Hari selanjutnya aku mulai sibuk merancang sketsa cerita yang hendak aku buat. Aku ingin memulai dengan cerita seorang patriot yang berjiwa nasionalisme saja. Kalau cerita tentang cinta aku lihat sudah sangat banyak berserakan di setiap platform novel online.Namun memulai sebuah usaha tentu bukanlah hal yang mudah. Beberapa kali aku merasakan kecewa karena platform yang kuharap dapat mengubah nasibku ternyata tidak sesuai dengan harapanku.Tanpa putus asa aku terus mencari platform yang benar-benar bersahabat dan berlaku adil kepada penulisnya. Akhirnya aku menemukannya dan mulai kutuliskan kisah menarik sesuai dengan imajinasiku yang mulai liar mengembara.Waktu malam ketika Kang Wirna bekerja aku gunakan untuk menulis cerita. Sedangkan waktu siang adalah untuk mengurusnya dan melayani hasratnya yang selalu saja membara.Kusadari betul bahwa pasanganku lebih muda dariku. Menjaga stamina setiap hari wajib aku lakukan agar suamiku tidak kecewa. Dan hasilnya Kang Wirna benar-benar mera
Sampai tiga hari seterusnya hidupku dengan Kang Wirna terasa nyaman. Namun aku yakin ini belum berakhir. Sarmini tentu akan mencari cara untuk bisa menghubungi Kang Wirna semenjak ponsel Kang Wirna tidak bisa digunakan.Sore itu Sarmini mengirim banyak chat ke nomor ponselku. Isinya sudah tentu memaki-maki aku. Aku tidak membalas satu pun pesan darinya. Bahkan aku tidak lagi membacanya. Jika ada pesan masuk dari nomor tak dikenal aku segera menghapusnya tanpa membuka atau membaca terlebih dahulu. Aku menyibukkan diriku dengan membuat cerita yang kuharapkan bisa membantu keadaan yang sudah sangat darurat berhubung tiga bulan lagi Kang Wirna akan habis kontrak di PT.W. Setelah abis kontrak dipastikan Kang Wirna akan menganggur dan harus mencari pekerjaan yang baru. Aku memutar otak memeras pikiran mencari jalan keluar. Sementara Sarmini terus saja meneror lewat teman-teman Kang Wirna. Tak jarang teman tongkrongan Kang Wirna mengirim pesan lewat ponselku menyuruh Kang Wirna main ke rum
Aku berjalan ragu mendekati Kang Wirna yang masih memerah wajahnya bagaikan udang dicelupin minyak panas. Ia menatapiku dengan pandangan tegas. Aku dibuatnya keder juga. Aku baru tahu kalau Kang Wirna juga bisa marah seperti ini. Kalau dia bukan suamiku tentu tidak ada sedikit pun gentarku walau jika ia menggertakku. Namun karena jabatannya adalah suamiku, itulah yang membuat aku segan kepadanya.“Ini Bi...!” ucapku sambil menyodorkan ponselku.Kang Wirna menerimanya sekalian menarik tangan kiriku ke dalam kamar.“Duduk di sini dan tunggu Abi selesaikan satu persatu.” ucapnya tidak sekeras tadi. Aku yakin emosinya sudah mulai menurun walau pandangan matanya masih agak beringas.Kang Wirna terlihat mencari-cari nomor kontak di ponselku. Dan ketika telah menemukannya ia langsung menelepon. Aku belum tahu siapa yang Kang Wirna telepon. Aku hanya duduk mematung di atas kasur sedangkan Kang Wirna berjalan mondar-mandir dengan ponsel ditempelkan ke sebelah telinganya.“Halo... Haris panggil
Aku meninggalkan Kang Wirna di kamar kami untuk membuat minuman untuknya. Aku yakin dirinya cukup gerah dengan kejadian yang baru saja ia alami. Yang memberatkan dia pasti masalah anak-anaknya. Kuletakkan secangkir teh hangat di hadapan Kang Wirna seiring berderingnya nada panggilan di ponselku. Kulirik benda pipih yang tergeletak di atas lantai beralaskan karpet tipis di kamarku itu. Nomor baru lagi.“Aduuh... Siapa lagi ini? Sampai kapan masalah ini selesai?” keluhku dalam hati.Aku memandang Kang Wirna yang juga menatap ke arahku.“Jawablah Bi...!” ucapku.Otakku terasa sudah berbulu oleh masalah Kang Wirna yang datang silih berganti. Capek hati.“Halo...!” Kang Wirna menjawab seseorang yang menelpon di ponselku. Aku hanya diam dan sedikit tegang.“Cager Maak...!” ucap Kang Wirna.Aku langsung paham yang menelepon adalah Mak Kang Wirna atau Ibu mertuaku. Aku tidak berani berlancang ria ikut campur. Karena ini baru pertama kalinya aku dengar Kang Wirna berbicara dengan Mak di hadap
“Hm, kenyang ya Mi. Enak, juga murah. Tiga hari lagi Abi gajian, kita makan di sana lagi ya Mi. Bisa nambah nanti.” ucap Kang Wirna begitu kami sampai di rumah.“Emangnya tadi Abi mau nambah, ya?” tanyaku sambil meletakkan helm di bawah dipan usang di dapur.“Hehehe.. Iya Mi. Tapi duit kita nggak cukup. Kalau nambah nasi harus tambah bayar 3 ribu lagi.” sahut Kang Wirna dari dalam kamar. Dirinya telah membaringkan tubuh di atas kasur. Aku menyusul Kang Wirna ke kamar.“Kok Abi malah tiduran?” tanyaku dari ambang pintu.“Terus ngapain lagi Mi? Mandi udah, makan udah, kenyang udah. Ya tinggal tinggal tidur. Syukur-syukur Ami mau berbaik hati ngasih jatah. Wuaah... Tidur pasti lebih nyenyak!” ujar Kang Wirna sambil menatap langit-langit kamar. Tubuhnya menelentang dan kedua tangannya disusun menjadi bantal, bibirnya senyum-senyum pasti membayangkan adegan panas.“Mandi udah, kenyang udah, lalu sekarang mau tidur? Dan minta jatah pula?” aku memburunya dengan jemari siap mencubit.“Kena cu
Hari keberangkatan ke Sulawesi tibalah sudah. Aku hanya berangkat sendiri karena Papanya Baby atau mantan suamiku gagal mendapatkan vaksin walau Kang Wirna sudah mengusahakannya.Kang Wirna mengantarkanku ke bandara dan beberapa saat kemudian aku terbang menuju ranah rantau anak gadisku itu. Aku akan bertemu dengan calon menantuku dan keluarganya. Selama di Sulawesi setiap hari aku dan Kang Wirna video call-an karena Kang Wirna telah memperbaiki ponselnya dan memakai nomor baru.Sepuluh hari aku di Sulawesi kemudian aku kembali ke Batam yang ditunggu oleh suamiku di bandara. Sepuluh hari rasa rinduku terasa sudah tidak tahan. Aku rindu sikap lembut Kang Wirna, gaya manjanya, menyuapinya dan memandikannya.“Ami cantik banget! Gayanya sangat elegan dan berkelas waktu keluar dari bandara.” puji Kang Wirna saat kami akan menaiki sepeda motor.“Muji-muji Abi. Ketahuan Abi mau minta jatah, kan?” cibirku.“Hahhaha... Ami paling tahu deh. Sepuluh hari ditinggal rasa sudah mau meledak.” sahut
“Mendatangi kawan Abi? Buat apa Mii..? Buat apa...?” Wajah Kang Wirna semakin risau. Ditatapnya wajahku yang mungkin sudah memerah bagaikan udang rebus. Tanganku mengepal, gigi gemerutuk. Kakiku pun rasanya sudah bergerak-gerak sendiri ingin menendang para jantan pake rok itu.Aku melengoskan wajahku dan masih berdiri kaku.“Abi tahu kan? Ami tidak suka cari gara-gara. Tak urus urusan orang. Pernahkah Abi lihat Ami bertandang satu kali saja berkumpul-kumpul dengan tetangga? Pernahkah sekali saja...?” “Nggak Mi..” sahut Kang Wirna disertai gelengan kepalanya.“Karena Ami nggak suka mengurus hidup orang lain Bi! Hidup kita saja belum tentu bener ngapain sibuk urusan orang? Tapi nih lihat kawan-kawan Abi. Laki-laki bergunjing? Ciih... Mungkin burung salah hinggap kali di selangkangan mereka!” Suaraku terus meninggi begitu juga dengan emosiku. Bahkan tubuhku sudah menggigil menahan amarah di hati.“Orang kayak gini memang harus diberi pelajaran sekali-kali. Biar kapok!”Kusambar kunci di
Kekesalan yang bertubi-tubi yang aku rasakan ingin aku tumpahkan kepada sahabatku, Risma. Di dunia ini sepertinya hanya Risma yang benar-benar mengerti perasaanku. Setelah sholat Isya aku menghubungi Risma. Waktu seperti ini adalah waktu yang biasa kami gunakan untuk mengobrol. Karena setelah sholat Isya tidak ada kegiatan penting lagi yang akan datang secara mendadak yang memaksa kami harus menjeda percakapan. Apalagi Kang Wirna sedang pergi bekerja, aku punya waktu yang cukup untuk bercurhat ria dengan sahabat dari kecilku itu.Aku mengelus layar ponselku dan mulai memanggil Risma dengan sambungan video call.“Assalamualikum.” Wajah Risma menyembul di layar ponselku seiring ucapan salam darinya.“Walaikumsalam.” jawabku malas.“Udah makan? Kok lemes?” Risma bertanya.“Lagi pengen makan orang!” jawabku ketus.Huahahhaa.....Si Somplak itu malah tertawa ngakak. Syukur saja dia jauh, kalau ia berada di dekatku pasti sudah kumasukkan remasan kertas koran ke dalam mulutnya yang terbuka l