu Indah juga sangat ramah. Sebagai mana dengan orang lain tua dan muda, Bu Indah juga memanggilku ‘Uni’.” Padahal sejatinya bukan itu nama asliku. Namun anggaplah itu nama bekenku.. 😁🤭. ('Uni' artinya kakak perempuan dalam bahasa Minang dimana aku bersuku.)

“Hahaha.. Bu Indah pandai sekali membuat Uni bahagia.” kataku dengan jujur.

“Tidak Uni, Indah memang bicara sejujurnya.” 

“Baiklah Bu Indah. Uni akan kirim rendangnya sekarang juga. Kebetulan kurir sudah datang menjemput.” kataku menutup perbincangan dengan pelangganku yang sangat ramah itu. Sudah tiga bulan Bu Indah menjadi langgananku dan ia selalu mengatakan puas dengan racikan bumbu-bumbu yang aku hasilkan. Setiap minggu ia selalu memesan masakanku dengan jumlah yang banyak.

Setelah memberikan pesanan Bu Indah kepada kurir, aku memutuskan untuk beristirahat sebentar. Aku juga belum merapikan peralatan kotor di dapurku, namun aku berencana akan melakukannya setengah jam lagi. Kini saatnya aku menikmati juice alpokat kesukaanku. Hmm... Begitu segar terasa di kerongkonganku. Apalagi ditingkahi sebuah lagu lawas kesukaanku. Aku duduk di sebuah kursi di hadapan meja makan sambil memainkan gawai. Dan aku mulai berselancar sejenak di media sosial sekedar bertegur sapa dengan teman-teman jauhku. Umumnya mereka adalah teman-teman sekolahku di masa remaja. Bersenda gurau dengan mereka mampu membuat kesepian hidupku yang tinggal sendiri terobati.

Tak lama kemudian adzan dzuhur berkumandang. Aku segera menyudahi perselancaran medsosku dan meninggalkan gawai lalu berjalan menuju dapur. Beberapa peralatan kotor aku bersihkan berikut lantai. Setelah semua bersih aku membersihkan tubuhku di kamar mandi serta langsung berwudhu untuk melakukan sholat dzuhur. Sejurus kemudian aku sudah khusuk menghadap Tuhanku dengan sederetan pengaduan dan keluh kesah. Terutama keluh kesah tentang Kang Wirna suamiku. Aku berharap Allah berkenan memberiku jalan yang kini sedang terjepit di antara dua perasaan yang bertentangan: BENCI vs CINTA.

“Sebaiknya aku mengintip keadaan Kang Wirna langsung. Bukankah aku sudah mengetahui alamat lengkap Kang Wirna dari bocah kecil yang ku tahu bernama Haris? Ya Haris... Aku ingat ia adalah nama anak sulung Kang Wirna yang pernah ia ceritakan kepadaku.” Aku berbicara sendiri sambil melipat mukena. Di benakku terbayang wajah bocah yang kutemui di pasar kaget. Aku mengingat-ingat.

Hmm, aku ingat bahwa aku pernah melihat fotonya di ponsel suamiku yang dikirimkan oleh mantan istrinya yang tinggal di kampung halamannya di pulau Jawa sana. Mantan istrinya mengatakan kalau Haris sedang sakit. Padahal aku melihat di dalam foto itu Haris sedang tertidur lelap dengan selembar kain kering yang ditaruh acak di keningnya. Aku tahu bahwa si mantan istri suamiku itu hanya berbohong. Namun ia mungkin tidak terlalu teliti atau menganggap kami bodoh untuk menilai sebuah gambar. Tapi ya sudahlah... Itu kan hanya masa lalu. Aku tahu ia sakit hati kepadaku dan selalu berusaha menghancurkan rumah tanggaku dengan Kang Wirna. Teror melalui chat itu sudah menjadi makananku sehari-hari di dalam perjalanan berumah tangga dengan lelaki yang aku nilai tidak punya pendirian tersebut.

Baiklah...

Ku ikuti bisikan hatiku untuk mengintip keadaan Kang Wirna. Beberapa belas menit kemudian aku sudah melaju dengan mobilku di atas aspal dan tujuanku tentu saja rusun tempat Kang Wirna dan putranya tinggal. 

Hanya butuh waktu sepuluh menit saja untuk sampai di rusun itu. Bangunan besar terrdiri dari beberapa blok dan bertingkat lima. Tidak nampak kemewahan di gedung milik pemerintah kota tersebut. Tapi itu lebih dari cukup sebagai hunian sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Tap...tap..tap...

Aku melangkah menaiki satu persatu anak tangga. Walau sedikit mengeluarkan keringat, namun tidak ada kesulitan bagiku untuk menaiki gedung yang tak memiliki lift tersebut. Aku memang suka berolah raga hingga tubuhku alhamdulillah masih kuat dan sehat. Bahkan banyak orang yang menyangka aku masih berusia tiga puluhan tahun. Dan mungkin itu juga yang membuat Kang Wirna jatuh cinta kepadaku karena aku kata orang-orang tergolong wanita yang awet muda. Awalnya dia memang tertipu dengan jumlah usiaku. Dia baru mengetahui bahwa umurku 10 tahun lebih tua darinya setelah aku mengatakan kepadanya. Dan dulu aku selalu memanggil dirinya ‘Adik’ sebelum ia menjadi suamiku. Karena pada awalnya aku memang menganggap dirinya hanya adik angkatku saja. Tidak lebih dan tidak kurang.

Aku sudah sampai di lantai 2 gedung itu. Di sana sangat ramai dan riuh. Semua unit di lantai 2 terisi penuh. Namun pada lantai selanjutnya semakin berkurang penghuninya. Bahkan ketika aku sampai di lantai kelima, aku melihat suasana yang sangat sepi seperti bangunan kosong. Aku yakin hanya Kang Wirna dan putranya saja yang menghuni salah satu unit di lantai tertinggi tersebut. Dan alasannya pasti karena harganya paling murah. Setahuku hanya 150 ribu rupiah saja sebulan.

Ku edarkan pandangan mataku mengitari unit-unit rusun yang berjejer kiri dan kanan. Semua pintunya tertutup seperti tidak ada kehidupan kecuali hanya satu unit yang pintunya sedikit terbuka. Pelan-pelan aku melangkah ke sana. 

Bagaikan maling aku mengatur langkahku agar tidak mengeluarkan bunyi. Sampai di dekat pintu yang agak terbuka aku merapatkan punggungku ke dinding.

“Jadi besok kita tidak mengamen lagi, Pak?” ku dengar Haris si bocah kecil bertanya tentu saja kepada Kang Wirna.

“Bagaimana bisa mengamen, peralatan kita sudah rusak.” Kudengar jawab Kang Wirna yang lebih mirip dengan keluhan.

“Memangnya uang yang diberikan Ibu tadi tidak cukup untuk memperbaiki speker ini, Pak?”

“Hm, manalah cukup Haris. Lagian kalau uang ini kita pakai untuk memperbaiki peralatan ngamen, terus malam ini kita makan apa?”

Ya Allah... Ku remas dadaku yang terasa sesak. Aku sungguh tidak tega mendengar percakapan ini. Dua butir air mata jatuh ke lantai dari kedua mataku. Namun aku manahan agar jangan sampai terisak yang mungkin saja akan membuat mereka mengetahui kehadiranku di sana.

“Lalu bagaimana, Pak?” Ku dengar Haris bertanya kembali.

Aku mengintip dari celah pintu dan melihat bocah itu sibuk berusaha memperbaiki speker yang telah pecah.

“Entahlah...” Kang Wirna menjawab dengan nada putus asa dari dalam kamar.

Ku seka air mataku dan kubuang kesedihan dari wajahku hingga kini terlihat biasa-biasa saja. Ku dorong sedikit pintu itu hingga Haris menoleh ke arah pintu.

“Ssstt... Sini!” aku berbisik memanggil dengan terlebih dahulu meletakkan jari telunjuk di bibirku.

Haris menoleh ke arah kamar lalu berjingkrat mendekatiku. Ia tampaknya tahu kalau aku tidak mau bapaknya mengetahui kedatanganku.

Kuraih tangan Haris lalu sedikit kutarik perlahan menjauhi unit itu, lalu berhenti tidak jauh dari tangga. Aku tidak khawatir Kang Wirna melihatku. Kang Wirna kan sekarang buta.

“Besok kamu mengamen atau tidak?” tanyaku pura-pura tidak mendengar percakapan mereka tadi.

Haris menggelengkan kepalanya lemah.

“Speker tidak bisa berbunyi lagi, Bu!” ucapnya terlihat sedih mengadu.

Aku berfikir sejenak mencari cara yang paling tepat untuk membantu mereka. Beberapa detik kemudian aku tersenyum karena telah mendapatkan ide.

“Bawa spekermu kesini biar Ibu perbaiki. Nanti malam akan Ibu antar lagi kemari dan besok kamu dan Bapak bisa ngamen lagi.” ucapku yang disambut senyum lebar bocah bertangan buntung itu.

Tanpa menunggu lagi ia berputar dan berlari kencang ke unit tempat tinggalnya. Dan hanya beberapa puluh detik kemudian ia sudah berada kembali di hadapanku dengan membawa benda kotak dengan seutas tali untuk gantungan benda itu.

“Ini Bu!” 

Aku menerima benda itu dan mengusap kepala Haris. 

“Ibu bawa dulu ya. Mudah-mudahan nanti malam sudah selesai.” kataku.

Haris tersenyum dan melambaikan tangan membalas lambaianku.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status