Tidak terasa sudah 3 bulan aku menjelajahi bahtera rumah tangga dengan Kang Wirna. Hari-hariku selalu bahagia dan penuh bakti kepadanya. Aku yang ia temui sebagai istrinya tidak sama dengan yang ia kenal sebelumnya. Kalau biasanya aku berbicara tegas dan menjaga jarak ucapan dan perbuatan, kini aku adalah wanita yang penuh kasih sayang dan bahkan manja. “Abi sungguh tidak menyangka sama sekali Mi.” ucapnya ketika aku baru saja mencium punggung tangannya seusai sholat magrib berjamaah dengannya. Setelah mengucapkan kalimat itu seperti biasa ia mencium kedua belah pipiku bertubi-tubi.“Nggak nyangka apa, Bi?” tanyaku masih duduk bersimpuh di hadapannya yang memiringkan tubuh ke belakang setelah menjadi Imam dalam sholat magrib waktu itu.Hmm..Kini Kang Wirna benar-benar menghadap ke belakang dengan bersila. Kami berhadap-hadapan sangat rapat hingga ujung lututku menyentuh batang kakinya yang bersila.“Ami ternyata sangat lembut... Manja.. bahkan kayak anak kecil.” ucapnya menangkup w
Rasa kecewa dan tanda tanya besar selalu menghantui hidupku semenjak pertanyaanku tidak dijawab oleh Kang Wirna suamiku. Aku lebih sering murung. Hal itu ternyata menjadi perhatian bagi Kang Wirna.“Sayang..!” “Ya Bi..?” jawabku sambil terus memijit punggungnya. Kang Wirna menelungkup di atas kasur dan aku menduduki kedua pahanya yang terbalik sembari tanganku terus memijit bahu dan punggungnya dengan menggunakan hand body lotion sebagai pelumasnya.“Ami kok tidak seperti biasa?" tanya Kang Wirna dengan wajah menempel ke bantal.Aku diam sejenak untuk mempertimbangkan tindakanku selanjutnya. Aku tidak mau gegabah yang akan mengakibatkan rumah tanggaku yang masih seumur jagung ini berantakan.“Miii...” “Ya Bi..!”“Jawab sayang...!” Kembali Kang Wirna bertanya.“Ami tak bahagia Bi.” jawaban itu meluncur saja dari bibirku.Spontan Kang Wirna membalikkan badannya namun menahan tubuhku agar tidak berpindah. Aku ikut meringankan badan agar Kang Wirna tidak merasa berat untuk membalikkan
Seminggu sudah aku mendapat kebebasan untuk mengutak-atik ponsel suamiku, aku tidak menemukan hal-hal yang mencurigakan di sana. Namun foto profil di whatsaap suamiku membuat diriku kurang nyaman. Yah, tidak nyaman jika foto profil itu hanya menampilkan gambar sebuah laptop. Mengapa bukan foto kami berdua? Sedangkan aku telah merubah foto profil semua laman medsosku dan semua aplikasi komunikasiku. Bahkan aku juga mengubah status lajang menjadi nikah dilaman informasi facebookku. Banyak foto kami berdua yang aku share di sana. Itu aku lakukan agar hubunganku dengan Kang Wirna tidak menjadi rahasia. Namun Kang Wirna tidak melakukan itu walau sudah lebih dari tiga bulan kami menikah.Ingin aku mengganti foto profil di whaatsaap Kang Wirna, namun aku tidak mau lancang tanpa meminta izin dulu kepadanya. Aku harus meminta izin dulu kepada Kang Wirna sebelum aku melakukan itu semua.“Bi, kok foto profil Abi gambar laptop? Mengapa tidak gambar kita berdua?”Kutanyakan itu kepadanya setelah ka
‘Bodoh’Kata itu pasti ditujukan untuk Kang Wirna. Rasanya tidak pantas seorang adik bicara sekasar itu kepada kakaknya sendiri. Apa pun kesalahan yang dilakukan oleh Kang Wirna. Apa pun itu Kang Wirna adalah kakak kandungnya. Apalagi menyangkut urusan pribadi Kang Wirna sendiri. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tapi aku memaklumi, "lain orang tua dan lingkungan tentu lain pula karakter manusia yang dihasilkan" pikirku.Aku mempunyai sembilan orang kakak karena aku adalah anak bungsu, belum sekali pun aku berani mengucapkan kata sekasar itu kepada kakak-kakakku. Kalau aku marah aku memilih untuk diam. Terutama untuk urusan pribadi kami diajarkan untuk tidak ikut campur, baik itu ke atas mau pun ke bawah. Kita semua sudah dewasa berhak menentukan sikap sendiri tanpa didikte keluarga bahkan orang tua. Itu versi didikan keluargaku.Tapi okelah, itu urusan keluarga mereka. Aku tidak mau komentar banyak.Kini aku mulai mencium ada yang tidak beres dengan semua ini. Kang Wirna mengaku kep
“Kalau sedang marah istri tidak segan-segan membuka pintu kebun binatang dan menyebut nama hewan itu satu persatu yang ditujukan kepada suaminya. Suaminya... Yah . Suaminya... Anak laki-laki orang yang bekerja demi kesenangan hidupnya.” tandas Kang Wirna agak sedikit berapi-api.Aku termenung mendengar penuturan Kang Wirna. Memang ada benarnya juga. Banyak dari istri yang kurang memperhatikan dan melayani suaminya dengan baik dan tulus. Saat suaminya mulai berpaling, istri akan marah besar dan menuding wanita yang telah membuat suaminya jatuh cinta adalah pelakor. Padahal suami juga butuh perhatian dan kasih sayang. Ujung-ujungnya anaklah yang jadi korbannya bahkan dijadikan senjata ampuh yang mematikan untuk memaksa suaminya kembali. Namun, banyak pula para suami yang memiliki istri baik namun tetap selingkuh hanya karena melihat bokong perempuan lain lebih bahenol. Ia lupa kalau istrinya di rumah tidak sempat berdandan karena mengurus dirinya dan anak-anak hasil kerja sama mereka.
Debar jantungku terasa lebih cepat. Jemari tanganku menggigil. Kenyataan buruk bagaikan sesosok hantu besar dan hitam seakan telah berdiri nyata di hadapanku. Aku yakin bahwa aku akan kehilangan Kang Wirna. Mengingat itu tanganku terasa lunglai. Ponselku jatuh ke lantai seiring dua tetes air mata jatuh di pipiku.Cukup lama aku tergugu...Ting ...Notifikasi ponselku berdenting. Kuhapus air mataku dan kupungut benda pipih yang tadi aku abaikan di lantai.Sebuah pesan masuk dari Tati. Kini ada empat pesan darinya yang belum aku buka.(Walaikumsalam)(Mbak siapanya Kang Wirna?)Dua pesan dikirim hampir bersamaan. Aku tahu Tati melihat foto profilku dengan Kang Wirna. Lima menit setelah itu Tati mengirim pesan lagi.(Suruh Kang Wirna nelp Emak. Emak ada di rumah sakit)Tiga pesan tersebut dikirim beberapa jam yang lalu. Saat itu aku sedang berbicara dengan Kang Wirna di kamar.(Mbak)Pesan terakhir berumur lima menit.Kuputuskan untuk membalas pesan itu. Apa pun yang akan terjadi terjadil
“Aduuuh Miii...! Sakiiit...!” teriak Kang Wirna mengelus betisnya bekas cubitanku.“Kalau sakit, duduk!” sahutku seraya memerintah dan mengerlingkan mataku kepadanya.Bagaikan anak kecil Kang Wirna segera duduk dan membuka mulutnya. Kuberikan suapan terakhir dan aku bersiap untuk berdiri lalu bergegas menuju dapur.“Allahu Akbar Allahu Akbar...!”Suara adzan dzuhur bergema dari mesjid yang tidak jauh dan tidak terlalu dekat dari rumah kontrakan kami yang sederhana namun penuh cinta.Kuletakkan piring di dalam baskom yang biasa kuperuntukkan untuk mengumpulkan piring kotor. Sekarang hanya satu piring saja yang baru berada di sana yaitu piring bekas makan Kang Wirna.Ketika aku menundukkan kepalaku, tidak terasa air mata semakin deras menuruni pipiku. Luka dihati dan perpisahan yang sudah di ambang pintu membuat aku benar-benar gamang. Aku kini sangat mencintai Kang Wirna. Tidak sanggup rasanya aku kehilangan kasih sayangnya yang sangat manis namun ternyata mengandung racun yang sungguh
Sekonyong-konyong Kang Wirna kembali berdiri. Dipeluknya tubuhku dengan erat bahkan aku dibuatnya susah untuk bernafas.“Abi mencintai Ami. Sungguh...!!” diangkatnya wajahnya yang tadi ia tempelkan di leherku.“Kita selesaikan baik-baik ya Mi. Abi mohon, berilah Abi kesempatan terakhir untuk memperbaiki semuanya. Abi tahu kalau Abi salah telah membohongi Ami, tapi Abi memang tidak pernah lagi menganggap dia istri Abi. Kalau toh ada Abi menelpon kepadanya, itu hanya untuk berbicara dengan anak-anak Abi saja.” Panjang lebar Kang Wirna berusaha meyakinkanku.“Sudah....?” tanyaku dingin.“Miii...!”“Minggir!” teriakku sambil mendorong dada Kang Wirna. Kembali Kang Wirna terjajar. Pelukannya terlepas. Kini aku bebas untuk mengemasi barang-barangku. Aku sibuk mondar-mandir keluar masuk kamar mengambil baju-bajuku. Aku hanya bermaksud membawa pakaianku saja. Barang-barang yang lain walaupun itu milikku, biarlah dipakai oleh Kang Wirna. Toh dirinya tidak punya apa-apa selain beberapa pasang b
"Apa-apaan sih kamu, Wirna..?? Dasar laki-laki tak berguna!" teriak Sarmini langsung mendorong tubuh Wirna hingga laki-laki itu hilang keseimbangan dan jatuh ke tanah. Sarmini naik pitam lalu memungut sepotong kayu yang kebetulan ada ditempat itu lalu ia mengayunkan kayu itu ke kepala Wirna. "Plaaak...!"Kayu tersebut mendarat dengan keras namun bukan mengenai kepala Wirna tapi malah menghantam bahu Amelia yang lebih dulu menjatuhkan diri memeluk dan melindungi tubuh Wirna yang tak berdaya di tanah hingga pukulan Sarmini mengenai bahunya. "Oough..!" Amelia mengaduh tertahan. "Amii..! Oh ...!" Wirna berteriak keras lalu segera bangkit sembari memeluk tubuh Amelia dan mengusap bahu wanita yang ia cintai itu. Lalu dengan mata membesar ia menatap Sarmini yang masih mengayun-ayunkan sepotong kayu ditangannya. "Apa sih kamu? Segitu kasarnya tak punya perasaan!" bentak Wirna sambil menunjuk wajah Sarmini. Beberapa orang yang sudah berkerumun di tempat itu mulai bergerak melerai dan sala
Kematian Haris membuat Wirna sangat terpukul. Ia tidak hentinya menyalahkan diri sendiri. Hal itu membuat Amelia menjadi iba. Bagaimana pun mereka berdua pernah saling mencintai walau hanya delapan bulan saja berumah tangga. Namun kasih sayang bukanlah tergantung lama atau singkatnya tempo bersama. Walau Amelia sudah tidak lagi mencintai Wirna, namun ia masih menyayangi layaknya kepada insan yang tengah ditimpa musibah. "Sudahlah! Jangan menangis lagi. Haris sudah tenang di alamnya." bisik Amelia lirih. Ia berdiri disamping Wirna yang masih berjongkok di sisi tanah yang masih berwarna merah yang telah mengubur jasad Haris. "Pergilah dan tinggalkan aku sendiri!" sahut Wirna juga lirih namun terdengar jelas oleh Amelia. Suara itu benar-benar mengandung luka yang dalam. "Baiklah, aku akan pergi!" sahut Amelia lalu memutar tubuh perlahan dan mulai melangkah meninggalkan pusara Haris dan tanpa ia sadari Sarmini mengikutinya dari belakang. "Kau benar-benar telah berhasil menghancurkan
"Bapak.. Ibu.." tersendat dan terbata-bata Haris memanggil Wirna dan Sarmini yang berada di samping tempat tidurnya. Kedua orang tuanya itu juga menangis sangat sedih menyaksikan penderitaan anak sulung mereka. "Haris, maafkan Bapak. Bapak yang bersalah Haris. huhuhu..." Wirna menggenggam kadang membelai tangan kanan Haris. Lelaki itu terlihat sangat terpukul didera penyesalan yang tiada berguna. Dalam hati ia yakin kalau apa yang terjadi kepada Haris saat ini adalah tebusan sumpah yang pernah ia ucapkan sendiri. Sementara itu mata Haris hanya memandang kosong ke arah kedua orang tuanya secara bergantian. Sedangkan Sarmini mengelus lengan kiri Haris yang cacat. Hati ibu mana yang tidak teriris melihat putranya tak berdaya dan tergolek penuh luka. Kepala Haris diperban dengan selang terpasang dihidung dan beberapa peralatan medis lainnya yang menempel ditubuh kecil Haris. 'Pak, Bu. Berhentilah bertengkar. Setelah Haris pergi, tolong jaga Riski sebaik mungkin. Haris lelah dan ingin
Kepergian Mois membawa Amelia meninggalkan rumah sakit meninggalkan kekesalan dan kekecewaan di hati Salma. Entah sudah berapa kali wanita muda itu memaki-maki sendiri. "Nggak abis pikir deh sama pikiran Bang Mois. Kok dia malah lebih tertarik kepada perempuan tua itu dibanding aku yang jauh lebih muda dan lebih cantik. Huh..! Dunia sekarang emang makin edan, makin banyak saja lelaki muda yang lebih memilih pasangan lebih tua. Haah... gagal sudah usahaku untuk mendapatkan Bang Mois. Padahal aku sudah menyukainya sejak pertama bertemu di saat persiapan pesta pernikahanku dengan Mas Farzan empat tahun lalu. Andaikan aku lebih dulu mengenal Bang Mois tentu aku akan menolak ajakan Mas Farzan untuk menikah." Salma terus saja mengoceh dan bersungut-sungut di pojok sebuah ruangan rumah sakit yang mulai tenang. Tidak ada lagi gerombolan orang-orang berkerumun seakan tidak pernah ada keributan disana. Orang-Orang yang tadi berkerumun telah kembali ke urusan masing-masing. Ada yang kembali k
"Jangan berbuat sekasar itu! Kelewatan!" bentak lelaki yang tiba-tiba saja muncul itu terdengar berdesis bagaikan ular cobra yang siap menyemburkan bisanya. Suasana yang tadi riuh dan panas mendadak sunyi serta mencekam. Semua mata tertuju ke arah Sarmini dan lelaki asing yang terlihat bertatapan disertai pertentangan bathin. "Siapa kamu?" tanya Sarmini juga mendesis. Matanya menyipit dan ia berusaha melepaskan tangannya yang masih dicengkram lelaki dihadapannya tersebut. Namun si lelaki asing semakin memperkuat cengkramannya hingga Sarmini makin meringis. "Siapa aku tidaklah penting. Tapi jika kamu masih menyakiti Amelia, maka aku akan selalu muncul. Ingat itu!" ancam si lelaki tersebut lalu melemparkan tangan Sarmini ke samping. "Siapa laki-laki ini? Ia sangat tampan dan masih muda. Jangan-jangan dirinya adalah adik kandung Amelia." hati Sarmini bertanya-tanya seraya memandangi lelaki yang baru saja melepaskan cengkraman ditangannya. "Tapi mengapa ia terlihat seperti mencintai
Hari itu Amelia tidak datang ke kantor polisi untuk menemui Mois. Kabar dari rumah sakit membuat Amelia harus membatalkan rencananya untuk menemui calon suaminya yang sudah lima hari mendekam di dalam tahanan tersebut. Kasus Mois akan segera naik ke persidangan jika berita acara sudah dianggap sempurna. Dengan bergegas Amelia berjalan di koridor rumah sakit tempat Haris mendapat perawatan. Di sana sudah ada Wirna yang juga terlihat menunggu resah. "Ami!" sapa Wirna langsung menyambut kedatangan Amelia dengan sikap mesra. Ia kembali merengkuh bahu wanita itu dan berjalan bersama menuju ruang dokter. "Bagaimana keadaan Haris, Bi?" tanya Amelia cemas. Entah karena hatinya telah mencair terhadap Wirna atau hanya terbawa keadaan saja, tapi yang jelas sikap Amelia sangat jauh melunak kini terhadap Wirna. Mereka terlihat sangat kompak dan akur bahkan sepintas terlihat mesra layaknya seperti dulu sebelum mereka berpisah. "Ayolah kita ke ruangan Dokter! Abi juga belum sampai kesana. Tadi p
Pintu ruang tahanan terbuka lebar. Mois dikawal menuju sebuah ruangan tempat ia diizinkan untuk menerima tamu. "Pasti Amelia yang datang." terka hati Mois dengan menyunggingkan senyum bahagia dibibirnya. Dirinya sangat merindukan wanita yang dicintanya itu. "Silahkan!" ucap petugas polisi yang mengantar Mois ke ruang khusus tersebut. "Terima kasih!" sahut Mois mengangguk sopan. Pintu segera ditutup si petugas dan terdengar bunyi dari lubang kunci tanda pintu tersebut dikunci sang petugas dari luar. Mois membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sepasang kursi tamu yang ada di dalam ruang yang tidak begitu besar itu. Disana hanya ada dua buah kursi dengan posisi berhadapan yang dibatasi oleh sebuah meja yang tidak begitu lebar. Agak tercenung Mois melihat seorang wanita yang duduk menunggunya disana. Wanita itu bukan Amelia yang ia kira, tapi seorang perempuan bertubuh ramping dan terlihat lebih muda. Rambutnya tergerai indah berwarna coklat coca-cola. Bergegas Mois mendekat dan l
Sirene ambulan meraung memecah terik panas matahari sore itu. Tubuh kecil Haris tergolek tidak berdaya di atas bangsal ambulan tersebut. Pakaian yang membungkus tubuhnya sebagian besar telah dibasahi darah. Bau anyir memenuhi kabin bagian belakang mobil penyelamat yang terus melaju kencang membelah keramaian jalan. "Haris..., bangun Nak..! Bapak tidak mau melihatmu seperti ini, huhuhu.." Wirna tiada hentinya meratapi nasib malang yang menimpa putra sulungnya tersebut. Ia tertunduk lesu di samping kanan bangsal tempat tubuh Haris tergolek lemah dan tak sadarkan diri. Tidak berbeda dengan Wirna, Amelia juga melakukan hal yang sama. Wanita yang sudah menganggap Haris seperti anak kandungnya itu tiada hentinya menangis. Ia terduduk lesu disebelah kiri Haris. Amelia tidak sanggup lagi berkata-kata, hanya seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Ada rasa penyesalan mengapa ia tidak menyadari dari semula kalau pembicaraannya dengan Wirna akan di dengar Haris dan akan membuat bocah polos
"Duduklah Kang!" Amelia mempersilahkan Wirna yang masih berdiri kaku. Mereka seperti orang baru kenal saja. "Iya!" sahut Wirna singkat kemudian duduk di sebuah sofa di ruang tamu rumah Amelia. Amelia juga melakukan hal yang sama. Ia menduduki sebuah sofa yang posisinya berhadapan dengan Wirna. Diantara mereka berdua dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang tidak begitu lebar. Beberapa detik berlalu begitu saja. Belum ada yang memulai untuk bicara. "Aku sangat senang melihatmu sudah sembuh sekarang, Kang. Dan aku mohon maaf atas semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Mois terhadapmu." akhirnya Amelia bicara juga dan memecah kebuntuan diantara mereka berdua. Ucapan Amelia yang kaku membuat wajah Wirna memerah. Tampaknya ia sangat tidak suka dengan kalimat yang diucapkan oleh Amelia. Bukan kalimat itu yang ia harapkan keluar dari bibir Amelia. "Aku...? Kang..? Sejak kapan Ami memanggil Abi seperti itu? Sejak Ami sudah pandai berselingkuh dengan lelaki jahanam itu, hah?" hardik Wirn