Entah berapa lama aku tertidur. Saat kubuka mataku kulihat Kang Wirna sedang khusuk berdoa di atas sejadah di ruang tamu yang kami jadikan tempat sholat berjamaah berdua.“Oh, sudah Ashar..!” gumamku yang teringat bahwa aku baru menunaikan sholat dzuhur tadinya. Aku berusaha turun dari kasur yang berlapis dua sehingga agak tinggi. Tempat tidur kami hanya dua batang spring bed ukuran lajang yang aku lapiskan. Itu cukup buat kami tidur berdua karena tubuh suamiku tidaklah besar. Kang Wirna tidak mau jika kedua spring bed itu aku susun sejajar agar lapang. Selain karena kamar kami sempit, Kang Wirna bilang, “jika kasurnya kecil kita akan tidur berdempetan terus. Abi nggak bisa jauh-jauh dari Ami.”Ya sudahlah. Kekurangan ekonomi yang kami miliki malah kami manfaatkan untuk mengambil kebahagiaan. Intinya kami mensyukuri apa pun keadaan kami.“Eh, Ami sudah bangun.” Kang Wirna menyapa dari ruang tamu. Kulihat tidak ada lagi koperku di ruang tamu itu. Semua sudah rapi. Aku yakin Kang Wirna p
Kugeliatkan tubuhku di atas kasur dan kurasakan tubuhku mulai terasa segar. Aku ingin pipis dan perlahan aku bangkit lalu berjalan ke kamar mandi. Setelah melepas hajat kecil yang tadi menyakitkan perutku, kini sudah semakin sangat lega kurasa.Aku duduk di ruang tamu yang hanya beralaskan karpet plastik tipis dan tidak memiliki kursi tamu. Hanya duduk di lantai yang terasa cukup dingin.Dari teras rumah aku dengarkan Kang Wirna terus bercakap-cakap dengan memakai bahasa daerah. Aku mencoba mencari tahu arti ucapan-ucapannya melalui nalarku.Aku tidak mengerti sama sekali.Namun dari intonasi yang aku dengarkan, sepertinya Kang Wirna tengah memberikan pengertian kepada seseorang. “Apakah Kang Wirna sedang berbicara dengan istrinya?” Hatiku terbakar cemburu namun aku berusaha menenangkan diriku. Kubiarkan saja masalah ini berjalan seperti air mengalir. Ke manakah muaranya? Kita lihat saja nanti, begitulah kesimpulanku.Kulihat jam dinding telah menunjukkan pukul sepuluh malam hari. Da
“Nih kopinya, Bi!” ujarku dengan intonasi melunak sambil menyodorkan secangkir kopi yang masih berasap ke hadapan Kang Wirna. Ia duduk di lantai kamar sementara ponselnya yang ada di hadapannya sering terdengar bunyi notifikasi dan demikian juga dengan ponselku. Namun dari ponselku, aku yakin hanya pesan dari grup saja.“Ya Mi!” jawab Kang Wirna lalu meraih ponselnya. Tanpa melihat pesan masuk terlebih dahulu, ia menekan tombol off yang ada di sisi benda pipih itu.“Matikan saja biar tidak mengganggu. Ponsel Ami juga!” titahnya. Aku mengangguk dan langsung mematikan ponselku juga.“Ceritalah Bi. Sebenarnya kenapa sih kok kita bisa sampai menikah dengan sangat tiba-tiba. Padahal dulu kita kan sudah seperti saudara atau Kakak beradik.” ucapku membuka pembicaraan.Kang Wirna belum menjawab, ia hanya meniup uap kopi yang masih mengepul dari cangkir yang aku suguhkan kepadanya.“Ami terkadang merasa bersalah Bi. Gara-gara Ami, Abi harus berpisah dengan istri Abi. Kalau Ami tahu cerita yan
Bukankah Anak Abi cuma ada dua orang? Yang sulung bernama Haris dan kecil bernama Yoga?Kang Wirna mengangguk. “Benar! Sekarang cuma ada dua orang karena anak sulung Abi sudah meninggal. Ia meninggal ketika sedang lucu-lucunya. Baru pandai manggil ‘Bapak’.” ucap Kang Wirna dengan mata menerawang seakan mengumpulkan kenangan pahit di masa lalu. Bahkan aku lihat matanya berlinang.Ooh...Aku tercekat ikut pilu.“Anak Abi meninggal karena sakit yang tidak jelas. Sudah banyak rumah sakit yang kami datangi serta Dokter, namun tidak ada yang bisa menjelaskan anak Abi sakit apa.” lanjutnya.“Padahal...” Kang Wirna tercekat. “’Padahal itu adalah anak Abi satu-satunya saat itu.” Akhirnya Kang Wirna benar-benar menangis.Ooh...Aku makin tercekat pilu. Aku dapat merasakan kesedihan Kang Wirna karena kehilangan anaknya. Beberapa bulan bergaul dengan Kang Wirna aku bisa merasakan kalau Kang Wirna sebenarnya sangat menyayangi anak-anaknya. Namun kepada Sarmini istrinya, Kang Wirna seakan menaruh
Semenjak tersiar kabar Kang Wirna menikah denganku, di kampungnya mungkin sudah terjadi kegaduhan. Kang Wirna pun terlihat tidak nyaman. Namun di hadapanku ia berusaha bersikap tenang. Aku menunggu saja reaksi darinya. Aku memilih seperti tidak terlalu memikirkan hal itu.Ponsel Kang Wirna tidak lagi dikunci. Aku bebas melakukan apa saja di ponsel miliknya jika siang hari atau saat Kang Wirna ada di rumah. Namun aku masih menahan diri tidak terlalu over acting. Cukup melihat dan memperhatikan sikap Kang Wirna yang tampak gelisah.Pada suatu hari aku mengajak Kang Wirna bertamu ke rumah temanku karena ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan temanku itu. Beberapa menit berbincang dengan temanku, Kang Wirna permisi untuk membeli rokok. Satu jam lebih Kang Wirna belum juga kembali. Hatiku mulai curiga kalau dirinya menelepon Sarmini. Namun kemarahanku tidak kuperlihatkan di hadapan temanku.“Mungkin sepeda motor Kang Wirna mogok lagi.” Kataku kepada temanku setelah hampir dua jam aku m
“Begitulah ceritanya!” ujarku kepada Risma setelah aku selesai menceritakan semua kejadian-kejadian yang tengah terjadi dalam rumah tanggaku dengan Kang Wirna, kepada sahabatku Risma lewat pembicaraan video call siang itu. Kang Wirna sedang tidak berada di rumah, ia sedang menemui Siregar untuk meminjam uang kepada rentenir itu.Wajah Risma kulihat menegang. Aku tahu ia cukup terkejut mendengar ceritaku yang panjang lebar seperti yang diceritakan Kang Wirna kepadaku semalam.“Hm, aku melihatmu dengan Kang Wirna seakan datang dari dua dunia yang berbeda bahkan berlawanan arah.” Komentar Risma akhirnya terdengar juga setelah cukup lama ia merenung berdiam diri.Risma juga memanggil Kang Wirna dengan embel-embel ‘Kang’ walau umur Kang Wirna jauh di bawah usianya. Itu sebagai penghargaannya kepadaku, temannya. Kepada Kang Wirna, aku meminta ia menyapa Risma dengan panggilan ‘Kak’. Itu sebagai panggilan penghargaan kepada orang yang lebih tua, agar tercipta komunikasi yang saling mengharga
Di atas sebatang kayu tumbang aku duduk termenung. Sinar matahari yang sangat menyengat siang itu terhalang oleh daun pohon petai Cina yang tumbuh merimbun.“Ya Allah, apa yang harus aku lakukan dalam menjalani skenario yang telah engkau suguhkan ke jalan hidupku ini.” desahku dengan mata membasah.Untuk kehilangan Kang Wirna aku sungguh tidaklah sanggup. Kang Wirna adalah suami terbaik yang ada di muka bumi ini. Setidaknya itu menurutku.Kuingat kejadian sekitar sebulan yang lalu. Kala itu sekitar pukul sepuluh malam, kami pulang berziarah untuk sekedar membaca doa dan surat Yassin di pusara seorang syekh atau ulama yang sudah meninggal. Di tengah jalan kami harus berhenti karena ban belakang motor yang kami kendarai bocor. Kang Wirna menuntun sepeda motor sewaan itu dan aku membantu mendorong dari belakang.Sekitar lima belas menit mendorong sepeda motor tersebut, kami menemukan pondok kecil di pinggir jalan yang masih buka menerima jasa tempel ban. Kang Wirna segera menyerahkan sep
“Sudah kenyang, Bi?” tanyaku setelah nasi ludes di piringku.“Tambah Mi!” seru Kang Wirna.“Oh, Abi banyak makan sekarang. Pasti sebentar lagi badan Abi makin berisi dan makin tampan.” ucapku sambil memasukkan nasi dan lauk pauk serta sayur ke piring.Kang Wirna bangkit dan menuju kran air lalu mencuci tangannya. “Sekarang aja Abi sudah agak gemuk Mi! Kata teman-teman Abi, Abi makin bersih dan terurus.” Kang Wirna duduk kembali di atas dipan dan menjulurkan tangannya meminta piring yang aku pegang. Aku pikir Kang Wirna ingin melanjutkan makan sendiri dan aku menyerahkan piring itu kepadanya.“Oh, teman Abi bilang begitu ya? Syukurlah Bi.” sahutku sambil memperhatikan tangan Kang Wirna menjumput nasi dengan jari tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya menenteng piring.“Aak... Mi!” ujar Kang Wirna membuka mulutnya sendiri namun tangannya menyodorkan sesuap nasi ke mulutku. Ternyata ia memerintahkan aku membuka mulutku karena ia ingin gantian menyuapiku.Kupandangi wajahnya sejenak l