Hari ini adalah hari terakhir Kang Wirna bekerja di PT.W. Kepalaku pusing tujuh keliling memikirkan kelanjutan hidup kami. Sedangkan Kang Wirna masih bekerja saja hidup kami sudah susah. Karena selalu saja ada tagihan yang harus dibayarnya. Tiap sebentar masuk pesan yang mengingat tanggal pembayaran hutang, baik itu dari nomor pribadi mau pun dari aplikasi pinjaman online. Bahkan, adik laki-laki Kang Wirna ikut-ikutan menagih uang yang katanya untuk membayar cicilan hp milik Haris anak sulung Kang Wirna. Mungkin dia pikir Kakang-nya manager perusahaan yang bergaji besar. Hidup yang jauh dari kata cukup aku jalani dengan sabar. Dulunya aku sangat sering menikmati makan enak di restoran mewah atau sea food bersama anak-anakku. Namun sekarang aku dan Kang Wirna hanya bisa mendatangi tempat itu jika Baby atau anakku yang lain mengirimkan uang. Dan seperti biasa pula mereka akan bertanya aku makan apa dan dimana. Untuk itu aku selalu menjepret foto dan mengirimkan kepada anakku tersebut d
Hampir sebulan sudah Kang Wirna menganggur. Ia sudah kesana kemari mencari pekerjaan namun tidak membuahkan hasil. Sementara itu hidup semakin susah. Sewa rumah serta pembayaran air dan listrik sebentar lagi akan tiba.“Mi, untuk makan kita cari udang aja yuk Mi. Dulu Abi sering cari udang bersama teman-teman Abi hasilnya lumayan. Dapat se-kilo aja sudah cukup buat hidup kita sehari.” usul Kang Wirna.“Tapi dengan apa kita mencari udang Bi? Kita tidak punya alat sama sekali.” sahutku bingung.“Hm, duit kita masih ada kan Mi?”“Masih Bi. Itu Ami simpan buat kebutuhan kita sampai Abi dapat pekerjaan yang baru. Hemat-hemat...” sahutku.“Gini aja Mi. Kita pake saja sebagian buat bikin alat tangkap udang. Beli jaring lalu kita buat gandongan.”“Gandongan? Emang Abi bisa buatnya?” tanyaku.“Bisa Mi. Tapiiii ...“Tapi apa Bii.. ?”“Tapi Ami mau nggak temani Abi tangkap udang ke laut? Nangkapnya harus malam Mi.” tanya Kang Wirna ragu menatapku.Aku tersenyum dan mengusap rambutnya.“Ke dalam
Malam kini sudah beberapa jam menjelang. Kang Wirna sibuk dengan aplikasi baru yang berguna untuk memantau air laut.“Mi.. satu jam lagi kita berangkat! Air mulai pasang!” serunya dari dapur.“Oh ya Bi. Ami siapin dulu kantong dan segala macamnya. Minyak motor ada kan Bi?” sahutku dari dalam kamar.“Ada Mi! Abi yakin hari ini pasti kita bisa bawa udang satu baskom penuh Mi. Sebagian kita masak sebagian kita jual. Terus siangnya kita cari kerang sama cari burung Mi. Pokoknya selama nganggur kita cari apa saja yang bisa dijual.” Kembali kudengar ucapan Kang Wirna dari dapur sambil terus main sceter.“Oke Bi. Siap!” sahutku juga penuh semangat. Dalam hati aku sangat terharu melihat semangat Kang Wirna. Aku memang tidak tega untuk berburuk sangka kepadanya. Kalau aku pikir-pikir, benar apa kata Kang Wirna. Kalau memang dia mau meninggalkan aku seperti yang selalu dikatakan Sarmini, kenapa nggak kemarin-kemarin. Toh aku sudah dua kali pergi keluar kota semenjak menikah dengan Kang Wirna. L
“Ada apa Miii....?" Kang Wirna berteriak dari ujung sana. Jeritanku ternyata sampai ke telinganya.Aku masih berdiri terpaku. Air laut yang tadi sempat bergelombang kini kembali tenang. Kuatur nafas untuk mengurai rasa takut yang beberapa saat telah menguasai bathinku.“Tidak ..! Aku tidak boleh takut. Kalau sampai kesusahan ini berlanjut tanpa akhir, maka yang mungkin akan berakhir adalah rumah tanggaku dengan Kang Wirna. Tidak ..! Aku tidak mau itu terjadi.” Di dalam hati aku berbisik.“Nggak ada Biii...! Amaaan...!” teriakku membalas teriakan Kang Wirna.“Ooh... Lanjut jalan perlahan Mi! Jaringnya jangan diangkat terlalu tinggi.” Kang Wirna kembali berteriak.“Iya Biii...!” Kupandang lagi ke depan. Air laut kini sudah benar-benar tenang. Tidak nampak sedikit pun sisa-sisa tanda kehadiran makhluk air tadi yang kuyakin cukup besar.Perlahan aku melangkah lagi. Selangkah demi selangkah akhirnya kami sampai juga ke tepi. Bagaikan nelayan menarik pukat, kami juga menarik jaring ke ping
Aku tersentak di tengah malam. Kulihat Kang Wirna juga tertidur gelisah di sampingku. Kuperbaiki bantal yang menyangga kepalanya dan sesaat kemudian tidurnya terlihat lebih pulas. Dan aku melangkah menuju dapur tempat yang paling aku sukai untuk duduk merenung.“Oh, pukul 02.25.” gumamku setelah aku melirik penunjuk waktu di layar ponselku yang aku bawa serta ke atas dipan usang.Hatiku merasa tidak nyaman setelah Mak datang ke alam mimpiku beberapa saat yang lalu. Biasanya kalau aku bermimpi dengan Mak, itu pasti akan ada kejadian besar yang akan aku hadapi. Selama ini petunjuk mimpi itu tidak pernah meleset.“Uni akan menghadapi suatu masalah yang sangat besar. Bisa jadi ini adalah masalah terberat sepanjang hidup Uni. Mak harap Uni bersabar dan memperkuat iman.”Itulah yang dikatakan Mak lalu bayangan Mak menghilang sebelum aku sempat untuk bertanya.“Masalah apa yang dimaksud oleh Mak? Bukankah sekarang kami juga tengah menghadapi banyak masalah? Terutama masalah keuangan. Mak bil
Sore itu sebuah pesan masuk ke ponselku. Kebetulan ponsel Kang Wirna rusak karena jatuh ke dalam air danau ketika ia memancing malam dengan temannya. Jadi sejak saat itu semua pesan untuk Kang Wirna diterimanya melalui nomor whatsaapku. Sore itu Sarmini mengirim pesan ke ponselku memakai pesan suara. Lama aku tidak membukanya. Pesan itu aku buka setelah Kang Wirna berada di rumah agar Kang Wirna juga mendengarnya.“Uni, kamu tahu nggak. Wirna itu masih mengharap sama aku. Dia bilang kepadaku kalau dia akan meninggalkan kamu. Kemarin dia marah padaku karena aku membocorkan rahasia ini kepadamu. Katanya ‘aku akan meninggalkan si Uni itu. Tapi kamu jangan bilang-bilang. Nanti dokumenku ditahan sama dia dan aku tidak bisa pergi. Kamu sih pakai ngomong segala sama si Uni itu. Aku jadi kesulitan untuk pergi.”“Apa benar begini? Siapa yang menahan dokumen Abi?” tanyaku dengan nada marah kepada Kang Wirna."Jangan suka memfitnah Bi. Abi dan kawan-kawan Abi itu memang tak ada bedanya!" sambun
Semakin hari hubunganku dengan Kang Wirna semakin panas saja. Aku juga mulai tidak sabar menghadapi masalah-masalah yang selalu dibawa Kang Wirna ke dalam hidupku. Aku yang biasa hidup tenang dan jarang punya masalah merasa sangat terganggu. Aku mulai kesal dan ingin membalas semua perbuatan konco-konco Kang Wirna yang menjadi biang kerok semua masalah ini. Fitnah itu .. yah fitnah yang direkam itulah yang menjadi mala petaka.“Besok rekaman fitnah ini akan Ami bawa ke kantor polisi. Biar jelas siapa biang keroknya disana!” ujarku kepada Kang Wirna.“Itu lagi Mi. Buat apa diperpanjang terus.” sahut Kang Wirna tampak tidak senang.“Kenapa Abi yang takut? Jangan-jangan Abi malah terlibat dalam pembuatan drama fitnah keji ini.” balasku menatap Kang Wirna.“Ya Allah Miii... Kok Ami bisa berpikiran begitu. Sadar Mii.. Ami sudah terpengaruh...“Terpengaruh apa? Guna-guna lagi? Huh.. berpikir maju-lah sedikit Bi! Jangan apa-apa disangkut pautkan ke dukun.” ucapku memotong perkataan Kang Wi
“Mi, Abi mau pergi sebentar ya. Mau fotocopy buat bikin lamaran.” ucap Kang Wirna setelah percakapan dengan Mak selesai.“Oh iya Bi. Nanti tolong beliin Ami mixagrip. Kepala Ami pusing sekali.” jawabku sambil bergolek di atas kasur. Kepalaku akhir-akhir ini memang sering sakit.“Iya Mi. Nanti Abi beliin.” sahut Kang Wirna mengulurkan tangannya agar aku menyalaminya. Aku menyambut tangan Kang Wirna dengan posisi masih berbaring dan kucium punggung tangan suamiku itu.Kang Wirna lalu jongkok dan menangkup ke dua belah pipiku dan menciumiku puluhan kali. Sekilas aku melihat matanya membasah. Dalam hatiku terbersit rasa heran. Tidak biasanya Kang Wirna begini.“Abi berangkat ya Mi. Ami jangan sakit terus.” ucapnya sambil menyandang tas ransel berisi dokumen miliknya.“Iya Bi. Hati-hati.” sahutku tanpa sempat mengantar ke teras seperti biasa. Kepalaku sungguh sangat sakit. Aku hanya memandangi Kang Wirna berlalu yang menggunakan celana pendek selutut dan baju kaos oblong. Lalu aku terus ter
"Apa-apaan sih kamu, Wirna..?? Dasar laki-laki tak berguna!" teriak Sarmini langsung mendorong tubuh Wirna hingga laki-laki itu hilang keseimbangan dan jatuh ke tanah. Sarmini naik pitam lalu memungut sepotong kayu yang kebetulan ada ditempat itu lalu ia mengayunkan kayu itu ke kepala Wirna. "Plaaak...!"Kayu tersebut mendarat dengan keras namun bukan mengenai kepala Wirna tapi malah menghantam bahu Amelia yang lebih dulu menjatuhkan diri memeluk dan melindungi tubuh Wirna yang tak berdaya di tanah hingga pukulan Sarmini mengenai bahunya. "Oough..!" Amelia mengaduh tertahan. "Amii..! Oh ...!" Wirna berteriak keras lalu segera bangkit sembari memeluk tubuh Amelia dan mengusap bahu wanita yang ia cintai itu. Lalu dengan mata membesar ia menatap Sarmini yang masih mengayun-ayunkan sepotong kayu ditangannya. "Apa sih kamu? Segitu kasarnya tak punya perasaan!" bentak Wirna sambil menunjuk wajah Sarmini. Beberapa orang yang sudah berkerumun di tempat itu mulai bergerak melerai dan sala
Kematian Haris membuat Wirna sangat terpukul. Ia tidak hentinya menyalahkan diri sendiri. Hal itu membuat Amelia menjadi iba. Bagaimana pun mereka berdua pernah saling mencintai walau hanya delapan bulan saja berumah tangga. Namun kasih sayang bukanlah tergantung lama atau singkatnya tempo bersama. Walau Amelia sudah tidak lagi mencintai Wirna, namun ia masih menyayangi layaknya kepada insan yang tengah ditimpa musibah. "Sudahlah! Jangan menangis lagi. Haris sudah tenang di alamnya." bisik Amelia lirih. Ia berdiri disamping Wirna yang masih berjongkok di sisi tanah yang masih berwarna merah yang telah mengubur jasad Haris. "Pergilah dan tinggalkan aku sendiri!" sahut Wirna juga lirih namun terdengar jelas oleh Amelia. Suara itu benar-benar mengandung luka yang dalam. "Baiklah, aku akan pergi!" sahut Amelia lalu memutar tubuh perlahan dan mulai melangkah meninggalkan pusara Haris dan tanpa ia sadari Sarmini mengikutinya dari belakang. "Kau benar-benar telah berhasil menghancurkan
"Bapak.. Ibu.." tersendat dan terbata-bata Haris memanggil Wirna dan Sarmini yang berada di samping tempat tidurnya. Kedua orang tuanya itu juga menangis sangat sedih menyaksikan penderitaan anak sulung mereka. "Haris, maafkan Bapak. Bapak yang bersalah Haris. huhuhu..." Wirna menggenggam kadang membelai tangan kanan Haris. Lelaki itu terlihat sangat terpukul didera penyesalan yang tiada berguna. Dalam hati ia yakin kalau apa yang terjadi kepada Haris saat ini adalah tebusan sumpah yang pernah ia ucapkan sendiri. Sementara itu mata Haris hanya memandang kosong ke arah kedua orang tuanya secara bergantian. Sedangkan Sarmini mengelus lengan kiri Haris yang cacat. Hati ibu mana yang tidak teriris melihat putranya tak berdaya dan tergolek penuh luka. Kepala Haris diperban dengan selang terpasang dihidung dan beberapa peralatan medis lainnya yang menempel ditubuh kecil Haris. 'Pak, Bu. Berhentilah bertengkar. Setelah Haris pergi, tolong jaga Riski sebaik mungkin. Haris lelah dan ingin
Kepergian Mois membawa Amelia meninggalkan rumah sakit meninggalkan kekesalan dan kekecewaan di hati Salma. Entah sudah berapa kali wanita muda itu memaki-maki sendiri. "Nggak abis pikir deh sama pikiran Bang Mois. Kok dia malah lebih tertarik kepada perempuan tua itu dibanding aku yang jauh lebih muda dan lebih cantik. Huh..! Dunia sekarang emang makin edan, makin banyak saja lelaki muda yang lebih memilih pasangan lebih tua. Haah... gagal sudah usahaku untuk mendapatkan Bang Mois. Padahal aku sudah menyukainya sejak pertama bertemu di saat persiapan pesta pernikahanku dengan Mas Farzan empat tahun lalu. Andaikan aku lebih dulu mengenal Bang Mois tentu aku akan menolak ajakan Mas Farzan untuk menikah." Salma terus saja mengoceh dan bersungut-sungut di pojok sebuah ruangan rumah sakit yang mulai tenang. Tidak ada lagi gerombolan orang-orang berkerumun seakan tidak pernah ada keributan disana. Orang-Orang yang tadi berkerumun telah kembali ke urusan masing-masing. Ada yang kembali k
"Jangan berbuat sekasar itu! Kelewatan!" bentak lelaki yang tiba-tiba saja muncul itu terdengar berdesis bagaikan ular cobra yang siap menyemburkan bisanya. Suasana yang tadi riuh dan panas mendadak sunyi serta mencekam. Semua mata tertuju ke arah Sarmini dan lelaki asing yang terlihat bertatapan disertai pertentangan bathin. "Siapa kamu?" tanya Sarmini juga mendesis. Matanya menyipit dan ia berusaha melepaskan tangannya yang masih dicengkram lelaki dihadapannya tersebut. Namun si lelaki asing semakin memperkuat cengkramannya hingga Sarmini makin meringis. "Siapa aku tidaklah penting. Tapi jika kamu masih menyakiti Amelia, maka aku akan selalu muncul. Ingat itu!" ancam si lelaki tersebut lalu melemparkan tangan Sarmini ke samping. "Siapa laki-laki ini? Ia sangat tampan dan masih muda. Jangan-jangan dirinya adalah adik kandung Amelia." hati Sarmini bertanya-tanya seraya memandangi lelaki yang baru saja melepaskan cengkraman ditangannya. "Tapi mengapa ia terlihat seperti mencintai
Hari itu Amelia tidak datang ke kantor polisi untuk menemui Mois. Kabar dari rumah sakit membuat Amelia harus membatalkan rencananya untuk menemui calon suaminya yang sudah lima hari mendekam di dalam tahanan tersebut. Kasus Mois akan segera naik ke persidangan jika berita acara sudah dianggap sempurna. Dengan bergegas Amelia berjalan di koridor rumah sakit tempat Haris mendapat perawatan. Di sana sudah ada Wirna yang juga terlihat menunggu resah. "Ami!" sapa Wirna langsung menyambut kedatangan Amelia dengan sikap mesra. Ia kembali merengkuh bahu wanita itu dan berjalan bersama menuju ruang dokter. "Bagaimana keadaan Haris, Bi?" tanya Amelia cemas. Entah karena hatinya telah mencair terhadap Wirna atau hanya terbawa keadaan saja, tapi yang jelas sikap Amelia sangat jauh melunak kini terhadap Wirna. Mereka terlihat sangat kompak dan akur bahkan sepintas terlihat mesra layaknya seperti dulu sebelum mereka berpisah. "Ayolah kita ke ruangan Dokter! Abi juga belum sampai kesana. Tadi p
Pintu ruang tahanan terbuka lebar. Mois dikawal menuju sebuah ruangan tempat ia diizinkan untuk menerima tamu. "Pasti Amelia yang datang." terka hati Mois dengan menyunggingkan senyum bahagia dibibirnya. Dirinya sangat merindukan wanita yang dicintanya itu. "Silahkan!" ucap petugas polisi yang mengantar Mois ke ruang khusus tersebut. "Terima kasih!" sahut Mois mengangguk sopan. Pintu segera ditutup si petugas dan terdengar bunyi dari lubang kunci tanda pintu tersebut dikunci sang petugas dari luar. Mois membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sepasang kursi tamu yang ada di dalam ruang yang tidak begitu besar itu. Disana hanya ada dua buah kursi dengan posisi berhadapan yang dibatasi oleh sebuah meja yang tidak begitu lebar. Agak tercenung Mois melihat seorang wanita yang duduk menunggunya disana. Wanita itu bukan Amelia yang ia kira, tapi seorang perempuan bertubuh ramping dan terlihat lebih muda. Rambutnya tergerai indah berwarna coklat coca-cola. Bergegas Mois mendekat dan l
Sirene ambulan meraung memecah terik panas matahari sore itu. Tubuh kecil Haris tergolek tidak berdaya di atas bangsal ambulan tersebut. Pakaian yang membungkus tubuhnya sebagian besar telah dibasahi darah. Bau anyir memenuhi kabin bagian belakang mobil penyelamat yang terus melaju kencang membelah keramaian jalan. "Haris..., bangun Nak..! Bapak tidak mau melihatmu seperti ini, huhuhu.." Wirna tiada hentinya meratapi nasib malang yang menimpa putra sulungnya tersebut. Ia tertunduk lesu di samping kanan bangsal tempat tubuh Haris tergolek lemah dan tak sadarkan diri. Tidak berbeda dengan Wirna, Amelia juga melakukan hal yang sama. Wanita yang sudah menganggap Haris seperti anak kandungnya itu tiada hentinya menangis. Ia terduduk lesu disebelah kiri Haris. Amelia tidak sanggup lagi berkata-kata, hanya seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Ada rasa penyesalan mengapa ia tidak menyadari dari semula kalau pembicaraannya dengan Wirna akan di dengar Haris dan akan membuat bocah polos
"Duduklah Kang!" Amelia mempersilahkan Wirna yang masih berdiri kaku. Mereka seperti orang baru kenal saja. "Iya!" sahut Wirna singkat kemudian duduk di sebuah sofa di ruang tamu rumah Amelia. Amelia juga melakukan hal yang sama. Ia menduduki sebuah sofa yang posisinya berhadapan dengan Wirna. Diantara mereka berdua dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang tidak begitu lebar. Beberapa detik berlalu begitu saja. Belum ada yang memulai untuk bicara. "Aku sangat senang melihatmu sudah sembuh sekarang, Kang. Dan aku mohon maaf atas semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Mois terhadapmu." akhirnya Amelia bicara juga dan memecah kebuntuan diantara mereka berdua. Ucapan Amelia yang kaku membuat wajah Wirna memerah. Tampaknya ia sangat tidak suka dengan kalimat yang diucapkan oleh Amelia. Bukan kalimat itu yang ia harapkan keluar dari bibir Amelia. "Aku...? Kang..? Sejak kapan Ami memanggil Abi seperti itu? Sejak Ami sudah pandai berselingkuh dengan lelaki jahanam itu, hah?" hardik Wirn