Lebih kurang 4 tahun yang lalu...
Aku terpaksa menutup warung makan milikku yang sebenarnya pada awalnya cukup ramai pengunjung dan memberikan hasil yang lumayan. Aku terpaksa melakukan itu karena keadaan ekonomi yang tengah kacau balau melanda kotaku bahkan mungkin negaraku dan bisa jadi seluruh dunia. Entah apa gerangan penyebabnya, aku tidak tahu.Pengangguran meningkat dimana-mana. Masa kerja permanen ditiadakan dan diganti dengan sistem kontrak. Keadaan itu berimbas ke segala penjuru roda usaha termasuk usahaku. Para pelangganku banyak yang pulang ke kampung halaman mereka karena tidak mampu lagi bertahan hidup di kota. Demikian juga para tetangga pelaku usaha yang kebanyakan adalah pembuat perabotan kayu, satu-persatu menutup usahanya. Para pekerja mereka terpaksa dilepaskan alias di PHK karena sang Bos tidak mampu lagi menggaji mereka. Komplek ruko tempat warung makan milikku berada, langsung berubah sepi seperti kuburan karena para pekerja di sana yang sebelumnya adalah pelanggan tetapku kini sudah pergi entah ke mana dibawa nasib masing-masing. Dan tidak sedikit pula di antara mereka yang meninggalkan hutang kepadaku. Tapi aku memakluminya walau aku menderita rugi yang cukup lumayan jumlahnya. Mau tidak mau aku juga harus ikut hengkang dari tempat itu.“Kamu mau tinggal di mana Uni?” tanya seorang sahabatku yang bernama Sari. Sari tahu kalau aku tidak lagi memiliki rumah semenjak usaha percetakan yang aku miliki bangkrut karena ditipu oleh kenalan mantan suamiku. Aku harus merelakan rumah dan mobilku untuk menutupi hutang kepada toko yang telah memberi hutangan bahan-bahan untuk mencetak buku. Hidupku jadi morat-marit beberapa tahun lamanya dan aku dan suami bercerai pula hingga saat itu aku telah menyandang gelar janda lebih 5 tahun lamanya.“Aku akan menyewa kios lagi di tempat lain, Sar.” jawabku kepada Sari saat itu.“Tapi sekarang kesulitan di mana-mana. Aku rasa kamu harus menunggu situasi agak membaik dulu. Kalau kamu mau, tinggallah di rumahku. Kamu bisa menempati salah satu kamar kos-kos an milikku tanpa harus membayarnya.” kata Sari menawarkan kebaikan. Sari memang teman baikku dan kami sudah biasa tolong menolong sejak dulu.Setelah kupikir-pikir ada juga baiknya saran Sari. Apa lagi aku hanya tinggal sendirian. Anakku yang paling besar bekerja di sebuah perusahaan yang agak jauh dari tempatku sekarang. Anak perempuanku berada di kota lain yang sangat jauh dan ia bekerja sebagai sales mobil disalah satu show room disana. Sedangkan anak bungsuku tinggal bersama mantan suamiku yang sudah menikah.“Baiklah!”Usul Sari langsung aku setujui dan singkat cerita aku segera menempati salah satu kamar kos milik Sari yang berada di lantai atas atau lantai dua. Sedangkan Sari tinggal bersama keluarganya di lantai bawah dan di sana juga ada beberapa kamar yang di kos-kan.Awal aku menempati rumah kos itu, suasana agak seram karena temanku itu malas mengurus apalagi membersihkan lantai dua yang sekarang aku tempati.Hanya satu kamar saja yang terisi selain kamarku. Padahal, di lantai dua itu ada 8 kamar. Artinya 6 kamar lain masih kosong.Karena aku tidak mempunyai kegiatan yang berarti, kubersihkan semua kamar dan seluruh ruangan kos di lantai dua itu. Itung-itung anggaplah aku membayar uang kos-ku dengan cara itu. Baru seminggu aku berada disana, penampilan lantai dua rumah milik temanku itu langsung bersinar dan nampak berseri. Mungkin karena itulah yang mengundang banyak orang untuk menyewa kamar di sana. Dan disanalah pertemuanku dengan Kang Wirna pertama kali terjadi.Sore itu aku baru sampai di tempat kos-ku setelah seharian aku berjalan-jalan melepas kejenuhan. Aku sedikit kaget melihat kamar yang persis berada di sebelah kamarku sudah berpenghuni. Ada dua orang laki-laki yang tinggal di sana dan aku yakin umur mereka pasti di bawah usiaku. Dan sepantasnya aku menyapa mereka dengan panggilan ‘Adik’.Beberapa hari bahkan seminggu sudah berlalu tidak ada hal yang penting yang terjadi antara aku dan penghuni baru kamar sebelahku tersebut. Namun keesokan harinya kami mulai berkomunikasi karena aku butuh bantuan mereka untuk mengangkatkan air galon yang baru aku beli. Tentu saja aku tidak sanggup mengangkat air seberat itu dan harus melewati tangga berliku.“Biar aku yang angkat, Bu! Jangan sungkan-sungkan kepada kami.” ucap mereka sangat ramah. “Terima kasih, Dik!” sahutku sambil tersenyum.Sejak saat itu kami menjadi akrab. Dan berbulan-bulan kami berteman layaknya seperti keluarga sendiri.Walau pun sudah cukup akrab, aku tidak pernah bertanya tentang masalah pribadi kedua laki-laki yang sudah aku anggap adikku itu. Kami hanya berbincang masalah pengetahuan agama yang kuyakini salah satu dari mereka lebih tahu dari pada aku. Salah satu yang aku maksud adalah Kang Wirna. Ia kukenal cukup rajin beribadah dan aku menyukai hal itu karena aku merasa diriku sangat kekurangan ilmu agama. Tidak jarang aku bertanya kepadanya tentang beberapa hadist dan hal yang aku kurang mengerti. Dan Kang Wirna menjelaskan kepadaku dengan cara yang sangat sopan.Sering mengobrol bertiga membuat kedua adik angkatku itu tidak sungkan bertanya tentang perjalanan hidupku. Tanpa sungkan pula aku menceritakan kisah hidupku yang bergelombang. Kadang naik dan terkadang turun. Kadang menangis dan sering pula tertawa. Namun dasar aku tipe perempuan yang ceria, aku tidak pernah memperlihatkan sakit di depan orang banyak. Noo... Itu pantangan hidupku.Suatu hari Ahmad teman sekamar Kang Wirna berkata kepadaku.“Bu, menikah lagilah Bu. Nggak sepi hidup sendirian.”“Aku tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Aku capek menghadapi sifat laki-laki yang menurutku mau menang sendiri. Walau hidup sendiri aku merasa lebih nyaman dan bahagia. Apalagi umurku tidak lagi muda.” kataku kepada mereka saat itu.“Mana ada Ibu sudah tua. Ibu masih cantik dan awet muda.” celutuk Kang Wirna.“Lagian Ibu belum bertemu saja dengan laki-laki yang baik. Tidak semua laki-laki itu jahat Bu.” sambung Kang Wirna kala itu.Namun aku tidak menggubris ucapan mereka. Aku anggap mereka hanya memberi masukan kepada kakaknya saja.Sekitar dua bulan selanjutnya, Ahmad, teman satu kamar Kang Wirna mengatakan kalau dirinya akan pulang ke kampung halamannya yang mungkin tidak akan kembali lagi ke Batam tempat kami sekarang berada. Alasannya sama dengan banyak orang-orang lainnya. Mereka sudah tidak sanggup lagi menjadi pengangguran yang terkadang hanya kerja serabutan setelah habis masa kontrak di sebuah perusahaan. Dan saat itu keadaan Kang Wirna juga seperti Ahmad. Ia hanya kerja serabutan tapi memilih untuk bertahan walau pun harus menjalani hidup yang pas-pas-an bahkan sering kurang.Sejak kepergian Ahmad, Kang Wirna tinggal sendiri di kamarnya. Kami masih sering berkumpul di ruang tamu bersama satu orang wanita bernama Ida yang menempati sebuah kamar yang berada dekat ruang tamu itu sendiri.Seperti diriku, Ida juga seorang janda namun usianya jauh lebih muda dari pada aku. Mungkin sepantaran Kang Wirna atau di bawahnya.Terkadang aku sengaja meninggalkan mereka mengobrol berdua karena aku berpikir mana tahuan di antara mereka ada rasa. Namun anehnya, Kang Wirna akan segera masuk ke kamarnya kalau aku meninggalkan dirinya berdua saja dengan Ida di ruang tamu itu. Nampaknya ia sedikit jengah dengan sifat Ida yang memang lebay dan membosankan. Tak jarang pula Kang Wirna mengirimkan pesan kepadaku bila aku meninggalkannya berdua saja dengan Ida di ruang tamu itu.
“Bu, sinilah ngobrol. Nggak asyik kalau tidak ada Ibu.”*****Lima bulan sudah aku mengenal Kang Wirna. Tidak ada tanda-tanda yang memperlihatkan kalau lelaki muda itu menaruh hati kepadaku walau sikapnya penuh perhatian namun masih pada taraf kewajaran.Seperti kebanyakan lelaki lain, Kang Wirna terlihat sangat segan kepadaku. Karena aku memang tipe perempuan yang tegas dan tidak suka berlebay ria kepada manusia yang berjenis laki-laki. Apa lagi kalau lelaki itu berusia di bawah usiaku. Sudah jelas intonasi bicaraku kepadanya seperti berbicara kepada adikku saja. Demikian pula kepada Kang Wirna dan beberapa teman-temannya yang sering datang bertandang ke kos-an kami. Walau pun aku suka bercanda, tapi aku menjaga jarak. Apakah itu perbuatan dan juga percakapan. Karena aku sadar bahwa diriku adalah seorang janda, aku paling tak suka kalau ada laki-laki yang berani berbicara kurang ajar kepadaku.Suatu hari..Aku pergi ke tempat anakku Dean karena dirinya dalam keadaan sakit. Kepada Kang Wirna aku titipkan kamar kos-ku karena aku
Hujan lebat mengguyur kota Batam saat Kang Wirna bersiap mengantarkan aku ke bandara Hang Nadim sore itu.Beberapa kali aku mendengar ia menarik nafas berat. Tatapan matanya juga tidak lagi ceria seperti biasanya.“Ada apa dengan Adikku..?” hatiku bertanya-tanya.Namun, ya sudahlah.. aku yakin dirinya hanya sedih karena kehilangan seorang kakak yang sering bersamanya. Bukankah Kang Wirna pernah bercerita kepadaku kalau dirinya adalah anak sulung? Nah kebetulan aku malah anak bungsu. Jadi pas sudah, Kang Wirna mendambakan seorang Kakak karena ia anak sulung, sedangkan aku butuh seorang adik karena memang aku anak bungsu. Perasaan adik dan kakak makin mantap di dalam hatiku. Aku sayang kepada Kang Wirna, namun kasih sayangku sebatas kakak kepada adiknya saja. Tidak lebih...“Bu, hati-hati di sana. Jangan lupa berkabar kepadaku.” Kang Wirna menyalamiku setelah kami sampai di parkiran sepeda motor yang dilengkapi atap.Pakaianku bas
Tanpa terasa dua minggu sudah aku bekerja di Jakarta. Aku cukup betah dengan pekerjaan yang tengah kujalani.Setiap malam Kang Wirna mengobrol denganku lewat Messenger atau via whatsaap. Kepadanya aku mengatakan bahwa aku sudah kerasan di Jakarta dan mungkin tidak akan kembali ke kota Batam dalam waktu yang agak lama.Aku tidak tahu apa yang dirasakan Kang Wirna begitu ia mendengar kabar itu dariku. Namun yang sering ia ungkapkan bahwa rumah kos yang biasa kami tempati terasa sangat sepi karena aku pergi. Ia juga mengatakan sudah tidak betah lagi tinggal di kota itu dan ingin pula mencari pekerjaan di Jakarta. Tidak lupa ia meminta alamatku di Jakarta.Aku dengan sabar mendengarkan curhatan hatinya dan berusaha memberikan masukan-masukan. Dan ini memang tidak aneh dalam perjalanan hidupku. Biasanya orang yang tidak mengenalku langsung akan beranggapan aku sombonglah, tidak suka bergaullah. Tapi kalau sudah mengenal lebih dekat biasanya susah melupakan. Entah mengapa bisa se
Setelah Kang Wirna berlalu, aku duduk bersantai di teras rumah. Tiba-tiba aku teringat sahabatku Risma dan aku ingin menelponnya untuk memberi tahu bahwa aku sudah kembali ke kota Batam dan sekaligus meminta maaf karena tidak sempat mampir ke rumahnya selama aku berada di Jakarta. Aku langsung menghubungi Risma dengan video call.“Haloo... Assalamualaikum!” jawab Risma. Wajahnya langsung menyembul di layar ponselku.“Halo Ris, apa kabar?”“Kabar baik, kamu gimana? Kok lama tidak ada kabar? Aku menghubungimu sampai ratusan kali tapi tidak pernah nyambung. Kamu sengaja offline apa gimana, Un?”Baru aku bertanya kabar tapi Risma sudah merepet panjang lebar.“Ponselku meninggal?” jawabku sederhana.“Hah? Ponsel meninggal? Bahasa dari mana itu?” teriaknya menatapku geli dari balik layar ponselku.“Bahasaku lah...” jawabku ber-acuh ria.“Trus sekarang hidup lagi atau sudah lahir ponsel baru?” tanya Risma mengikuti gaya bicara konyolku dan se
Selesai sholat Magrib dilanjutkan dengan sedikit membaca ayat suci Al quran. Setelah itu aku merengsek ke kamar Dean untuk melihat keadaan istana anak bujangku itu. Sudah dapat kupastikan kamarnya pasti berantakan karena akhir-akhir ini Dean cukup sibuk bekerja dan tentunya dirinya tidak punya waktu untuk beres-beres.Ternyata dugaanku benar. Beberapa pakaian Dean tergantung di belakang pintu dan ketika kuciumi satu persatu, aku harus mengerutkan keningku karena bau tak sedap menerpa penciumanku.“Hm, Anak ini.. sudah bujang tapi masih kayak anak kecil. Baju aja mesti dirapiin Mak.” Aku ngedumel panjang pendek tapi tetap membereskan kamarnya.Tidak begitu lama, kamar Dean sudah terlihat sangat rapih dan kinclong. Aku menghela nafas puas dan membayangkan ciuman tanda terima kasih dari anakku yang hampir berumur 20 tahun itu. Ia dan kedua adik-adiknya sangat manja kepadaku. Udah besar masih suka cium-cium pipiku. Bagi mereka bertiga aku adalah segalany
Malam itu aku merenung sendiri. Sengaja kumatikan ponselku agar tidak ada kabar yang mengganggu kesendirianku itu. Aku memikirkan apa-apa yang telah terjadi kepada diriku akhir-akhir ini. Aku merenung sendiri sampai malam semakin dalam.Ada apa ini?Perlakuan Kang Wirna yang semakin hari semakin bertambah perhatian kepadaku, pendapat Risma, bau wangi tubuh Kang Wirna yang kurasa tidak seperti biasanya, dan sifat Dean yang kini malah lebih terbuka. Bahkan Dean kemarin berkata kepadaku, “Mama kalau mau menikah lagi kami tidak keberatan. Kami tidak ingin melihat Mama selalu sendiri. Sebaik-baik wanita adalah wanita yang memiliki suami di sampingnya.”Ohh, kok tiba-tiba dia berpikiran begitu? Apakah karena proses kedewasaan atau memang kasihan melihatku yang memang selalu menyendiri di rumah.Aku memang tipe orang yang mungkin saja boleh dikatakan kurang bergaul. Main ke rumah tetangga bukanlah hobiku. Malah itu seperti menjadi pantangan dalam hidup
Kang Wirna terlihat memperbaiki posisi duduknya sekaligus membuang kegugupannya. Aku tahu itu karena aku melihatnya dengan nyata.Ibu yang punya warung datang disertai anak gadisnya. Si Ibu membawa sebuah nampan berisi dua piring nasi lengkap dengan lauk dan sayuran, lalu si Anak dengan cekatan menurunkan piring-piring nasi tersebut dan meletakkan di atas meja persis di hadapan kami berdua.“Terima kasih!” gumamku sambil sedikit menganggukkan kepala serta memberikan senyuman.“Mari!” jawab si Ibu dan si Gadis kecil kembali melempar senyum kepadaku. Lalu mereka berdua berlalu dari hadapanku.Kedatangan kedua pemilik warung telah membantu Kang Wirna untuk mengurangi sedikit rasa groginya. Sekarang ia terlihat sedikit lebih santai dan rilek.“Ayo makan Bu! Udah siang, pasti Ibu lapar.” ucap Kang Wirna sambil mengangsur piring berisi nasi dan sepotong gulai ayam beserta sayuran kepadaku.“Yah!” sahutku sembari
“Maukah Ibu menikah denganku..?”Kalau ada hantu lewat saat itu tidak akan membuat aku terkejut seperti saat ini. Beberapa kali aku menelan ludah untuk mengelabui rasa galau dan kacau balau dalam otakku.Kalau orang lain yang mengatakan itu kepadaku tentu aku masih bisa bersitenang diri. Namun ini Kang Wirna.. yah Wirna tepatnya begitu aku memanggilnya saat itu. Lelaki yang sekitar 8 bulan aku kenal dan kuanggap seperti keluarga sendiri, tapi ternyata menaruh hati kepadaku. Apakah ini wujud dari jawaban atas doa-doaku...? Oh no... Don't think like that. It's not my hopeness.“Bagaimana Bu? Apakah Ibu bersedia?”Dengan beraninya ia mengejar jawaban dariku.“Pernikahan itu bukan hal yang mudah, Dik. Lagian walau pun kita sudah lama kenal, aku belum tahu benar siapa kamu sesungguhnya. Apakah kamu punya istri atau tidak aku selama ini tidak pernah menanyakan padamu bukan?”Kulihat Kang Wirna mengelus-elus pipinya. L
"Apa-apaan sih kamu, Wirna..?? Dasar laki-laki tak berguna!" teriak Sarmini langsung mendorong tubuh Wirna hingga laki-laki itu hilang keseimbangan dan jatuh ke tanah. Sarmini naik pitam lalu memungut sepotong kayu yang kebetulan ada ditempat itu lalu ia mengayunkan kayu itu ke kepala Wirna. "Plaaak...!"Kayu tersebut mendarat dengan keras namun bukan mengenai kepala Wirna tapi malah menghantam bahu Amelia yang lebih dulu menjatuhkan diri memeluk dan melindungi tubuh Wirna yang tak berdaya di tanah hingga pukulan Sarmini mengenai bahunya. "Oough..!" Amelia mengaduh tertahan. "Amii..! Oh ...!" Wirna berteriak keras lalu segera bangkit sembari memeluk tubuh Amelia dan mengusap bahu wanita yang ia cintai itu. Lalu dengan mata membesar ia menatap Sarmini yang masih mengayun-ayunkan sepotong kayu ditangannya. "Apa sih kamu? Segitu kasarnya tak punya perasaan!" bentak Wirna sambil menunjuk wajah Sarmini. Beberapa orang yang sudah berkerumun di tempat itu mulai bergerak melerai dan sala
Kematian Haris membuat Wirna sangat terpukul. Ia tidak hentinya menyalahkan diri sendiri. Hal itu membuat Amelia menjadi iba. Bagaimana pun mereka berdua pernah saling mencintai walau hanya delapan bulan saja berumah tangga. Namun kasih sayang bukanlah tergantung lama atau singkatnya tempo bersama. Walau Amelia sudah tidak lagi mencintai Wirna, namun ia masih menyayangi layaknya kepada insan yang tengah ditimpa musibah. "Sudahlah! Jangan menangis lagi. Haris sudah tenang di alamnya." bisik Amelia lirih. Ia berdiri disamping Wirna yang masih berjongkok di sisi tanah yang masih berwarna merah yang telah mengubur jasad Haris. "Pergilah dan tinggalkan aku sendiri!" sahut Wirna juga lirih namun terdengar jelas oleh Amelia. Suara itu benar-benar mengandung luka yang dalam. "Baiklah, aku akan pergi!" sahut Amelia lalu memutar tubuh perlahan dan mulai melangkah meninggalkan pusara Haris dan tanpa ia sadari Sarmini mengikutinya dari belakang. "Kau benar-benar telah berhasil menghancurkan
"Bapak.. Ibu.." tersendat dan terbata-bata Haris memanggil Wirna dan Sarmini yang berada di samping tempat tidurnya. Kedua orang tuanya itu juga menangis sangat sedih menyaksikan penderitaan anak sulung mereka. "Haris, maafkan Bapak. Bapak yang bersalah Haris. huhuhu..." Wirna menggenggam kadang membelai tangan kanan Haris. Lelaki itu terlihat sangat terpukul didera penyesalan yang tiada berguna. Dalam hati ia yakin kalau apa yang terjadi kepada Haris saat ini adalah tebusan sumpah yang pernah ia ucapkan sendiri. Sementara itu mata Haris hanya memandang kosong ke arah kedua orang tuanya secara bergantian. Sedangkan Sarmini mengelus lengan kiri Haris yang cacat. Hati ibu mana yang tidak teriris melihat putranya tak berdaya dan tergolek penuh luka. Kepala Haris diperban dengan selang terpasang dihidung dan beberapa peralatan medis lainnya yang menempel ditubuh kecil Haris. 'Pak, Bu. Berhentilah bertengkar. Setelah Haris pergi, tolong jaga Riski sebaik mungkin. Haris lelah dan ingin
Kepergian Mois membawa Amelia meninggalkan rumah sakit meninggalkan kekesalan dan kekecewaan di hati Salma. Entah sudah berapa kali wanita muda itu memaki-maki sendiri. "Nggak abis pikir deh sama pikiran Bang Mois. Kok dia malah lebih tertarik kepada perempuan tua itu dibanding aku yang jauh lebih muda dan lebih cantik. Huh..! Dunia sekarang emang makin edan, makin banyak saja lelaki muda yang lebih memilih pasangan lebih tua. Haah... gagal sudah usahaku untuk mendapatkan Bang Mois. Padahal aku sudah menyukainya sejak pertama bertemu di saat persiapan pesta pernikahanku dengan Mas Farzan empat tahun lalu. Andaikan aku lebih dulu mengenal Bang Mois tentu aku akan menolak ajakan Mas Farzan untuk menikah." Salma terus saja mengoceh dan bersungut-sungut di pojok sebuah ruangan rumah sakit yang mulai tenang. Tidak ada lagi gerombolan orang-orang berkerumun seakan tidak pernah ada keributan disana. Orang-Orang yang tadi berkerumun telah kembali ke urusan masing-masing. Ada yang kembali k
"Jangan berbuat sekasar itu! Kelewatan!" bentak lelaki yang tiba-tiba saja muncul itu terdengar berdesis bagaikan ular cobra yang siap menyemburkan bisanya. Suasana yang tadi riuh dan panas mendadak sunyi serta mencekam. Semua mata tertuju ke arah Sarmini dan lelaki asing yang terlihat bertatapan disertai pertentangan bathin. "Siapa kamu?" tanya Sarmini juga mendesis. Matanya menyipit dan ia berusaha melepaskan tangannya yang masih dicengkram lelaki dihadapannya tersebut. Namun si lelaki asing semakin memperkuat cengkramannya hingga Sarmini makin meringis. "Siapa aku tidaklah penting. Tapi jika kamu masih menyakiti Amelia, maka aku akan selalu muncul. Ingat itu!" ancam si lelaki tersebut lalu melemparkan tangan Sarmini ke samping. "Siapa laki-laki ini? Ia sangat tampan dan masih muda. Jangan-jangan dirinya adalah adik kandung Amelia." hati Sarmini bertanya-tanya seraya memandangi lelaki yang baru saja melepaskan cengkraman ditangannya. "Tapi mengapa ia terlihat seperti mencintai
Hari itu Amelia tidak datang ke kantor polisi untuk menemui Mois. Kabar dari rumah sakit membuat Amelia harus membatalkan rencananya untuk menemui calon suaminya yang sudah lima hari mendekam di dalam tahanan tersebut. Kasus Mois akan segera naik ke persidangan jika berita acara sudah dianggap sempurna. Dengan bergegas Amelia berjalan di koridor rumah sakit tempat Haris mendapat perawatan. Di sana sudah ada Wirna yang juga terlihat menunggu resah. "Ami!" sapa Wirna langsung menyambut kedatangan Amelia dengan sikap mesra. Ia kembali merengkuh bahu wanita itu dan berjalan bersama menuju ruang dokter. "Bagaimana keadaan Haris, Bi?" tanya Amelia cemas. Entah karena hatinya telah mencair terhadap Wirna atau hanya terbawa keadaan saja, tapi yang jelas sikap Amelia sangat jauh melunak kini terhadap Wirna. Mereka terlihat sangat kompak dan akur bahkan sepintas terlihat mesra layaknya seperti dulu sebelum mereka berpisah. "Ayolah kita ke ruangan Dokter! Abi juga belum sampai kesana. Tadi p
Pintu ruang tahanan terbuka lebar. Mois dikawal menuju sebuah ruangan tempat ia diizinkan untuk menerima tamu. "Pasti Amelia yang datang." terka hati Mois dengan menyunggingkan senyum bahagia dibibirnya. Dirinya sangat merindukan wanita yang dicintanya itu. "Silahkan!" ucap petugas polisi yang mengantar Mois ke ruang khusus tersebut. "Terima kasih!" sahut Mois mengangguk sopan. Pintu segera ditutup si petugas dan terdengar bunyi dari lubang kunci tanda pintu tersebut dikunci sang petugas dari luar. Mois membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sepasang kursi tamu yang ada di dalam ruang yang tidak begitu besar itu. Disana hanya ada dua buah kursi dengan posisi berhadapan yang dibatasi oleh sebuah meja yang tidak begitu lebar. Agak tercenung Mois melihat seorang wanita yang duduk menunggunya disana. Wanita itu bukan Amelia yang ia kira, tapi seorang perempuan bertubuh ramping dan terlihat lebih muda. Rambutnya tergerai indah berwarna coklat coca-cola. Bergegas Mois mendekat dan l
Sirene ambulan meraung memecah terik panas matahari sore itu. Tubuh kecil Haris tergolek tidak berdaya di atas bangsal ambulan tersebut. Pakaian yang membungkus tubuhnya sebagian besar telah dibasahi darah. Bau anyir memenuhi kabin bagian belakang mobil penyelamat yang terus melaju kencang membelah keramaian jalan. "Haris..., bangun Nak..! Bapak tidak mau melihatmu seperti ini, huhuhu.." Wirna tiada hentinya meratapi nasib malang yang menimpa putra sulungnya tersebut. Ia tertunduk lesu di samping kanan bangsal tempat tubuh Haris tergolek lemah dan tak sadarkan diri. Tidak berbeda dengan Wirna, Amelia juga melakukan hal yang sama. Wanita yang sudah menganggap Haris seperti anak kandungnya itu tiada hentinya menangis. Ia terduduk lesu disebelah kiri Haris. Amelia tidak sanggup lagi berkata-kata, hanya seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Ada rasa penyesalan mengapa ia tidak menyadari dari semula kalau pembicaraannya dengan Wirna akan di dengar Haris dan akan membuat bocah polos
"Duduklah Kang!" Amelia mempersilahkan Wirna yang masih berdiri kaku. Mereka seperti orang baru kenal saja. "Iya!" sahut Wirna singkat kemudian duduk di sebuah sofa di ruang tamu rumah Amelia. Amelia juga melakukan hal yang sama. Ia menduduki sebuah sofa yang posisinya berhadapan dengan Wirna. Diantara mereka berdua dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang tidak begitu lebar. Beberapa detik berlalu begitu saja. Belum ada yang memulai untuk bicara. "Aku sangat senang melihatmu sudah sembuh sekarang, Kang. Dan aku mohon maaf atas semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Mois terhadapmu." akhirnya Amelia bicara juga dan memecah kebuntuan diantara mereka berdua. Ucapan Amelia yang kaku membuat wajah Wirna memerah. Tampaknya ia sangat tidak suka dengan kalimat yang diucapkan oleh Amelia. Bukan kalimat itu yang ia harapkan keluar dari bibir Amelia. "Aku...? Kang..? Sejak kapan Ami memanggil Abi seperti itu? Sejak Ami sudah pandai berselingkuh dengan lelaki jahanam itu, hah?" hardik Wirn