Setelah Kang Wirna berlalu, aku duduk bersantai di teras rumah. Tiba-tiba aku teringat sahabatku Risma dan aku ingin menelponnya untuk memberi tahu bahwa aku sudah kembali ke kota Batam dan sekaligus meminta maaf karena tidak sempat mampir ke rumahnya selama aku berada di Jakarta. Aku langsung menghubungi Risma dengan video call.
“Haloo... Assalamualaikum!” jawab Risma. Wajahnya langsung menyembul di layar ponselku.“Halo Ris, apa kabar?”“Kabar baik, kamu gimana? Kok lama tidak ada kabar? Aku menghubungimu sampai ratusan kali tapi tidak pernah nyambung. Kamu sengaja offline apa gimana, Un?” Baru aku bertanya kabar tapi Risma sudah merepet panjang lebar. “Ponselku meninggal?” jawabku sederhana.“Hah? Ponsel meninggal? Bahasa dari mana itu?” teriaknya menatapku geli dari balik layar ponselku.“Bahasaku lah...” jawabku ber-acuh ria.“Trus sekarang hidup lagi atau sudah lahir ponsel baru?” tanya Risma mengikuti gaya bicara konyolku dan seSelesai sholat Magrib dilanjutkan dengan sedikit membaca ayat suci Al quran. Setelah itu aku merengsek ke kamar Dean untuk melihat keadaan istana anak bujangku itu. Sudah dapat kupastikan kamarnya pasti berantakan karena akhir-akhir ini Dean cukup sibuk bekerja dan tentunya dirinya tidak punya waktu untuk beres-beres.Ternyata dugaanku benar. Beberapa pakaian Dean tergantung di belakang pintu dan ketika kuciumi satu persatu, aku harus mengerutkan keningku karena bau tak sedap menerpa penciumanku.“Hm, Anak ini.. sudah bujang tapi masih kayak anak kecil. Baju aja mesti dirapiin Mak.” Aku ngedumel panjang pendek tapi tetap membereskan kamarnya.Tidak begitu lama, kamar Dean sudah terlihat sangat rapih dan kinclong. Aku menghela nafas puas dan membayangkan ciuman tanda terima kasih dari anakku yang hampir berumur 20 tahun itu. Ia dan kedua adik-adiknya sangat manja kepadaku. Udah besar masih suka cium-cium pipiku. Bagi mereka bertiga aku adalah segalany
Malam itu aku merenung sendiri. Sengaja kumatikan ponselku agar tidak ada kabar yang mengganggu kesendirianku itu. Aku memikirkan apa-apa yang telah terjadi kepada diriku akhir-akhir ini. Aku merenung sendiri sampai malam semakin dalam.Ada apa ini?Perlakuan Kang Wirna yang semakin hari semakin bertambah perhatian kepadaku, pendapat Risma, bau wangi tubuh Kang Wirna yang kurasa tidak seperti biasanya, dan sifat Dean yang kini malah lebih terbuka. Bahkan Dean kemarin berkata kepadaku, “Mama kalau mau menikah lagi kami tidak keberatan. Kami tidak ingin melihat Mama selalu sendiri. Sebaik-baik wanita adalah wanita yang memiliki suami di sampingnya.”Ohh, kok tiba-tiba dia berpikiran begitu? Apakah karena proses kedewasaan atau memang kasihan melihatku yang memang selalu menyendiri di rumah.Aku memang tipe orang yang mungkin saja boleh dikatakan kurang bergaul. Main ke rumah tetangga bukanlah hobiku. Malah itu seperti menjadi pantangan dalam hidup
Kang Wirna terlihat memperbaiki posisi duduknya sekaligus membuang kegugupannya. Aku tahu itu karena aku melihatnya dengan nyata.Ibu yang punya warung datang disertai anak gadisnya. Si Ibu membawa sebuah nampan berisi dua piring nasi lengkap dengan lauk dan sayuran, lalu si Anak dengan cekatan menurunkan piring-piring nasi tersebut dan meletakkan di atas meja persis di hadapan kami berdua.“Terima kasih!” gumamku sambil sedikit menganggukkan kepala serta memberikan senyuman.“Mari!” jawab si Ibu dan si Gadis kecil kembali melempar senyum kepadaku. Lalu mereka berdua berlalu dari hadapanku.Kedatangan kedua pemilik warung telah membantu Kang Wirna untuk mengurangi sedikit rasa groginya. Sekarang ia terlihat sedikit lebih santai dan rilek.“Ayo makan Bu! Udah siang, pasti Ibu lapar.” ucap Kang Wirna sambil mengangsur piring berisi nasi dan sepotong gulai ayam beserta sayuran kepadaku.“Yah!” sahutku sembari
“Maukah Ibu menikah denganku..?”Kalau ada hantu lewat saat itu tidak akan membuat aku terkejut seperti saat ini. Beberapa kali aku menelan ludah untuk mengelabui rasa galau dan kacau balau dalam otakku.Kalau orang lain yang mengatakan itu kepadaku tentu aku masih bisa bersitenang diri. Namun ini Kang Wirna.. yah Wirna tepatnya begitu aku memanggilnya saat itu. Lelaki yang sekitar 8 bulan aku kenal dan kuanggap seperti keluarga sendiri, tapi ternyata menaruh hati kepadaku. Apakah ini wujud dari jawaban atas doa-doaku...? Oh no... Don't think like that. It's not my hopeness.“Bagaimana Bu? Apakah Ibu bersedia?”Dengan beraninya ia mengejar jawaban dariku.“Pernikahan itu bukan hal yang mudah, Dik. Lagian walau pun kita sudah lama kenal, aku belum tahu benar siapa kamu sesungguhnya. Apakah kamu punya istri atau tidak aku selama ini tidak pernah menanyakan padamu bukan?”Kulihat Kang Wirna mengelus-elus pipinya. L
Setelah sholat magrib aku berusaha meleburkan segala rasa yang aku punya dalam doa. Aku meminta petunjukNYA, atas pinangan Kang Wirna.“Ya Allah, jika ini baik untukku maka lancarkanlah ya Allah. Namun jika ini buruk, tolong hentikanlah Ya Allah. Sungguh hamba tidak tahu apa-apa yang lebih Engkau ketahui. Aamiin.”Malam itu kembali kumatikan ponselku untuk mencari ketenangan dalam jiwaku. Jujur, entah mengapa, aku merasa ada yang perlahan berubah dalam diriku. Aku mulai memikirkan Kang Wirna dan mulai pula merinduinya. Hatiku yang selama ini sudah tertutup rapat kini perlahan terbuka. Apakah karena pinangan Kang Wirna yang langsung ia ucapkan kepadaku..? Hm, entahlah. Yang jelas, sosoknya yang biasa ku anggap anak kecil kini sudah menjadi pribadi yang sempurna di mataku. Bahkan aku tidak melihat sedikit pun kekurangan pada diri Kang Wirna. Aduuh.. gawat ini..!Namun aku tidak mau menuruti begitu saja hatiku yang mulai hanyut dalam godaan asmara. Aku tidak
Hari-hari merangkak dengan begitu indah. Cinta Kang Wirna yang begitu nyata membuat hidupku bagaikan mengembara di kebun bunga yang bermekaran dan bermandikan keharuman.Hilang sudah ingatanku kepada pendapat Risma yang langsung ku masukkan ke dalam daftar pendapat yang ngawur. Mana mungkin Kang Wirna mendapatkan aku dengan cara main pelet! Lha, buktinya Kang Wirna teramat sangat mencintai aku walau pun umurku lebih tua darinya 10 tahun. Bahkan, tidak henti-hentinya Kang Wirna mengucapkan rasa syukurnya karena telah berhasil menikahi aku. Aku rasa ini adalah cinta yang alami.“Rasanya Abi seperti bermimpi, Mi.” ucapnya di suatu malam dengan memiringkan wajahnya menghadap ke wajahku. Satu tangannya lagi digunakan untuk membelai rambutku.“Mimpi apa, Bi? Mimpi buruk..?” jawabku sambil tersenyum menggodanya.“Aah Ami ini lah. Kok mimpi buruk. Ya mimpi indahlah.” sahutnya dengan manja.“Abi tidak menyangka bisa menikahi Ami.” Ia menahan nafas dan sedikit menarik senyum puas. “banyak yang s
Tidak terasa sudah 3 bulan aku menjelajahi bahtera rumah tangga dengan Kang Wirna. Hari-hariku selalu bahagia dan penuh bakti kepadanya. Aku yang ia temui sebagai istrinya tidak sama dengan yang ia kenal sebelumnya. Kalau biasanya aku berbicara tegas dan menjaga jarak ucapan dan perbuatan, kini aku adalah wanita yang penuh kasih sayang dan bahkan manja. “Abi sungguh tidak menyangka sama sekali Mi.” ucapnya ketika aku baru saja mencium punggung tangannya seusai sholat magrib berjamaah dengannya. Setelah mengucapkan kalimat itu seperti biasa ia mencium kedua belah pipiku bertubi-tubi.“Nggak nyangka apa, Bi?” tanyaku masih duduk bersimpuh di hadapannya yang memiringkan tubuh ke belakang setelah menjadi Imam dalam sholat magrib waktu itu.Hmm..Kini Kang Wirna benar-benar menghadap ke belakang dengan bersila. Kami berhadap-hadapan sangat rapat hingga ujung lututku menyentuh batang kakinya yang bersila.“Ami ternyata sangat lembut... Manja.. bahkan kayak anak kecil.” ucapnya menangkup w
Rasa kecewa dan tanda tanya besar selalu menghantui hidupku semenjak pertanyaanku tidak dijawab oleh Kang Wirna suamiku. Aku lebih sering murung. Hal itu ternyata menjadi perhatian bagi Kang Wirna.“Sayang..!” “Ya Bi..?” jawabku sambil terus memijit punggungnya. Kang Wirna menelungkup di atas kasur dan aku menduduki kedua pahanya yang terbalik sembari tanganku terus memijit bahu dan punggungnya dengan menggunakan hand body lotion sebagai pelumasnya.“Ami kok tidak seperti biasa?" tanya Kang Wirna dengan wajah menempel ke bantal.Aku diam sejenak untuk mempertimbangkan tindakanku selanjutnya. Aku tidak mau gegabah yang akan mengakibatkan rumah tanggaku yang masih seumur jagung ini berantakan.“Miii...” “Ya Bi..!”“Jawab sayang...!” Kembali Kang Wirna bertanya.“Ami tak bahagia Bi.” jawaban itu meluncur saja dari bibirku.Spontan Kang Wirna membalikkan badannya namun menahan tubuhku agar tidak berpindah. Aku ikut meringankan badan agar Kang Wirna tidak merasa berat untuk membalikkan