Hari keberangkatan ke Sulawesi tibalah sudah. Aku hanya berangkat sendiri karena Papanya Baby atau mantan suamiku gagal mendapatkan vaksin walau Kang Wirna sudah mengusahakannya.Kang Wirna mengantarkanku ke bandara dan beberapa saat kemudian aku terbang menuju ranah rantau anak gadisku itu. Aku akan bertemu dengan calon menantuku dan keluarganya. Selama di Sulawesi setiap hari aku dan Kang Wirna video call-an karena Kang Wirna telah memperbaiki ponselnya dan memakai nomor baru.Sepuluh hari aku di Sulawesi kemudian aku kembali ke Batam yang ditunggu oleh suamiku di bandara. Sepuluh hari rasa rinduku terasa sudah tidak tahan. Aku rindu sikap lembut Kang Wirna, gaya manjanya, menyuapinya dan memandikannya.“Ami cantik banget! Gayanya sangat elegan dan berkelas waktu keluar dari bandara.” puji Kang Wirna saat kami akan menaiki sepeda motor.“Muji-muji Abi. Ketahuan Abi mau minta jatah, kan?” cibirku.“Hahhaha... Ami paling tahu deh. Sepuluh hari ditinggal rasa sudah mau meledak.” sahut
“Mendatangi kawan Abi? Buat apa Mii..? Buat apa...?” Wajah Kang Wirna semakin risau. Ditatapnya wajahku yang mungkin sudah memerah bagaikan udang rebus. Tanganku mengepal, gigi gemerutuk. Kakiku pun rasanya sudah bergerak-gerak sendiri ingin menendang para jantan pake rok itu.Aku melengoskan wajahku dan masih berdiri kaku.“Abi tahu kan? Ami tidak suka cari gara-gara. Tak urus urusan orang. Pernahkah Abi lihat Ami bertandang satu kali saja berkumpul-kumpul dengan tetangga? Pernahkah sekali saja...?” “Nggak Mi..” sahut Kang Wirna disertai gelengan kepalanya.“Karena Ami nggak suka mengurus hidup orang lain Bi! Hidup kita saja belum tentu bener ngapain sibuk urusan orang? Tapi nih lihat kawan-kawan Abi. Laki-laki bergunjing? Ciih... Mungkin burung salah hinggap kali di selangkangan mereka!” Suaraku terus meninggi begitu juga dengan emosiku. Bahkan tubuhku sudah menggigil menahan amarah di hati.“Orang kayak gini memang harus diberi pelajaran sekali-kali. Biar kapok!”Kusambar kunci di
Kekesalan yang bertubi-tubi yang aku rasakan ingin aku tumpahkan kepada sahabatku, Risma. Di dunia ini sepertinya hanya Risma yang benar-benar mengerti perasaanku. Setelah sholat Isya aku menghubungi Risma. Waktu seperti ini adalah waktu yang biasa kami gunakan untuk mengobrol. Karena setelah sholat Isya tidak ada kegiatan penting lagi yang akan datang secara mendadak yang memaksa kami harus menjeda percakapan. Apalagi Kang Wirna sedang pergi bekerja, aku punya waktu yang cukup untuk bercurhat ria dengan sahabat dari kecilku itu.Aku mengelus layar ponselku dan mulai memanggil Risma dengan sambungan video call.“Assalamualikum.” Wajah Risma menyembul di layar ponselku seiring ucapan salam darinya.“Walaikumsalam.” jawabku malas.“Udah makan? Kok lemes?” Risma bertanya.“Lagi pengen makan orang!” jawabku ketus.Huahahhaa.....Si Somplak itu malah tertawa ngakak. Syukur saja dia jauh, kalau ia berada di dekatku pasti sudah kumasukkan remasan kertas koran ke dalam mulutnya yang terbuka l
“Ya, pokoknya mulai besok kamu buat kayak gitu ya? Dengan begitu mudah-mudahan kita bisa membuka tabir rahasia fitnahan ini.” ucap Risma bagaikan komandan detektif saja.Ya sudah, dia kuangkat menjadi Kapten dan aku cukup Brigadir sajalah. 😌🤭 “Un..!”“Hmm...” kudongakkan kepalaku menatap wajah Risma di layar ponselku.“Tadi apa katamu?”“Kata yang mana?” jawabku balik nanya, mengerutkan keningku.“Tadi kamu bilang bisa jadi Kang Wirna-lah sutradara dari drama fitnahan ini. Benar begitu?” Risma bertanya untuk memastikan.Aku mengendikkan bahuku. Jujur, rekaman fitnah itu telah membuat penalaranku begitu liar mengembara bahkan terasa sulit aku kendalikan.“Aku tidak menuduh seperti itu, tapi semua kemungkinan kan bisa saja terjadi. Karena....“Karena apa, Un?” kejar Risma.“Karena saat aku ngobrol dengan Sarmini waktu itu, Sarmini bilang padaku kalau Kang Wirna ngomong kepadanya bahwa dirinya telah aku dukunin. Katanya aku punya keluarga yang bisa jampi-jampi gitu.”“Astagaaaaa....!
Malam berlalu semakin larut. Aku tidak bisa memejamkan mataku karena suara riuh di atas atap dapur kembali datang mengganggu. Suara-suara itu kini makin sering kali datang tanpa aku tahu apa penyebabnya. Bahkan kepada tetangga yang langsung bersebelahan rumah denganku telah aku tanyakan masalah tersebut. Namun sayang, tidak satu pun dari mereka yang mendengar suara gaduh itu.Hm, apakah hanya halusinasiku saja? Tapi tidak mungkin, aku bahkan mendatangi dapur dan memandang atap dapur yang tidak dilapisi plafon tersebut. Suaranya semakin riuh namun atap itu tidak bergerak sama sekali. Jangankan bergerak, bergetar pun tidak.“Apakah benar kata Risma bahwa santet telah bekerja?” pikirku dalam hati. Aku menatap layar ponselku yang kubawa ikut serta ke dalam dapur. Pukul 01.20 dini hari. Malam memang terasa sangat sunyi.Namun aku yang memang sudah terbiasa tidur pada dini hari pagi, belum merasakan kantuk sedikit pun. Ku henyakkan bokongku di atas dipan dan kulanjutkan pekerjaanku menulis
Subuh datang menjelang rasa badanku tidak nyaman. Tidur yang tidak nyenyak membuat badan terasa lemas. Lapat kudengar seruan adzan dari mushola perumahan tempat aku tinggal. Namun rasa malas entah mengapa semakin menggayuti badanku. Aku tertidur kembali beberapa jenak lamanya.Adzan berganti qomat. Aku merasa semakin malas namun ada bisikan hati lain yang melarangku untuk kembali tidur.Kulirik Kang Wirna yang masih terlelap menelentang. Kucoba membangunkannya dengan menggoyang-goyang lengannya.“Bi, bangun! Sudah subuh.” ucapku perlahan.“Abi nggak enak badan Mi. Ami saja subuh ya.” sahutnya seperti menggigau.Aku memaklumi. Mungkin saja lambungnya masih sakit. Apalagi semalam ia bermimpi sangat buruk. Ya sudah, aku sholat subuh sendiri saja tanpa seorang Imam di depanku. Rasanya sangat canggung dan menyedihkan.Namun ternyata kemalasan Kang Wirna beribadah bukan sampai disitu saja. Bahkan melewatkan semua waktu sholat sudah menjadi biasa baginya. Hal itu berjalan hampir dua minggu.
Hari ini adalah hari terakhir Kang Wirna bekerja di PT.W. Kepalaku pusing tujuh keliling memikirkan kelanjutan hidup kami. Sedangkan Kang Wirna masih bekerja saja hidup kami sudah susah. Karena selalu saja ada tagihan yang harus dibayarnya. Tiap sebentar masuk pesan yang mengingat tanggal pembayaran hutang, baik itu dari nomor pribadi mau pun dari aplikasi pinjaman online. Bahkan, adik laki-laki Kang Wirna ikut-ikutan menagih uang yang katanya untuk membayar cicilan hp milik Haris anak sulung Kang Wirna. Mungkin dia pikir Kakang-nya manager perusahaan yang bergaji besar. Hidup yang jauh dari kata cukup aku jalani dengan sabar. Dulunya aku sangat sering menikmati makan enak di restoran mewah atau sea food bersama anak-anakku. Namun sekarang aku dan Kang Wirna hanya bisa mendatangi tempat itu jika Baby atau anakku yang lain mengirimkan uang. Dan seperti biasa pula mereka akan bertanya aku makan apa dan dimana. Untuk itu aku selalu menjepret foto dan mengirimkan kepada anakku tersebut d
Hampir sebulan sudah Kang Wirna menganggur. Ia sudah kesana kemari mencari pekerjaan namun tidak membuahkan hasil. Sementara itu hidup semakin susah. Sewa rumah serta pembayaran air dan listrik sebentar lagi akan tiba.“Mi, untuk makan kita cari udang aja yuk Mi. Dulu Abi sering cari udang bersama teman-teman Abi hasilnya lumayan. Dapat se-kilo aja sudah cukup buat hidup kita sehari.” usul Kang Wirna.“Tapi dengan apa kita mencari udang Bi? Kita tidak punya alat sama sekali.” sahutku bingung.“Hm, duit kita masih ada kan Mi?”“Masih Bi. Itu Ami simpan buat kebutuhan kita sampai Abi dapat pekerjaan yang baru. Hemat-hemat...” sahutku.“Gini aja Mi. Kita pake saja sebagian buat bikin alat tangkap udang. Beli jaring lalu kita buat gandongan.”“Gandongan? Emang Abi bisa buatnya?” tanyaku.“Bisa Mi. Tapiiii ...“Tapi apa Bii.. ?”“Tapi Ami mau nggak temani Abi tangkap udang ke laut? Nangkapnya harus malam Mi.” tanya Kang Wirna ragu menatapku.Aku tersenyum dan mengusap rambutnya.“Ke dalam